LOGINSesampainya di rumah sakit, Reno yang sudah menunggu sedari tadi langsung menyambut hangat kedua wanitanya. Ya, meskipun pelukan hangat yang didapat Arini dan hanya sapaan kecil yang diterima Laura, tapi tentu saja itu bukan masalah bagi Laura.
Mereka langsung menuju ruangan dokter Gina, teman dari Arini yang telah diberi kepercayaan untuk membantu selama proses kehamilan Laura berlangsung. "Selamat siang, dokter Gina." Sapa Reno kala mereka hendak memasuki ruangan dokter Gina. "Selamat siang, silakan masuk." Ketiganya langsung masuk dan Arini mendapat pelukan hangat dari sahabat yang baru mengetahui kejadian mengenai kontrak ini. "Kenalkan, ini Laura, wanita yang akan mengandung anak kami." Kata Arini mengenalkan Laura pada dokter Gina. "Salam kenal Laura, saya Dokter Gina. Disini saya yang akan menemani kamu sampai proses melahirkan nanti. Kamu boleh bertanya apapun itu mengenai proses inseminasi sampai hal-hal yang menyangkut kehamilan kamu nanti.” Sapa Dokter Gina dengan ramah. Meskipun ia adalah teman Arini, namun sebagai seorang dokter, ia harus tetap profesional, tidak ada sikap memihak siapapun, tetap membantu sampai tuntas sesuai tujuan permintaan dari keluarga pasien. "Saya Laura, senang bertemu dengan dokter. " Laura menjabat tangan dokter tersebut dengan ramah. Selanjutnya dilakukan serangkaian pemeriksaan medis untuk memastikan kondisi kesehatan dan kesuburan kedua belah pihak, serta persiapan sampel sperma dan memantau masa ovulasi demi kelangsungan inseminasi buatan itu berjalan dengan lancar. “Dua minggu lagi akan saya kabari, jika hasilnya bagus, maka akan langsung saya jadwalkan tindakan inseminasinya. “ kata Dokter Gina sebelum Laura dan yang lainnya meninggalkan ruangan Dokter Gina. ** Beberapa hari kemudian, proses inseminasi akan dilakukan. Serangkaian tes telah dilaksanakan dan memberikan hasil yang bagus, Dokter Gina langsung menjadwalkan inseminasi sesuai masa ovulasi dari Laura. "Laura, kamu tetap rileks dan jangan gugup ya." Titah Dokter Gina pada Laura yang telah berbaring di meja ginekonologi. Laura hanya menurut meskipun ia sendiri tak bisa mengendalikan dirinya bahwa saat ini ia gugup luar biasa. Seketika pikirannya langsung travelling ke mana-mana. Saat-saat seperti ini, ia merindukan pelukan hangat sang ibu yang menenangkan. Namun apa daya, ia hanya bisa menangis sendirian, melewati kerasnya hidup tanpa dorongan doa sang ibu yang tak tahu kejadian yang sekarang ia alami. Sebuah spekulum menyentuh dan mendarat di bagian intimnya, membuat Laura semakin merasa teriris. Harta yang selama ini ia jaga kini pertahanannya rusak begitu saja. Sebagai wanita yang selalu menjaga kesuciannya, tentu tak mudah untuk merasa ikhlas begitu saja. Air mata Laura kembali luruh, bersamaan dengan masuknya kateter yang membawa sperma itu masuk menuju rahimnya. Sekitar 20 menit, proses inseminasi sudah selesai. Singkat, namun dengan bekas ingatan yang bertahun-tahun pun tak akan pernah hilang dalam ingatan Laura. "Good job, semuanya sudah selesai. Kamu hanya perlu berbaring beberapa saat. Jangan banyak gerak dulu ya, nanti saya lakukan observasi beberapa saat lagi." Kata Dokter Gina setelah tugasnya telah usai lalu pergi meninggalkannya seorang diri. Laura hanya menganggukkan kepala dengan tatapan datar. Ia merasa hidupnya akan berubah 360 derajat. Setelah ini kemungkinan besar ia akan berbadan dua, mempunyai tanggung jawab untuk sebuah nyawa di perutnya dalam beberapa bulan. Laura masih dalam keadaan pemulihan, dia tetap berbaring dan tak menggerakkan tubuhnya sama sekali, ketika pintu ruangan terbuka kembali, Laura tak mau menoleh ke arah pintu, pikirannya masih beradu pada sebuah proses yang berhasil mengubah hidupnya. "Laura, apa kamu baik-baik saja?" tanya Reno yang terlihat cemas. Laura menatap Reno dengan mata yang berkaca-kaca. "Apa ada yang sakit?" tanya