Share

6. Saya Mara

Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.

“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”

Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.

“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”

“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.

Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”

“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak sama suami.”

Anne tak tahu harus bahagia atau bagaimana. Ucapan demi ucapan Mara terkesan berlebihan. Untuk ukuran gadis muda sepertinya, mengapa begitu mudah menerima permintaan Anne?

***

Pramam sedang membuat adonan kue. Ia memisahkan kuning dan putih telur sesuai kebutuhan resep. Semenjak Anne hamil dulu, kebiasaan memasak kue seperti ini sudah jarang terjadi karena istrinya akan langsung mual begitu mencium aroma amis.

Lalu sekarang setelah melewati fase kehilangan itu, Pramam mencoba menghibur sang istri dengan kue buatannya yang tak kalah enak dari kue toko dan kafe terkenal. Setelah selesai mengadoni, Pramam memasukkannya ke dalam oven. Menunggu hingga masak.

“Hmm, baunya sampai ke kamar.” Anne muncul setelah menuruni anak tangga. Tangannya melingkari pinggang Pramam, menunjukkan rasa manja di mana ia ingin menarik perhatian suami. “Mas lagi buat apa, sibuk banget kelihatannya.”

Pramam memutar tubuh, menghadap Anne sepenuhnya. Ia mencolek ujung hidung Anne yang mancung dengan sisa tepung di tangan. Si jelita mendengkus sebal, mengusak wajah di pakaian Pramam.

“Kue buat kamu dong, emang siapa lagi?”

“Ah, masa?” sahut Anne tak percaya sambil memasang wajah mengejek.

“Iya, Sayang.” Hingga kemudian, Pramam menjatuhi kecupan di wajah Anne. Dan berakhir satu ciuman panjang di bibir.

Rencana melanjutkan ke sesi utama mendadak terhenti begitu bel rumah terdengar. Seseorang datang bertamu di tengah momen pemanasan ini, Pramam mengeluh. Sementara Anne tersenyum geli.

“Siapa, sih, yang datang?”

“Eh, aku lupa kasih tahu ya?” sahut Anne yang hendak pergi menuju pintu. “Temanku datang, orang yang mau bantu kita buat programnya Dokter Mega.”

Dari tampang Pramam yang terlihat, Anne merasa sedikit bersalah karena sebelum ini, ia belum mengatakannya. Sesegera mungkin Pramam membereskan meja dapur dan mencuci tangan sebelum menghambur ke ruang tamu. Perasaannya semakin tidak enak, takut kalau-kalau sosok yang datang adalah orang yang beberapa terakhir terus menghindarinya.

Mara sudah benar-benar pergi dan tidak pernah lagi kembali ke apartemen. Bahkan telepon dan pesan singkat dari Pramam saja tak dibalasnya sama sekali. Pramam sadar ini semua kesalahannya, tapi ia tidak ingin berpisah dengan cara seperti ini. Sikap Mara sangat menyiksanya.

“Semoga bukan Mara yang datang,” ujar Pramam dalam benak.

Dengan langkah jenjang, tubuh tegap, Pramam berjalan menuju ruang tamu. Terdengar suara tawa kecil Anne yang membuat perasaannya ikut senang dan juga lega. Sudah lama, ia tidak mendengar Anne sesenang itu. Mengingat sikap ibu Pramam yang kerap membuat suasana hati Anne mendung sewaktu hamil lalu.

Begitu sampai di ruang tamu, teman Anne menghadap ke pintu. Pramam hanya bisa melihat punggung dan wajah istrinya yang riang. Perasaannya ikut hanyut kala melihat mata indah yang berbinar di sana.

“Sayang,” panggil Pramam pelan. Anne mengangkat tangan, memintanya datang.

Entah mengapa hawa di ruangan itu berubah mencekam. Perasan tidak enak kembali menggerayangi benak Pramam. Kakinya sudah mencapai sofa, tepat di belakang sang tamu.

Debar jantungnya tak keruan sewaktu menangkap aroma parfum yang menusuk hidung. Pramam tak akan bisa lupa merk pewangi wanita yang tertangkap indera penciumannya itu. Dalam hati, ia masih berharap kalau bukan Mara yang berkunjung.

Anne beranjak dan diikuti wanita itu. Saat memutar tubuh dan bersitatap dengannya, Pramam merasa terhempas dari kehidupan. Kerongkongannya tercekat dan disertai debar yang bergerak lebih kencang dua kali lipat dari sebelumnya.

“Kenalin, Mas, temanku.” Anne menyeletuk lebih dulu. “Namanya—“

Wanita itu mengulurkan tangan pada Pramam. Senyum ramah yang biasa ia temukan di setiap waktu. Di setiap sudut apartemen, dan setiap ia menjejaki tanda kemerahan di tubuh wanitanya.

