LOGINReno yang menyadari tingkah Arini hanya mengedikkan bahunya tak acuh, dia berfikir setelah ini hanya perlu sedikit merayunya saja. Reno terus membantu Laura sampai ke dalam kamar lalu membaringkan Laura di atas ranjang.
"Laura, terima kasih banyak. " Ucap Reno yang ikut duduk di pinggir ranjang tempat Laura dibaringkan. "Aku tidak melakukan apapun yang mengharuskanmu mengucapkan terima kasih padaku." kata Laura tak acuh. Setelah Arini menemuinya di mobil, Laura lebih bersikap dingin pada Reno. Dia menjaga jarak, semata-mata untuk menghargai perasaan Arini yang menurutnya telah rapuh karenanya. "Aku sudah aman disini, lagipula ada Bi Ijah yang akan menemaniku. Lebih baik kamu susul saja istrimu, dia sedang membutuhkanmu." Ujar Laura kembali tanpa menatap wajah Reno. "Kamu juga istriku dan kamu lebih membutuhkanku sekarang." Tanpa sadar Reno berkata demikian, membuat ia segera memukul bibirnya sendiri karena berkata spontan seperti itu. Laura yang mendengarnya langsung menatap Reno dengan mata yang membulat. Seketika Reno tampak gelagapan, tak mampu membenarkan kata atau sekadar mengeles setelahnya. Hanya keheningan yang tersisa karena perkataan Reno barusan membuat keduanya jadi canggung seketika. Beberapa saat kemudian, pintu kamar diketuk memecah keheningan yang tengah berlangsung. Tak lama, pintu kamar dibuka oleh Bi Ijah. "Den, Non, maaf sepertinya Bibi harus keluar untuk membeli keperluan dapur yang kurang." Kata Bi Ijah setelah memasuki kamar Laura. "Baiklah, Bi. Tolong sekalian lengkapi stok makanan bergizi, sayur, dan buah juga. Sekarang Laura harus dijaga ketat soal makanannya." Kata Reno penuh perintah. "Baik, Den. Tapi bagaimana dengan Non Laura? Apa tidak apa-apa jika Bibi tinggal sendirian?" tanya Bi Ijah yang tak enak hati. "Bibi nggak usah khawatir, saya baik-baik saja disini sendiri." Laura beranjak dari tempat tidurnya, ia seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia bukan wanita lemah yang harus dijaga ketat. Dengan sigap Reno menahan Laura. "Tetaplah disini, jangan kemana-mana." Reno memapah kembali Laura ke atas ranjang, tak peduli dengan mata Laura yang mendelik dan ingin protes, Reno tetap melakukannya. "Bibi tenang saja, aku ada disini. Aku tak akan pulang sampai bibi kembali." Ucap Reno meyakinkan Bi Ijah. "Baiklah, saya permisi." Bi Ijah melenggang keluar meninggalkan dua insan yang halal jika memang terus berduaan di kamar sekalipun. "Pergilah, aku baik-baik saja. Aku tidak sakit, jadi tidak harus dijaga seperti ini." "Mengapa kamu seperti menjaga jarak dariku? Apa aku telah melakukan kesalahan?" tanya Reno yang tak tahan dengan sikap dingin Laura. Laura yang sekarang sangat berbeda dengan Laura yang selalu bersikap hangat padanya sewaktu mereka berteman dulu. "Berhentilah bersikap sepeduli itu padaku. Ada perasaan istrimu yang harus kamu jaga " "Aku hanya peduli karena kamu akan mengandung anakku. Salahkah jika aku hanya ingin menjagamu sampai anak itu dilahirkan?" Laura menggelengkan kepala, "Apapun alasanmu, tolong jangan buat hati istrimu hancur kedua kalinya." "Aku sudah berjanji pada ayahmu, aku akan selalu menjagamu dan tidak akan menyakitimu. Jadi tolonglah, jangan menghalangiku untuk menjaga calon anakku sampai ia lahir ke dunia." tegas Reno lalu meninggalkan Laura di kamarnya seorang diri. Laura duduk membungkuk dengan memeluk kedua lututnya, ia menangis kembali. Akhir-akhir ini ia merasa cengeng, tak terhitung berapa kali ia menangisi takdir yang jauh dari harapannya ini. Tak berselang lama, Reno datang kembali