LOGINReno yang menerima penolakan itu merasa kecewa. Dia merasa canggung karena Laura yang berada di hadapannya kini malah tak ingin berteman sekalipun dengannya.
Keduanya nampak diam tak bersuara, hanya suara detik jarum jam yang menjadi penggiring keheningan. Setelah diam beberapa saat, akhirnya Reno kembali mengutarakan pertanyaan yang sudah ingin mencuat dari jauh-jauh hari. "Hmm, Laura. Satu hal lagi yang harus aku tanyakan padamu." Kata Reno dengan gugup. Laura menaikkan sebelah alisnya, "Apa itu?" "Apa sekarang kamu mempunyai seorang kekasih?" Tanya Reno perlahan. Seketika Laura terdiam, ia meletakkan cangkir di atas nakas lalu menghembuskan napasnya pelan. "Ada, malah dia sedang berjuang di negeri orang untuk meminangku. Tapi..." Laura langsung menunduk, tak mampu melanjutkan ceritanya. "Maafkan aku. Aku telah membuat masalah baru di hidupmu. Bukan hanya soal kamu yang harus mengorbankan rahimmu, tapi juga perasaan, terutama hubungan kamu dengan kekasihmu. Aku tak bermaksud untuk merusaknya." Reno menundukkan kepala, perasaan bersalah menguasai dirinya. Laura tersenyum, "Aku sudah siap untuk semua itu. Jika kemarin-kemarin hal itu sangat kutakutkan, tapi sekarang aku ikhlas, aku tahu Tuhan menitipkan takdir ini karena masih berada dalam batas sanggupku." "Ternyata aku tidak salah memilih orang, terima kasih untuk semuanya." Kata Reno dengan senyum mengembang di bibirnya. "Aku tidak mempunyai tujuan untuk mendapat ucapan terima kasih darimu." Kata Laura dengan senyuman tipis. "Lalu, apa tujuanmu hanya tentang uang?" "Apa sebegitu buruknya aku di pikiranmu?" Protes Laura dengan melipat kedua tangannya di dada. Reno menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia tak bermaksud untuk menyinggung Laura. "Baiklah, aku lupa, bahwa aku sudah tak harus peduli dengan apapun yang dikatakan orang. Persetan dengan apapun yang kamu pikirkan, aku akan tetap menjalani apa yang harus aku lakukan." Setelah mengatakan itu, Laura diam sejenak. Ia heran melihat ekspresi Reno yang melongo melihatnya mengomel tadi. “Mengapa kamu melihatku seperti itu?” Tanya Reno dengan alis yang berkerut. “Astaga, bukankah aku yang seharusnya bertanya begitu?” Kata Laura, keduanya diam lalu tertawa dengan lepas. Tanpa sadar, hati Laura semakin melunak. Ia jadi terbiasa berbincang kembali dengan Reno hingga tak menyadari bahwa kenyamanan saat dulu bersama Reno ia dapatkan kembali. Terbukti dari caranya berbicara yang tak segan untuk mengutarakan apa yang ada di benaknya. Begitu pula dengan Reno, mendengar omelan ataupun bentuk protes yang Laura tunjukkan, membuat Reno senang. Dia merasa kembali menemukan Laura yang dulu, temannya yang sempat mengisi hati dan harinya dulu. ** Hari ini Laura telah bersiap, ia memoles wajahnya dengan sentuhan makeup natural. Mood Laura tiba-tiba menjadi sangat bagus setelah dia mendapat pesan dari Tari bahwa mereka akan bertemu di sebuah kafe pada satu jam yang akan datang. Bukan tanpa alasan, pergi keluar adalah satu hal yang indah bagi Laura karena selama beberapa hari ia merasa seperti di penjara karena berdiam diri terus di villa yang membuatnya merasa bosan. Laura pergi dengan diantar Pak Bejo yang sudah dijadikan sopir pribadi Laura oleh Reno. Sesampainya di kafe, Laura mencari meja yang sebelumnya telah dipesan Tari. Setelah menemukan nomor meja yang dituju, seketika badan Laura terasa lemas ketika melihat orang lain di samping Tari. Bagaimana tidak lemas, ia disuguhkan dengan tatapan Arini yang mendelik dan seolah siap untuk tempur membuat mood Laura hancur seketika, padahal sebelumnya dia telah membayangkan rasanya cuci mata dengan melihat keindahan dunia luar yang beberapa hari tidak ia temukan di villa. "Siang, tante. Maaf mungkin tante dan Mbak Arini menungguku lama." Sapa Laura dengan sopan. "Siang, Laura. Mulai sekarang, biasakan panggil mama saja. Kamu sudah menjadi menantuku juga." Kata Tari dengan lembut, beda dengan Arini yang malah memalingkan muka. Awalnya Arini bersikeras ingin ikut Tari supaya mendapat pembelaan, ternyata dia salah, Tari