Reno kembali karena sedari tadi tak mendapat jawaban. "Sayang, mengapa kamu jadi peduli gini sama Laura? Bukankah kamu sudah janji tak akan melibatkan perasaan?" Protes Arini yang tak sedikitpun merasa iba setelah melihat Laura yang terlihat pucat. "Arini, aku mohon kali ini kamu mengerti. Aku peduli karena Laura telah melakukan sesuatu hal untuk kita. Jadi wajar kalau aku tak akan membiarkan Laura sampai kenapa-napa." Seketika mata Arini membulat sempurna. Ia ingin sekali memaki wanita yang ada di hadapannya ini. Karena Laura, hari ini Reno secara terang-terangan membela wanita lain. Namun belum sepatah kata yang keluar, dia dikejutkan dengan suara seseorang yang membuatnya harus diam. "Laura sedang dalam masa pemulihan, jadi dia tidak boleh banyak gerak untuk beberapa saat. Setelah ini dia sudah bisa pulang. Saya mohon agar kondisi Laura selalu dijaga. Jangan sampai dia stres, jaga pola makanannya, dan hindari aktivitas berlebihan." Dokter Gina yang datang bersama seorang asisten berhasil membuat Arini tidak jadi memaki Laura. Setelah proses inseminasi selesai, dokter memperbolehkan Laura untuk pulang. Laura diantar Reno dan Arini langsung menuju Villa tempat tinggal sementara Laura. Mobil yang mereka tumpangi telah sampai di halaman Villa. Dengan sigap, Reno memapah Laura sampai menuju ke kamarnya. "Reno, aku bisa sendiri." Tolak Laura saat melihat ekspresi Arini yang menunjukkan tidak suka. "Sudahlah, kamu masih terlihat lemas, jangan sok kuat, aku akan memapahmu sampai kamu berada di kamar dengan aman." Tegas Reno tak mau dibantah. Lagi dan lagi Arini hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Tak tahan dengan Reno yang tak bisa menjaga perasaannya, Arini pergi begitu saja keluar dari villa.Arini telah sampai di Villa satu jam sebelum jam makan siang tiba. Saat di mobil tadi, ia telah menghubungi Reno untuk memastikan sesuatu yang masih mengganjal tentang isi pesan yang masih menggantung tadi. Saat ditelepon tadi, Reno tak banyak bicara. Namun saat Reno mengajaknya bertemu dan makan siang bersama, kehawatirannya seakan menghilang begitu saja. Langkahnya menjadi sangat pasti. Arini merasa saat ini dunia masih ia genggam. Tak ada yang perlu ia khawatirkan, apalagi ditakutkan. Saat ia hendak memasuki pintu, Bi Ijah yang menyadari kedatangannya, dengan sigap membukakannya pintu. Arini melenggang masuk dengan langkah yang tegas, punggung yang lebih tegap, serta merasa percaya diri karena telah memenangkan sesuatu yang memuaskan hatinya waktu kemarin. "Siapkan masakkan yang spesial! Siang ini Reno akan makan siang disini." Ujar Arini tanpa menatap Bi Ijah yang berdiri tertunduk. "Baik, Non." Sebelum naik ke lantai atas, Arini merasa ingin mengetahui keadaan L
Arini menyipitkan matanya yang sedang terpejam, lalu berusaha menutup wajahnya dengan selimut. Sinar matahari pagi yang menyorot lewat jendela kamarnya, menganggu tidur nyenyaknya. "Sayang, apa kamu tidak mau membuatkanku sarapan pagi?" Tanya Gery sambil menyugar rambutnya yang basah dengan handuk. Setelah mandi, Gery dengan sengaja membuka tirai gorden yang menutup rapat jendela. Ia ingin kilau cahaya membangunkan Arini yang sulit ia ganggu. Perutnya lapar dan ia ingin Arini memasakkannya sesuatu. Arini membuka selimutnya dengan enggan. Lalu, ia beranjak dari kasurnya hendak pergi mandi. "Kamu pesan saja makanan dari bawah. Billnya biar aku yang urus." Ujar Arini sebelum punggungnya benar-benar hilang di balik pintu toilet. Gery mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Lalu, ia melakukan apa yang Arini suruh. Gery hanya modal tampang, sedangkan urusan dompet, Arini selalu bisa menjadi andalannya. Usaha bengkelnya akhir-akhir ini mengalami penurunan. Namun itu tak membua
