Share

Teman Sejati

Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat  darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.

Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.

“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.

“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.

“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.

“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.

“Tapi teman kami ini benar-benar parah, Bu! Apakah tidak bisa ibu yang mendaftarkan sedang kami mengantarkannya pada ruang darurat?” Rania sedikit geram.

Joni masih bisa mendengar keributan yang terjadi itu, dengan lirihnya dia berkata, “Tidak apa-apa, Ran, tidak akan lama, aku masih kuat!”

“Baiklah,” ujar Rania setengah kecewa dengan Joni, “kalau begitu di mana kami harus mendaftar, Bu?”

“Di depan sana, keluar lorong ini belok kanan!” Suster menunjukkan arah kepada mereka.

Akhirnya Rania dan teman Joni menggotong Joni yang lemas kembali ke depan. Tampaknya Joni masih kuat dengan luka yang dia derita, darahnya masih mengalir meski tidak sederas ketika pertama kali tertusuk pisau.

“Kamu masih kuat, kan, Jon?” tanya Rania memberikan semangat kepada Joni.

“Iya, aku masih kuat. Tidak usah khawatir kenapa?” Joni selalu menyebalkan bagaimana pun keadaannya dan di mana pun.

Selesai mendaftar Joni dinaikkan pada tempat tidur dorong, Rania dan teman Joni membantu mendorong. Joni adalah teman Rania, teman yang selalu ada bahkan ketika keadaan terburuk dalam hidup Rania terjadi. Teman Rania tidak banyak, dan tidak semua teman Rania seperti Joni.  Joni adalah teman setia.

“Kalian silakan menunggu di luar!” ujar dokter yang akan menangani luka Joni.

“Baik!” sahut Rania. Mereka berdua menunggu di depan pintu dengan gelisah.

Ketika memasuki ruang gawat darurat, Joni sudah tidak sadarkan diri, hal itulah yang menambah kekhawatiran dalam diri Rania.

“Tenang saja, Ran! Joni pasti selamat,” ujar teman Joni.

“Iya, Fin. Aku yakin pasti Joni kuat!” sahut Rania sembari menyandarkan punggung pada tembok putih di belakangnya.

Teman Joni itu bernama Alfin. Dia juga teman dekat Rania, mereka bersama-sama sejak kecil, dan ada lagi satu sahabat perempuan yang hidup bersama sejak kecil, semasa SD, sampai sekarang kuliah.

Lima belas menit, dua puluh menit berlalu belum ada tanda-tanda dokter akan keluar dari ruangannya. “Lama sekali!” gerutu Rania tidak sabaran.

“Sabar, Ran. Mungkin dokter tengah memberikan yang terbaik untuk Joni!” ujar Alfin, teman Joni sekaligus teman Rania.

Srekk...

Pintu digeser dari dalam, dokter keluar dan suster di belakangnya. Rania langsung menyambut dokter itu dengan pertanyaan. “Bagaimana keadaan teman saya, Dok?” tanya Rania.

“Dia baik-baik saja, tapi lukanya cukup dalam. Syukurlah dia segera dibawa ke rumah sakit, sehingga bisa tertolong dengan pertolongan terbaik!” ujar dokter menerangkan keadaan Joni.

“Apakah kami boleh masuk?” tanya Alfin.

“Silakan, tapi jangan ganggu dia, dia butuh banyak waktu untuk istirahat!” kata dokter.

“Terima kasih, Dok!” Rania mengucapkan terima kasih dengan rasa penuh bersyukur.

Joni terlihat terbaring dengan selang infus di tangannya. Perutnya dibebal dengan perban berwarna putih, dia tersenyum ketika melihat Alfin dan Rania masuk.

“Bagaimana, Jon?” tanya Alfin.

“Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir!” ujar Joni.

“Siapa juga yang khawatir?” Rania mulai kembali sebal dengan Joni. Memang, mereka berteman sejak kecil, jadi sudah biasa dengan keadaan seperti itu.

“Ayo pulang!” ajak Joni mencoba duduk, namun saat itu pula ia memegangi perutnya yang terluka.

“Sudah, besok saja pulangnya. Malam ini kita menginap di sini!” ujar Rania, membantu Joni untuk kembali berbaring.

“Kamu bawa handphone, Rania?” tanya Joni.

“Bawa!” jawab Rania mengeluarkan handphone dari tas kecilnya.

Joni menghubungi ibunya, keluarganya di rumah. Dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja, main ke rumah teman. Dia tidak menceritakan apa yang terjadi sebenarnya kepada keluarga, kepada ibunya.

Deg...

Saat itulah Rania teringat sesuatu. Dia belum mengabari keluarganya bahwa dia di rumah sakit. Dia juga baru ingat bahwa dia lupa mengunci pintu. Bagaimana jika sewaktu-waktu dua perampok itu kembali dan masuk ke dalam rumah. Bagaimana dengan ibunya? Hal-hal itulah yang membuat Rania gelisah. Akhirnya ia berusaha menelepon adiknya. Namun sayang, hampir lima kali ia telepon, sama sekali tidak ada jawaban dari seberang. Akhirnya Rania memutuskan untuk pulang.

“Joni, Alfin, aku pulang dahulu. Aku lupa belum mengunci pintu dan adikku tidak bisa dihubungi!” ujar Rania.

Joni dan Alfin mengerti dengan keadaan Rania. Joni berkata, “Hati-hati, bisa saja dua bajingan itu kembali lagi!”

“Iya, hati-hati. Jika ada apa-apa bisa langsung menghubungi kita!” kata Alfin.

Rania keluar rumah sakit dengan jalan tergesa-gesa. Ia meminjam motor Alfin dan mengendarainya.

Jalanan ramai, Surabaya malam seperti ini tidak ada istirahatnyam, hampir sama dengan siang hari. Yang membedakan hanya udara yang sedikit lebih sejuk, namun tetap pengap dengan bau knalpot dan mesin-mesin kendaraan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status