Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah.
"Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya.
Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghunjamnya. Dia memaksakan diri untuk tersenyum pada istri pertama Bagas karena pada saat ini, dia berpikir untuk berdamai dengan keadaan seperti apapun. Dia mendongkakkan kepalanya dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui kalau istri Bagas adalah Adisti Aditama.
"Disti? Kamu?" tanya Anilla dengan wajah polosnya. Dia kenal dengan Adisti ketika melamar pekerjaan di kantor Bagas. Pada saat itu, Adisti menolongnya membayarkan makanan di kantin karena dompet Anilla tertinggal di rumah kost-an. Semenjak dari situ, Anilla sering bertemu dengan Adisti. Pantas saja ketika membuka obrolan, Adisti selalu menanyakan perihal kehidupan Anilla dan Anilla langsung membicarakan apa saja kepada Adisti. Sampai pada tawaran apakah Anilla bersedia apabila dinikahi oleh laki-laki yang telah beristri. Kini dia baru sadar selama ini, Bagas dan Adisti telah bersepakat untuk merencanakan hal yang dibenci oleh Anilla.
Tanpa pikir panjang, Anilla langsung berbalik membelakangi mereka dan berlari menuju jalanan. Hancur sehancur-hancurnya, air mata tak dapat dia tahan, kakinya terus berlari. Namun, Bagas mengejar langkahnya dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, Bagas menggendong Anilla layaknya karung beras yang diangkat oleh tukang beras di pasar induk Bandung. Anilla memukul punggung Bagas dengan kasar, namun Bagas tak bergeming sedikitpun. Dia membawa Anilla masuk ke dalam rumah.
"Kalian jahat! Apa yang tengah kalian rencanakan? Hah!" teriak Anilla. Adisti hanya menoleh pada Anilla yang tengah duduk di sofa besar.
"Maafkan, aku, Ann! Aku minta maaf, ini memang rencana aku. Pertama kali aku bertemu dengan mu, aku sudah menyukai kamu. Dan maaf aku harus berbohong, pura-pura sebagai teman kamu, Ann. Tapi percaya pada kami, Ann. Ini untuk kebaikan kita semua," jelas Adisti mencoba menenangkan amarah Anilla.
"Apa? Kebaikan kita bersama! Kenapa aku yang kalian tumbalkan? Apa tidak ada gadis lain yang bisa kalian bodohi, Hah! Apa sudah habis stok teman kamu, Adisti Aditama?" Anilla kembali mengejek. Dengan tatapan sinis, dia tidak mempedulikan lagi tentang persahabatan atau rasa hormat pada suaminya. Kini amarah yang menguasainya. Dia tidak menyangka akan terjebak permainan.
"Ann! Jaga sikap kamu!" bentak Bagas sembari membulatkan bola matanya.
Anilla semakin mendongkakkan wajahnya. "Apa aku salah berkata? Hah! Kenapa, Dis? Aku sudah menganggap kamu sebagai kakak. Kenapa kamu jahat? Apa kamu sudah tidak waras? Hah!" Anilla kembali berteriak.
Adisti merangkul Anilla dan mendekapnya dalam pelukan. "Menangis, Ann. Menangis lah, banyak kata yang tak mampu ku ungkapkan kepada dirimu! Aku minta maaf, Ann. Tidak ada yang bisa aku percaya, hanya kamu Anilla, hanya kamu yang bisa membuatku nyaman," tandas Adisti.
Anilla menyandarkan dagunya pada bahu Adisti, "Kenapa harus aku? Aku baru mengenalmu, aku juga percaya sama kamu. Tapi, kenapa kamu mengkhianati aku dan dirimu sendiri. Apa kamu sudah putus asa?"
Bagas hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya. Ingin rasanya dia membekap mulut Anilla yang selalu berteriak pada Adisti. Walaupun, memang benar Anilla adalah korban dari ambisi mereka untuk menyenangkan ibu Bagas dan orang tua Adisti.
"Marahi, aku, Ann! Aku memang brengsek, aku bukan sahabat yang baik untuk kamu, Ann. Maki aku! Bentak aku! Jambak aku, Ann!" ujar Adisti sembari mengeratkan pelukannya.
Lelehan air mata terus membasahi pipi Anilla dan Adisti. Mereka saling merangkul tanpa perlawanan dari Anilla. Tangan lemah Anilla kini luruh di paha Adisti dan dia merasakan tak ada pergerakan dari Anilla.
