Share

Bab 7

"Hah, maksud Bu Rena?" tanya Melody dengan terkejut.

Rena membenarkan posisi duduknya lebih dekat dengan Melody. Ia menatap tajam ke arah Melody.

"Apa kamu mengenal Andrean? Andrean Putra Zahari," tanya Rena mengulang.

"Upik abu seperti saya mana mungkin mengenal anak orang tersohor itu, Bu. Rasanya seperti remahan rengginan saya kalau mengenalnya," jawab Melody dengan kekehan ringan.

"Heh! Seharusnya kamu bisa mengenalnya, Mel. Emm ...." Rena terlihat berpikir sangat keras.

Entah apa yang ada di kepalanya saat itu, mengapa wanita itu terlihat lebih menyesal jika Melody tidak mengenal Andrean.

"Bu Rena, Memangnya ada apa dengan Tuan muda Andrean?" celetuk Melody dengan ragu.

"Tidak apa-apa, oh ya! Kemarin kamu ke mana? Baju yang kamu jahit itu harus selesai besok, apa kamu keberatan!?" todong tanya Rena dengan menatap lekat Melody.

Deg!

Deadline yang maju dengan tiba-tiba, rasanya Melody ingin menghilang dari hadapan Rena saat itu juga.

"Seharusnya bisa, Bu. Selama tidak ada kendala serius dari ... Alat atau pun," ucapannya terhenti karena Melody bingung kalimat apa yang tepat untuk membuat alasan.

"Jangan terlalu banyak alasan, Mel. Kamu sudah ijin tidak masuk kerja dadakan, aturan utama di butik ini harus bisa ijin h-1," tukas Rena dengan menatap Melody tajam.

"Iya, Ibu. Maafkan Melody, jujur kemarin itu saya tidak bisa meninggalkan orang tua saya. Aduh gimana menjelaskannya ya," Melody terdiam sejenak.

"Sudah-sudah, kembalilah bekerja dan selesaikan jahitanmu itu besok!" tegas Rena tanpa basa-basi.

"Siap laksanakan, Bu Rena. Terima kasih banyak," ucap Melody, ia meninggalkan Rena dan keluar ruangan.

Dengan wajah masam itu, Melody keluar ruangan Rena. Tatapan tajam penuh tanya dari Dasya sudah menjadi santapan siangnya.

"Kamu kena omel ya, Mel?" tanya Dasya dengan penuh tanda tanya pada raut wajahnya.

"Sedikit, aneh banget Bu Rena. Udah aku mau fokus jahit, ini deadline besok! ketus Melody dengan kesalnya.

Melody melanjutkan pekerjaannya dengan penuh semangat, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Menghela nafas gusar, matanya menatap ke arah jam dinding. Pukul 4 sore, 15 menit lagi jam pulang sudah tiba.

"Jadi, aku harus menghubungi Baron kali ini?" tanya Melody pada dirinya sendiri.

'Permisi, Baron. Ini Melody, aku diminta Mas Andrean menghubungimu. 15 menit lagi aku pulang, terima kasih.'

Pesan itu terkirim.

Tidak berselang lama dari itu, sebuah pesan masuk dengan emoticon jempol dari Baron.

"Mel, pulang sama siapa?" tanya Dasya menoleh pada Melody di sampingnya.

"Ada temen mau jemput. Maaf ya, aku udah gak naik bus atau angkot."

Melody sibuk merapikan beberapa alat dan hasil jahitannya. Dengan sangat lelah ia hanya bisa diam sepanjang prepare pulang.

"Temen? Mel, sejak kapan kamu punya teman laki-laki,?" tanya Dasya to the poin.

Deg!

Melody baru saja menyadari kejanggalan itu, benar saja ia memang tidak pernah dekat atau pun berteman dengan lawan jenis.

"Jangan-jangan, itu pacarmu yang kamu katakan teman?" todong tanyaa Dasya tanpa ragu.

Suara melengking milik Dasya membuat beberapa karyawan menatapnya nyalang. Jika Rena ada di sana, mungkin Dasya akan terhimpit masalah.

"Kok suka ngawur! Yo enggak 'toh!" hardik Melody dengan logat medhoknya.

"Hahaha, logat medhokmu balik lagi tuh. Jauh-jauh merantau ke ibu kota eh logat desanya masih nempel aja," ledek Dasya dengan kekehan keras.

