Beranda / Romansa / Rahasia di Rumah Kos / bab 1 : Yang Seharusnya Tidak di Dengar

Share

Rahasia di Rumah Kos
Rahasia di Rumah Kos
Penulis: juliantara

bab 1 : Yang Seharusnya Tidak di Dengar

Penulis: juliantara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-03 01:00:08

Pagi itu, sebenarnya Eko hanya ingin menjemur handuk di balkon depan kamar kosnya. Namun, dia tidak menyangka akan mendengar pertengkaran antara ibu kosnya dengan suaminya.

Pagi itu, Eko baru saja selesai mandi dan pergi ke balkon kamarnya untuk menjemur handuk. Namun, dia teralihkan oleh suara teriakan dari rumah sebelah.

“Dasar wanita gak tahu diuntung! Aku sudah penuhi semua kebutuhanmu, kau gak usah ikut campur urusanku!”

Terdengar suara bentakan dari Herman, suami dari ibu kos Yanti. Suara teriakan itu terdengar sangat jelas hingga ke balkon tempat Eko berdiri.

Sementara itu, Yanti berdiri dengan tegang. Wajahnya memerah, dan tampak dia masih mengenakan daster tipis dengan rambut yang tergerai. Ekspresinya sulit dibaca.

Eko yang tidak sengaja berada di tempat yang salah dan mendengar semua perseteruan itu, refleks menunduk. Tidak ada sedikitpun niat untuk menguping atau ingin tahu urusan rumah tangga orang lain. Namun, jaraknya yang memang sangat dekat membuat Eko bisa mendengar semuanya dengan jelas.

Kemudian terdengar suara Yanti yang mencoba berbicara. Suaranya terdengar pelan tapi jelas, “Aku tidak menuntut apa-apa. Aku… cuma mau kamu jujur. Aku gak mau kayak gini terus.”

Sekali lagi, terdengar suara bentakan dari Herman, “Sudah ku bilang, jangan ikut campur!”

Eko terdiam membeku. Ia tahu dia harus masuk, tapi matanya tidak bisa berpaling ketika suasana sudah setegang itu.

Yanti mencoba mengontrol napasnya. “Tapi, Mas Herman…”

“Sudah! Aku bisa terlambat bekerja gara-gara drama pagi-pagi begini!” Herman memotong, seolah tidak memberi Yanti kesempatan untuk bicara.

Suaminya mengambil tasnya dan berjalan cepat menuju gerbang. Sebelum keluar, ia sempat menoleh terakhir kali sambil menunjuk Yanti, keras dan begitu tajam.

“Jangan hubungi aku sampai kau sadar dan lebih waras!”

Pintu gerbang dihentakkan, suaranya membelah pagi.

Yanti berdiri terpaku beberapa detik. Dia goyah, namun tidak menangis. Itulah yang membuat adegan terasa lebih berat.

Lalu, Yanti menoleh ke arah kos, seakan mencari pengalihan. Matanya naik ke balkon tempat di mana Eko berdiri. Pandangan mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Singkat, namun terasa lama sekali.

Wajah Yanti terlihat memerah dan ekspresinya terasa aneh. Ada rasa malu, kaget, hancur, dan terkejut yang menjadi satu.

Eko refleks tersentak kecil dan menyadari mungkin Yanti malu karena ada yang mendengar urusan dapurnya. Untuk menjaga harga diri Yanti, Eko langsung memalingkan wajah. Ia menunduk dan pura-pura membenarkan handuk yang tadi sudah rapi. Menarik ujungnya, merapikan lipatannya, bahkan menepuk-nepuk sedikit seolah memang itu niat awalnya.

Di bawah sana, Yanti masih menatap beberapa detik. Kemudian, ia menundukkan kepala, menarik napas panjang, dan mengusap lengan kirinya sendiri. Yanti sepertinya membutuhkan ruang sendiri. Maka, Eko masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Bukan karena ia takut, bukan karena ia tidak peduli, tapi karena ia merasa memberi Yanti sedikit ruang untuk memulihkan dirinya adalah pilihan terbaik.

Setelah kejadian itu, Eko berusaha untuk berpura-pura tidak pernah melihat apa pun. Ia tetap di kamarnya, mandi, lalu pergi kuliah. Namun, sepanjang pagi, ekspresi Yanti ketika menoleh tadi sulit Eko lupakan. Namun, Eko betul-betul tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain.

