"Maaf Nona, karena pendarahan di kepala, pasien harus segera dioperasi. Mohon segera lakukan pengurusan administrasi karena pasien harus cepat mendapat tindakan." seorang perawat membuyarkan lamunan Laura saat ia sedang duduk dengan tatapan kosong melihat ke arah pintu dimana ibunya sedang terbaring lemah tak berdaya. Bahkan keluarnya perawat tersebut tak ia sadari.
"Sus, tolong selamatkan ibu saya. Tolong berikan penanganan sekarang, saya mohon sus. Soal biaya bisa nanti kan, sus?" Air mata Laura kembali mengalir dengan derasnya. "Maaf, Nona. Sesuai prosedur rumah sakit, harus selesaikan dulu administrasinya." "Berapa untuk biaya operasinya?" "Untuk biaya operasi sekitar 400 juta." Mata Laura langsung membelalak, pikirannya berkecambuk. Bagaimana bisa ia mendapatkan uang sebanyak itu dengan cepat? Penghasilannya sebagai driver online dan ayahnya sebagai sopir tentu saja tak bisa dengan instan mendapatkan uang ratusan juta. Laura membuka dompetnya dan hanya melihat uang 300 ribu hasil dari mengojeknya kemarin. Dia bingung harus mencari pinjaman kemana, tak ada barang berharga yang bisa ia jual. Tabungannya pun tak lebih dari angka tiga juta, sangat jauh untuk menutupi biaya operasi. Laura langsung menghubungi sang ayah untuk mengabarkan kondisi ini. Dengan harap-harap cemas, ia menunggu hingga ayahnya, Johan, mengangkat teleponnya. “Halo, ada apa Lau–” “Ayah, bagaimana ini? Ibu harus segera dioperasi dan biayanya 400 juta. Perawat bilang kita harus segera mengurus administrasinya.” ucap Laura cepat sebelum ayahnya selesai berbicara. "Apa? Darimana kita dapat uang sebanyak itu?" Tanpa sengaja Johan menaikan sedikit oktaf suaranya setelah mendengar kabar dari sang putri lewat panggilan telepon. Ia kemudian menghela napas frustrasi dan berucap, “"Ya sudah, kamu tunggu saja dulu disana. Jaga ibumu. Sebentar lagi ayah menyusul setelah mengantar majikan ayah pulang. "” Panggilan segera dimatikan ayahnya sebelum Laura membalas. Gadis itu kemudian duduk kembali di tempat duduk seberang ruangan rawat ibunya dengan gelisah. Matanya berkali-kali melirik ke arah lorong untuk memastikan ayahnya sudah datang atau belum. Beberapa menit kemudian, Laura melihat sosok sang ayah yang berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Laura sontak berdiri kemudian memeluk ayahnya erat-erat dan menangis terisak-isak. "Bagaimana keadaan ibu sekarang?" Johan melerai pelukan lalu mengusap bulir air mata di pipi anak semata wayangnya. "Masih kritis yah, " Johan menatap sang istri dibalik jendela pintu ruangan. Ia merasakan sedih teramat mendalam melihat istrinya terbaring lemah tak berdaya. "Ayah, bagaimana untuk biaya operasinya? Kita harus bagaimana?" Johan membalikkan badan lalu mengajak Laura duduk di kursi tunggu. "Nak, satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibumu adalah kamu. Kalau kamu bersedia melakukannya, ibumu bisa tertolong." Laura mengerutkan kening, ia tak paham dengan obrolan ayahnya. "Ayah bicara apa? Aku seorang driver online, penghasilanku tak sebanyak itu. " dengan polos Laura menjawab ucapan ayahnya. Johan menarik napas pelan, sebenarnya sangat berat untuknya menyampaikan niatnya pada Laura. Ia tak tega tapi di sisi lain, ia juga tak rela jika harus kehilangan nyawa sang istri. Perlahan mata mereka saling