"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya.
"Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.
Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karena air mata yang tak dapat tertampung lagi.
Bagas dan Adisti menyadari apabila Anilla telah sadar dari pingsannya. Mereka bersama mendekati Anilla yang setia memunggungi mereka. Tangan kanan Adisti menggoyang lengan kiri Anilla, berharap posisi tidur Anilla akan berubah menghadapnya.
"Ann, kamu sudah bangun? Apa yang kamu inginkan? Air hangat! Yah, aku bawakan kamu air hangat!" Suara Adisti meninggi, kakinya melangkah dan meninggalkan Bagas dan Anilla.
"Aku hanya ingin jauh dari kalian. Mungkin kematian akan lebih baik daripada aku harus melihat kebersamaan kalian sepanjang waktu!" ujar Anilla.
Rahang Bagas mengeras ketika Anilla berkata, "Sudah aku katakan, jangan terlalu berharap pada cintaku. Mungkin perlahan seiringnya waktu aku akan mencintai kamu, Ann!" tegas Bagas.
Harusnya Anilla berbunga ketika Bagas berkata seperti itu, namun berbeda dengannya. Rasa jijik dan marahnya semakin membuncah. Dengan kasar dia bangun dari posisi tidurnya.
"Aku bukan pengemis, dengan membawa cawan hanya untuk meminta cinta kamu! Hahaha, lucu kamu, Mas. Cinta itu bisa datang karena kepercayaan, bukan dengan waktu! Camkan itu!" bentak Anilla tepat di wajah Bagas. Walaupun, kepalanya masih sedikit nyeri dan berat, tapi dia mencoba menguatkan dirinya.
Mata Bagas membulat, dadanya semakin berdegup kencang. Kini tangan kekarnya kembali menarik wajah Anilla dan kembali menyambar bibir Anilla yang sudah mulai menjadi kesukaannya.
"Emmftt! Lepas, Mas!" teriak Anilla sembari mendorong Bagas. Karena Anilla terlalu kuat mendorongnya, mereka terjatuh di atas lantai. Kebayang dong, kini tubuh ramping Anilla ada di atas tubuh Bagas. Anilla begitu terkejut, sedangkan Bagas menarik bibirnya membentuk senyuman. "Waw! Women on top, Sayang?" tanya Bagas dengan penuh ejekan. Tangan Anilla segera menumpu untuk bergerak bangkit menjauhi Bagas. Namun, Bagas malah menarik tangan Anilla. Alhasil, kini tubuh Anilla semakin menempel di dada Bagas.
"Kamu sudah tidak sabar untuk aku sentuh, ya, Sayang? Sabar ada waktunya untuk kita menikmati waktu bersama!" ejek Bagas sembari mengunci kedua tangan Anilla oleh tangan kanannya. Sedangkan, tangan kiri Bagas mengunci punggung Anilla.
"Apa kita lanjutkan saja, ya?" tanyanya sembari menaik turunkan alisnya.
Anilla tidak habis pikir pada suaminya ini, baru saja dia berkata pada Adisti kalau dia tidak mencintainya. Tapi, sekarang malah menggoda dirinya. Anilla hanya bergidik seraya menatap Bagas penuh heran. Dalam hati dia berkata, "Mungkin sebenarnya Bagas itu seorang maniak? Ahhh! Aku sudah menerima laki-laki yang tidak jelas riwayatnya!"
Sedangkan, Bagas menatap Anilla dengan penuh kepuasan. Kini tangannya mulai membelai lembut wajah Anilla. "Kamu cantik, Ann! Sepertinya aku mulai menyukai kamu!" Baritonnya terdengar hangat.
"Cih! Menyukai? Dasar otak miring! Baru saja aku mendengar, kalian berbicara tanpa merasa bersalah. Kalian membicarakan kesetiaan yang tak dapat dibagi!" Suara tegas Anilla terdengar memekakkan telinga.
"Karena kata-kata kamu yang tidak hormat. Aku akan menghukum kamu, Ann!" ujar Bagas sembari menarik dan membalikan posisi badannya.
Lelehan air mata tak mampu lagi terbendung, dia merasakan sakit ketika tubuhnya terbentur lantai dan yang paling menyakitkan adalah dia merasa benar-benar dipermainkan oleh takdir.
Napas Bagas semakin memburu dan tersengal. Tangannya mulai membuka kembali kancing kemeja Anilla. Perlahan satu persatu kancing baju Anilla terbuka, memperlihatkan sesuatu yang indah di mata Bagas.
"Siang hari begini, tubuhmu semakin indah, Sayang. Kemarin malam aku tidak sempat menikmatinya. Tapi sekarang aku melihatnya dengan jelas." Seringai tawa kecil terdengar dari bibirnya.
