Share

Rahim Kedua CEO
Rahim Kedua CEO
Penulis: Namericanou

1. Kehilangan Lagi

Anne baru menuangkan kopi hangat ke cangkir ketika suaminya menuruni anak tangga terakhir. Ia menyunggingkan senyum semringah dan mengucap selamat pagi seperti biasa. Pramam membalas dengan mendaratkan kecupan singkat nan manis di kening Anne, lalu tangannya terulur pada perut menggembung sang istri.

Pramam mengusap lembut, dan mengecupnya berkali-kali hingga Anne merasa diterjang rasa geli yang aneh. Ia tertawa kecil sambil membelai rambut Pramam pelan.

“Kamu udah dibilangin jangan capek-capek ngurus ini dan itu, tapi kenapa masih ngerjain pekerjaan rumah?” Pramam bertanya begitu duduk di kursi.

“Astaga, Mas, aku cuma buatin kamu kopi. Ini nggak akan menguras tenagaku dan jabang bayi kita,” balas Anne dengan mengerucutkan bibir.

Pramam mengerlingkan mata, lantas ia menyeduh kopi buatan istrinya. Sesaat irisnya membulat, menunjukkan rasa nikmat tiada tara. Diambilnya roti panggang yang sudah dipersiapkan asisten rumah tangga untuk sarapan.

“Dokter Mega terus ingatkan aku buat jaga kamu, Ann,” ucap Pramam. “Siang ini jadi periksa kandungan?”

Anne manggut-manggut. “Ketemu langsung di rumah sakitnya aja, ya. Aku mau ke klinik kecantikan dulu, udah risih sama kuku,” keluhnya sambil menunjukkan jemarinya yang menurut Pramam masih sama.

Namun, ia tak berani mengatakan sebenarnya. Sebab Anne mampu mengembalikan kata-katanya dengan fakta dari kacamata wanita. Alhasil, ia hanya bisa menghela napas dan mengalah.

Sebagai istri seorang CEO perusahaan properti yang tersebar di beberapa kota besar, pergi ke klinik kecantikan bukanlah hal sulit. Anne bisa saja melakukannya setiap hari, tanpa memohon-mohon uang dari suami. Lagi pula Pramam sudah memberikan black card yang bisa Anne gunakan sesukanya. Baginya membuat istri senang sudah lebih dari cukup.

Melirik jam di pergelangan tangan, Pramam buru-buru menyambar sisa roti di piring dan beranjak. Anne ikut bangkit dan mengecup punggung tangan suaminya. Lalu disambut baik Pramam dengan senyum merekah.

“Aku ada rapat pagi ini sama klien dari Jepang,” kata Pramam sebelum melanjutkan langkah menuju pintu utama. “Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku, Ann!”

“Hati-hati, Mas!” seru Anne bersama satu lengkungan cerah terukir di wajahnya.

Kembali ke meja makan untuk melanjutkan kunyahan, tatap Anne mendadak jatuh ke foto pernikahannya dengan Pramam. Di sana tergambar jelas bagaimana mereka tersenyum lebar karena kebahagiaan yang tiada tara. Hingga itu berlanjut di hari ini dan seterusnya, mengingat ada calon anak mereka di perut Anne.

Tepat enam tahun sudah mereka mengarungi bahtera pernikahan. Beragam hal datang menghadang keduanya, salah satunya perihal keturunan. Pada perjuangan kesekian, kabar baik pun datang. Anne berhasil mengandung buah hatinya dengan Pramam dari metode bayi tabung.

Kehamilannya sudah menginjak trimester kedua. Suatu pencapaian terbaik sejauh ini karena sebelumnya Anne kerap keguguran di pekan awal. Itu cukup menyita pikiran dan membuat Anne harus bolak-balik ke psikiater.

“Yang sehat-sehat di dalam sana ya, Nak, Mami sama Papi nggak sabar ketemu kamu nanti,” gumam Anne pelan seraya mengusap lembut perutnya.