beradu, Johan tak mampu mengungkapkan tapi pikirannya terus saja menyuruhnya untuk segera bicara sebelum semuanya terlambat. "Nak.." Johan mengusap lembut rambut Laura dengan sayang, "Ada satu pilihan yang bisa cepat kita lakukan untuk mendapatkan uang. " "Bagaimana caranya ayah?" Mata Laura berbinar mendengar hal itu. "Tapi maaf, kamu harus rela menolong orang atas dirimu." Lagi - lagi Laura dibuat bingung dengan ucapan ayahnya, ia menunggu penjelasan lebih dari sang ayah. “Laura, jadilah ibu pengganti agar ibumu terselamatkan. “ Johan memegang kedua tangan Laura dengan gemetar, menahan agar tangisnya tak pecah saat ini juga.Meski rasanya Rina belum puas dengan semua cerita Laura, ia memilih menghentikannya sementara. Sebagai ibu yang sangat menyayangi putri semata wayangnya, Rina ingin sekali memberikan wejangan-wejangan yang setidaknya bisa membuat hidup Laura merasa jauh lebih baik. Namun hari semakin larut, dan Laura sudah terlihat sangat lelah. Rina tak mau memaksa, ia menyayangi Laura termasuk calon cucunya juga. Sehingga ia meminta Laura untuk segera beristirahat setelah makan malam bersama. Gemuruh angin dan petir yang bersambaran membuat gaduh isi rumah yang awalnya hanya diwarnai keheningan. Hujan mengguyur begitu derasnya, membuat Rina berjalan mondar-mandir di balik pintu utama rumah kecilnya. Rina mengkhawatirkan Johan yang ia hubungi beberapa menit yang lalu, namun tak kunjung juga datang. Setelah menemani Laura tidur dengan nyenyak di kamar, Rina beralih ke ruangan depan agar tak mengganggu Laura. Saat hujan masih turun dengan derasnya, sinar lampu mobil menembus jendela membuat
Walau dengan bahasa yang halus sekalipun, sebagai seorang pria dewasa, Devan tahu betul bahwa Laura ingin ia segera pulang. Devan menatap Jefri yang duduk di sampingnya, dan Jefri membalasnya dengan anggukkan tipis. Walau merasa sedikit kecewa, namun Devan memahami, Laura butuh waktu sendiri untuk bisa mencari ketenangan setelah melewati hari yang sulit. "Baiklah, sayang. Aku paham, kamu beristirahatlah. Aku akan pulang sebentar lagi. Tapi aku minta, kabari aku secepatnya. " Ujar Devan yang mendekat lalu mengusap pucuk kepala Laura. Tunggu, sayang? Devan masih memanggil Laura dengan sebutan sayang? Jadi mereka masih berhubungan? Batin Rina merasakan geram. Ia tak pernah mengajari anaknya untuk berbohong, apalagi berkhianat, namun mengapa Laura tak sampai hati untuk berlaku jujur. Rina menggelengkan kepalanya perlahan. Laura bisa merasakan kemarahan ibunya yang terpendam. Saat menerima perlakuan manis Devan, sejenak ia memejamkan matanya dengan perasaan bersalah semakin m
"Dev, ini sudah sore. Aku harus pulang." Ujar Laura dengan perlahan. "Baiklah, aku antar kamu pulang. " Ujar Devan tanpa ragu. Laura menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Dev, aku bisa naik taksi sendiri. Aku nggak enak jika terus merepotkanmu hari ini." Bagaimana mungkin ia membiarkan Devan mengantarnya pulang. Jangan sampai ia mengetahui kalau sekarang ia tinggal di Villa milik Reno. Ia tak akan membiarkan Devan mengetahui hal itu. "Ya ampun, Laura sayang. Sejak kapan aku merasa kamu repotkan? Justru aku akan selalu senang jika kamu mau melibatkan aku untuk semua hal dalam hidupmu. " Sahut Devan meyakinkan. "Benar kata Devan, kamu barusaja mengalami kejadian yang tak mengenakkan. Mana bisa kami membiarkanmu pulang sendirian? Bukan soal repot atau tidak, tapi keselamatanmu sekarang adalah yang utama. " Ujar Jefri ikut menimpali. Sejenak Laura menatap kedua pria dihadapannya. Jika Devan hendak mengantarnya pulang, pasti tujuan yang dimaksud Devan adalah rumah orang t
