LOGINSetelah beberapa saat terbaring dengan tubuh Yanti dalam pelukannya, rasa bersalah mulai merayapi pikiran Eko.
“Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja meniduri istri orang lain…”
“Kenapa, Ko?” suara Yanti terdengar pelan, namun menggoda. “Apa kamu nggak senang? Atau… kamu nggak puas sama aku? Apa aku terlalu tua buat jadi selera kamu?”
Eko langsung menggeleng. “Oh, tidak, Bu… bukan begitu. Kamu—kamu sangat memuaskan. Bahkan… kamu luar biasa tadi.”
Ia tak berani menatap Yanti. Karena setiap kali matanya bertemu milik perempuan itu, kekuatannya runtuh.
Yanti menarik napas panjang, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukannya. “Baiklah, Ko. Terserah kamu saja. Aku cuma istri seseorang… dan kamu masih muda. Apa yang membuatku yakin aku bisa memuaskan kamu?”
Mata Yanti yang berkaca-kaca membuat keyakinan Eko goyah lagi. Hatinya bergetar.
“Kalau cuma butuh teman cerita… kamu bisa hubungin aku kapan aja, Bu,” ucap Eko akhirnya, pelan namun tulus. “Kalau aku ada waktu, pasti aku dengerin. Dan… untuk yang tadi… aku harap kita bisa sama-sama jaga rahasia ini.”
Yanti hanya mengangguk tanpa suara.
Beberapa detik kemudian, Eko akhirnya memaksa diri untuk berdiri dan meninggalkan rumah itu. Ia berjalan pulang ke kamar kosnya dengan langkah berat. Begitu pintu kos tertutup, ia langsung menjatuhkan diri ke kasur, seolah seluruh tenaganya terkuras habis.
Namun bukannya tidur, bayangan tentang Yanti terus menghantui kepalanya. Setiap sentuhan. Setiap helaan napas. Setiap tatapan.
“Ya Tuhan, apa yang aku lakukan…” gumamnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan. “Tapi… aku juga nggak bisa bohong. Dia benar-benar cantik… lembut… wangi… Entahlah. Kenapa suaminya memperlakukan dia seperti itu? Apa dia buta?”
Kelelahan akhirnya mengalahkan kegelisahannya. Eko pun tertidur hingga sore hari.
Perlahan matahari tenggelam, meninggalkan langit yang ditelan gelap. Malam merayap naik—dan jam hampir menunjukkan tengah malam. Herman, suami Yanti, benar-benar tidak pulang.
Eko yang sedari tadi rebahan sambil memainkan ponselnya tiba-tiba terhenti ketika sebuah notifikasi muncul.
Dengan sedikit ragu, Eko membuka pesan itu.
Eko menelan ludah.
“Tidak, dia cuma butuh teman cerita. Kenapa pikiranku malah ke arah lain? Sadarkan dirimu, Ko!”
“Bu Yanti, maaf. Kalau tengah malam begini… mau ketemu di mana? Aku takut kalau ada yang lihat, nanti menimbulkan kecurigaan.”
Yanti tersenyum kecil membaca balasan itu.
Anak ini… polos. Tapi kalau sudah terbawa nafsu, bisa berubah seperti kuda liar, batinnya.
Ia mengetik cepat.
Balasan itu membuat Eko membeku beberapa detik. Dadanya berdebar tak karuan. Ada gelombang hangat yang naik begitu cepat, membuat pikirannya sulit jernih.
Ia bangkit. Gelisah.
Lama-lama, keputusan itu muncul sendiri.
Ia mengambil jaket tipis dan melangkah keluar kosnya.
“Apa yang aku lakukan…? Menyelinap ke rumah orang tengah malam untuk menemui istrinya… Ya Tuhan, apa aku sudah gila?”
Ketika ia sampai di halaman rumah Yanti, pintu utama tampak sedikit terbuka—seperti memang menunggunya.
Dan saat Eko benar-benar mencapai ambang pintu itu…
Dia membeku.
Yanti berdiri di sana.
Wajahnya tersenyum… tapi matanya jelas memanggil.
Jantung Eko seolah berhenti sesaat—lalu berdetak keras, cepat, tak terkendali.
