Masuk
Angin malam mengoyak reruntuhan Kuil Dewa Langit dengan raungan yang nyaris seperti jeritan hantu. Tetapi angin yang berbisik cerita-cerita dari masa lalu, membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan bau rempah-rempah kuno dan debu berabad-abad.
"Tempat ini... benar-benar mati," gumam seorang prajurit berjubah hitam, suaranya bergetar diterpa angin. "Apakah kita yakin harus mencari di sini?" "Perintah adalah perintah," jawab rekannya, matanya menyipit menembus kegelapan. "Kita harus menemukan apa yang mereka sembunyikan, apa pun itu." "Lihat," prajurit pertama menunjuk ke reruntuhan di depan mereka. "Bangunan itu... dulunya pasti sangat megah." "Tapi sekarang hanya tinggal puing-puing," sahut rekannya, mendengus. "Seperti harapan yang terkubur." "Apa maksud dari ukiran-ukiran ini?" tanya prajurit pertama, mengamati dinding yang remuk. "Apakah ini semacam peringatan?" "Entahlah," jawab rekannya, mengangkat bahu. "Yang penting kita menemukan apa yang kita cari, lalu pergi dari tempat terkutuk ini." Hanya bulan purnama yang menerangi reruntuhan itu, memberikan cahaya redup yang membuat bayangan-bayangan menari-nari dengan aneh, seakan-akan hidup. "Bayangan-bayangan itu... seperti menari," bisik prajurit pertama, merinding. "Apakah tempat ini berhantu?" "Jangan bodoh," desis rekannya, meskipun dia sendiri merasa tidak nyaman. "Itu hanya permainan cahaya dan bayangan." Di tengah reruntuhan yang sunyi dan mencekam itu, terdapat sebuah celah di antara reruntuhan, tersembunyi di balik tumpukan batu yang tumbang. Di dalam celah itu, tergeletak seorang bayi mungil, terbungkus kain sutra usang berwarna hijau tua yang telah pudar dan robek di beberapa bagian. "Lihat!" seru prajurit pertama, menunjuk ke celah itu. "Ada sesuatu di sana." "Apa itu?" tanya rekannya, mendekat dengan hati-hati. Kain itu tampak seperti sisa-sisa kemewahan masa lalu, kini hanya menjadi pembungkus bagi makhluk kecil yang tak berdaya. Bayi itu menangis pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hempasan angin malam dan suara-suara alam yang misterius. Tangisannya, meskipun lemah, terasa menusuk kesunyian malam, seperti sebuah ratapan kecil yang mencari perlindungan. "Bayi?" bisik prajurit pertama, terkejut. "Siapa yang meninggalkan bayi di tempat seperti ini?" "Mungkin... orang tuanya tidak punya pilihan," gumam rekannya, matanya melembut. "Kasihan sekali." Tiba-tiba, dari balik bayangan-bayangan yang menari-nari, muncul sesosok manusia. Sosok itu tinggi dan kurus, dengan jubah panjang berwarna abu-abu yang menutupi tubuhnya. "Siapa kau?" tanya prajurit pertama, menghunus pedangnya. "Serahkan bayi itu," suara sosok itu bergema, tenang namun penuh otoritas. Sosok itu adalah Guru Agung, seorang sesepuh misterius yang telah menghabiskan hidupnya di dalam Kuil Dewa Langit, menjaga rahasia dan warisan yang tersimpan di dalamnya. "Mengapa kami harus menyerahkannya?" tanya prajurit kedua, waspada. "Bayi ini bukan milik kalian," jawab Guru Agung, melangkah maju dengan anggun. "Dia memiliki takdir yang lebih besar." Guru Agung mendekati bayi itu dengan hati-hati. Ia mengangkat bayi itu dengan lembut, merasakan aura luar biasa yang terpancar dari tubuh mungil itu. Aura itu bukan sekadar aura bayi biasa, tetapi aura yang kuat, penuh dengan potensi dan misteri. "Aura apa ini?" bisik Guru Agung, matanya melebar. "Dia... istimewa." Guru Agung merasakan getaran kekuatan spiritual yang luar biasa, seperti getaran dari sebuah kekuatan kosmis yang tersembunyi. Ia tahu bahwa bayi ini bukanlah bayi biasa. Bayi ini ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah jalannya dunia persilatan. "Siapa namanya?" tanya