[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]
'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'
“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”
Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.
Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.
Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
“Lo kenapa mau-mau aja, sih, disuruh resign? Kalau lo enggak mau, harusnya lo berontak, dong! Bukannya lo udah mahir, ya, kalau soal pemberontakan?”Duduk memangku kardus berisi barang-barang, aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan atasan yang biasa kupanggil Bos Yudha. Dia sedang duduk bersandar di kursinya yang berukuran jumbo, itu pun masih tampak sesak karena bobot tubuhnya memang di ambang batas wajar. Dia seperti kesulitan duduk tegap karena perutnya yang buncit.'Ngomong-ngomong soal buncit, beberapa bulan ke depan mungkin perut gue bakalan sama kayak Bos Yudha. Bahkan mungkin lebih gede. Ah, bayanginnya aja rasanya begah banget.'“Woy!” tegurnya yang membuatku sedikit tersentak. “Yeee, malah melamun! Dengar enggak gue ngomong apa barusan?”“Dengar, Bos,” jawabku malas. “Tapi, ya, mau gimana lagi? Mas Jevin kalau udah ngomong A sampai kiamat pun enggak bakal berubah jadi B. Gue juga
Sepanjang perjalanan, entah sudah berapa kali supirku mendapat telepon dari Jevin. Ah, atau mungkin Vivian. Bahkan ada juga telepon dari rekan sesama supir di rumah. Mungkin Jevin yang memerintahkan semua supirnya untuk mencari keberadaan supirku.Ah, aku tidak peduli dengan Jevin. Dia tidak mungkin mengamuk hanya gara-gara aku tidak ke rumah sakit dan pergi tanpa izin, ‘kan?Sesampainya di Perpusda, aku mengambil beberapa buku fiksi agar terkesan seperti mayoritas pengunjung, padahal aku hanya ingin mendinginkan otak yang panas dan menenangkan hati yang gondok. Aku duduk di pojokan, tepatnya di meja panjang yang berada di bagian tengah. Aku membaringkan kepalaku di meja, tepatnya di atas tumpukan buku. Menghadapkan wajah ke dinding tembok. Juga memasang earphone wireless untuk mendengarkan musik. Kusetel lagu Geboy Mujaer milik Ayu Ting-Ting. Ini adalah lagu yang sering disetel Armand saat stress.'Digeboy-geboy mujaer, nang-ning-nong, nang-ning-nong, pat
“Jadi ngomong enggak, sih? Kok, pada diam?” Duduk di pinggir ranjangku, Vivian tampak bingung dan menggaruk kepala. Sementara itu, Jevin yang berdiri bersandar di lemari dengan kedua tangan terlipat di bawah dada juga tidak berkata apa-apa. Aku sudah tidak heran jika Jevin yang diam, tapi Vivian? Bukankah dia ke sini untuk memberitahuku sesuatu yang sulit dijelaskan Jevin sendirian? Lantas, kenapa dia ikut-ikutan diam? “Ini kalau enggak ada yang ngomong bakal kutinggal tidur, nih!” 'Emmmm, ancaman lo kayaknya enggak ekstrem, deh, Na. Masa ditinggal tidur doang? Ya, mana ngaruh? Coba kalau membunuh? Siapa tau ampuh.' Aku menggaruk rahang yang mendadak gatal. Sepertinya tidak ada gunanya mengancam kedua orang ini. Lihatlah! Keduanya masih bergeming. Bahkan tidak ada satu pun yang menatapku. Entah tidak berani atau belum siap. 'Kayaknya musti gue, deh, yang mengorek informasi.' “Kalian pernah pacaran, ya?” tanyaku seraya menatap k