Satu, dua kecupan mendarat bebas di sekitar dada Anilla. "Apa aku mulai menyukai? Tapi, tak bisa dipungkiri tubuhnya begitu menggoda!" gumam Bagas dalam hati.
Wajah Anilla semakin memanas ketika tangan Bagas mulai merambat ke segala arah. Terkadang punggung Anilla tanpa sadar terangkat ke atas dengan sendirinya. Bagas semakin bergairah ketika peluh mulai membasahi kening Anilla.
"Nikmati, Sayang!" ajak Bagas.
Tanpa basa-basi, Bagas mengangkat tubuh Anilla ke atas kasur. Perlahan dia menurunkan istri keduanya ini. "Apa kamu mulai menyukaiku, Ann?"
Tak ada jawaban dari bibir Anilla, hanya hatinya saja yang bergumam, "Ketika kamu mengucapakan kata sakral, sejak itu pula aku menumpahkan semua rasa cinta ini. Tapi, kini dengan sengaja, kamu mempermainkannya! Sungguh sekarang rasa cinta ini terganti dengan benci. Bahagia terganti dengan luka!" Netranya menatap tajam pada mata Bagas.
Tapi pemandangan ini yang Bagas sukai. Menatap mata Anilla yang semakin membulat. Entah kenapa hatinya selalu berdegup kencang ketika sorot mata Anilla menatapnya.
"Jangan menangis, Sayang! Aku tidak akan menyakiti kamu, Ann," jelas Bagas sembari membuka baju Anilla satu persatu.
"Nice! Aku suka melihat kamu, Sayang!"
Bagas membuka kaos yang dipakainya dan melemparnya ke sembarang arah. Tubuhnya dengan cepat menangkup tubuh Anilla. Sedangkan Anilla hanya bisa pasrah, karena menolaknya, dia yang akan berdosa.
Bagas mulai melumat kembali bibir Anilla yang terasa manis, lembut dan kenyal, ada sensasi yang begitu berbeda dibanding istri pertamanya. Dia mulai membandingkan segala kenikmatan yang dia temukan dari Anilla.
Bagas menarik selimut agar tubuhnya tidak terlihat, tentu saja Anilla ada di dalamnya juga.
Tap!
Tap!
Langkah kaki kecil terdengar dari balik pintu. Wajah cantiknya tertegun ketika melihat pemandangan yang baru saja tergambar jelas di depannya. Memang tak boleh ada rasa cemburu, karena ini terjadi atas permintaannya. Dengan tangan bergetar dia menutup pintu kamar perlahan. Tubuhnya terasa lemas, langkah kakinya terasa berat.
"Ya Alloh! Ampuni dosaku! Aku telah memaksa suamiku untuk mempunyai istri kembali. Tapi, setelah madu itu ada di hadapanku. Aku tidak sanggup melihatnya!" Suara lirih mengiringi langkahnya menuju teras belakang rumah.
Sakit yang kini dia rasakan, bahkan menangis pun tidak akan merubah segalanya. Dengan kondisi lemah dia melangkah. Kemudian dia duduk di kursi taman. Indah hijau dengan begitu banyak bunga terawat rapih. Namun, sekarang bunga itu seakan mewakili jiwanya yang rapuh.
Dia membuka ponsel kesayangannya dan membaca tulisan puisi. Semakin dia menyelami semakin menyayat hatinya, apakah dia harus bersikap bahagia ketika suaminya telah menduakan cintanya?
Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya...
Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia...Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sembari berkata Aku turut berbahagia untukmu.(Penggalan puisi Cinta Yang Agung Khalil Gibran)."Ya Alloh, kenapa hati ini terasa tercabik? Begitu perih, tapi apalah daya aku hanya wanita yang tak sempurna," gumamnya dalam hati.
