Share

6. Saya Mara

Author: Namericanou
last update Last Updated: 2023-06-07 21:11:47

Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.

“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”

Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.

“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”

“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.

Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”

“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak sama suami.”

Anne tak tahu harus bahagia atau bagaimana. Ucapan demi ucapan Mara terkesan berlebihan. Untuk ukuran gadis muda sepertinya, mengapa begitu mudah menerima permintaan Anne?

***

Pramam sedang membuat adonan kue. Ia memisahkan kuning dan putih telur sesuai kebutuhan resep. Semenjak Anne hamil dulu, kebiasaan memasak kue seperti ini sudah jarang terjadi karena istrinya akan langsung mual begitu mencium aroma amis.

Lalu sekarang setelah melewati fase kehilangan itu, Pramam mencoba menghibur sang istri dengan kue buatannya yang tak kalah enak dari kue toko dan kafe terkenal. Setelah selesai mengadoni, Pramam memasukkannya ke dalam oven. Menunggu hingga masak.

“Hmm, baunya sampai ke kamar.” Anne muncul setelah menuruni anak tangga. Tangannya melingkari pinggang Pramam, menunjukkan rasa manja di mana ia ingin menarik perhatian suami. “Mas lagi buat apa, sibuk banget kelihatannya.”

Pramam memutar tubuh, menghadap Anne sepenuhnya. Ia mencolek ujung hidung Anne yang mancung dengan sisa tepung di tangan. Si jelita mendengkus sebal, mengusak wajah di pakaian Pramam.

“Kue buat kamu dong, emang siapa lagi?”

“Ah, masa?” sahut Anne tak percaya sambil memasang wajah mengejek.

“Iya, Sayang.” Hingga kemudian, Pramam menjatuhi kecupan di wajah Anne. Dan berakhir satu ciuman panjang di bibir.

Rencana melanjutkan ke sesi utama mendadak terhenti begitu bel rumah terdengar. Seseorang datang bertamu di tengah momen pemanasan ini, Pramam mengeluh. Sementara Anne tersenyum geli.

“Siapa, sih, yang datang?”

“Eh, aku lupa kasih tahu ya?” sahut Anne yang hendak pergi menuju pintu. “Temanku datang, orang yang mau bantu kita buat programnya Dokter Mega.”

Dari tampang Pramam yang terlihat, Anne merasa sedikit bersalah karena sebelum ini, ia belum mengatakannya. Sesegera mungkin Pramam membereskan meja dapur dan mencuci tangan sebelum menghambur ke ruang tamu. Perasaannya semakin tidak enak, takut kalau-kalau sosok yang datang adalah orang yang beberapa terakhir terus menghindarinya.

Mara sudah benar-benar pergi dan tidak pernah lagi kembali ke apartemen. Bahkan telepon dan pesan singkat dari Pramam saja tak dibalasnya sama sekali. Pramam sadar ini semua kesalahannya, tapi ia tidak ingin berpisah dengan cara seperti ini. Sikap Mara sangat menyiksanya.

“Semoga bukan Mara yang datang,” ujar Pramam dalam benak.

Dengan langkah jenjang, tubuh tegap, Pramam berjalan menuju ruang tamu. Terdengar suara tawa kecil Anne yang membuat perasaannya ikut senang dan juga lega. Sudah lama, ia tidak mendengar Anne sesenang itu. Mengingat sikap ibu Pramam yang kerap membuat suasana hati Anne mendung sewaktu hamil lalu.

Begitu sampai di ruang tamu, teman Anne menghadap ke pintu. Pramam hanya bisa melihat punggung dan wajah istrinya yang riang. Perasaannya ikut hanyut kala melihat mata indah yang berbinar di sana.

“Sayang,” panggil Pramam pelan. Anne mengangkat tangan, memintanya datang.

Entah mengapa hawa di ruangan itu berubah mencekam. Perasan tidak enak kembali menggerayangi benak Pramam. Kakinya sudah mencapai sofa, tepat di belakang sang tamu.

Debar jantungnya tak keruan sewaktu menangkap aroma parfum yang menusuk hidung. Pramam tak akan bisa lupa merk pewangi wanita yang tertangkap indera penciumannya itu. Dalam hati, ia masih berharap kalau bukan Mara yang berkunjung.

Anne beranjak dan diikuti wanita itu. Saat memutar tubuh dan bersitatap dengannya, Pramam merasa terhempas dari kehidupan. Kerongkongannya tercekat dan disertai debar yang bergerak lebih kencang dua kali lipat dari sebelumnya.

“Kenalin, Mas, temanku.” Anne menyeletuk lebih dulu. “Namanya—“

Wanita itu mengulurkan tangan pada Pramam. Senyum ramah yang biasa ia temukan di setiap waktu. Di setiap sudut apartemen, dan setiap ia menjejaki tanda kemerahan di tubuh wanitanya.

“Saya Mara. Mara Cikal.”

