Kabar duka datang dari rumah maduku. Sudah satu bulan, suamiku yang juga suaminya tidak pulang dan memilih tinggal di kediaman istri keduanya. Kini pulang-pulang tinggallah nama.
"Mpok! Mpok!" Teriak Mak Sumi, tetanggaku sebelah rumah.
"Ada apa Mak, teriak-teriak begitu. Masih pagi ini," jawabku sedikit kesal. Takut kalau suaranya sampai membangunkan Aliya.
Aku sedang menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Jika Aliya sampai bangun, maka pekerjaan ini akan tertunda entah sampai kapan.
"Maaf, maaf. Tapi ini urgent Mpok! Urgent! Penting banget!" Tambahnya tak kalah heboh.
"Iye iye. Ada apa Mak, memangnya ada yang lebih penting dari rejeki nomplok?" Aku bergurau.
"Ya jelas ada. Banyak yang lebih penting dari sekedar duit," ucap Mak Sumi. Lagaknya ia mulai akan berceramah. Aku segera mencegah dengan menanyakan tujuannya heboh pagi-pagi.
"Itu Mpok, si anu ...." Mak Sumi tergagap. Ia mendadak pucat. Aku mulai memasang wajah tidak tenang.
"Anu apa Mak, jangan gagap begitu. Aku enggak paham."
"Anu, Mpok. Anuuu."
"Iya, anu apa Mak? Anu siapa, kenapa?" Aku mulai tidak sabar.
Mak Sumi terdiam, dia berkali-kali menarik napas dalam. Setelah merasa tenang, dia melanjutkan ucapannya.
"Anu Mpok, anuu. Suamimu ...." Mak Sumi diam lagi.
"Suamiku? Ada apa sama Mas Farhan, Mak? Ada apa, cepat kasih tau aku. Jangan bikin penasaran gitu to." Mendadak aku jadi khawatir sama Mas Farhan.
Laki-l*ki yang pernah sangat aku cintai, tapi tega menduakanku dengan sahabatku sendiri, saat aku sedang koma setelah melahirkan Aliya.
Aku hampir meregang nyawa di rumah sakit karena melahirkan anaknya. Eh, dia malah nyambal terong di rumah.
"Ya Allah, itu Mpok. Maafkan suamimu itu, karena sekarang dia sudah berpulang. Baru saja tadi fajar aku mendapatkan kabarnya," ucap Mak Sumi. Ia bernapas lega setelah berhasil mengatakannya. Meski masih sedikit ngos-ngosan.
'Astaqfirullah hal adzim, innalilahi wa innailaihi roji'un.' batinku.
"Ah, yang bener Mak. Sepertinya dia itu sehat-sehat saja. Orang kemarin aku masih sempet lihat dia lagi uwu uwuan sama bini barunya." Aku masih tidak percaya. Karena kemarin aku masih melihatnya beradegan romantis sama si Ami, bini barunya itu.
"Bener Ati, baru tadi pagi aku mendengarnya dari pamanmu. Waktu aku lagi nyangkul di ladang. Aku saja kaget, malah semalem aku masih lihat si Farhan suamimu itu, minum di warungnya Bang Somat," jelas Mak Sumi. Sepertinya ia sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Aku ingin memastikannya, tapi tiba-tiba rombongan ibu-ibu membawa baskom mengalihkan perhatianku.
"Ibu-ibu, kalian mau pada kemana!?" seruku, membuat ibu-ibu itu berhenti.
"Eh, Hayati! Kenapa kamu masih santai-santai! Si Farhan, suamimu itu meninggal."
Deg!
Jantungku seperti meloncat keluar. Suamiku, Mas Farhan. Ia meninggal, benarkah?
Ibu-ibu tadi sudah berlalu pergi. Mak Sumi juga pamit mau melayat.
"Ya sudah Hayati, kamu yang sabar ya. Aku pamit dulu, mau melayat," ucap Mak Sumi. Aku hanya diam, kemudian mengangguk.
Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Mas Farhan yang meninggal, tapi aku yang seperti kehilangan nyawa.
Cucian yang belum selesai kujemur aku tinggal begitu saja, biar saja nanti aku jemur lagi.
Sampai di dalam rumah, gawai yang aku letakkan di samping televisi tidak berhenti berbunyi.
Aku mendekatinya, kemudian meraih benda pipih itu di tangan.
Banyak sekali panggilan tidak terjawab dari ibu mertuaku, ada juga beberapa panggilan dari Aminah. Sahabatku yang kini telah menjadi maduku.
"Halo." Aku angkat telepon dari ibu mertuaku.
"Halo, Hayati. Cepatlah datang ke rumah Aminah. Maafkanlah anak Ibu, Nduk. Suamimu, Nak Farhan sudah berpulang ke Rahmatullah." Ibu mertuaku berucap dengan suara sengau.
Aku diam, masih belum siap berkata-kata.
"Nduk, kamu masih di sana?" tanya mertuaku. Karena ucapannya belum juga kujawab.
"Masih, Bu." Aku berhasil menggerakkan lidahku yang terasa kelu.
"Cepat ke sini, Nduk. Ibu tunggu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sambungan terputus. Ternyata benar, Mas Farhan telah berpulang.
***
Next?
Aku mengusap air mata perlahan. Mobil terus membawaku ke arah matahari terbit. Meninggalkan tempat pemakaman Mas Farhan. Terus melaju membelah jalanan yang berembun.Ada sesuatu yang terasa jatuh dari dalam hatiku. Seperti beban yang luruh bersamaan saat mobil sudah melewati perbatasan desa.Taksi berhenti di sebuah pom bensin, kemudian kembali melaju ke arah timur. Lalu berbelok ke selatan, ke sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Itulah sebabnya supir sempat berhenti cukup lama di ujung gang. Menunggu mobil yang di sana keluar.Aku menghembuskan napas lega ketika mobil berhenti di sebuah hunian mungil yang aku beli beberapa tempo lalu."Benar di sini rumahnya, Mbak?" tanya pak supir.Aku hanya mengangguk. Kemudian mulai turun dari mobil.Aku langsung membuka rumah. Supir taksi yang menurunkan barang
Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online.Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya.Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami.Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana.Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristira
Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya.Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku.Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami.Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku."Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk.Aku tidak merespon."Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak.Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku."Bu, Ati pulang dulu ya.""Lo, kenapa
"Bayu?"Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku."Maaf," ucapku menunduk."Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara."Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak."Kenapa?" Ia justru bertanya padaku."Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?""Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada.Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak.'Apa yang
Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan."Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat."Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir."Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?"Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit.Setelah mengam
Akibat Ami yang mengamuk di rumahku pagi-pagi, sekarang aku harus terlibat sidang keluarga yang sama sekali tidak penting.Wanita itu memang tidak tahu malu, menjadi sahabatnya bertahun-tahun. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalinya."Ada apa Ami? Kenapa kamu mengamuk di rumah Hayati?" ibu mertuaku bertanya.Ami diam, tidak menjawab."Hayati, jelaskan pada kami duduk perkaranya. Kalian berdua sama-sama istri mendiang putraku, Farhan. Seharusnya kalian sibuk mendoakan suami yang baru dua hari berpulang." Ibu menatapku tajam. Seolah ini adalah salahku."Sebaiknya, Ibu tanyakan saja pada Aminah. Apa maksudnya datang pagi-pagi, dan mengatakan bahwa akulah penyebab kematian Mas Farhan," kataku."Memang benar, kan. Yang ada di sini juga tahu. Kalau kamu yang nyumpahin Mas Farhan hari itu!" seru Ami."Diam, Ami