Setelah akad nikah berlangsung, semua orang membubarkan diri, yang tersisa hanya keluarga inti saja.
Johan segera menghampiri Laura sebelum dirinya pergi meninggalkan putrinya sendirian. "Nak, sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, surgamu sekarang ada pada suamimu. Berusahalah untuk menjadi istri yang baik. Kalau ada yang menyakitimu, bicaralah. Ayah akan selalu menjadi garda terdepan yang selalu membelamu." Wejangan sang Ayah diiringi tangis yang tiada henti. Laura menganggukkan kepala, "Ayah, aku titip ibu. Selalu kabari aku apapun tentang ibu. " Laura memeluk erat sang Ayah dengan terisak. Tak lepas sedetik pun untuk tak mengkhawatirkan ibunya. Sebelumnya Laura pamit pada Rina dengan alasan untuk bekerja di tempat yang jauh, dimana ia tak bisa pulang dalam waktu cepat. Setelah selesai bicara pada Laura, Johan beralih pada Reno. "Nak Reno, ayah titip Laura. Walaupun dia bukan istri sahmu menurut negara, tapi Ayah mohon jangan sampai kamu menyakitinya. Ayah menitipkan Laura padamu secara baik-baik, kembalikan lagi Laura pada ayah secara baik-baik sesuai kesepakatan kita." Johan menepuk pelan pundak Reno, pertanda ia mempercayakan Reno yang akan bertanggung jawab pada putrinya. "Ayah tenang saja, walaupun aku tidak bisa setiap hari bersamanya, aku akan terus memantau keadaannya. Disini kami akan menjaganya. Terima kasih sudah percaya padaku untuk menjaga Laura." Ucap Reno dengan tenang. "Pak Johan jangan khawatir, Laura akan kami jaga baik-baik disini. Pak Johan bisa sering menjenguk Laura kemari. Kami ingin memberi kebebasan pada Laura, bukan menculik atau mengekangnya, kami hanya ingin Laura terus berada dalam pengawasan kami selama dia mengandung." Ujar Tari ikut menimpali. Laura akan menempati villa mewah itu yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Laura akan tinggal bersama Bi Ijah, seorang asisten rumah tangga yang akan ikut serta menjaganya.Hal ini tentu saja berdasar pada isi perjanjian, dimana Laura harus berkenan tinggal di tempat yang disediakan Reno sampai Laura melahirkan anak mereka. Reno dan Tari sepakat memilih villa tersebut karena sudah jarang sekali dikunjungi keluarganya, sehingga dirasa aman jika sekedar menyembunyikan Laura dalam waktu kurang dari setahun. ** Pagi hari menyapa, seharian tinggal di villa besar sendirian membuat Laura merasakan jenuh luar biasa. Ditambah larangan dari Bi Ijah agar Laura tak melakukan pekerjaan rumah apapun membuatnya merasa bosan. "Non, jangan dicuci, biar bibi saja." Bi Ijah mencegah Laura mencuci piring bekas sarapan. Tapi Laura tak bisa dihentikan. "Bi, ini tugas paling enteng, aku cuma mencuci sebuah piring bukan angkat-angkat galon. Jangan melarangku ya." Pinta Laura dengan sopan, tugas seperti ini sudah biasa ia lakukan di rumahnya setiap hari. "Non, saya sudah diberi peringatan oleh Den Reno, jangan sampai non cape ataupun melakukan pekerjaan apapun. Apalagi nanti siang non akan melakukan tes kesehatan, lebih baik non istirahat ya." "Bi, aku tiduran terus yang ada malah jadi pusing loh. Lebih enakan banyak gerak, jadi peredaran darah normal, nanti pasti hasil tes nya bagus." "Ya sudah, kalau cape non hentikan semuanya ya, jangan sampai nanti mempengaruhi hasil tesnya non, nanti bibi yang merasa bersalah." "Siap, bibi tenang saja, ini bukan hal yang membahayakan, jadi jangan khawatir berlebihan ya." Ujar Laura dengan tersenyum. Baru sehari bersama Bi Ijah, tak membuatnya canggung. Bi Ijah sudah seperti ibunya sendiri. Dia mendapat perhatian, sikap yang lembut, dan kasih sayang seperti yang ia dapat dari Rina, ibu kandungnya sendiri. Beberapa saat kemudian, Reno menghubungi Laura, dia memberi tahu bahwa sebentar lagi akan ada seorang sopir yang menjemputnya untuk berangkat menuju rumah sakit, tempat yang akan digunakan untuk menjalani tes dan melakukan inseminasi. Laura segera bersiap, agar nanti sopir tersebut tak harus menunggu lama. Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan pintu dari luar kamar Laura. "Non, sopir yang menjemput sudah datang. Apa non sudah siap?" tanya Bi Ijah setelah Laura membukakan pintu. "Iya bi, aku sudah siap." Bi Ijah langsung mengantarkan Laura menuju depan. Pak Bejo, sopir tersebut langsung membukakan pintu mobil belakang, Laura langsung masuk. Betapa terkejutnya Laura saat melihat seorang wanita yang duduk di kursi belakang, menatapnya dengan tajam. Laura duduk menunduk dengan mengatupkan bibirnya, tak berani untuk menyapa terlebih dahulu. Mobil pun melaju tanpa ada obrolan di dalamnya. “Kenapa kamu diam Laura? Nggak usah takut, aku bukan harimau yang mau menerkammu. Aku hanya madumu yang ingin berbagi sedikit cerita denganmu.” ungkap wanita itu memecahkan keheningan. Laura menatap dengan segan. Semakin Arini bicara seperti itu semakin Laura dibuat takut. Baru satu hari menjadi istri siri Reno, tiba-tiba Arini menunjukkan sikap yang tak dimengerti oleh Laura.”Apa maksud dari perkataan mbak barusan?” Tanya Laura dengan hati-hati. “Aku rasa sebagai wanita dewasa yang akan mengandung seorang anak tak butuh penjelasan panjang untuk memahami sesuatu.” Kata Arini penuh penegasan. Laura menggelengkan kepala, sebagai seorang wanita ia paham rasanya diduakan. Tapi di sisi lain, sikap Arini tak menunjukan titik kejelasan salahnya Laura ada dimana. “Aku tahu, aku sangat mengerti tentang perasaan mbak saat ini. Tapi bukankah yang terjadi sekarang juga atas persetujuan mbak?” Laura berkata dengan hati-hati, ia berusaha menyaring kata supaya tak ada unsur menyinggung. Sebagai manusia biasa, ia tak mampu sekedar menebak inti pembicaraan orang yang tak memberitahunya dengan transparan. “Sebagai sesama wanita, kamu pasti paham bagaimana sulitnya menumbuhkan rasa rela berbagi.“ Arini menatap Laura dengan tajam. Laura hanya mampu menganggukkan kepala, “Aku minta maaf mbak, tapi sudah kukatakan dari awal, pernikahan ini terjadi hanya sebagai formalitas, menghilangkan label zina dan menyelamatkan status anak itu nanti. Mbak tenang saja, aku akan berusaha profesional, tak akan mengganggu rumah tangga mbak dengan Reno. Tak pernah ada niat sedikitpun untuk merebut apa yang menjadi milik orang lain.” Tanpa mereka sadari, mobil telah tiba di depan lobby rumah sakit. “Nyonya, kita sudah sampai.“ Pak Bejo membukakan pintu mobil di samping Arini. “Kita belum selesai bicara.” Arini langsung melenggang keluar tanpa mendengar jawaban dari Laura yang masih duduk mematung.“Aku tidak mendengar kabar pernikahannya. Dia seorang gadis, sudah setahun bekerja dengan sangat baik di kantor ini. Namun beberapa minggu lalu aku mendengar kabar kehamilannya yang tiba-tiba. Sebenarnya kabar ini merusak citra buruk perusahaan, aku juga sedang menangani hal ini.“ Reno kembali menjelaskan. Laura tampak kaget mendengar berita mengenai temannya sendiri. Ia menatap Reno lamat-lamat membuat Reno mengerutkan alisnya.“Kamu sama sekali nggak tahu tentang ini?” Tanya Reno yang heran melihat Laura tampak melongo. Laura menggelengkan kepala dengan wajah polosnya. “Nggak tahu.”Reno menepuk pelan keningnya. Baru saja akan berbicara kembali, tiba-tiba terdengar ketukan yang membuat keduanya melihat ke arah pintu. "Masuklah." Seru Reno, tanpa menunggu lama, Johan masuk dan menutup kembali pintu ruangan. "Baiklah, ayah sudah datang. Aku ada urusan sebentar, kamu bisa panggil Dina jika membutuhkan sesuatu. Ruangan Dina tepat di samping ruangan ini." Reno mengambil sebuah b
