"Hah, maksud Bu Rena?" tanya Melody dengan terkejut.
Rena membenarkan posisi duduknya lebih dekat dengan Melody. Ia menatap tajam ke arah Melody."Apa kamu mengenal Andrean? Andrean Putra Zahari," tanya Rena mengulang."Upik abu seperti saya mana mungkin mengenal anak orang tersohor itu, Bu. Rasanya seperti remahan rengginan saya kalau mengenalnya," jawab Melody dengan kekehan ringan."Heh! Seharusnya kamu bisa mengenalnya, Mel. Emm ...." Rena terlihat berpikir sangat keras.Entah apa yang ada di kepalanya saat itu, mengapa wanita itu terlihat lebih menyesal jika Melody tidak mengenal Andrean."Bu Rena, Memangnya ada apa dengan Tuan muda Andrean?" celetuk Melody dengan ragu."Tidak apa-apa, oh ya! Kemarin kamu ke mana? Baju yang kamu jahit itu harus selesai besok, apa kamu keberatan!?" todong tanya Rena dengan menatap lekat Melody.Deg!Deadline yang maju dengan tiba-tiba, rasanya Melody ingin menghilang dari hadapan Rena saat itu juga."Seharusnya bisa, Bu. Selama tidak ada kendala serius dari ... Alat atau pun," ucapannya terhenti karena Melody bingung kalimat apa yang tepat untuk membuat alasan."Jangan terlalu banyak alasan, Mel. Kamu sudah ijin tidak masuk kerja dadakan, aturan utama di butik ini harus bisa ijin h-1," tukas Rena dengan menatap Melody tajam."Iya, Ibu. Maafkan Melody, jujur kemarin itu saya tidak bisa meninggalkan orang tua saya. Aduh gimana menjelaskannya ya," Melody terdiam sejenak."Sudah-sudah, kembalilah bekerja dan selesaikan jahitanmu itu besok!" tegas Rena tanpa basa-basi."Siap laksanakan, Bu Rena. Terima kasih banyak," ucap Melody, ia meninggalkan Rena dan keluar ruangan.Dengan wajah masam itu, Melody keluar ruangan Rena. Tatapan tajam penuh tanya dari Dasya sudah menjadi santapan siangnya."Kamu kena omel ya, Mel?" tanya Dasya dengan penuh tanda tanya pada raut wajahnya."Sedikit, aneh banget Bu Rena. Udah aku mau fokus jahit, ini deadline besok! ketus Melody dengan kesalnya.Melody melanjutkan pekerjaannya dengan penuh semangat, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Menghela nafas gusar, matanya menatap ke arah jam dinding. Pukul 4 sore, 15 menit lagi jam pulang sudah tiba."Jadi, aku harus menghubungi Baron kali ini?" tanya Melody pada dirinya sendiri.'Permisi, Baron. Ini Melody, aku diminta Mas Andrean menghubungimu. 15 menit lagi aku pulang, terima kasih.'Pesan itu terkirim.Tidak berselang lama dari itu, sebuah pesan masuk dengan emoticon jempol dari Baron."Mel, pulang sama siapa?" tanya Dasya menoleh pada Melody di sampingnya."Ada temen mau jemput. Maaf ya, aku udah gak naik bus atau angkot."Melody sibuk merapikan beberapa alat dan hasil jahitannya. Dengan sangat lelah ia hanya bisa diam sepanjang prepare pulang."Temen? Mel, sejak kapan kamu punya teman laki-laki,?" tanya Dasya to the poin.Deg!Melody baru saja menyadari kejanggalan itu, benar saja ia memang tidak pernah dekat atau pun berteman dengan lawan jenis."Jangan-jangan, itu pacarmu yang kamu katakan teman?" todong tanyaa Dasya tanpa ragu.Suara melengking milik Dasya membuat beberapa karyawan menatapnya nyalang. Jika Rena ada di sana, mungkin Dasya akan terhimpit masalah."Kok suka ngawur! Yo enggak 'toh!" hardik Melody dengan logat medhoknya."Hahaha, logat medhokmu balik lagi tuh. Jauh-jauh merantau ke ibu kota eh logat desanya masih nempel aja," ledek Dasya dengan kekehan keras."Hei, aku udah di ibu kota sejak umur 10 tahun, hanya saja kalau di rumah kami memakai bahasa Jawa. Ya kamu tahu sendirilah," jelas Melody dengan menepuk pundak kanan Dasya dengan keras."Tanganmu itu kerasnya kaya atlet tinju!" gerutu Dasya dengan tertawa.Tet tet tet!Jam pulang kerja sudah berbunyi nyaring