Dan sebelum Eko sempat menarik napas, Yanti melangkah satu langkah mendekat
Yanti menatap lelaki itu dengan mata membesar. Jantungnya seperti berhenti sesaat begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya.Rudi.Tetangga depan rumah.Teman dekat Herman.Orang terakhir yang ingin ia temui dalam keadaan seperti ini.Mereka berdiri di sudut warung kopi kecil yang sepi, hanya ada satu lampu redup menggantung di atas kepala. Suasana pagi masih dingin, tetapi tengkuk Yanti terasa panas.“Jadi… kamu orangnya,” bisik Yanti, suaranya nyaris bergetar.Rudi hanya mengangguk pelan. Wajahnya tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang memegang rahasia sebesar itu.“Yanti," katanya perlahan, "kalau aku memang mau ngasih tahu semua ke Herman… aku gak mungkin ngajak kamu ketemu. Aku tinggal kirim fotonya, selesai.”Yanti menelan ludah. Tangannya tanpa sadar meremas bagian bawah tasnya.“Lantas… apa yang kamu mau, Rud?” Nada paniknya muncul. “Kamu mau uang? Atau kamu mau… ngancam aku? Kamu mau aku hancur?”Rudi menghela napas panjang, seperti kesal karena Yanti tidak paham ma
Eko akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil. Yanti menatapnya, matanya masih hangat, masih penuh sisa-sisa keterikatan dari momen yang baru saja mereka lewati.“Ko… kamu yakin nggak mau istirahat dulu di sini?” suara Yanti lembut, tapi ada sedikit nada menahan.Eko menggeleng pelan.“Kalau saya nginap, nanti malah makin gila, Bu,” ucapnya sambil tersenyum lemah. “Lagipula… bahaya. Bu Yanti juga tau.”Yanti memandangnya lama, seolah ingin menyimpan wajah Eko dalam ingatan.Ada sedikit kecewa, sedikit rindu, tapi juga pengertian. Hubungan terlarang seperti ini memang tidak memberi ruang terlalu banyak untuk kelembutan yang terang-terangan.“Baiklah,” kata Yanti akhirnya, meski jelas ia ingin berkata sebaliknya. “Hati-hati pulang.”Eko hanya mengangguk. Tangannya sempat ingin menggenggam tangan Yanti, tapi ia menahan. Ia tahu, kalau ia menyentuhnya lagi, semuanya akan kembali terbakar.Dia keluar dari rumah Yanti dengan langkah berat—b
Eko hanya terdiam, seolah otaknya kehilangan kemampuan untuk memutuskan harus bereaksi bagaimana. Napasnya nyaris tak terdengar, seperti tubuhnya menahan hidup-hidup semua detik yang lewat.Yanti berdiri di depannya—terlalu dekat… terlalu hangat… terlalu berbahaya.Godaan itu bukan lagi sekadar getaran samar; sekarang ia terasa seperti gelombang yang menampar pertahanan Eko satu per satu. Dan pertahanan itu jelas… sudah di ujung tanduk.“Ko…” bisik Yanti sambil mengangkat dagu Eko dengan dua ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi efeknya mematikan.“Kamu nggak sadar ya… tatapan kamu dari tadi bikin aku gila.”Eko buru-buru menunduk. Pipinya langsung panas. Sekarang dia tahu—ternyata sejak tadi Yanti sadar betul ia memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.“B-bu… saya nggak—”Yanti tidak memberinya ruang untuk lari. Dia maju setengah langkah saja, tapi cukup membuat dada Eko seperti kena hantaman listrik.“Kamu selalu bilang takut… bilang ini salah…” Mata Yanti terkunci pada matanya, lama…
Eko berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup kacau.Yanti tersenyum samar, langkahnya pelan… hampir seperti melayang.“Masuk dulu, Ko… malam dingin.”Nada suaranya lembut, bukan memaksa—lebih seperti ajakan yang hangat.Eko menelan ludah, lalu melangkah masuk. Bau harum tubuh Yanti langsung memeluknya.Di ruang tamu, hanya lampu kecil yang menyala, menciptakan bayangan lembut di wajah Yanti.Dia duduk di sofa, menepuk tempat di sampingnya.“Aku cuma… butuh ditemani.”Eko ragu, tapi dia duduk juga. Bahu mereka saling bersentuhan.Yanti merapikan rambutnya ke belakang telinga, gerakannya pelan… namun fatal.“Ko,” katanya lebih pelan lagi. “Tadi siang… kamu nggak bohong kan? Kamu beneran suka?”Eko menoleh. Jarak mereka terlalu dekat.Dalam hati Eko berteriak untuk pergi, tapi bibirnya hanya bisa bergumam:“Bu… jangan tanyain itu malam-malam begini… saya bisa kebablasan.”Yanti tersenyum kecil, mata menunduk.“Aku nggak akan marah kalau kamu kebablasan, Ko.”Pintu tertutup perla
Setelah beberapa saat terbaring dengan tubuh Yanti dalam pelukannya, rasa bersalah mulai merayapi pikiran Eko.“Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja meniduri istri orang lain…”Dada Eko terasa sesak. Dalam hatinya ia ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh sebelum semuanya semakin salah. Namun lembutnya kulit Yanti… aroma tubuhnya yang hangat… semua itu membuat langkahnya seolah terkunci. Sulit untuk berpaling. Sulit untuk pergi.“Kenapa, Ko?” suara Yanti terdengar pelan, namun menggoda. “Apa kamu nggak senang? Atau… kamu nggak puas sama aku? Apa aku terlalu tua buat jadi selera kamu?”Eko langsung menggeleng. “Oh, tidak, Bu… bukan begitu. Kamu—kamu sangat memuaskan. Bahkan… kamu luar biasa tadi.”Ia menelan ludah, memalingkan wajah. “Cuma… aku rasa kita nggak boleh lakuin ini lagi.”Ia tak berani menatap Yanti. Karena setiap kali matanya bertemu milik perempuan itu, kekuatannya runtuh.Yanti menarik napas panjang, lalu perlahan melepaskan diri dari pelukannya. “Bai
Eko menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang hampir hilang. Godaan itu begitu nyata, begitu dekat. Namun, bayangan Herman dan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap memaksanya untuk berkata."Tidak, Bu... Yanti. Kita tidak boleh," ucap Eko dengan suara serak, sambil mencoba menarik tubuhnya mundur sedikit. Tangannya yang tadi memeluk erat, kini melunak. "Ini... ini salah."Yanti terkejut. Matanya yang tadi berkaca-kaca kini memancarkan cahaya berbeda—sebuah keberanian yang nekat. "Salah?" bisiknya, sinis. "Apa yang lebih salah dari pernikahan yang hanya menyisakan bentakan dan penghinaan?""Ibu sedang emosi. Kamu akan menyesali ini nanti. Kita bisa selesaikan ini ketika kamu sudah lebih tenang," bantah Eko, mencoba berdiri dari sofa.Namun, dengan gerakan yang lincah, Yanti justru mendekatkan diri lagi. Tangannya yang halus mencegah Eko untuk pergi, menahannya di tempat duduk."Jangan pergi, Ko," desaknya, suaranya lembut namun penuh arti. "Aku tidak