Saat Eko pulang dari kampus, di depan gerbang rumahnya, Eko tampak sedikit terkejut melihat Yanti yang tampak sangat cantik siang itu. Ia mengenakan setelan sederhana yang membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas dan juga riasan tipis yang membuatnya tampak lebih menarik. Walaupun tampak sangat cantik, hal itu tetap tidak dapat menyembunyikan raut muram dan sedih dari wajahnya.

Eko yang sedikit tenggelam dalam lamunan segera tersadar oleh suara Yanti.

“Eko… sebentar.” Suaranya lembut, tapi terdengar sedikit ragu.

Eko tersadar. “Iya, Bu?”

Yanti menelan ludah. “Ada waktu bentar nggak? Aku… mau ngomong sesuatu. Kita ngobrol bentar, nggak lama.”

Eko sempat ingin menolak. Namun, melihat raut wajah Yanti yang muram dan bagaimana tangannya sedikit bergetar, ia akhirnya mengangguk.

“Di mana, Bu?”

“Di rumahku aja. Gak ada siapa-siapa kok. Suamiku juga sepertinya tidak akan pulang,” ucap Yanti dengan muka yang masih menunduk, seakan tidak ada keberanian untuk menatap mata Eko.

Eko menoleh ke kanan dan ke kiri. Bagaimanapun, Yanti sudah bersuami. Bukan hal yang baik jika ada yang melihat mereka berdua dalam satu rumah.

Yanti yang menyadari kekhawatiran Eko langsung menariknya untuk masuk ke dalam rumah. “Bukankah akan lebih banyak yang melihat kalau kita bicara di luar?”

Yanti pun mengajak Eko masuk ke dalam rumah dan mereka berdua duduk di sofa kamar tamu. Secangkir teh pun disuguhkan oleh Yanti.

Suasana awalnya kaku. Yanti menunduk, mengusap-usap cangkir tehnya sambil menarik napas panjang.

“Aku tahu kamu dengar semuanya tadi pagi,” katanya akhirnya.

Eko langsung menegakkan tubuh. “Maaf, Bu. Saya nggak sengaja. Saya juga nggak—”

“Nggak apa-apa,” Yanti memotong, suaranya pelan. “Justru karena itu… aku nggak enak kalau kamu mikir macam-macam.”

Eko mengangguk. “Saya nggak mikir apa-apa kok, Bu.”

Yanti tersenyum kecil. “Aku cuma… nggak nyangka kamu ada di balkon. Aku malu. Suara kami pasti besar.”

Eko terdiam, mencoba memilih kata yang paling aman. “Saya nggak akan ceritain siapa-siapa. Itu urusan Bu Yanti.”

Yanti mengangguk. Matanya terlihat sedikit berkaca, tapi dia menunduk sebelum terlihat jelas. “Terima kasih. Aku cuma… butuh bilang itu aja.”

Suasana hening kembali. Eko sebenarnya ingin segera pulang, tapi Yanti yang memegang gelas dengan sedikit gemetar membuatnya tetap duduk.

“Ibu nggak apa-apa?” akhirnya ia bertanya.

Pertanyaan sederhana itu membuat Yanti menghela napas panjang. “Kadang aku capek, Ko… Tapi ya aku tahu, ini rumah tangga. Aku cuma… nggak boleh terlihat lemah.”

Eko tidak menjawab. Karena ia tahu, jawaban apa pun akan membuatnya terlihat ikut campur.

Saat Eko berencana untuk mengakhiri obrolan siang itu, tiba-tiba Yanti menangis di pelukannya. Eko yang terkejut pun bingung harus merespons seperti apa. Sebenarnya, Eko ingin melepas pelukan itu, namun melihat kesedihan dari Yanti, dia memutuskan untuk membiarkannya untuk beberapa saat.

Namun, dalam pelukan itu, Eko mulai merasakan perasaan aneh dalam dirinya. Dia merasakan sesuatu yang besar, kenyal, dan hangat menempel di bahunya. Dan tanpa bisa dikendalikan, sesuatu mengeras dari balik celananya.

Di titik ini, Eko mencoba mengendalikan dirinya. Namun, apa daya? Yanti yang memang memiliki tubuh yang bagus dan wajah yang sebenarnya sangat menarik, kini berada di pelukannya dan hanya ada mereka berdua di rumah itu.

Ketika Yanti hendak melepas pelukan, tangannya tidak sengaja menyenggol sesuatu yang mengeras di balik celana Eko.

Ketika benda itu tersenggol, Eko seakan tidak dapat menahan rasa malunya. “Maaf, Bu. Aku gak ada maksud….”