prajurit pertama, menurunkan pedangnya. "Dia belum punya nama," jawab Guru Agung, menatap bayi itu dengan lembut. "Tapi aku akan memberinya nama... Lie Feng." Ia memberi nama bayi itu Lie Feng, nama yang berarti "Angin yang Berkembang," sebuah nama yang mencerminkan potensi dan kekuatan yang terpendam di dalam dirinya. "Lie Feng," gumam prajurit kedua, mengangguk. "Nama yang indah." Guru Agung membawa Lie Feng ke dalam sebuah ruangan tersembunyi di dalam Kuil Dewa Langit. Ruangan itu dipenuhi dengan gulungan-gulungan kuno yang berisi pengetahuan tentang berbagai jurus silat, strategi tempur, dan rahasia kekuatan spiritual. "Tempat ini... penuh dengan rahasia," bisik prajurit pertama, mengamati ruangan itu dengan takjub. "Dan bayi itu... adalah bagian dari rahasia itu," sahut rekannya, menatap Lie Feng yang tertidur pulas. Di dinding-dindingnya, terdapat ukiran-ukiran yang menggambarkan sejarah panjang Kuil Dewa Langit dan para pendekar legendaris yang pernah menghuninya. Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi dengan aroma kertas kuno dan misteri yang tak terpecahkan. "Apakah dia akan menjadi pendekar hebat?" tanya prajurit pertama. "Ya," jawab Guru Agung, matanya bersinar. "Dia ditakdirkan untuk itu." Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah altar kuno yang terbuat dari batu giok, di atasnya terdapat sebuah patung dewa yang tampak megah dan sakral. Guru Agung meletakkan Lie Feng di dekat altar itu, memandang bayi itu dengan tatapan yang penuh dengan harapan dan tanggung jawab. "Dia akan membawa perubahan," gumam Guru Agung, menatap bayi itu dengan penuh kasih. Ia tahu bahwa ia telah ditunjuk untuk membimbing Lie Feng, untuk membantunya menguasai kekuatannya dan menggunakannya untuk kebaikan. Ia juga tahu bahwa perjalanan Lie Feng tidak akan mudah, bahwa ia akan menghadapi banyak tantangan dan bahaya. "Kita harus pergi," kata prajurit pertama, menepuk bahu rekannya. "Kita sudah melihat cukup banyak." "Ya," jawab rekannya, mengangguk. "Mari kita tinggalkan dia dengan takdirnya." Tetapi ia percaya bahwa Lie Feng mampu mengatasi semua itu, bahwa ia akan menjadi pendekar yang hebat dan mengubah dunia persilatan. Angin malam masih mengoyak reruntuhan Kuil Dewa Langit, tetapi di dalam ruangan tersembunyi itu, sebuah harapan baru telah lahir. Harapan akan munculnya seorang pendekar legendaris yang akan mengubah jalannya sejarah. Bertahun-tahun berlalu. Lie Feng, yang awalnya hanya bayi mungil yang ditemukan di reruntuhan Kuil Dewa Langit, tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang kuat dan lincah. Guru Agung, dengan kesabaran dan ketelitian yang luar biasa, membimbingnya dalam perjalanan panjang untuk menguasai ilmu persilatan. Kuil Dewa Langit, yang dulunya tampak seperti tempat yang menakutkan dan misterius bagi Lie Feng kecil, kini menjadi rumahnya, tempat ia belajar, berlatih, dan tumbuh dewasa. Setiap sudut dan celah kuil itu menyimpan rahasia dan pengetahuan yang tak ternilai harganya. Angin malam mengoyak reruntuhan Kuil Dewa Langit. "Dengar itu, Lie Feng?" Suara Guru Agung berbisik, nyaris tertelan angin. "Itu bisikan masa lalu." Lie Feng, bocah lelaki berumur sepuluh tahun, mengangguk. "Seperti jeritan hantu, Guru." "Benar," Guru Agung setuju, menunjuk reruntuhan megah itu. "Kuil ini menyimpan banyak rahasia, Lie Feng. Rahasia yang harus kau pelajari dan lindungi." Mereka berdiri di celah reruntuhan, tempat Lie Feng ditemukan sebagai bayi, terbungkus kain sutra usang. "Aku masih ingat malam itu," kata Guru Agung, matanya menatap jauh." Angin berputar-putar, bulan purnama bersinar terang. Kau menangis, kecil dan lemah, namun auramu... luar biasa." "Auraku?" Lie