Setelah sekian lama tak bertemu dan tidak mendapat kabar soal Mara, Pramam justru dikejutkan dengan kemunculan gadis itu di rumah. Penampilannya tetap stunning, riasan tipis dengan pewarna bibir merah gelap yang pekat. Sosok yang ternyata digadang akan menolong Anne agar mereka mendapat keturunan.

Pramam tidak mampu membayangkan bagaimana itu bisa terjadi. Ke depannya ia harus bersinggungan dengan kekasih sekaligus istri di tempat dan waktu bersamaan. Gila, ini benar-benar gila!

“Mara ini kepala klinik yang biasa aku datangi buat treatment, Mas,” celetuk Anne setelah mempersilakan suami dan Mara duduk.

Pramam menempati sofa bersebelahan dengan Anne. Sementara Mara duduk di seberang. Wajahnya tampak biasa saja, tidak ada hal buruk yang tergambar di wajah putih bersih itu.

Berbeda dengan Pramam yang sudah berkeringat dingin. Jantung berdebar dan pikiran yang sulit diajak kerjasama. Otaknya tertuju pada ketakutan karena bisa saja Mara membongkar semua hubungan gelap itu di hadapan Anne sekarang.

Mara tersenyum ramah. “Saya juga yang antar Mbak Ann ke rumah sakit waktu pendarahan. Kita juga sempat ketemu di ruangan sama Pak Yon juga.”

“Oh, iya … saya ingat,” sahut Pramam terbata.

Sejurus kemudian, Pramam bangkit dari duduk, hendak mengambil minum dan kudapan untuk tamu. Namun, Anne menahannya lantaran wanita itu sudah mempersiapkan beberapa camilan untuk Mara. Kini tinggallah Pramam dengan Mara di ruang tamu begitu Anne pergi ke dalam.

“Ra, kamu ngapain ke sini?” Pramam beringsut, duduk di sebelah Mara dan langsung menggenggam tangan si wanita erat.

Mara menepisnya kasar bersama embusan napas pendek. “Aku datang buat memenuhi undangan Mbak Anne, bukan mau ketemu kamu, Mas.”

“Kamu pikir aku nggak tahu rencana Anne yang minta tolong soal rahim pengganti?” ucap Pramam heran. “Kenapa kamu sebodoh itu mau menerima permintaan Anne? Aku nggak akan biarkan kamu beri rahim itu buat Anne, Ra.”

“Mas nggak usah peduli lagi, hubungan kita udah berakhir,” tandas Mara. “Rahim ini milikku, jadi aku berhak mau apakan tubuhku. Kamu bukan siapa-siapa.”

Pramam dibuat menganga. Helaan napasnya cukup panjang saat itu, selama beberapa saat ia menatap Mara lekat. Kedua irisnya terlihat sembab, sudah pasti wanita itu terlalu banyak menangis setelah mengetahui fakta gila dari Pramam yang ternyata suami dari sahabatnya sendiri.

“Aku bakal pergi jauh dari kamu asal … asal kamu batalkan permintaan Anne.” Meski rasanya berat harus memutuskan Mara di saat sedang cinta-cintanya, Pramam tak memiliki opsi lain.

Alih-alih mengangguk, Mara justru terkekeh geli. Muncul seringai di wajah yang menandakan ketidaksetujuannya terhadap perkataan Pramam. Gadis itu benar-benar di luar ekspektasi.

“Mbak Anne itu baik, sekalipun aku harus memilih, aku akan pilih Mbak Anne daripada kamu, Mas.”

“Ra—“

Ucapan Pramam terpotong begitu mendengar derap langkah yang mendekati ruang tamu. Sesegera mungkin ia berpindah ke tempat semula, mengambil jarak seluas-luasnya dengan Mara. Tak lama sosok Anne muncul bersama asisten rumah tangga yang mengikutinya di belakang, sambil membawa nampan berisi minum serta camilan yang aromanya cukup lezat.

“Kelihatannya kalian udah ngobrol banyak, ya.” Anne membeo begitu duduk, wajahnya terlihat semringah. Tidak tahu saja ia ada konversasi panas sebelum ini.

Mara baru saja menyeruput teh bunga camellia pun tersenyum. Tergambar ketulusan dari rautnya. “Baru sedikit, Mbak,” katanya. “Dan suami Mbak Ann ini mendukung penuh soal rahim pengganti.”

Pramam terhenyak di tempat. Matanya beradu dengan milik Mara yang kini menyipit karena terus melempar senyum pada Anne. Rupanya wanita kesayangannya itu tidak main-main dengan keputusannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahim Kedua CEO   111. You Are (END)

    “Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.

  • Rahim Kedua CEO   110. Dua Kata

    “Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men

  • Rahim Kedua CEO   109. Bagaimana Mungkin?

    Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika

  • Rahim Kedua CEO   108. Tabur Tuai

    Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men

  • Rahim Kedua CEO   107. Roda Berputar

    Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da

  • Rahim Kedua CEO   106. Menyerahlah

    Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status