Belum sempat Eko menyelesaikan ucapannya, Yanti menggunakan jarinya untuk menutup lembut bibir Eko.

“Apakan itu menjadi seperti itu gara-gara aku?” ucap Yanti dengan muka yang memerah dan tatapan yang berubah dari ekspresi sedihnya tadi.

Eko benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka berdua saling menatap untuk beberapa saat.

Tanpa mereka sadari, perlahan bibir keduanya mulai saling mendekat, seakan memotong jarak. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Mereka memilih pasrah kepada nalurinya dan menyerahkan semuanya kepada keadaan.

Dalam waktu singkat, bibir mereka sudah saling bertemu. Bukan sekadar kecupan biasa, namun bibir mereka mulai beradu. Suara napas yang mulai memburu memenuhi ruangan itu.

Tangan Eko mulai bergerak liar menyusuri setiap jengkal lekuk tubuh Yanti. Tidak ada perlawanan dari Yanti. Malah, gerakan dari Yanti terkesan lebih mengimbangi. Belaian halus dari tangan Yanti membuat Eko semakin kehilangan kendali.

Di tengah suasana yang semakin intens, tangan Yanti—tanpa disadari Eko—mulai mengarah ke arah batang yang sedari tadi sudah tidak bisa dia kendalikan lagi. Eko menahan napas, seakan tidak dapat menahan sentuhan lembut dari tangan Yanti.

“Eko, ini keras banget…”

Muka Eko memerah. Dia ingin berhenti karena sadar dengan risikonya, namun hasratnya mengalahkan logikanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 7 : Pertemuan yang Tidak Bisa Ditolak

    Yanti menatap lelaki itu dengan mata membesar. Jantungnya seperti berhenti sesaat begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya.Rudi.Tetangga depan rumah.Teman dekat Herman.Orang terakhir yang ingin ia temui dalam keadaan seperti ini.Mereka berdiri di sudut warung kopi kecil yang sepi, hanya ada satu lampu redup menggantung di atas kepala. Suasana pagi masih dingin, tetapi tengkuk Yanti terasa panas.“Jadi… kamu orangnya,” bisik Yanti, suaranya nyaris bergetar.Rudi hanya mengangguk pelan. Wajahnya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang memegang rahasia sebesar itu.“Yanti," katanya perlahan, "kalau aku memang mau ngasih tahu semua ke Herman… aku gak mungkin ngajak kamu ketemu. Aku tinggal kirim fotonya, selesai.”Yanti menelan ludah. Tangannya tanpa sadar meremas bagian bawah tasnya.“Lantas… apa yang kamu mau, Rud?” Nada paniknya muncul. “Kamu mau uang? Atau kamu mau… ngancam aku? Kamu mau aku hancur?”Rudi menghela napas panjang, seperti kesal karena Yanti tidak paham ma

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 6 : Bayangan Dari Sebuah Rahasia

    Eko akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Yanti menatapnya, matanya masih hangat, masih penuh sisa-sisa keterikatan dari momen yang baru saja mereka lewati.“Ko… kamu yakin nggak mau istirahat dulu di sini?” suara Yanti lembut, tapi ada sedikit nada menahan.Eko menggeleng pelan.“Kalau saya nginap, nanti malah makin gila, Bu,” ucapnya sambil tersenyum lemah. “Lagipula… bahaya. Bu Yanti juga tau.”Yanti memandangnya lama, seolah ingin menyimpan wajah Eko dalam ingatan.Ada sedikit kecewa, sedikit rindu, tapi juga pengertian. Hubungan terlarang seperti ini memang tidak memberi ruang terlalu banyak untuk kelembutan yang terang-terangan.“Baiklah,” kata Yanti akhirnya, meski jelas ia ingin berkata sebaliknya. “Hati-hati pulang.”Eko hanya mengangguk. Tangannya sempat ingin menggenggam tangan Yanti, tapi ia menahan. Ia tahu, kalau ia menyentuhnya lagi, semuanya akan kembali terbakar.Dia keluar dari rumah Yanti dengan langkah berat—b

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 5 : Malam yang Mengundang Bahaya