"Tinggallah bersama kami di rumah keluarga Wijaya." Seru Tari dengan wajah yang masih mengiba. Arini tampak melongo mendengar permintaan Mamanya pada Laura, sedangkan bagi Laura sendiri, ia tak begitu kaget karena sedari awal ia telah curiga sebelumnya. "Ma, tolong pikirkan kembali apa yang baru saja mama katakan. Secara tidak langsung kita akan membuka rahasia kita pada dunia." Arini menyela ucapan mama mertuanya dengan cepat, tanpa mau mendengarkan jawaban Laura yang sedang diajak bicara. Laura menganggukkan kepala tanda setuju pada ucapan Arini. "Tante, eh, maaf Ma. Kali ini aku belum bisa memenuhi keinginan Mama. Kontrak kita ini bersifat rahasia, aku tak ingin jika aku masuk ke rumah keluarga Wijaya malah akan mempersulit masalah. Aku dan Reno juga sudah sepakat, selama kontrak ini berlangsung, aku akan tetap tinggal di villa. Jadi dengan berat hati, aku tak bisa melakukan apa yang mama mau." Laura memegang kedua tangan Tari, ia berusaha meyakinkan Mama mertuanya. “Tapi i
Reno yang menerima penolakan itu merasa kecewa. Dia merasa canggung karena Laura yang berada di hadapannya kini malah tak ingin berteman sekalipun dengannya. Keduanya nampak diam tak bersuara, hanya suara detik jarum jam yang menjadi penggiring keheningan. Setelah diam beberapa saat, akhirnya Reno kembali mengutarakan pertanyaan yang sudah ingin mencuat dari jauh-jauh hari. "Hmm, Laura. Satu hal lagi yang harus aku tanyakan padamu." Kata Reno dengan gugup. Laura menaikkan sebelah alisnya, "Apa itu?" "Apa sekarang kamu mempunyai seorang kekasih?" Tanya Reno perlahan. Seketika Laura terdiam, ia meletakkan cangkir di atas nakas lalu menghembuskan napasnya pelan. "Ada, malah dia sedang berjuang di negeri orang untuk meminangku. Tapi..." Laura langsung menunduk, tak mampu melanjutkan ceritanya. "Maafkan aku. Aku telah membuat masalah baru di hidupmu. Bukan hanya soal kamu yang harus mengorbankan rahimmu, tapi juga perasaan, terutama hubungan kamu dengan kekasihmu. Aku tak be
Reno yang menyadari tingkah Arini hanya mengedikkan bahunya tak acuh, dia berfikir setelah ini hanya perlu sedikit merayunya saja. Reno terus membantu Laura sampai ke dalam kamar lalu membaringkan Laura di atas ranjang. "Laura, terima kasih banyak. " Ucap Reno yang ikut duduk di pinggir ranjang tempat Laura dibaringkan. "Aku tidak melakukan apapun yang mengharuskanmu mengucapkan terima kasih padaku." kata Laura tak acuh. Setelah Arini menemuinya di mobil, Laura lebih bersikap dingin pada Reno. Dia menjaga jarak, semata-mata untuk menghargai perasaan Arini yang menurutnya telah rapuh karenanya. "Aku sudah aman disini, lagipula ada Bi Ijah yang akan menemaniku. Lebih baik kamu susul saja istrimu, dia sedang membutuhkanmu." Ujar Laura kembali tanpa menatap wajah Reno. "Kamu juga istriku dan kamu lebih membutuhkanku sekarang." Tanpa sadar Reno berkata demikian, membuat ia segera memukul bibirnya sendiri karena berkata spontan seperti itu. Laura yang mendengarnya langsung me
Sesampainya di rumah sakit, Reno yang sudah menunggu sedari tadi langsung menyambut hangat kedua wanitanya. Ya, meskipun pelukan hangat yang didapat Arini dan hanya sapaan kecil yang diterima Laura, tapi tentu saja itu bukan masalah bagi Laura. Mereka langsung menuju ruangan dokter Gina, teman dari Arini yang telah diberi kepercayaan untuk membantu selama proses kehamilan Laura berlangsung. "Selamat siang, dokter Gina." Sapa Reno kala mereka hendak memasuki ruangan dokter Gina. "Selamat siang, silakan masuk." Ketiganya langsung masuk dan Arini mendapat pelukan hangat dari sahabat yang baru mengetahui kejadian mengenai kontrak ini. "Kenalkan, ini Laura, wanita yang akan mengandung anak kami." Kata Arini mengenalkan Laura pada dokter Gina. "Salam kenal Laura, saya Dokter Gina. Disini saya yang akan menemani kamu sampai proses melahirkan nanti. Kamu boleh bertanya apapun itu mengenai proses inseminasi sampai hal-hal yang menyangkut kehamilan kamu nanti.” Sapa Dokter Gina d
