Share

7. Haruskah Bertahan?

Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah.

"Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya.

Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghunjamnya. Dia memaksakan diri untuk tersenyum pada istri pertama Bagas karena pada saat ini, dia berpikir untuk berdamai dengan keadaan seperti apapun. Dia mendongkakkan kepalanya dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui kalau istri Bagas adalah Adisti Aditama.

"Disti? Kamu?" tanya Anilla dengan wajah polosnya. Dia kenal dengan Adisti ketika melamar pekerjaan di kantor Bagas. Pada saat itu, Adisti menolongnya  membayarkan makanan di kantin karena dompet Anilla tertinggal di rumah kost-an. Semenjak dari situ, Anilla sering bertemu dengan Adisti. Pantas saja ketika membuka obrolan, Adisti selalu menanyakan perihal kehidupan Anilla dan Anilla langsung membicarakan apa saja kepada Adisti. Sampai pada tawaran apakah Anilla bersedia apabila dinikahi oleh laki-laki yang telah beristri. Kini dia baru sadar selama ini, Bagas dan Adisti telah bersepakat untuk merencanakan hal yang dibenci oleh Anilla.

Tanpa pikir panjang, Anilla langsung berbalik membelakangi mereka dan berlari menuju jalanan. Hancur sehancur-hancurnya, air mata tak dapat dia tahan, kakinya terus berlari. Namun, Bagas mengejar langkahnya dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, Bagas menggendong Anilla layaknya karung beras yang diangkat oleh tukang beras di pasar induk Bandung. Anilla memukul punggung Bagas dengan kasar, namun Bagas tak bergeming sedikitpun. Dia membawa Anilla masuk ke dalam rumah. 

"Kalian jahat! Apa yang tengah kalian rencanakan? Hah!" teriak Anilla. Adisti hanya menoleh pada Anilla yang tengah duduk di sofa besar.

"Maafkan, aku, Ann! Aku minta maaf, ini memang rencana aku. Pertama kali aku bertemu dengan mu, aku sudah menyukai kamu. Dan maaf aku harus berbohong, pura-pura sebagai teman  kamu, Ann. Tapi percaya pada kami, Ann. Ini untuk kebaikan kita semua," jelas Adisti mencoba menenangkan amarah Anilla.

"Apa? Kebaikan kita bersama! Kenapa aku yang kalian tumbalkan? Apa tidak ada gadis lain yang bisa kalian bodohi, Hah! Apa sudah habis stok teman kamu, Adisti Aditama?" Anilla kembali mengejek. Dengan tatapan sinis, dia tidak mempedulikan lagi tentang persahabatan atau rasa hormat pada suaminya. Kini amarah yang menguasainya. Dia tidak menyangka akan terjebak permainan.

"Ann! Jaga sikap kamu!" bentak Bagas sembari membulatkan bola matanya.

Anilla semakin mendongkakkan wajahnya. "Apa aku salah berkata? Hah! Kenapa, Dis? Aku sudah menganggap kamu sebagai kakak. Kenapa kamu jahat? Apa kamu sudah tidak waras? Hah!" Anilla kembali berteriak.

Adisti merangkul Anilla dan mendekapnya dalam pelukan. "Menangis, Ann. Menangis lah, banyak kata yang tak mampu ku ungkapkan kepada dirimu! Aku minta maaf, Ann. Tidak ada yang bisa aku percaya, hanya kamu Anilla, hanya kamu yang bisa membuatku nyaman," tandas Adisti.

Anilla menyandarkan dagunya pada bahu Adisti, "Kenapa harus aku? Aku baru mengenalmu, aku juga percaya sama kamu. Tapi, kenapa kamu mengkhianati aku dan dirimu sendiri. Apa kamu sudah putus asa?" 

Bagas hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya. Ingin rasanya dia membekap mulut Anilla yang selalu berteriak pada Adisti. Walaupun, memang benar Anilla adalah korban dari ambisi mereka untuk menyenangkan ibu Bagas dan orang tua Adisti.

"Marahi, aku, Ann! Aku memang brengsek, aku bukan sahabat yang baik untuk kamu, Ann. Maki aku! Bentak aku! Jambak aku, Ann!" ujar Adisti sembari mengeratkan pelukannya.