Sekarang Jevin dan Vivian telah bertukar tempat. Jevin duduk di pinggir ranjang dalam posisi menghadapku, sementara Vivian berdiri di samping nakas. Dia tidak bergerak jauh dari kami.Jujur, saat ini hatiku ditikam oleh rasa sakit. Aku seorang istri dan calon mama. Saat pertama kali melihat hasil test pack, aku sudah berfantasi menimang dan menyusui anak. Aku bukan jenis perempuan yang tidak menyukai anak kecil. Pertumbuhan janin di rahimku begitu kutunggu-tunggu. So, wajar rasanya kalau pada detik ini aku merasa sakit hati mengetahui suamiku berpikir untuk menyerahkan anak kami kepada perempuan lain. Terlebih aku juga belum mengetahui apa alasan Jevin melakukan hal ini.“Jangan bilang kalau sejak awal alasan kamu menikahiku juga untuk ini, membantu Mbak Vivian?” tanyaku lagi, masih berharap bahwa setidaknya Jevin akan menggelengkan kepala meskipun tidak berkata ‘enggak’.“Sorry.”Satu kata itu seperti mantra sihir yang
Makan berdua, tapi rasanya seperti sendirian. Gara-gara pengakuan Armand yang mengejutkan, semua kosakata dalam otakku raib entah ke mana. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap. Daripada salah bertindak dan menyakiti perasaannya, diam adalah solusi terbaik sepanjang masa.Selesai menghabiskan dua burger, satu porsi kentang goreng, serta satu paket nasi dan ayam kentaki, aku benar-benar kekenyangan. Sepertinya Armand juga sama. Dia bersendawa nyaring sambil mengelus perutnya yang begah.Aku membereskan bekas kemasan makanan, sementara Armand pergi ke toilet. Kepergiannya membuatku menghela napas lega. Bukan apa-apa. Sepanjang acara makan, aku rasanya begitu sulit bernapas, khawatir jika adegan-adegan khilaf yang sering dikisahkan dalam novel terjadi dalam kisahku. Maksudku, aku takut Arman menciumku dan aku keenakan hingga kami terjerumus dalam perselingkuhan. Aku ke sini hanya untuk menghilangkan rasa sedihku, bukan menambah permasalahan baru dengan pria yang su
Aku membuka mata dalam keadaan disorientasi waktu dan tempat. Aku sempat lupa di mana tempatku berada saat ini sampai kemudian bau balsem yang terendus hidungku membuatku teringat dengan Armand.Aku tidak sadar, sejak kapan mulai tertidur. Aku hanya tahu, ketika membuka mata, semua badanku justru terasa semakin pegal dari sebelumnya. Suasana kamar juga tampak temaram. Hanya sedikit cahaya kuning yang masuk melalui kaca jendela yang belum tertutup tirai.Kutengok jam bulat yang menempel tinggi di tembok seberang kasur. Ternyata sudah jam enam.'Udah sore ternyata. Berarti gue lama banget tidurnya.'Aku bangun dalam keadaan kepala yang pening. Sebenarnya aku ingin kembali berbaring. Namun, mengingat Armand terpaksa mengungsi ke kamar tetangga demi memberikanku tempat yang nyaman untuk tidur, aku jadi merasa tidak memiliki waktu untuk hanya sekadar menunggu peningku reda.Aku turun dari kasur, menyalakan lampu, dan menutup tirai. Aku juga merapikan ka
“Mas aku enggak mau pergi,” rengekku sambil mengguncang lengan Jevin yang sudah terlihat tampan dan rapi dengan setelan jas formal. Aku sendiri sudah mengenakan dress longgar warna hitam. Aku berubah pikiran di detik-detik terakhir menjelang kepergian kami ke pesta syukuran kehamilan—palsu—Vivian.Kemarin malam, Jevin mendapat telepon dari Dewa--suaminya Vivian. Dia mengundang kami ke pestanya. Jevin yang ketika itu menyalakan loadspeaker membuatku yang berbaring di sampingnya ikut mendengar semua yang dikatakan Dewa. Lelaki itu kedengarannya sangat senang dan excited dengan kabar kehamilan-palsu-sang istri. Dia sampai mencurhatkan momen bahagia yang dia rasakan ketika Vivian memperlihatkan test pack positif. Entah dari mana Vivian mendapatkan test pack palsu itu.“Mas,” rengekku lagi. Kali ini sambil menghentak kaki. “Aku pengin rebahan aja di kamar. Mas aja, ya, yang pergi.” Aku kembali membujuknya agar tidak membawaku