Feng mengerutkan dahi. "Ya," Guru Agung tersenyum lembut. "Kekuatan spiritual yang luar biasa. Itulah mengapa aku memberimu nama Lie Feng – Angin yang Berkembang." Mereka masuk ke dalam ruangan tersembunyi. Lie Feng terkesima melihat gulungan-gulungan kuno dan ukiran di dinding. "Semua ini... sungguh menakjubkan, Guru." "Semua ini adalah warisan, Lie Feng," Guru Agung menjelaskan. "Warisan yang harus kau pelajari dan kuasai. Suatu hari, kau akan memahaminya." Lie Feng menghabiskan bertahun-tahun berlatih. "Guru," katanya suatu hari, setelah latihan berat, "kapan aku akan cukup kuat?" Guru Agung tersenyum. "Kekuatan bukanlah hanya tentang fisik, Lie Feng. Itu tentang pikiran, jiwa, dan pengendalian diri." Suatu hari, di ruangan tersembunyi itu, di depan altar kuno, Guru Agung berkata, "Saatnya kau mempelajari Jurus Tapak Dewa." Lie Feng terengah-engah. "Jurus Tapak Dewa? Itu... legenda, Guru!" "Legenda yang akan kau wujudkan," Guru Agung menatapnya dengan penuh keyakinan. "Pelatihannya akan berat, tetapi aku percaya padamu." Lie Feng berlatih keras, melewati batas kemampuannya. "Aku hampir menyerah, Guru," desahnya suatu malam, kelelahan. "Jangan," Guru Agung berkata tegas. "Ingatlah mengapa kau berlatih. Ingatlah tanggung jawabmu." Lie Feng mengangguk, tekadnya kembali menyala. Ia berlatih hingga tubuhnya lelah, hingga pikirannya hampir putus asa, namun ia terus berjuang. Ia tahu, ia harus menguasai Jurus Tapak Dewa. Untuk dirinya, untuk Guru Agung, dan untuk melindungi warisan Kuil Dewa Langit.Angin malam menyapu lembut lembah Sunyi Seribu Tapak. Cahaya bulan menimpa wajah Lie Feng yang berdiri memandang jauh ke arah langit, seolah mencari jawaban yang tak pernah benar-benar ingin diberikan oleh siapa pun.“Sejak kapan kau mulai merasa bahwa kemenangan kita terlalu mudah?” suara Arka terdengar dari belakang, berat, namun tak menyembunyikan keresahan.Lie Feng tidak menoleh. “Sejak aku melihat retakan pertama di simbol itu,” jawabnya lirih. “Sejak aku merasakan… ada sesuatu yang menatap balik dari dalam gelap.”Arka melangkah mendekat, menyampingkan rambut yang tersapu angin. “Kau pikir mereka akan bangkit lagi?”Lie Feng menghela napas panjang. “Bukan mereka.” Ia berhenti sejenak. “Seseorang. Atau… sesuatu.”Arka terdiam.“Kita sudah mengorbankan begitu banyak untuk menyegel Malaikat Kegelapan,” lanjut Lie Feng. “Tapi malam ini aku merasa seperti kembali ke titik awal.”Arka menatapnya tajam. “Kau tidak percaya pada kemenanganmu sendiri? Kau—Pendekar Tapak Dewa—meragukan la
Udara pagi di puncak Kuil Dewa Langit terasa berbeda. Kabut tipis menggantung di antara reruntuhan, memantulkan cahaya matahari yang menembus dari sela awan. Setelah malam panjang dan pertempuran yang mengguncang langit, dunia tampak hening.Lie Feng berdiri di tepi altar yang hancur, menatap lembah di bawah. Angin membawa aroma tanah basah dan abu. Di tangan kanannya masih ada bekas retakan halus akibat tekanan Tapak Dewa tingkat tujuh yang ia gunakan semalam.Arka berjalan menghampirinya. “Kau belum beristirahat sama sekali,” katanya pelan.Lie Feng tersenyum samar tanpa menoleh. “Sulit tidur setelah apa yang terjadi. Aku masih bisa mendengar suaranya… jeritan Malaikat Kegelapan itu.”Arka ikut menatap langit. “Aku juga mendengarnya. Tapi kau berhasil menyegelnya. Dunia seharusnya aman sekarang.”Lie Feng menggeleng perlahan. “Resi Tua bilang, segel itu tidak abadi. Jika kegelapan itu menemukan celah, semuanya bisa berulang.”Langkah ringan terdengar di belakang mereka. Resi Tua dat