"Ann, bangun, Ann! Mas, Anilla pingsan!" teriak Adisti, penuh kecemasan.
Bagas langsung menghampiri Anilla dan menggendongnya ke dalam kamar. Dia membaringkan Anilla di tempat tidur Bagas dan Adisti. Tak ada rasa cemburu di hati Adisti, ketika dengan cepat Bagas memberikan napas buatan. Sekali dua kali Bagas menghembuskan napasnya melalui bibir Anilla. "Bangun, Ann! Jangan lemah kayak gini! Aku minta maaf, Anilla Prameswari!" teriaknya, tanpa sadar Bagas mulai dihantui rasa bersalah dan sesal.
Begitupun dengan Adisti, dia tidak menyangka apabila keadaan akan seperti ini. Dia menaiki ranjang dan memberikan pijatan lembut pada tangan Anilla. Sedangkan Bagas suaminya, sibuk memberikan napas pada Anilla. Adisti hanya bisa tertegun ketika wajah Bagas terlihat panik.
"Apa aku mulai cemburu pada suamiku sendiri? Padahal aku yang memaksanya untuk menikah lagi!" lirih Adisti dalam batinnya. Dia berpura-pura bersikap biasa saja.
"Ann, kamu dengar aku! Anilla bangun! Maafkan aku, Ann!" ujar Bagas terdengar tulus.
Tangan Adisti merangkul lengan suaminya. Namun, Bagas menatapnya tajam. "Ini gara-gara kamu, Adisti! Kamu rela mengorbankan perasaanku dan perasaan Anilla! Kamu puas, Hah!" teriak Bagas di samping tubuh Adisti yang masih setia menunggu Anilla, sadar dari pingsannya.
"Maafkan aku, Mas! Aku hanya ingin memberikan cucu untuk ibumu dan kedua orangtuaku," jawab Adisti sembari terisak.
"Sudah tiga tahun kita menikah tapi tak kunjung diberi keturunan dan penyebabnya adalah aku. Coba saja aku seperti wanita lain yang masih memiliki tempat untuk calon anak kita. Tapi, aku tidak memilikinya!" jerit Adisti membahana. Tangan kanannya memukul-mukul dadanya sendiri.
"Aku tidak layak jadi istri kamu, Mas!" sela Adisti.
Bagas mendekati Adisti dan memapahnya menjauhi Anilla untuk mendekat padanya. Setelah Adisti dekat dengan tubuhnya, Bagas memeluk erat istrinya ini. Sebuah pelukan yang mampu meredakan emosi Adisti.
"Jangan berkata seperti itu lagi, aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Sayang. Aku akan berusaha menjalankan semua keinginan kamu tanpa mencintainya. Cinta ini hanya untuk kamu, Adisti Aditama!" kata Bagas yang terdengar samar oleh Anilla.
"Maafkan aku, Mas. Aku selalu merepotkan kamu. Untuk kali ini, aku benar-benar telah melakukan hal yang salah, tapi aku tidak punya pilihan ketika ibu dan kedua orangtuaku selalu menanyakan perihal keturunan kita," tandas Adisti sembari mengeratkan pelukannya.
Tangan kanan Bagas membelai lembut rambut hitam Adisti yang tergerai sebahu. "Sudah, Sayang. Jangan salahkan diri kamu! Aku akan berusaha tetap menjaga hati dan cinta ini hanya untukmu." Bibirnya mengecup lembut kening Adisti.
Terluka, tersayat hanya itu yang ada dalam benak Anilla. Dia hanya bisa mendengar dua orang yang telah menghancurkan kehidupannya. "Apakah aku harus bertahan dalam kondisi seperti ini! Ya, Alloh ampuni segala kesalahanku dan kesalahan kedua orangtuaku. Semoga semuanya akan menjadi indah. Aku hanya bisa memohon dalam pasrah," lirih Anilla yang sedari tadi sudah bangun dari pingsannya. Tangannya bergetar menahan amarah, gemertak gigi terdengar di telinganya. Dia hanya bisa meremas bantal, sembari menahan lelehan air mata.