malah bersikap lembut pada Laura dan menerima Laura sebagai menantunya juga. "Laura, mama dengar beberapa hari yang lalu kamu sudah melakukan inseminasi. Makanya mama mengajak kamu kesini untuk mengucapkan terima kasih, kamu sudah mau berkorban untuk kami." Tari memeluk Laura dengan sayang. "Jangan dulu senang, ma. Siapa tahu inseminasinya gagal." Ketus Arini sambil memutar sedotan di gelasnya. "Hus, kamu kok bicara seperti itu? Ingat Arini, jasa Laura sangat besar untuk kelangsungan rumah tangga kamu. Kamu harusnya memberi dia reward atas kesiapannya untuk menolong kamu, dia bahkan rela mengorbankan masa depannya demi masa depan kamu dan Reno." Secara tegas Tari menolak sikap Arini yang tak tahu malu. Ia bahkan tak segan memarahi menantunya di depan umum, walaupun memang tak akan terdengar publik karena meja mereka terletak di pojok yang jauh dari meja lainnya. "Mama mengapa jadi membela Laura?" "Mama hanya membela yang menurut mama itu benar. Keluarga Wijaya tak ada yang melupakan jasa orang lain. Bersikaplah yang baik atau kamu akan tahu akibatnya." Tegas Tari tak bisa dibantah. "Maaf, ma. Jika keberadaanku hanya memperkeruh suasana, sebaiknya aku kembali saja ke villa." Laura yang tak enak hati memilih pamit. "Tunggu Laura, maafkan mama jika kamu merasa tak nyaman sekarang. Duduklah sebentar, masih ada yang ingin Mama sampaikan." Cegah Tari dengan lembut. Laura yang sudah berdiri akhirnya duduk kembali sesuai kemauan mertuanya. "Laura, mama telah lama menanti kehadiran cucu dari Reno. Setelah kamu bersedia jadi seorang ibu pengganti, mama sangat senang sekali. Setiap hari mama menanyakan kabar kamu lewat Bi Ijah, mama sudah tak sabar ingin mendengar kamu hamil. Maka dari itu, mama ingin memantau sendiri keadaan kamu." Ucap Tari tulus dengan tak melepas genggaman tangannya dari Laura. Laura hanya diam mendengarkan dengan seksama, walaupun dalam hati ia curiga dengan pembicaraannya yang sepertinya mempunyai maksud lain. "Laura,” Tari semakin mengeratkan genggamannya, dengan wajah yang mengiba, ia seperti akan memohonkan sesuatu, “Tinggallah bersama kami di rumah keluarga Wijaya."Arini menyipitkan matanya yang sedang terpejam, lalu berusaha menutup wajahnya dengan selimut. Sinar matahari pagi yang menyorot lewat jendela kamarnya, menganggu tidur nyenyaknya. "Sayang, apa kamu tidak mau membuatkanku sarapan pagi?" Tanya Gery sambil menyugar rambutnya yang basah dengan handuk. Setelah mandi, Gery dengan sengaja membuka tirai gorden yang menutup rapat jendela. Ia ingin kilau cahaya membangunkan Arini yang sulit ia ganggu. Perutnya lapar dan ia ingin Arini memasakkannya sesuatu. Arini membuka selimutnya dengan enggan. Lalu, ia beranjak dari kasurnya hendak pergi mandi. "Kamu pesan saja makanan dari bawah. Billnya biar aku yang urus." Ujar Arini sebelum punggungnya benar-benar hilang di balik pintu toilet. Gery mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu, ia melakukan apa yang Arini suruh. Gery hanya modal tampang, sedangkan urusan dompet, Arini selalu bisa menjadi andalannya. Usaha bengkelnya akhir-akhir ini mengalami penurunan. Namun itu tak membua
Setelah berpamitan, Reno segera mengajak Sony pergi. Kali ini ia tak mengajak Johan, karena Laura masih membutuhkan penjagaan, namun Laura menolak disediakan bodyguard. Reno akan lebih tenang jika Johan yang berganti menjaga Laura, karena Laura pun tak menolak hal itu. Setelah Reno memasuki mobil, Sony segera berdehem sebelum ia melajukan mobilnya. "Bos, apa rapat dengan Purna Jaya tidak jadi direschedule? " Tanya Sony saat mengira Reno akan menghadiri rapat yang sempat akan ditunda karena pagi tadi Reno sempat demam. "Tidak. Ke Jalan Summer saja. " Ujar Reno dengan tatapan datar. Sony sempat mengerutkan kening. Setahunya, alamat yang disebutkan adalah alamat salah satu apartemen keluarga Reno. Mau apa dia kesana? Sejak Reno mengangkatnya jadi Asisten pribadi, ia banyak belajar dari Dina tentang apa yang biasa bosnya lakukan. Serta ia menghafal alamat-alamat yang berkaitan dengan hidup Reno termasuk kolega bisnisnya. Ternyata hal itu ada positifnya di saat-saat seperti i