memekakkan telinga karyawan. Butik milik Rena memang sangat ketat untuk aturan. Tidak ada lembur dan jika terpaksa karyawan harus menginap."Akhirnya jam pulang, kalau kamu tahu? Aku sudah ingin merebahkan tubuhku ini di kasur empuk!" seru Melody dengan wajah sumringah."Halahhh, Mel. Sejak kapan kasur rumahmu empuk?" celetuk tanya Dasya dengan meledek."Aku baru beli springbad betewe, hahaha. Biasalah baru dapat rejeki nomplok!" seru Melody pada Dasya. Ia melenggang meninggalkan sahabatnya itu tanpa pamit.Setelah keluar butik, ia sempat melihat sekeliling apakah situasinya sudah aman. Beberapa kali manik matanya menatap ke sana-kemari."Harus berapa lama aku begini sebelum pulang, apalagi kalau Bu Rena sedang ada di butik. Pasti dia bisa melihat gerak-gerikku dari atas sana," tunjuknya pada sebuah jendela kaca berukuran besar di ruangan Rena."Nona Melody, di sini!" seru Baron keras.Tangannya melambai tinggi pada Melody, sontak ia berlari ke arah Baron."Huh, aman! Syukurlah, ayo pulang," ucap Melody lirih."Kita berkunjung ke kantor tuan terlebih dahulu," ujar Baron, sembari menarik pedal gas mobil Pajero hitam itu."Loh?"Tanya Melody menggantung, ucapan Baron tidak sama dengan yang disampaikan Andrean saat di telepon.Melody hanya acuh tak acuh, ia hanya diam di kursi penumpang. Menatap ke jalanan yang cukup ramai dan macet."Nona, pasti Anda bertanya-tanya 'kan, kenapa kita ke kantor tuan muda dulu?" tanya Baron secara tiba-tiba."Karena tuan muda tidak jadi lembur dan urusannya sudah selesai dengan cepat," jelas Baron. Bahkan ia tidak menunggu Melody merespon tanyanya.Melody mengangguk paham maksud Baron, sepanjang perjalanan menuju kantor. Matanya tidak henti-hentinya terpesona, bagaimana tidak?Area perkantoran Andrean memang terletak di pusat kota J. Di mana semua infrastrukturnya dibuat dengan penuh estetika."Nona boleh turun atau menunggu di sini saja," ucap Baron memberi tawaran."Aku di sini saja, kamu saja yang turun menjemput Mas Andrean," ujar Melody dengan malas.Akhirnya, Baron turun dari mobil, menyambut Andrean yang masih ada di dalam kantor. Tidak lama dari itu, pria dengan jas hitam yang sangat melekat di badan kotak-kotaknya. Terlihat keluar dengan raut wajah yang masam.'Apa dia menunggu terlalu lama?' batin Melody bertanya-tanya.Andrean masuk ke dalam mobil, sekilas ia menatap ke arah Melody."Mel, bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apa kamu kelelahan?" berondong tanya dari Andrean.Dengan spontan dan tidak sopan, pipi Melody bersemu merah layaknya kepiting rebus.Malu!"Cukup lelah, Mas Suami. Hari ini atasanku juga mengomel karena ... Aku ijin dadakan dan besok adalah deadline baju yang aku jahit," jelas Melody dengan sedikit berpikir."Mel, dengarkan aku ya! Sekali saja, tolong jangan terlalu lelah. Nanti aku akan bilang ke Rena untuk memberimu pekerjaan yang mudah dan-" penuturan Andrean terhenti, saat ia menyadari tanpa sengaja menyebut nama 'Rena' dengan lantangnya."Mas, kamu kenal Bu Rena?""Eng-enggak, siapa itu Rena?" tanya Andrean tergagap. "Oh, sepertinya aku salah dengar. Terima kasih ya, mas suami. Aku tidak menyangka akan mendapat perhatian seperti ini," ucap Airina dengan tersipu malu. "Iya, sama-sama. Aku ingin kamu bisa menjaga diri agar program hamil kita berjalan lancar," ujar Andrean dengan menekan kalimat program hamil. Melody merasa tercengang! Lagi-lagi Andrean memperhatikannya hanya karena program hamil yang mereka jalani. Beberapa kali Andrean dan Melody membicarakan tentang ini, namun nihil ia tidak paham sama sekali. "Iya, Mas. Jadi, kita kapan ke dokter kandungan?" todong tanya Melody. "Mel, malam ini aku tidak bisa menemanimu pergi ke dokter. Aku harus menemani Nadea ke acara temannya, kamu keberatan gak berangkat ke dokter sama Baron?" jelas Andrean dengan senyum yang tidak beralih dari wajahnya yang jenjang itu. "Mas, kita 'kan harus cek bersama, em maksud aku ... Bukan hanya aku yang trs keadaan rahimku, tapi kamu juga harus trs ...," ucap