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn
Dalam kalut Anilla membereskan baju dari lemari, dan memindahkannya ke dalam koper.Dia sudah tidak peduli lagi, apa yang akan dikatakan oleh ayah dan ambu. Anilla sangat yakin ketika sampai di rumah, orang tuanya akan menghujani dengan rentetan pertanyaan dan wejangan. Tetapi hal itu akan lebih terasa lebih baik daripada terus bersinggungan dengan wajah-wajah munafik Bagas dan Adisti.Tok!Tok!Suara ketukan terdengar jelas, tapi tak memberhentikan aktivitas Anilla, dia terus membereskan barang-barangnya. Dia sangat yakin pasti Adisti dan Bagas ada di belakang pintu. Entah apa rencana mereka, apa untuk melepaskan atau menahannya?"Ann! Tolong buka pintunya! Kita harus bicara!" pinta Bagas sembari berdiri di balik pintu kamar Anilla. Wajah Anilla semakin berang, ketika mendengar suara Bagas. Tangannya terus memasukkan semua barang-barang miliknya dengan kasar."Ann!"Kini terdengar suara lembut Adisti
Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla
Ketika melewati Anilla, Inggrid mendekatinya. Kebetulan Anilla tengah menyiapkan masakan untuk sarapan. Aroma dari berbagai rempah begitu menyeruak indera penciuman Inggrid. "Siapa yang masak ini?!" tanya Inggrid masih ketus. Matanya memindai setiap mangkuk dan piring yang telah terisi makanan yang menggugah selera.Kalimat Anilla terbata ketika menjawab pertanyaan Inggrid, "In-i-ini masakan Nilla, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka." "Emm... boleh ibu coba?" tanya Inggrid mulai mencair dengan senyuman tipis.Melihat senyuman tipis dari mertua yang belum dikenalnya, hati Anilla berbunga. Dengan cepat dia meraih sebuah piring, dan menyodorkannya pada Inggrid.Inggrid yang tadinya akan keluar dari rumah, terhenti dan kini duduk di meja makan bersama Anilla."Ibu, mau yang mana? Biar Nilla ambilkan?" tanya Anilla dengan suara lembut.Inggrid terkejut dengan lemah lembutnya Anilla, karena selama ini apabila dia datang ke rumah
"Sayang, aku ikut juga, ya! Boleh gak?" rengek Adisti, matanya berkaca-kaca. "Buat apa, Dis! Kamu di rumah aja. Aku ada meeting, kalau kamu ikut pasti bosen," kata Bagas sembari membenarkan posisi dasi yang belum pas melingkar di lehernya."Tapi kenapa Anilla kamu ajak ke kantor?" tanya Adisti. Tangannya sibuk menyiapkan sepatu pantofel hitam kesukaan Bagas."Dis! Tolong jangan kayak anak kecil, Anilla 'kan masih karyawan kita. Dia yang pegang design dari perusahaan klien kita! Proyek ini bernilai milyaran, jadi tolong pahami!" pinta Bagas seraya meraih tas yang ada di atas kasur.Adisti tersenyum ketika mendengar proyek besar Bagas. Dalam benaknya terbayang apabila proyek ini berhasil, dia bisa membeli mobil baru, dan perhiasan yang bisa diperlihatkan pada teman sosialitanya."Oh! Kalau memang proyeknya gede, aku do'ain aja di rumah!" Sengaja Adisti melembutkan suara agar terlihat lebih manja. Dia menarik lengan Bagas, kemudian memelukn
"Siapa yang selingkuh? Itu Fikra, Pak. Tolong jangan bikin semua orang curiga pada kita!" tegas Anilla sembari menarik lengannya dari cengkeraman Bagas.Tanpa pamitan, Anilla langsung meninggalkan Bagas begitu saja. Tapi, bukan Bagas namanya kalau urusannya tidak terselesaikan."Ann! Aku mau bicara!" Bagas memekikkan suaranya. Sontak beberapa karyawan yang baru memasuki gerbang utama langsung fokus pada Bagas dan Anilla. Mereka seakan berbisik membicarakan atasannya.Walaupun, Bagas meneriakinya tetap saja Anilla terus berjalan tanpa menoleh padanya.Bagas berlari mengejar kemudian menarik tangan Anilla, dan membenamkan seluruh tubuh Anilla dalam pelukannya.Setelah tubuhnya menempel pada Anilla, Bagas berbisik, "Setelah meeting, datanglah ke ruanganku. Ada yang ingin aku tanyakan!" titah Bagas dengan wajah datar.Bagas melepaskan pelukannya ketika tamu dari Singapura, keluar dari mobil sedan mewah. "Nice to meet you, M