Setelah berpamitan, Reno segera mengajak Sony pergi. Kali ini ia tak mengajak Johan, karena Laura masih membutuhkan penjagaan, namun Laura menolak disediakan bodyguard. Reno akan lebih tenang jika Johan yang berganti menjaga Laura, karena Laura pun tak menolak hal itu. Setelah Reno memasuki mobil, Sony segera berdehem sebelum ia melajukan mobilnya. "Bos, apa rapat dengan Purna Jaya tidak jadi direschedule? " Tanya Sony saat mengira Reno akan menghadiri rapat yang sempat akan ditunda karena pagi tadi Reno sempat demam. "Tidak. Ke Jalan Summer saja. " Ujar Reno dengan tatapan datar. Sony sempat mengerutkan kening. Setahunya, alamat yang disebutkan adalah alamat salah satu apartemen keluarga Reno. Mau apa dia kesana? Sejak Reno mengangkatnya jadi Asisten pribadi, ia banyak belajar dari Dina tentang apa yang biasa bosnya lakukan. Serta ia menghafal alamat-alamat yang berkaitan dengan hidup Reno termasuk kolega bisnisnya. Ternyata hal itu ada positifnya di saat-saat seperti i
"Apa_ apa kamu marah karena tadi aku menyentuh bibirmu?" Tanya Reno perlahan. Reno sempat memejamkan matanya saat mengatakan itu. Ia sangat ragu namun ia sangat ingin tahu alasan Laura bersikap dingin padanya. Laura membelalakkan matanya menatap Reno. Sebelum akhirnya wajahnya bersemu merah menahan malu. Ia menjadi salah tingkah. Namun ia tak ingin Reno menyadarinya. Mengapa Reno harus mengungkit kejadian tadi? Laura sangat malu, meskipun saat itu terjadi, Laura tak bisa mengelak, ia merasa candu. Tapi, apakah Reno harus membahas itu? "Reno! Apa hal itu harus kamu bahas?" Laura merasa geram karena Reno mengatakan apa yang seharusnya tak mereka bahas. "Aku, aku minta maaf soal tadi. Aku nggak tahu, Lau. Saat tadi, aku tak bisa menahannya. Saat kamu menggigit bibirmu, aku nggak bisa tak melakukan itu. " Ujar Reno dengan jujur. Laura mengerutkan keningnya. Mengapa Reno berbicara sefrontal itu? Laura sangat enggan membahasnya. Namun Reno terlanjur membuka cerita itu, mau tak mau La
"Nak, kamu nggak apa-apa? " Tanya Rina menghampiri Laura yang sedang duduk di kursi belakang rumah. Laura sedang melamun, sehingga ia tak menyadari jika ibunya datang. Dan saat ibunya bertanya, Laura jadi tersentak kaget. "Em, nggak apa-apa, Bu. Tentu saja aku baik-baik saja." Ujar Laura dengan tersenyum. "Tapi, kata Reno kandunganmu..." "Tidak apa-apa. Dia kuat, Bu. Tidak usah khawatir." Ujar Laura segera menyela ucapan ibunya. Ia tak ingin Ibunya khawatir. Rina menghela nafas, ia tahu betul jika Laura sedang berbohong. Jelas-jelas ia sudah mendengar semuanya dari Reno. Namun ia pun tahu betul dengan sifat Laura yang selalu ingin terlihat kuat di hadapan orang lain, serapuh apapun itu. "Ibu percaya, anak ini kuat. Seperti mamanya tentunya. " Rina menoel hidung Laura saat berkata seperti itu. Awalnya Laura tertawa saat ibunya menggodanya. Lama kelamaan senyuman itu memudar, saat ia menyadari sesuatu. Ia merasa tertegun. Aku? Mamanya? Tapi, anak ini akan ku sera
Laura?" Melihat Laura hanya diam menunduk, Dokter Gina segera menggubrisnya. Laura mengangkat pandangannya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia menatap Dokter Gina yang sepertinya sangat menantinya penjelasan. Tapi, lagi-lagi Laura menimbang, ia bukanlah seorang pengadu. Bukankah kejadian yang ia alami kemarin adalah peringatan besar untuknya dari Arini? Laura tak bisa mengatakan itu pada Dokter Gina. Ia tahu, keselamatan janinnya adalah yang utama. Ia tak perlu mengumbar kejadian suram kemarin pada siapapun. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk cerita. Tapi, bolehkah kalau semisal aku memberimu sedikit acuan? Ya, memang ini bukan ranahku. Sesuatu yang terjadi padamu adalah sebuah permasalahan internal. Dan kamu berhak untuk tak menceritakannya pada siapapun." Ujar Dokter Gina dengan perlahan. Laura hanya menganggukkan kepalanya perlahan sambil tangan mengelus perutnya. Setelah melihat gestur penyetujuan itu, Dokter Gina merapatkan duduknya lebih dekat dengan Laura.