"Oh itu, mobil taksi." Ujar Laura setelah menemukan alasan dengan cepat. "Ya, taksi online. Soalnya tadi aku sedang berada dalam mobil saat kedua orang itu tiba-tiba membawaku ke gedung tua itu. " Laura kembali meyakinkan. Ia memasang wajah yang percaya diri, walau dalam hati ia menggerutu dan tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Mengapa hari ini dirinya sangat pandai berbohong? Tapi bagaimana lagi, kejujuran untuk seorang Devan adalah tantangan yang sangat berat untuk ia lakukan kali ini. "Oh iya? Oke baiklah, ini handphonenya. " Devan menganggukkan kepalanya sambil menyodorkan benda pipih yang Laura minta. Laura menerimanya dengan perlahan. Ia menatap Devan dengan perasaan bersalah, ia terus meminta maaf dalam hati atas semua hal yang masih ia tutup rapi saat ini. Laura segera mengetikkan nomor ponsel yang akan ia hubungi. Untung saja nomor sang Ayah sudah berada di luar kepalanya, sehingga tak menyulitkannya saat ini. Tak butuh waktu lama, dua kali deringan saa
Devan semakin dibuat khawatir saat melihat wajah Laura semakin pucat. Ia menyenggol lengan Jefri agar berhenti mencecar Laura dengan berbagai pertanyaan. Ia khawatir rasa trauma masih Laura rasakan, sehingga membuatnya tak bisa menceritakannya sekarang. Devan segera beranjak dari tempat duduknya, lalu beralih duduk di samping Laura. "Laura, sayang, nggak apa, kamu nggak harus menceritakannya sekarang. Kami akan menunggu sampai kamu siap menceritakan. Yang terpenting sekarang kamu aman dan selamat. " Ujar Devan, lalu menarik lembut tubuh Laura, mendekapnya dengan hangat, lalu mengusap pelan rambut Laura. Perhatian kecil yang selalu Laura rindukan, kini ia dapatkan kembali. Devan tak berubah, selalu mengerti dan memahami apa yang Laura rasakan. Laura menghembuskan napas lega, saat akhirnya sikap Devan membuatnya terselamatkan dalam suatu keadaan. Ia membiarkan kepalanya terbenam dalam dekapan dada bidang Devan untuk beberapa saat, hingga ketenangan menjalar kembali. Jefri ha
"Devan, apa ini benar kamu?" Tanya laura memastikan sekali lagi. Ia menatap Devan tak percaya. Jika ini mimpi, mengapa terasa begitu indah untuknya hari ini. Ingin rasanya mencubit dirinya sendiri, untuk memastikan bahwa ini memang bukan mimpi. Namun ikatan tangannya membuat Laura tidak bisa melakukan itu. Devan berjalan semakin mendekat dengan perlahan. Apa yang dirasa Laura sama halnya dengan dirinya. Antara percaya dan tak percaya dengan kenyataan di depan matanya ini. Devan berhenti saat jaraknya dengan Laura hanya tinggal beberapa sentimeter saja. Ia membungkukkan badannya, menangkup wajah Laura dengan lembut, memastikan bahwa ini memang benar-benar nyata. Laura menangis haru, buliran bening keluar dari sudut matanya, namun bibirnya melengkungkan senyuman yang sudah lama Devan rindukan. Jefri hanya menyaksikan pertemuan dramatis tersebut tepat di belakang Devan. Menimbulkan seribu pertanyaan yang tak mungkin ia lontarkan saat ini juga. Melihat keharmonisan dua