Share

8. Hati Tercabik

"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya.

"Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.

Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karena air mata yang tak dapat tertampung lagi.

Bagas dan Adisti menyadari apabila Anilla telah sadar dari pingsannya. Mereka bersama mendekati Anilla yang setia memunggungi mereka. Tangan kanan Adisti menggoyang lengan kiri Anilla, berharap posisi tidur Anilla akan berubah menghadapnya.

"Ann, kamu sudah bangun? Apa yang kamu inginkan? Air hangat! Yah, aku bawakan kamu air hangat!" Suara Adisti meninggi, kakinya melangkah dan meninggalkan Bagas dan Anilla.

"Aku hanya ingin jauh dari kalian. Mungkin kematian akan lebih baik daripada aku harus melihat kebersamaan kalian sepanjang waktu!" ujar Anilla.

Rahang Bagas mengeras ketika Anilla berkata, "Sudah aku katakan, jangan terlalu berharap pada cintaku. Mungkin perlahan seiringnya waktu aku akan mencintai kamu, Ann!" tegas Bagas. 

Harusnya Anilla berbunga ketika Bagas berkata seperti itu, namun berbeda dengannya. Rasa jijik dan marahnya semakin membuncah. Dengan kasar dia bangun dari posisi tidurnya.

"Aku bukan pengemis, dengan membawa cawan hanya untuk meminta cinta kamu! Hahaha, lucu kamu, Mas. Cinta itu bisa datang karena kepercayaan, bukan dengan waktu! Camkan itu!" bentak Anilla tepat di wajah Bagas. Walaupun, kepalanya masih sedikit nyeri dan berat, tapi dia mencoba menguatkan dirinya.

Mata Bagas membulat, dadanya semakin berdegup kencang. Kini tangan kekarnya kembali menarik wajah Anilla dan kembali menyambar bibir Anilla yang sudah mulai menjadi kesukaannya.

"Emmftt! Lepas, Mas!" teriak Anilla sembari mendorong Bagas. Karena Anilla terlalu kuat mendorongnya, mereka terjatuh di atas lantai. Kebayang dong, kini tubuh ramping Anilla ada di atas tubuh Bagas. Anilla begitu terkejut, sedangkan Bagas menarik bibirnya membentuk senyuman. "Waw! Women on top, Sayang?" tanya Bagas dengan penuh ejekan. Tangan Anilla segera menumpu untuk bergerak bangkit menjauhi Bagas. Namun, Bagas malah menarik tangan Anilla. Alhasil, kini tubuh Anilla semakin menempel di dada Bagas.

"Kamu sudah tidak sabar untuk aku sentuh, ya, Sayang? Sabar ada waktunya untuk kita menikmati waktu bersama!" ejek Bagas sembari mengunci kedua tangan Anilla oleh tangan kanannya. Sedangkan, tangan kiri Bagas mengunci punggung Anilla.

"Apa kita lanjutkan saja, ya?" tanyanya sembari menaik turunkan alisnya.

Anilla tidak habis pikir pada suaminya ini, baru saja dia berkata pada Adisti kalau dia tidak mencintainya. Tapi, sekarang malah menggoda dirinya. Anilla hanya bergidik seraya menatap Bagas penuh heran. Dalam hati dia berkata, "Mungkin sebenarnya Bagas itu seorang  maniak? Ahhh! Aku sudah menerima laki-laki yang tidak jelas riwayatnya!" 

Sedangkan, Bagas menatap Anilla dengan penuh kepuasan. Kini tangannya mulai membelai lembut wajah Anilla. "Kamu cantik, Ann! Sepertinya aku mulai menyukai kamu!" Baritonnya terdengar hangat.

"Cih! Menyukai? Dasar otak miring! Baru saja aku mendengar, kalian berbicara tanpa merasa bersalah. Kalian membicarakan kesetiaan yang tak dapat dibagi!" Suara tegas Anilla terdengar memekakkan telinga.

"Karena kata-kata kamu yang tidak hormat. Aku akan menghukum kamu, Ann!" ujar Bagas sembari menarik dan membalikan posisi badannya.

Lelehan air mata tak mampu lagi terbendung, dia merasakan sakit ketika tubuhnya terbentur lantai dan yang paling menyakitkan adalah dia merasa benar-benar dipermainkan oleh takdir.