"Mas, aku tidak basa-basi kali ini, aku serius dengan ucapanku. Perkara program hamil itu kita bukan aku saja!" pekik Melody tanpa ragu. Tapapan Andrean yang berubah, dengan bibir yang terkatup rapi tanpa celah. Manik matanya hanya fokus pada sosok Melody di hadapannya. "Batalkan saja ke dokter hari ini, besok sebelum aku ke luar kota kita ke dokter dulu. Puas?" hardik Andrean keras. Deg! Sontak Melody menatap nanar ke arah Andrean, sebuah bentakan yang melayang pada dirinya membuat ia terdiam pasi. "Kenapa diam? Katanya harus kita berdua kan?" todong tanya Andrean yang terdengar seperti sindiran. "Ya sudah, kembalilah ke kamarmu. Aku malam ini tidak akan datang, tidak perlu menunggu," ujarnya menambahkan. "Baik, Mas. Terima kasih," Melody melangkahkan kakinya ke kamar. Dengan perasaan yang cukup hancur, ia memasuki kamar dengan penuh kekesalan. Air mata yang sempat ia tahan itu luruh, membasahi pipinya yang ranum. "Jika bukan untuk ibu dan adikku, aku tidak mau menjadi seora
"Mas, hentikan! Aku tidak suka kamu seperti saat ini," gerutu Melody keras. "Apa yang tidak kamu suka, Mel? Ini atau ... Ini? Padahal malam itu kamu seperti menikmati sekali," ucap Andrean dengan tangan yang tidak bisa diam, apalagi tangan besarnya itu menjamah setiap lekuk tubuh Melody dengan asal. "Mas, aku mohon hentikan!" pekik Melody keras. Malam itu berhasil terlalui dengan tangis pecah Melody, entah apa yang dilakukan Andrean saat itu. Setiap tindakannya seolah membuat Melody merasa sakit. 'Kamu benar-benar pria gila, mas!' hardik Melody dalam batinnya. Manik matanya menggulir pada sosok pria di sampingnya, ia terlelap dengan sangat pulang. Setelah permainan malam itu selesai, entah apa yang terjadi padanya. "Aku merasa ternodai, tapi ... Ini sudah masuk dalam perjanjian itu, bagaimana aku bisa menolaknya!" gerutu Melody dengan penuh penyesalan. "Aku butuh uang, jadi aku harus melakuka. Apa pun meskipun ini menyangkut harga diriku sebagai wanita," gumam Airina lirih. "
Deg! Suara bariton dari pria di sampingnya itu terdengar memekakkan telinga. Seorang pria yang berani mengancam orang lain dengan kehilangan pekerjaannya? "Sombong sekali anak tunggal Pak Zahari ini, ayo kita pergi saja!" celetuk salah satu wanita pengunjung rumah sakit itu. "Mas, tidak perlu berlebihan seperti itu, lagian ...." Andrean tidak mendengarkan ucapan Melody, ia menggandeng tangan Melody ke receptionis. "Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita cantik bernama Angel itu. Na yang cantik tertera pada sisi kanan dadanya "Aku ingin tes dan konsultasi tentang program hamil dengan dokter. Apa ada dokter yang bisa pagi ini?" Andrean mulai memasang wajah masamnya lagi, di hadapannya resepsionis itu mulai mengulas senyum tipis. "Ada, Tuan. Silakan Anda menunggu antrian terlebih dahulu," ucap ramah Angel pada Andrean. "Aku tidak bisa menunggu, tolong berikan aku pada dokter VVIP yang ada di sini. Katakan saja Andrean putra Zahari yang ingin berkonsultasi!" uj