Setelah akad nikah berlangsung, semua orang membubarkan diri, yang tersisa hanya keluarga inti saja. Johan segera menghampiri Laura sebelum dirinya pergi meninggalkan putrinya sendirian. "Nak, sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, surgamu sekarang ada pada suamimu. Berusahalah untuk menjadi istri yang baik. Kalau ada yang menyakitimu, bicaralah. Ayah akan selalu menjadi garda terdepan yang selalu membelamu." Wejangan sang Ayah diiringi tangis yang tiada henti. Laura menganggukkan kepala, "Ayah, aku titip ibu. Selalu kabari aku apapun tentang ibu. " Laura memeluk erat sang Ayah dengan terisak. Tak lepas sedetik pun untuk tak mengkhawatirkan ibunya. Sebelumnya Laura pamit pada Rina dengan alasan untuk bekerja di tempat yang jauh, dimana ia tak bisa pulang dalam waktu cepat. Setelah selesai bicara pada Laura, Johan beralih pada Reno. "Nak Reno, ayah titip Laura. Walaupun dia bukan istri sahmu menurut negara, tapi Ayah mohon jangan sampai kamu menyakitinya. Ayah menitip
"Apa?" Arini membulatkan matanya, ia begitu kaget dengan permintaan Laura yang menurutnya keterlaluan. "Mbak Arini tenang saja, permintaan saya hanya sebagai status semata. Saya tidak ingin terlalu jauh berbuat dosa, saya tidak ingin nantinya anak itu dikatakan anak haram." Laura memberanikan diri untuk mengutarakan keinginannya, dengan tenang ia sampaikan hingga Reno dan Arini mau menurutinya. "Sayang, kamu lihat sendiri, kan? Wanita ini dikasih hati minta jantung. Kamu sudah bayar mahal malah minta dinikahi. Apa menurutmu dia tidak serakah?" Ketus Arini dengan napas yang membara karena menahan emosi. "Sebenarnya pernah terlintas juga dalam benakku mengenai kontrak ini yang memang tergolong sensitif, aku bahkan sudah mengira kamu dan ayah kamu pasti meminta itu. Aku juga tidak ingin hal ini dikatakan zina, aku takut anakku nanti dikira anak haram, walaupun nanti semua orang akan mengira anak itu adalah anak dari Arini." Reno mengatakan dengan tatapan datar, walaupun sebenarny
Laura memandang danau indah dengan tatapan kosong. Pemandangan yang seharusnya memanjakan mata, kini hanya seperti sebuah pajangan yang menjadi pelampiasan kegalauan hati. Dia melirik ponselnya, terdapat beberapa pesan dari Devan yang baru sempat ia baca. Masalah yang datang akhir-akhir ini membuatnya lupa untuk sekedar berkabar. Ponselnya bergetar, menandakan seseorang telah menghubunginya. "Halo." Laura menyapa terlebih dahulu, ia tak tahu siapa nomor baru yang menghubunginya. "Laura, sore ini saya dan Arini akan mengunjungi ibumu, sekalian saya minta kamu periksa kesehatan sebelum dilakukan inseminasi." Setelah terdengar suaranya, Laura tentu tahu yang menghubunginya adalah Reno. Kali ini Reno bersikap lebih dingin, mungkin karena sedikit menjaga perasaan istrinya. Laura memutar bola mata malas. Jika bisa memilih, ia ingin sekali menghentikan waktu sampai masalah ini selesai tanpa harus melibatkannya. "Bisa-bisanya dia mengkhianatiku. Kamu pikir deh sayang, dia yang
"Ibumu sedang tidur, jangan mengganggunya. Kamu tunggu saja di depan, ayah akan segera menyusulmu." Baru saja Laura membuka pintu ruangan ibunya dengan raut wajah menahan emosi, ayahnya langsung menodongnya dengan berbagai pernyataan. Ayahnya sudah tahu betul, kali ini putrinya akan protes mengenai perjanjian kontraknya. Tak ingin masalah ini diketahui istrinya, Johan meminta Laura tak membahas itu di ruangan tersebut. "Kontraknya sudah kamu tanda tangani?" tanya Johan yang ikut duduk di ruang tunggu. Laura menganggukkan kepala dengan bibir yang mengerucut, ia langsung membalikkan badan, menghadap sang ayah dengan tatapan yang tajam. Sikapnya kali ini lebih siap untuk menginterogasi ayahnya. "Kenapa Ayah tidak bilang kalau laki-laki yang membutuhkan ibu pengganti itu adalah Reno? Kenapa Ayah tidak jujur padaku dari awal? Mengapa harus Reno?" "Maafkan ayah, nak. Jika ayah memberitahumu dari awal, kamu pasti tidak akan mau melakukannya." "Aku tak menyesali keputusa