Napas Bagas semakin memburu dan tersengal. Tangannya mulai membuka kembali kancing kemeja Anilla. Perlahan satu persatu kancing baju Anilla terbuka, memperlihatkan sesuatu yang indah di mata Bagas.

"Siang hari begini, tubuhmu semakin indah, Sayang. Kemarin malam aku tidak sempat menikmatinya. Tapi sekarang aku melihatnya dengan jelas." Seringai tawa kecil terdengar dari bibirnya.

Satu, dua kecupan mendarat bebas di sekitar dada Anilla. "Apa aku mulai menyukai? Tapi, tak bisa dipungkiri tubuhnya begitu menggoda!" gumam Bagas dalam hati.

Wajah Anilla semakin memanas ketika tangan Bagas mulai merambat ke segala arah. Terkadang punggung Anilla tanpa sadar terangkat ke atas dengan sendirinya. Bagas semakin bergairah ketika peluh mulai membasahi kening Anilla.

"Nikmati, Sayang!" ajak Bagas.

Tanpa basa-basi, Bagas mengangkat tubuh Anilla ke atas kasur. Perlahan dia menurunkan istri keduanya ini. "Apa kamu mulai menyukaiku, Ann?"

Tak ada jawaban dari bibir Anilla, hanya hatinya saja yang bergumam, "Ketika kamu mengucapakan kata sakral, sejak itu pula aku menumpahkan semua rasa cinta ini. Tapi, kini dengan sengaja, kamu mempermainkannya! Sungguh sekarang rasa cinta ini terganti dengan benci. Bahagia terganti dengan luka!" Netranya menatap tajam pada mata Bagas.

Tapi pemandangan ini yang Bagas sukai. Menatap mata Anilla yang semakin membulat. Entah kenapa hatinya selalu berdegup kencang ketika sorot mata Anilla menatapnya.

"Jangan menangis, Sayang! Aku tidak akan menyakiti kamu, Ann," jelas Bagas sembari membuka baju Anilla satu persatu.

"Nice! Aku suka melihat kamu, Sayang!" 

Bagas membuka kaos yang dipakainya dan melemparnya ke sembarang arah. Tubuhnya dengan cepat menangkup tubuh Anilla. Sedangkan Anilla hanya bisa pasrah, karena menolaknya, dia yang akan berdosa. 

Bagas mulai melumat kembali bibir Anilla yang terasa manis, lembut dan kenyal, ada sensasi yang begitu berbeda dibanding istri pertamanya. Dia mulai membandingkan segala kenikmatan yang dia temukan dari Anilla.

Bagas menarik selimut agar tubuhnya tidak terlihat, tentu saja Anilla ada di dalamnya juga.

Tap!

Tap!

Langkah kaki kecil terdengar dari balik pintu. Wajah cantiknya tertegun ketika melihat pemandangan yang baru saja tergambar jelas di depannya. Memang tak boleh ada rasa cemburu, karena ini terjadi atas permintaannya. Dengan tangan bergetar dia menutup pintu kamar perlahan. Tubuhnya terasa lemas, langkah kakinya terasa berat.

"Ya Alloh! Ampuni dosaku! Aku telah memaksa suamiku untuk mempunyai istri kembali. Tapi, setelah madu itu ada di hadapanku. Aku tidak sanggup melihatnya!" Suara lirih mengiringi langkahnya menuju teras belakang rumah. 

Sakit yang kini dia rasakan, bahkan menangis pun tidak akan merubah segalanya. Dengan kondisi lemah dia melangkah. Kemudian dia duduk di kursi taman. Indah hijau dengan begitu banyak bunga terawat rapih. Namun, sekarang bunga itu seakan mewakili jiwanya yang rapuh.

Dia membuka ponsel kesayangannya dan membaca tulisan puisi. Semakin dia menyelami semakin menyayat hatinya, apakah dia harus bersikap bahagia ketika suaminya telah menduakan cintanya?

Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya...

Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia...

Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata Aku turut berbahagia untukmu.

(Penggalan puisi Cinta Yang Agung Khalil Gibran).

"Ya Alloh, kenapa hati ini terasa tercabik? Begitu perih, tapi apalah daya aku hanya wanita yang tak sempurna," gumamnya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status