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn
Dalam kalut Anilla membereskan baju dari lemari, dan memindahkannya ke dalam koper.Dia sudah tidak peduli lagi, apa yang akan dikatakan oleh ayah dan ambu. Anilla sangat yakin ketika sampai di rumah, orang tuanya akan menghujani dengan rentetan pertanyaan dan wejangan. Tetapi hal itu akan lebih terasa lebih baik daripada terus bersinggungan dengan wajah-wajah munafik Bagas dan Adisti.Tok!Tok!Suara ketukan terdengar jelas, tapi tak memberhentikan aktivitas Anilla, dia terus membereskan barang-barangnya. Dia sangat yakin pasti Adisti dan Bagas ada di belakang pintu. Entah apa rencana mereka, apa untuk melepaskan atau menahannya?"Ann! Tolong buka pintunya! Kita harus bicara!" pinta Bagas sembari berdiri di balik pintu kamar Anilla. Wajah Anilla semakin berang, ketika mendengar suara Bagas. Tangannya terus memasukkan semua barang-barang miliknya dengan kasar."Ann!"Kini terdengar suara lembut Adisti
Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla
Ketika melewati Anilla, Inggrid mendekatinya. Kebetulan Anilla tengah menyiapkan masakan untuk sarapan. Aroma dari berbagai rempah begitu menyeruak indera penciuman Inggrid. "Siapa yang masak ini?!" tanya Inggrid masih ketus. Matanya memindai setiap mangkuk dan piring yang telah terisi makanan yang menggugah selera.Kalimat Anilla terbata ketika menjawab pertanyaan Inggrid, "In-i-ini masakan Nilla, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka." "Emm... boleh ibu coba?" tanya Inggrid mulai mencair dengan senyuman tipis.Melihat senyuman tipis dari mertua yang belum dikenalnya, hati Anilla berbunga. Dengan cepat dia meraih sebuah piring, dan menyodorkannya pada Inggrid.Inggrid yang tadinya akan keluar dari rumah, terhenti dan kini duduk di meja makan bersama Anilla."Ibu, mau yang mana? Biar Nilla ambilkan?" tanya Anilla dengan suara lembut.Inggrid terkejut dengan lemah lembutnya Anilla, karena selama ini apabila dia datang ke rumah
"Sayang, aku ikut juga, ya! Boleh gak?" rengek Adisti, matanya berkaca-kaca. "Buat apa, Dis! Kamu di rumah aja. Aku ada meeting, kalau kamu ikut pasti bosen," kata Bagas sembari membenarkan posisi dasi yang belum pas melingkar di lehernya."Tapi kenapa Anilla kamu ajak ke kantor?" tanya Adisti. Tangannya sibuk menyiapkan sepatu pantofel hitam kesukaan Bagas."Dis! Tolong jangan kayak anak kecil, Anilla 'kan masih karyawan kita. Dia yang pegang design dari perusahaan klien kita! Proyek ini bernilai milyaran, jadi tolong pahami!" pinta Bagas seraya meraih tas yang ada di atas kasur.Adisti tersenyum ketika mendengar proyek besar Bagas. Dalam benaknya terbayang apabila proyek ini berhasil, dia bisa membeli mobil baru, dan perhiasan yang bisa diperlihatkan pada teman sosialitanya."Oh! Kalau memang proyeknya gede, aku do'ain aja di rumah!" Sengaja Adisti melembutkan suara agar terlihat lebih manja. Dia menarik lengan Bagas, kemudian memelukn
"Siapa yang selingkuh? Itu Fikra, Pak. Tolong jangan bikin semua orang curiga pada kita!" tegas Anilla sembari menarik lengannya dari cengkeraman Bagas.Tanpa pamitan, Anilla langsung meninggalkan Bagas begitu saja. Tapi, bukan Bagas namanya kalau urusannya tidak terselesaikan."Ann! Aku mau bicara!" Bagas memekikkan suaranya. Sontak beberapa karyawan yang baru memasuki gerbang utama langsung fokus pada Bagas dan Anilla. Mereka seakan berbisik membicarakan atasannya.Walaupun, Bagas meneriakinya tetap saja Anilla terus berjalan tanpa menoleh padanya.Bagas berlari mengejar kemudian menarik tangan Anilla, dan membenamkan seluruh tubuh Anilla dalam pelukannya.Setelah tubuhnya menempel pada Anilla, Bagas berbisik, "Setelah meeting, datanglah ke ruanganku. Ada yang ingin aku tanyakan!" titah Bagas dengan wajah datar.Bagas melepaskan pelukannya ketika tamu dari Singapura, keluar dari mobil sedan mewah. "Nice to meet you, M
Bibir Bagas bergerilya di antara kaki Anilla, peluh membasahi kedua insan yang terus bergumul menyatu, dan menyalurkan hasrat kerinduan mereka.Mungkin cerita mereka masih sama seperti novel benci jadi cinta yang masih gengsi menyampaikan bahwa sebenarnya mereka saling menyukai dan mencinta. Tetapi, kita tidak tahu kedepannya terpaan apa yang akan menimpa mereka? Karena sekarang pun keadaan memaksa mereka harus menyimpan segala cinta dan rindu."Mas! Jangan curang!" pekik Anilla ketika Bagas kembali menyesap dan memainkan daerah sensitif Anilla."Aku gak curang, Ann! Aku hanya ingin membawamu pada kenikmatan surga dunia, walau sesaat!" ujar Bagas di sela buaiannya. Untuk saat ini mereka sepakat melepaskan dulu semua masalah yang terjadi, biarlah segala kecewa terganti dengan sentuhan yang memabukkan."Mas! Jujur, aku menyukai dan mencintai kamu!" kata Anilla keluar begitu saja dari bibirnya ketika Bagas makin membuatnya tidak berdaya.Ba