“Saya Mara. Mara Cikal.”

Setelah sekian lama tak bertemu dan tidak mendapat kabar soal Mara, Pramam justru dikejutkan dengan kemunculan gadis itu di rumah. Penampilannya tetap stunning, riasan tipis dengan pewarna bibir merah gelap yang pekat. Sosok yang ternyata digadang akan menolong Anne agar mereka mendapat keturunan.

Pramam tidak mampu membayangkan bagaimana itu bisa terjadi. Ke depannya ia harus bersinggungan dengan kekasih sekaligus istri di tempat dan waktu bersamaan. Gila, ini benar-benar gila!

“Mara ini kepala klinik yang biasa aku datangi buat treatment, Mas,” celetuk Anne setelah mempersilakan suami dan Mara duduk.

Pramam menempati sofa bersebelahan dengan Anne. Sementara Mara duduk di seberang. Wajahnya tampak biasa saja, tidak ada hal buruk yang tergambar di wajah putih bersih itu.

Berbeda dengan Pramam yang sudah berkeringat dingin. Jantung berdebar dan pikiran yang sulit diajak kerjasama. Otaknya tertuju pada ketakutan karena bisa saja Mara membongkar semua hubungan gelap itu di hadapan Anne sekarang.

Mara tersenyum ramah. “Saya juga yang antar Mbak Ann ke rumah sakit waktu pendarahan. Kita juga sempat ketemu di ruangan sama Pak Yon juga.”

“Oh, iya … saya ingat,” sahut Pramam terbata.

Sejurus kemudian, Pramam bangkit dari duduk, hendak mengambil minum dan kudapan untuk tamu. Namun, Anne menahannya lantaran wanita itu sudah mempersiapkan beberapa camilan untuk Mara. Kini tinggallah Pramam dengan Mara di ruang tamu begitu Anne pergi ke dalam.

“Ra, kamu ngapain ke sini?” Pramam beringsut, duduk di sebelah Mara dan langsung menggenggam tangan si wanita erat.

Mara menepisnya kasar bersama embusan napas pendek. “Aku datang buat memenuhi undangan Mbak Anne, bukan mau ketemu kamu, Mas.”

“Kamu pikir aku nggak tahu rencana Anne yang minta tolong soal rahim pengganti?” ucap Pramam heran. “Kenapa kamu sebodoh itu mau menerima permintaan Anne? Aku nggak akan biarkan kamu beri rahim itu buat Anne, Ra.”

“Mas nggak usah peduli lagi, hubungan kita udah berakhir,” tandas Mara. “Rahim ini milikku, jadi aku berhak mau apakan tubuhku. Kamu bukan siapa-siapa.”

Pramam dibuat menganga. Helaan napasnya cukup panjang saat itu, selama beberapa saat ia menatap Mara lekat. Kedua irisnya terlihat sembab, sudah pasti wanita itu terlalu banyak menangis setelah mengetahui fakta gila dari Pramam yang ternyata suami dari sahabatnya sendiri.

“Aku bakal pergi jauh dari kamu asal … asal kamu batalkan permintaan Anne.” Meski rasanya berat harus memutuskan Mara di saat sedang cinta-cintanya, Pramam tak memiliki opsi lain.

Alih-alih mengangguk, Mara justru terkekeh geli. Muncul seringai di wajah yang menandakan ketidaksetujuannya terhadap perkataan Pramam. Gadis itu benar-benar di luar ekspektasi.

“Mbak Anne itu baik, sekalipun aku harus memilih, aku akan pilih Mbak Anne daripada kamu, Mas.”

“Ra—“

Ucapan Pramam terpotong begitu mendengar derap langkah yang mendekati ruang tamu. Sesegera mungkin ia berpindah ke tempat semula, mengambil jarak seluas-luasnya dengan Mara. Tak lama sosok Anne muncul bersama asisten rumah tangga yang mengikutinya di belakang, sambil membawa nampan berisi minum serta camilan yang aromanya cukup lezat.

“Kelihatannya kalian udah ngobrol banyak, ya.” Anne membeo begitu duduk, wajahnya terlihat semringah. Tidak tahu saja ia ada konversasi panas sebelum ini.

Mara baru saja menyeruput teh bunga camellia pun tersenyum. Tergambar ketulusan dari rautnya. “Baru sedikit, Mbak,” katanya. “Dan suami Mbak Ann ini mendukung penuh soal rahim pengganti.”

Pramam terhenyak di tempat. Matanya beradu dengan milik Mara yang kini menyipit karena terus melempar senyum pada Anne. Rupanya wanita kesayangannya itu tidak main-main dengan keputusannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status