Lelehan air mata terus membasahi pipi Anilla dan Adisti. Mereka saling merangkul tanpa perlawanan dari Anilla. Tangan lemah Anilla kini luruh di paha Adisti dan dia merasakan tak ada pergerakan dari Anilla.

"Ann, bangun, Ann! Mas, Anilla pingsan!" teriak Adisti, penuh kecemasan.

Bagas langsung menghampiri Anilla dan menggendongnya ke dalam kamar. Dia membaringkan Anilla di tempat tidur Bagas dan Adisti. Tak ada rasa cemburu di hati Adisti, ketika dengan cepat Bagas memberikan napas buatan. Sekali dua kali Bagas menghembuskan napasnya melalui bibir Anilla. "Bangun, Ann! Jangan lemah kayak gini! Aku minta maaf, Anilla Prameswari!" teriaknya, tanpa sadar Bagas mulai dihantui rasa bersalah dan sesal.

Begitupun dengan Adisti, dia tidak menyangka apabila keadaan akan seperti ini. Dia menaiki ranjang dan memberikan pijatan lembut pada tangan Anilla. Sedangkan Bagas suaminya, sibuk memberikan napas pada Anilla. Adisti hanya bisa tertegun ketika wajah Bagas terlihat panik.

"Apa aku mulai cemburu pada suamiku sendiri? Padahal aku yang memaksanya untuk menikah lagi!" lirih Adisti dalam batinnya. Dia berpura-pura bersikap biasa saja.

"Ann, kamu dengar aku! Anilla bangun! Maafkan aku, Ann!" ujar Bagas terdengar tulus. 

Tangan Adisti merangkul lengan suaminya. Namun, Bagas menatapnya tajam. "Ini gara-gara kamu, Adisti! Kamu rela mengorbankan perasaanku dan perasaan Anilla! Kamu puas, Hah!" teriak Bagas di samping tubuh Adisti yang masih setia menunggu Anilla, sadar dari pingsannya.

"Maafkan aku, Mas! Aku hanya ingin memberikan cucu untuk ibumu dan kedua orangtuaku," jawab Adisti sembari terisak.

"Sudah tiga tahun kita menikah tapi tak kunjung diberi keturunan dan penyebabnya adalah aku. Coba saja aku seperti wanita lain yang masih memiliki tempat untuk calon anak kita. Tapi, aku tidak memilikinya!" jerit Adisti membahana. Tangan kanannya memukul-mukul dadanya sendiri.

"Aku tidak layak jadi istri kamu, Mas!" sela Adisti. 

Bagas mendekati Adisti dan memapahnya menjauhi Anilla untuk mendekat padanya. Setelah Adisti dekat dengan tubuhnya, Bagas memeluk erat istrinya ini. Sebuah pelukan yang mampu meredakan emosi Adisti.

"Jangan berkata seperti itu lagi, aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Sayang. Aku akan berusaha menjalankan semua keinginan kamu tanpa mencintainya. Cinta ini hanya untuk kamu, Adisti Aditama!" kata Bagas yang terdengar samar oleh Anilla.

"Maafkan aku, Mas. Aku selalu merepotkan kamu. Untuk kali ini, aku benar-benar telah melakukan hal yang salah, tapi aku tidak punya pilihan ketika ibu dan kedua orangtuaku selalu menanyakan perihal keturunan kita," tandas Adisti sembari mengeratkan pelukannya.

Tangan kanan Bagas membelai lembut rambut hitam Adisti yang tergerai sebahu. "Sudah, Sayang. Jangan salahkan diri kamu! Aku akan berusaha tetap menjaga hati dan cinta ini hanya untukmu." Bibirnya mengecup lembut kening Adisti.

Terluka, tersayat hanya itu yang ada dalam benak Anilla. Dia hanya bisa mendengar dua orang yang telah menghancurkan kehidupannya. "Apakah aku harus bertahan dalam kondisi seperti ini! Ya, Alloh ampuni segala kesalahanku dan kesalahan kedua orangtuaku. Semoga semuanya akan menjadi indah. Aku hanya bisa memohon dalam pasrah," lirih Anilla yang sedari tadi sudah bangun dari pingsannya. Tangannya bergetar menahan amarah, gemertak gigi terdengar di telinganya. Dia hanya bisa meremas bantal, sembari menahan lelehan air mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status