    Eko hanya terdiam, seolah otaknya kehilangan kemampuan untuk memutuskan harus bereaksi bagaimana. Napasnya nyaris tak terdengar, seperti tubuhnya menahan hidup-hidup semua detik yang lewat.Yanti berdiri di depannya—terlalu dekat… terlalu hangat… terlalu berbahaya.Godaan itu bukan lagi sekadar getaran samar; sekarang ia terasa seperti gelombang yang menampar pertahanan Eko satu per satu. Dan pertahanan itu jelas… sudah di ujung tanduk.“Ko…” bisik Yanti sambil mengangkat dagu Eko dengan dua ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi efeknya mematikan.“Kamu nggak sadar ya… tatapan kamu dari tadi bikin aku gila.”Eko buru-buru menunduk. Pipinya langsung panas. Sekarang dia tahu—ternyata sejak tadi Yanti sadar betul ia memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.“B-bu… saya nggak—”Yanti tidak memberinya ruang untuk lari. Dia maju setengah langkah saja, tapi cukup membuat dada Eko seperti kena hantaman listrik.“Kamu selalu bilang takut… bilang ini salah…” Mata Yanti terkunci pada matanya, lama…

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 4 : Langkah yang Terlambat Untuk Mundur

    Eko berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup kacau.Yanti tersenyum samar, langkahnya pelan… hampir seperti melayang.“Masuk dulu, Ko… malam dingin.”Nada suaranya lembut, bukan memaksa—lebih seperti ajakan yang hangat.Eko menelan ludah, lalu melangkah masuk. Bau harum tubuh Yanti langsung memeluknya.Di ruang tamu, hanya lampu kecil yang menyala, menciptakan bayangan lembut di wajah Yanti.Dia duduk di sofa, menepuk tempat di sampingnya.“Aku cuma… butuh ditemani.”Eko ragu, tapi dia duduk juga. Bahu mereka saling bersentuhan.Yanti merapikan rambutnya ke belakang telinga, gerakannya pelan… namun fatal.“Ko,” katanya lebih pelan lagi. “Tadi siang… kamu nggak bohong kan? Kamu beneran suka?”Eko menoleh. Jarak mereka terlalu dekat.Dalam hati Eko berteriak untuk pergi, tapi bibirnya hanya bisa bergumam:“Bu… jangan tanyain itu malam-malam begini… saya bisa kebablasan.”Yanti tersenyum kecil, mata menunduk.“Aku nggak akan marah kalau kamu kebablasan, Ko.”Pintu tertutup perla

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 3 : Panggilan tengah Malam

    Setelah beberapa saat terbaring dengan tubuh Yanti dalam pelukannya, rasa bersalah mulai merayapi pikiran Eko.“Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja meniduri istri orang lain…”Dada Eko terasa sesak. Dalam hatinya ia ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh sebelum semuanya semakin salah. Namun lembutnya kulit Yanti… aroma tubuhnya yang hangat… semua itu membuat langkahnya seolah terkunci. Sulit untuk berpaling. Sulit untuk pergi.“Kenapa, Ko?” suara Yanti terdengar pelan, namun menggoda. “Apa kamu nggak senang? Atau… kamu nggak puas sama aku? Apa aku terlalu tua buat jadi selera kamu?”Eko langsung menggeleng. “Oh, tidak, Bu… bukan begitu. Kamu—kamu sangat memuaskan. Bahkan… kamu luar biasa tadi.”Ia menelan ludah, memalingkan wajah. “Cuma… aku rasa kita nggak boleh lakuin ini lagi.”Ia tak berani menatap Yanti. Karena setiap kali matanya bertemu milik perempuan itu, kekuatannya runtuh.Yanti menarik napas panjang, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukannya. “Bai

  • Rahasia di Rumah Kos   bab 2 : Pertahanan yang Runtuh

    Eko menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang hampir hilang. Godaan itu begitu nyata, begitu dekat. Namun, bayangan Herman dan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap memaksanya untuk berkata."Tidak, Bu... Yanti. Kita tidak boleh," ucap Eko dengan suara serak, sambil mencoba menarik tubuhnya mundur sedikit. Tangannya yang tadi memeluk erat, kini melunak. "Ini... ini salah."Yanti terkejut. Matanya yang tadi berkaca-kaca kini memancarkan cahaya berbeda—sebuah keberanian yang nekat. "Salah?" bisiknya, sinis. "Apa yang lebih salah dari pernikahan yang hanya menyisakan bentakan dan penghinaan?""Ibu sedang emosi. Kamu akan menyesali ini nanti. Kita bisa selesaikan ini ketika kamu sudah lebih tenang," bantah Eko, mencoba berdiri dari sofa.Namun, dengan gerakan yang lincah, Yanti justru mendekatkan diri lagi. Tangannya yang halus mencegah Eko untuk pergi, menahannya di tempat duduk."Jangan pergi, Ko," desaknya, suaranya lembut namun penuh arti. "Aku tidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status