Suara gemuruh mengguncang langit-langit ruang suci Kuil Dewa Langit. Batu-batu berjatuhan, retakan merambat di setiap sisi dinding, dan udara terasa berat oleh aura jahat yang menekan segala hal di sekitarnya. Cahaya dari batu kristal perlahan meredup, seperti lilin yang hampir padam ditiup badai.Lie Feng berdiri tegak dengan napas tersengal, tubuhnya bergetar akibat kelelahan, tapi matanya menyala tajam. Tapak Dewa tingkat 7 di tangannya masih berpendar lembut, seolah api ilahi yang menolak padam.“Resi Tua, apa kau yakin simbol itu bisa menyegel Malaikat Kegelapan?” tanya Arka dengan suara tegang, menatap simbol bercahaya samar di dinding batu. Simbol itu berputar perlahan seperti pusaran cahaya, memancarkan aura kuno yang membuat udara bergetar.Resi Tua menatap simbol itu lama, alisnya berkerut, napasnya berat. “Ini bukan sembarang simbol, Arka… ini adalah Simbol Penyegelan Dewa Langit, diciptakan oleh para leluhur untuk mengurung entitas kegelapan ribuan tahun lalu. Tapi untuk m
Cahaya terang yang tiba-tiba muncul berhasil mengusir Malaikat Kegelapan untuk sementara. Itu memberi kesempatan kepada Arka, Lie Feng, dan Resi Tua untuk menarik nafas dan mempersiapkan diri. Mereka menyadari bahwa pertempuran melawan Malaikat Kegelapan membutuhkan persiapan yang jauh lebih matang."Kita perlu waktu," kata Arka, mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. "Kita harus memperkuat kekuatan kita."Resi Tua mengangguk setuju. "Malaikat Kegelapan adalah ancaman yang jauh melampaui Bayangan Naga. Lie Feng, kau harus menguasai Tapak Dewa sepenuhnya. Kau harus mencapai Tapak Dewa tingkat 7."Lie Feng menatap Resi Tua dengan tekad. "Aku akan melakukannya, Resi Tua. Aku akan menguasai Tapak Dewa tingkat 7 dan mengalahkan Malaikat Kegelapan!"Pelatihan pun dimulai. Resi Tua, dengan pengetahuan luasnya tentang kekuatan gaib dan teknik kuno, membimbing Lie Feng untuk mengendalikan kekuatan Tapak Dewa dengan lebih baik. Ia mengajarkan teknik-teknik pernapasan khusus, cara
Arka terhuyung keluar dari terowongan rahasia, tubuhnya penuh luka dan lelah. Ia telah berhasil mengaktifkan simbol kuno itu, tetapi ia juga telah mengalami pertempuran yang sangat berat dengan anggota Bayangan Naga. Ia harus menemukan Lie Feng.Ia mengetahui bahwa ia tidak bisa menemukan Lie Feng sendirian. Ia perlu bantuan. Ia harus kembali ke Kuil Dewa Langit, untuk meminta bantuan dari orang lain.Dalam perjalanan kembali ke Kuil Dewa Langit, Arka merasakan kekuatan yang tidak biasa. Ia merasakan aura kekuatan gaib yang sangat kuat. Ia juga merasakan sebuah kehadiran yang misterius.Ia menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik sebuah air terjun. Di dalam gua itu, ia menemukan seorang penjaga kuil tua yang sedang bermeditasi. Penjaga kuil itu bernama Resi Tua."Siapa kau?" tanya Arka, suaranya gemetar karena kelelahan.Resi Tua membuka matanya. Matanya be
Pertempuran di ruang tersembunyi itu pecah. Arka dan murid-murid Perguruan Naga Teratai menyerbu, menyerang para anggota Bayangan Naga yang mengelilingi Lie Feng yang terikat di altar kuno. Pedang-pedang beradu dengan pedang, energi berbenturan dengan energi, menciptakan suasana yang kacau dan mengerikan.Namun, kekuatan Bayangan Naga terlalu besar. Mereka terlatih dengan baik dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Arka dan murid-muridnya terdesak. Lie Feng, meskipun terikat, masih mampu mengeluarkan aura kekuatan Tapak Dewa, menciptakan perisai yang melindungi mereka dari serangan terhebat.Di tengah kepungan itu, sebuah sosok menyeruak dari bayangan. Sosok itu besar dan mengerikan, kulitnya bersisik-sisik, dan matanya bersinar dengan cahaya jahat. Sosok itu adalah Siluman Ular, salah satu anggota Bayangan Naga yang paling tangguh dan misterius."Kalian tidak akan bisa menyelamatkan dia," kata Silu