Selagi sibuk mengusap perut, Anne dikejutkan oleh dering ponselnya di meja. Satu nama muncul di layar, seseorang yang ingin ia hindari selama menjadi istri Pramam. Benar, siapa lagi kalau bukan ibu mertuanya?

Anne menghela napas panjang. Menyentuh dada agar lebih siap menerima resiko saat berbicara dengan ibu dari suaminya itu. Setelahnya, telunjuknya menggeser layar. Anne mengangkat panggilan tersebut.

Rupanya diangkat juga, kamu udah bangun atau masih di atas tempat tidur?”

Mendadak kepala Anne terasa pening mendengar suara sarkas yang jelas ditujukan padanya. Berusaha sabar, ia membalas, “Anne udah bangun, Bu. Baru aja Mas Pram berangkat ke kantor.”

Jangan karena kamu lagi hamil, kamu bisa enak-enakan tidur di kasur. Kamu harus mengurus suami, jangan hobi menghamburkan uang aja!”

Kala bercakap dengan mertua, baik melalui telepon atau langsung, selalu saja kata-kata buruk itu berhasil menghujam hati Anne. Ia pikir segalanya akan membaik ketika berita bahagianya diketahui mertua. Namun sepertinya dugaan Anne meleset.

“Ngerti, ‘kan? Dengar nggak apa yang Ibu bilang?”

Suara itu muncul lagi setelah Anne mendadak diam karena pilu. Menyadari betapa kasihan dirinya mendapatkan ibu mertua yang kurang mampu menghargai menantu. Sungguh berbeda sekali sifatnya dengan Pramam yang selalu melarang Anne bekerja, bahkan bergerak banyak sekalipun.

“Dengar Bu, Anne juga mengerti bagaimana tugas istri yang baik,” sahut Anne akhirnya.

Baguslah, sekarang gimana calon cucu Ibu? Apa baik-baik aja?”

Anne spontan menunduk, memandangi perut yang menggendut di balik gaun tidurnya. Lantas ia mengangguk dan tersenyum. “Baik, Bu. Nanti siang ada jadwal checkup mingguan.”

Helaan napas terdengar dari ujung telepon. “Kali ini jaga bayi itu baik-baik, bisa, kan, kamu mempertahankan kandungan sampai persalinan?” kata ibu mertua bersama volume yang meningkat. “Ingat, jangan buat Pramam menderita karena terus ngurusin istri yang kerjaannya keguguran melulu!”

Keguguran melulu, katanya. Anne melayangkan seringai, begitu berani. Toh, mertuanya tidak akan melihatnya secara langsung. Mengetahui buliran air mata sudah membasahi pipi, Anne lekas memutar otak untuk mencari alasan agar kabur dari konversasi bodoh dengan mertuanya ini.

Anne sempat mendengar keluhan di seberang sebelum telepon terputus, tapi ia tak peduli. Tak berkenan juga meminta maaf. Bukankah seharusnya ibu mertua yang memohon maaf karena terus menjelekkannya?

Keguguran tentu bukan keinginan Anne. Memang siapa pula yang ingin kehilangan janin setiap dikabarkan mengandung? Jika ada, mungkin saja wanita gila.

“Jangan dengar apa kata Oma ya, Nak, Mami pasti jagain kamu sampai kita ketemu nanti.”

***

Tiba di klinik Beauty and Sweet, Anne lekas turun dari mobil begitu supir pribadinya membukakan pintu. Kacamata hitam bertengger di hidung bangirnya pun tak ketinggalan membaut penampilan Anne tampak elegan. Langkahnya terayun menuju meja resepsionis.

“Siang Bu Anne.”

“Makin cantik aja, Bumil yang satu ini.”

Hampir semua pegawai menyapanya ramah. Saat dipersilakan duduk di sofa tunggu, iris Anne menangkap sosok wanita muda baru keluar dari ruang kerjanya. Saat mata mereka bertemu, Anne tak mampu menyembunyikan rasa bahagia dalam dada.

“Hai, Mbak Ann!” sapa wanita itu dengan senyum merekah. Ia mendekat dan menyambut pelanggan naratamanya penuh suka cita.