"Apa_ apa kamu marah karena tadi aku menyentuh bibirmu?" Tanya Reno perlahan. Reno sempat memejamkan matanya saat mengatakan itu. Ia sangat ragu namun ia sangat ingin tahu alasan Laura bersikap dingin padanya. Laura membelalakkan matanya menatap Reno. Sebelum akhirnya wajahnya bersemu merah menahan malu. Ia menjadi salah tingkah. Namun ia tak ingin Reno menyadarinya. Mengapa Reno harus mengungkit kejadian tadi? Laura sangat malu, meskipun saat itu terjadi, Laura tak bisa mengelak, ia merasa candu. Tapi, apakah Reno harus membahas itu? "Reno! Apa hal itu harus kamu bahas?" Laura merasa geram karena Reno mengatakan apa yang seharusnya tak mereka bahas. "Aku, aku minta maaf soal tadi. Aku nggak tahu, Lau. Saat tadi, aku tak bisa menahannya. Saat kamu menggigit bibirmu, aku nggak bisa tak melakukan itu. " Ujar Reno dengan jujur. Laura mengerutkan keningnya. Mengapa Reno berbicara sefrontal itu? Laura sangat enggan membahasnya. Namun Reno terlanjur membuka cerita itu, mau tak mau La
"Nak, kamu nggak apa-apa? " Tanya Rina menghampiri Laura yang sedang duduk di kursi belakang rumah. Laura sedang melamun, sehingga ia tak menyadari jika ibunya datang. Dan saat ibunya bertanya, Laura jadi tersentak kaget. "Em, nggak apa-apa, Bu. Tentu saja aku baik-baik saja." Ujar Laura dengan tersenyum. "Tapi, kata Reno kandunganmu..." "Tidak apa-apa. Dia kuat, Bu. Tidak usah khawatir." Ujar Laura segera menyela ucapan ibunya. Ia tak ingin Ibunya khawatir. Rina menghela nafas, ia tahu betul jika Laura sedang berbohong. Jelas-jelas ia sudah mendengar semuanya dari Reno. Namun ia pun tahu betul dengan sifat Laura yang selalu ingin terlihat kuat di hadapan orang lain, serapuh apapun itu. "Ibu percaya, anak ini kuat. Seperti mamanya tentunya. " Rina menoel hidung Laura saat berkata seperti itu. Awalnya Laura tertawa saat ibunya menggodanya. Lama kelamaan senyuman itu memudar, saat ia menyadari sesuatu. Ia merasa tertegun. Aku? Mamanya? Tapi, anak ini akan ku sera
Laura?" Melihat Laura hanya diam menunduk, Dokter Gina segera menggubrisnya. Laura mengangkat pandangannya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia menatap Dokter Gina yang sepertinya sangat menantinya penjelasan. Tapi, lagi-lagi Laura menimbang, ia bukanlah seorang pengadu. Bukankah kejadian yang ia alami kemarin adalah peringatan besar untuknya dari Arini? Laura tak bisa mengatakan itu pada Dokter Gina. Ia tahu, keselamatan janinnya adalah yang utama. Ia tak perlu mengumbar kejadian suram kemarin pada siapapun. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk cerita. Tapi, bolehkah kalau semisal aku memberimu sedikit acuan? Ya, memang ini bukan ranahku. Sesuatu yang terjadi padamu adalah sebuah permasalahan internal. Dan kamu berhak untuk tak menceritakannya pada siapapun." Ujar Dokter Gina dengan perlahan. Laura hanya menganggukkan kepalanya perlahan sambil tangan mengelus perutnya. Setelah melihat gestur penyetujuan itu, Dokter Gina merapatkan duduknya lebih dekat dengan Laura.
"Permisi, Pak Sony, Pak Reno, selamat pagi." Ujar Dokter Gina dengan sopan setelah Sony membukakannya pintu dan mempersilakannya masuk. Laura telah datang dari dapur, dan ia kaget dengan kedatangan Dokter Gina. "Loh, Dokter Gina? " Ujar Laura yang masih kaget. "Selamat Pagi, Laura. Bagaimana keadaanmu? Aku datang hanya untuk memeriksa kandunganmu." Ujar Dokter Gina yang seperti memahami kebingungan Laura. Laura menatap Reno tak mengerti, seolah meminta penjelasan, karena datangnya Sony saja juga atas permintaan Reno. Ia yakin kedatangan Dokter Gina pun adalah karenanya. Sedangkan Reno membalasnya dengan tersenyum. "Aku yang memanggilnya kemari. Tentunya aku sangat mengkhawatirkan kehamilanmu setelah kejadian kemarin. " Ujar Reno menjelaskan. Laura menghembuskan nafas pasrah. Sebetulnya ia merasa sangat baik-baik saja, meskipun memang kemarin sempat ikut khawatir karena terasa sedikit kram di perutnya. Namun Dokter kandungannya terlanjur datang, ia tak mungkin menola