dengan 2 cangkir teh hangat di tangannya. Dengan cepat Laura segera menghapus air mata di pipinya. Reno segera menghampiri setelah melihat mata Laura terlihat sembab. "Minumlah, biasanya mood kamu akan membaik dengan segelas teh hangat." Reno menyodorkan sebuah cangkir yang diterima Laura dengan tatapan heran. "Mengapa kamu masih ingat soal itu?" "Aku tidak pernah melupakan apapun tentang kita. Sekian tahun tak bertemu bukan berarti aku akan kehilangan ingatan, aku masih ingat betul bagaimana pertemanan kita dulu." Ujar Reno dengan senyuman setelah menyeruput sedikit tehnya. Laura hanya tersenyum lalu menikmati teh tersebut. "Oh iya, pertemuan kita sebelumnya tak pernah sekalipun bertukar kabar. Saat kita bertemu kembali hanya fokus pada perjanjian kontrak saja. Sekarang kan kita akan sering bertemu, bisakah kita menjadi seorang teman seperti dulu?" Laura refleks menggelengkan kepala. Ingin sekali ia menjitak kepala orang yang berada di hadapannya ini. Baru saja ia mengajukan permintaan agar Reno menjaga jarak, malah minta berteman kembali. Bagaimana dengan perasaan Arini yang mati-matian ia jaga?, monolog Laura dalam hati.Arini berusaha bersikap tenang. Semua orang yang melihatnya tak boleh mengira jika ia sedang tidak baik-baik saja. Arini segera beranjak untuk membersihkan diri. Ia ingin terlihat segar saat Reno pulang nanti. Sehingga ia memutuskan untuk naik ke lantai atas agar segera mandi. Barusaja Arini menaiki satu anak tangga, suara mobil datang memasuki halaman Villa, membuatnya reflek menoleh dan berhenti melangkah. "Reno? Aku fikir dia datang terlalu cepat. Apa karena perjalanannya tak ada hambatan dari luar kota itu, ya?" Arini bergumam pelan sambil membalikkan badan, ia hendak menghampiri untuk menyambut kedatangan Reno. Baru beberapa saat terdengar pintu mobil ditutup, suara langkah kaki panjang dan tegas terdengar mendekati pintu. Tanpa ketukan dan sapaan, Reno berjalan masuk begitu saja. Dan berhenti saat jarak antara dirinya dan Arini hanya sekitar satu meter saja. Meski Arini sedikit heran saat melihat Reno seperti sedang buru-buru, namun ia tepis rasa itu dengan menyapa
Arini telah sampai di Villa satu jam sebelum jam makan siang tiba. Saat di mobil tadi, ia telah menghubungi Reno untuk memastikan sesuatu yang masih mengganjal tentang isi pesan yang masih menggantung tadi. Saat ditelepon tadi, Reno tak banyak bicara. Namun saat Reno mengajaknya bertemu dan makan siang bersama, kehawatirannya seakan menghilang begitu saja. Langkahnya menjadi sangat pasti. Arini merasa saat ini dunia masih ia genggam. Tak ada yang perlu ia khawatirkan, apalagi ditakutkan. Saat ia hendak memasuki pintu, Bi Ijah yang menyadari kedatangannya, dengan sigap membukakannya pintu. Arini melenggang masuk dengan langkah yang tegas, punggung yang lebih tegap, serta merasa percaya diri karena telah memenangkan sesuatu yang memuaskan hatinya waktu kemarin. "Siapkan masakkan yang spesial! Siang ini Reno akan makan siang disini." Ujar Arini tanpa menatap Bi Ijah yang berdiri tertunduk. "Baik, Non." Sebelum naik ke lantai atas, Arini merasa ingin mengetahui keadaan L