Anne langsung membalas sambutan itu dengan pelukan hangat, meski sedikit susah karena ada yang mengganjal di perutnya. “Ruangan VIP, biasa ya, Mar,” sahutnya lirih.

“Siap, mari masuk.” Mara dengan seragam kliniknya mempersilakan Anne memasuki ruangan yang sudah dipersiapkan.

Anne mengangguk pelan, mengikuti langkah Mara. “Kamu yang tangani aku langsung?”

“Buat Mbak Anne tercinta, apa sih yang nggak bisa Mara lakukan?” Wanita itu mengerlingkan mata, seolah tengah menggoda pelanggannya.

Senyum Anne kontan terbit di bibir. “Bisa aja kamu.”

Anne bergegas duduk di kursi, memposisikan diri agar tubuhnya nyaman. Tepat di hadapannya, Mara langsung mengurusi tubuh bagian bawah Anne. Terutama kuku yang ingin dirapikan.

“Bumil kok hari ini kusut banget mukanya, kenapa? Ada masalah di rumah?” celetuk Mara yang menyadari raut wajah Anne tidak sebaik seperti biasanya.

Cepat-cepat Anne mengubah air mukanya, menyunggingkan kembali senyum, meski samar. “Biasalah, mertuaku telepon pagi tadi. Isinya ya ngomel, komentar ini dan itu.”

Mara menghentikan sejenak pekerjaan tangan guna menatap sang pelanggan yang sudah seperti kakak kandungnya itu. “Berat banget ya, Mbak kalau punya mertua kayak gitu. Modalnya harus punya kesabaran besar dan hati lapang,” sahutnya ikut prihatin.

“Itu nggak cukup, Mar. Aku sabar terus sampai stress, capek lama-lama.” Anne menghela napas sambil mengusap-usap perutnya. “Pokoknya kamu kalau cari suami harus dicek dulu keluarganya, mulai dari orang tua terus saudaranya. Jangan sampai bernasib sama kayak aku.”

Mara berdecak sembari mengurut pelan jemari kaki Anne. “Ah, jangankan suami, aku kepikiran nikah aja belum, Mbak.”

“Kenapa nggak, kamu kan udah ada pacar. Jalan setahun lebih, pasti udah ada gambaran nikah dong kalian.”

Mara menggeleng cepat. Wajahnya menampilkan keraguan. “Belum ah, masih banyak targetku yang belum tercapai.”

“Jangan lama-lama, nanti keburu tua,” komentar Anne yang tak terkesan menggurui. “Coba deh, kamu kenalin pacarmu ke aku, biar aku bisa nilai sendiri.”

“Mbak yakin mau ketemu?” tanya Mara yang langsung tahu niat Anne tidak seserius itu. “Dia aja belum mau ketemu sama keluargaku, Mbak, walau cuma ada kakak dan adikku.”

“Ayahmu juga, Mar.”

Untuk kalimat yang satu itu, Mara membalasnya dengan senyum kecut. Mengatupkan bibir seolah kurang minat merespon. Kemudian tak ada lagi pembahasan soal pernikahan dan hal-hal yang menyudutkannya.

Sekitar setengah jam lamanya Anne dilayani, tubuhnya menggeliat tak nyaman, tangan mengusap perut dengan lembut. Kantuknya mulai muncul, membuatnya menguap beberapa kali dan akhirnya jatuh dalam kubangan mimpi.

Hingga kemudian, ada sengatan mencekit menyerang perut sampai bagian pinggul. Anne membuka mata seraya meraih perut buncitnya. Rintihan demi rintihan menyusul kemudian.

“Mar ….” Anne memanggil lirih. Kedua tangannya sibuk meremas perut yang disertai tubuh menggeliat tak nyaman. “Mar, perutku mendadak melilit. Sakit, Mar.”

“Astaga, Mbak!” seru Mara begitu mendapati liquid merah pekat mengalir membasahi kedua kaki Anne.

Mata bulat itu terbuka perlahan, rautnya meringis kesakitan. “Mar, tolong ….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status