"Hah? Mel, kamu ...?" Dasya masih menerka-nerka apa yang ia dengar. Apa telinganya yang salah atau memang Melody yang salah dengan kalimatnya? "Hahaha, serius banget, neng! Aku hanya bercanda ... Emm, tadi pagi aku mendengar orang membahas program hamil. Aku jadi penasaran itu seperti apa?" Melody terkekeh dengan ekspresi sahabatnya yang sangat lucu.Meskipun ia berbohong pada Dasya, itu sudah menjadi hal yang lebih baik. "Aku hampir serangan jantung kamu bilang bercanda?" tegur Dasya dengan raut wajah yang terlihat menyimpan emosinya mendalam. "Mel, sumpah ya! Aku gak suka kamu bercanda tentang hal seperti ini! Bayangkan saja secara tiba-tiba kamu sudah menikah dengan seseorang lalu ... Aku Sabahat karibmu ini tidak tahu?" Gadis cantik di depan Melody itus udah menggerutu tanpa henti. "Memangnya kenapa kalau aku tiba-tiba sudah dipinang oleh seorang pria? Harusnya kamu senang!" seru Melody antusias. "Apa kau gila?!" Suara Dasya yang menggelegar cempreng itu menyita perhatian ba
"Mel!" panggil Dasya. Ia mengoyak tubuh Melody dengan kuat, namun gadis itu masih sibuk dengan lamunanya yang entah ke mana. "Mel! Ayo balik ke bilik kerja," ajak Dasya dengan memaksa. Tangan kanannya sudah bersiap menarik tubuh Melody sekuat tenaga. "Apa sih, Sya!" serunya dengan ketus. "Belum balik kah kesadaranmu itu? Ati-ati loh kesambet," hardik Dasya keras. Alih-alih menanggapi Dasya, Melody kini berjalan mendahului sahabatnya. Langkahnya terburu-buru yang secara tiba-tiba terhenti. "Kita udah jam masuk 'kan?" tanya singkatnya dengan kikuk. "Udah, makanya kalau ada orang ngomong itu di denger. Ngelamun terus kaya gak ada kerjaan!" Dasya menggerutu sepanjang langkahnya ke bilik kerja. Sebagai seorang penjahit yang memiliki sifat individualis, berbeda dengan ke duanya yang selalu membutuhkan satu sama lain. "Kamu tau, Sya! Sotonya tadi keasinan seperti kisah cintamu," ledek Melody dengan berlari kebirit-birit. "Awas ya! Masih mending keasinan, dari pada kisah cintamu any
Melody terdiam mendengar pertanyaan Andrean, Tidak ada yang salah. Melody sejenak berpikir, siapa yang akan mencintainya dengan sangat dalam nantinya? Setelah tahu ia sudah pernah menikah siri dengan Andrean. "Memang benar, tapi terkadang setelah menikah perasaan seorang laki-laki itu akan berubah 'kan, Mas. Ini kata beberapa orang sih, aku tidak tahu menahu soal itu," jelas Melody dengan penuh ragu. "Lalu, apa yang membuatmu terdiam?" tanya Andrean secara tiba-tiba. "Aku bertanya-tanya siapa yang akan jatuh cinta padaku ...," ucap Melody dengan tatapan penuh kesenduan. "Oh ... Ya, nanti pasti ada, Mel." Singkat padat dan jelas, Andrean tidak merespon ucapan Melody dengan jelas. Hanya sebuah kalimat penenang. CIT! Setelah beberapa menit perjalanan dari butik ke bandara. Tibalah Melody pada bandara internasional terbesar di kota J."Wah, sangat besar ya, Mas," ucap Melody dengan mata yang takjub. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di bandara. "Ayo!" seru Andrean dengan me
Melody kini melipat wajahnya, harapannya langsung pupus begitu saja. Hanya senyum yang bisa ia ulas sebagai jawaban pada Andrean. "Nanti setelah pekerjaanku selesai, kita ke pantai terdekat untuk melihat senja," ucap Andrean lembut. "Mas suami serius?" Melody langsung antusias mendengar ucapan Andrean. Pria di hadapannya hanya menganggukkan kepalanya, setelah itu ia melenggang pergi. Membawa sebuah mobil itu sendiri tanpa sopir. "Mas suami, hati-hati ya!" seru Melody keras. Sepeninggalan Andrean, Melody hanya membaringkan tubuhnya di ranjang. Sampai bosan ia hanya diam tanpa ada kegiatan. "Oh ya, aku bisa memanggil Juminah untuk membuatkan makanan," gumam Melody lirih, ia berjalan meninggalkan kamar dengan riang. "Bu Jum!" serunya lirih. Sayup-sayup wanita paruh baya itu datang menemui Melody, dengan penuh semangat ia mengulas senyum. "Saya, Nona. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Juminah lembut. "Bu Jum, biasa masak apa saja? Aku sangat lapar sekarang," keluh Melody. "N