Arini menyipitkan matanya yang sedang terpejam, lalu berusaha menutup wajahnya dengan selimut. Sinar matahari pagi yang menyorot lewat jendela kamarnya, menganggu tidur nyenyaknya. "Sayang, apa kamu tidak mau membuatkanku sarapan pagi?" Tanya Gery sambil menyugar rambutnya yang basah dengan handuk. Setelah mandi, Gery dengan sengaja membuka tirai gorden yang menutup rapat jendela. Ia ingin kilau cahaya membangunkan Arini yang sulit ia ganggu. Perutnya lapar dan ia ingin Arini memasakkannya sesuatu. Arini membuka selimutnya dengan enggan. Lalu, ia beranjak dari kasurnya hendak pergi mandi. "Kamu pesan saja makanan dari bawah. Billnya biar aku yang urus." Ujar Arini sebelum punggungnya benar-benar hilang di balik pintu toilet. Gery mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu, ia melakukan apa yang Arini suruh. Gery hanya modal tampang, sedangkan urusan dompet, Arini selalu bisa menjadi andalannya. Usaha bengkelnya akhir-akhir ini mengalami penurunan. Namun itu tak membua
Setelah berpamitan, Reno segera mengajak Sony pergi. Kali ini ia tak mengajak Johan, karena Laura masih membutuhkan penjagaan, namun Laura menolak disediakan bodyguard. Reno akan lebih tenang jika Johan yang berganti menjaga Laura, karena Laura pun tak menolak hal itu. Setelah Reno memasuki mobil, Sony segera berdehem sebelum ia melajukan mobilnya. "Bos, apa rapat dengan Purna Jaya tidak jadi direschedule? " Tanya Sony saat mengira Reno akan menghadiri rapat yang sempat akan ditunda karena pagi tadi Reno sempat demam. "Tidak. Ke Jalan Summer saja. " Ujar Reno dengan tatapan datar. Sony sempat mengerutkan kening. Setahunya, alamat yang disebutkan adalah alamat salah satu apartemen keluarga Reno. Mau apa dia kesana? Sejak Reno mengangkatnya jadi Asisten pribadi, ia banyak belajar dari Dina tentang apa yang biasa bosnya lakukan. Serta ia menghafal alamat-alamat yang berkaitan dengan hidup Reno termasuk kolega bisnisnya. Ternyata hal itu ada positifnya di saat-saat seperti i
"Apa_ apa kamu marah karena tadi aku menyentuh bibirmu?" Tanya Reno perlahan. Reno sempat memejamkan matanya saat mengatakan itu. Ia sangat ragu namun ia sangat ingin tahu alasan Laura bersikap dingin padanya. Laura membelalakkan matanya menatap Reno. Sebelum akhirnya wajahnya bersemu merah menahan malu. Ia menjadi salah tingkah. Namun ia tak ingin Reno menyadarinya. Mengapa Reno harus mengungkit kejadian tadi? Laura sangat malu, meskipun saat itu terjadi, Laura tak bisa mengelak, ia merasa candu. Tapi, apakah Reno harus membahas itu? "Reno! Apa hal itu harus kamu bahas?" Laura merasa geram karena Reno mengatakan apa yang seharusnya tak mereka bahas. "Aku, aku minta maaf soal tadi. Aku nggak tahu, Lau. Saat tadi, aku tak bisa menahannya. Saat kamu menggigit bibirmu, aku nggak bisa tak melakukan itu. " Ujar Reno dengan jujur. Laura mengerutkan keningnya. Mengapa Reno berbicara sefrontal itu? Laura sangat enggan membahasnya. Namun Reno terlanjur membuka cerita itu, mau tak mau La
"Nak, kamu nggak apa-apa? " Tanya Rina menghampiri Laura yang sedang duduk di kursi belakang rumah. Laura sedang melamun, sehingga ia tak menyadari jika ibunya datang. Dan saat ibunya bertanya, Laura jadi tersentak kaget. "Em, nggak apa-apa, Bu. Tentu saja aku baik-baik saja." Ujar Laura dengan tersenyum. "Tapi, kata Reno kandunganmu..." "Tidak apa-apa. Dia kuat, Bu. Tidak usah khawatir." Ujar Laura segera menyela ucapan ibunya. Ia tak ingin Ibunya khawatir. Rina menghela nafas, ia tahu betul jika Laura sedang berbohong. Jelas-jelas ia sudah mendengar semuanya dari Reno. Namun ia pun tahu betul dengan sifat Laura yang selalu ingin terlihat kuat di hadapan orang lain, serapuh apapun itu. "Ibu percaya, anak ini kuat. Seperti mamanya tentunya. " Rina menoel hidung Laura saat berkata seperti itu. Awalnya Laura tertawa saat ibunya menggodanya. Lama kelamaan senyuman itu memudar, saat ia menyadari sesuatu. Ia merasa tertegun. Aku? Mamanya? Tapi, anak ini akan ku sera