"Hei, aku udah di ibu kota sejak umur 10 tahun, hanya saja kalau di rumah kami memakai bahasa Jawa. Ya kamu tahu sendirilah," jelas Melody dengan menepuk pundak kanan Dasya dengan keras.

"Tanganmu itu kerasnya kaya atlet tinju!" gerutu Dasya dengan tertawa.

Tet tet tet!

Jam pulang kerja sudah berbunyi nyaring memekakkan telinga karyawan. Butik milik Rena memang sangat ketat untuk aturan. Tidak ada lembur dan jika terpaksa karyawan harus menginap.

"Akhirnya jam pulang, kalau kamu tahu? Aku sudah ingin merebahkan tubuhku ini di kasur empuk!" seru Melody dengan wajah sumringah.

"Halahhh, Mel. Sejak kapan kasur rumahmu empuk?" celetuk tanya Dasya dengan meledek.

"Aku baru beli springbad betewe, hahaha. Biasalah baru dapat rejeki nomplok!" seru Melody pada Dasya. Ia melenggang meninggalkan sahabatnya itu tanpa pamit.

Setelah keluar butik, ia sempat melihat sekeliling apakah situasinya sudah aman. Beberapa kali manik matanya menatap ke sana-kemari.

"Harus berapa lama aku begini sebelum pulang, apalagi kalau Bu Rena sedang ada di butik. Pasti dia bisa melihat gerak-gerikku dari atas sana," tunjuknya pada sebuah jendela kaca berukuran besar di ruangan Rena.

"Nona Melody, di sini!" seru Baron keras.

Tangannya melambai tinggi pada Melody, sontak ia berlari ke arah Baron.

"Huh, aman! Syukurlah, ayo pulang," ucap Melody lirih.

"Kita berkunjung ke kantor tuan terlebih dahulu," ujar Baron, sembari menarik pedal gas mobil Pajero hitam itu.

"Loh?"

Tanya Melody menggantung, ucapan Baron tidak sama dengan yang disampaikan Andrean saat di telepon.

Melody hanya acuh tak acuh, ia hanya diam di kursi penumpang. Menatap ke jalanan yang cukup ramai dan macet.

"Nona, pasti Anda bertanya-tanya 'kan, kenapa kita ke kantor tuan muda dulu?" tanya Baron secara tiba-tiba.

"Karena tuan muda tidak jadi lembur dan urusannya sudah selesai dengan cepat," jelas Baron. Bahkan ia tidak menunggu Melody merespon tanyanya.

Melody mengangguk paham maksud Baron, sepanjang perjalanan menuju kantor. Matanya tidak henti-hentinya terpesona, bagaimana tidak?

Area perkantoran Andrean memang terletak di pusat kota J. Di mana semua infrastrukturnya dibuat dengan penuh estetika.

"Nona boleh turun atau menunggu di sini saja," ucap Baron memberi tawaran.

"Aku di sini saja, kamu saja yang turun menjemput Mas Andrean," ujar Melody dengan malas.

Akhirnya, Baron turun dari mobil, menyambut Andrean yang masih ada di dalam kantor. Tidak lama dari itu, pria dengan jas hitam yang sangat melekat di badan kotak-kotaknya. Terlihat keluar dengan raut wajah yang masam.

'Apa dia menunggu terlalu lama?' batin Melody bertanya-tanya.

Andrean masuk ke dalam mobil, sekilas ia menatap ke arah Melody.

"Mel, bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apa kamu kelelahan?" berondong tanya dari Andrean.

Dengan spontan dan tidak sopan, pipi Melody bersemu merah layaknya kepiting rebus.

Malu!

"Cukup lelah, Mas Suami. Hari ini atasanku juga mengomel karena ... Aku ijin dadakan dan besok adalah deadline baju yang aku jahit," jelas Melody dengan sedikit berpikir.

"Mel, dengarkan aku ya! Sekali saja, tolong jangan terlalu lelah. Nanti aku akan bilang ke Rena untuk memberimu pekerjaan yang mudah dan-" penuturan Andrean terhenti, saat ia menyadari tanpa sengaja menyebut nama 'Rena' dengan lantangnya.

"Mas, kamu kenal Bu Rena?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status