Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."
Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.
Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.
***
"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.
Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?
Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya.
Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraan antara Alexander dan juga bayinya. Tak lama setelahnya, asisten Alexander masuk ke dalam. “Selamat malam, Nona Helena,” sapanya. Helena menganggukkan kepalanya, tapi tidak berani membalas tatapan mata pria itu. Han bergegas mendekati Alexander, melihat bayi Tuannya itu. “Wah, dia benar-benar memiliki wajah yang mirip dengan Nyonya Rachel, Tuan,” ujar Han merasa kagum. “Bukankah ini saatnya Anda memberikan nama untuk pewaris anda, Tuan?”Alexander tersenyum. Dengan lembut, ia mengusap kepala putranya itu. “Rendy Lavein Smith. Bagaimana menurutmu, Han?”
Sejenak hilang kata, Han menatap Alexander dengan ekspresi wajahnya yang terlihat terkejut. “Anda akan menggunakan nama keluarga Smith, Tuan?” Dengan cepat, Alexander menganggukkan kepalanya.Bagaimanapun, nama Smith harus berada pada nama putranya meski banyak yang menentang. “Apa menurutmu ini akan menjadi masalah?”
“Tidak, akan lebih baik jika seperti ini, Tuan." Han menggelengkan kepalanya. "Nama Smith adalah bagian dari Anda, dan akan menjadi bagian dari putra Anda.”Di sisi lain, Helena terus termangu dalam pemikirannya, kekalutan hati begitu jelas ia rasakan.
Bayi itu sudah dilahirkan, selanjutnya apa yang akan terjadi? Apakah dia akan digiring ke dalam penjara? Tapi, akan jadi seperti apa bayi itu nantinya? ‘Nona Rachel, tiba-tiba saja aku merasa takut. Ucapanmu yang waktu itu, entah bagaimana aku merasa ini sangat menakutkan untuk dijalani, aku tidak yakin bisa melindungi anakmu,’ batin Helena, takut. Sejenak matanya terpaku.Jantungnya berdebar untuk kalimat yang dia ucapkan di dalam hati itu. Mendadak bertanya-tanya, apa alasan Rachel memintanya untuk menjaga, bahkan jangan meninggalkan anak itu apapun yang terjadi?
‘Kenapa aku merasa sangat takut?’ Helena mencengkram selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
Tanpa sadar, Helena sedikit bergerak.Hal ini membuat bagian perutnya seperti tergesek sesuatu.
“Akhhhh!” erang Helena spontan yang terdengar oleh Alexander dan asistennya.
Tanpa kata, pria itu menatap Han yang langsung bergegas meninggalkan ruangan tersebut.
Tidak lama kemudian, asisten Alexander itu datang bersama perawat untuk melihat bagaimana keadaan Helena. “Nona, bagaimana keadaan Anda?” tanya perawat tersebut yang terdengar sangat perhatian. “Jika ada yang tidak nyaman, bisa sampaikan kepada Saya, ya.” Helena menganggukkan kepalanya.Kebetulan banyak hal yang tidak nyaman dirasakan olehnya. “Bolehkah bantu aku atur brankar supaya aku bisa sedikit duduk?”
Perawat itu mengangguk, segera dia mengatur brankar agar sedikit naik. “Apa ini cukup, Nona?” “Iya, sudah,” sahut Helena. Perawat lantas membenahi selimut Helena. “Apa ada lagi yang dibutuhkan, Nona Helena?” Mendengar pertanyaan dari perawat tersebut lagi, Helena merasa tidak nyaman.Tidak pernah dia diperlakukan dengan begitu perhatian seperti itu. Namun, sayang sekali saat ini dia benar-benar sangat membutuhkan bantuan dari perawat tersebut.
“Bo-bolehkah aku meminta tolong untuk ambilkan minum? Tenggorokanku benar-benar sangat kering,” ujar Helena jujur. Perawat itu benar-benar sangat membantu Helena. Cepat dia mengambilkan sebotol air di tempat penyimpanan khusus, menggunakan pipet, bahkan juga membantu dan memasukkan pipa tersebut. “Ini, minumlah, Nona.” Helena tersenyum.Cepat dia menyedot air minum itu karena tenggorokannya bak kering kerontang.
Setelahnya, ia baru bisa bernafas dengan lega. “Terima kasih banyak untuk bantuannya, aku sudah tidak butuh apa-apa lagi saat ini,” ucap Helena sembari tersenyum. Perawat itu menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Tapi, jika nanti Nona Helena membutuhkan bantuan untuk melakukan sesuatu, terutama pergi ke kamar mandi, silakan tekan tombol itu, ya,” tunjuknya ke tombol yang ada di atas brankar dan menempel di dinding ruangan. “Iya,” sahut Helena. Alexander yang sejak tadi berada di ruangan tersebut memilih untuk tidak mengatakan apapun atau bahkan melihat ke arah Helena.Suasana ruangan itu kembali hening, sampai keluarga Wijaya mendadak datang untuk melihat sang bayi.
Sarah juga ada di sana, bersama dengan kedua orang tuanya. Helena seketika menahan sesak.Dia dapat merasakan tatapan sinis penuh kebencian dari Tuan dan Nyonya Wijaya.
Namun, itu tak lama karena keberadaan Rendy membuat fokus mereka teralihkan.
“Rachel, Dia benar-benar sangat mirip wajahnya dengan Rachel....” ucap Nyonya Wijaya. Suaranya bergetar menahan tangis. “Rachelku dalam bentuk bayi, dia laki-laki.” "Benar." Sarah menimpali dan melirik sinis Helena. “Sayangnya, keponakanku ini lahir dari rahim pembunuh itu.”Seolah tersadar, Keluarga Wijaya sontak menatap tajam kepada Helena.
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f