Kemarahan Yunita semakin memuncak. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Daffa membawa Nindi ke acara sepenting ini. Ia merasa harga dirinya tercoreng.
Nanik lalu dengan bangganya memperkenalkan Nindi kepada suami beserta rekan yang lainnya. "Dia perawat di Rumah Sakit Harapan Kasih, Nindia Rahayu. Saya sudah menceritakannya, kan? Saya banyak berutang budi kepadanya."
Baskara menoleh ke Nindi. "Istri saya sering memujimu sebagai perawat andal. Terima kasih sudah merawat istri saya sebaik mungkin."
Nindi tersenyum. "Terima kasih kembali. Saya juga merasa terhormat dan bangga bisa merawat istri Bapak, orang paling berpengaruh di kota ini." Ia lalu memperkenalkan Daffa. "Perkenalkan suami saya, Daffa Wijaya. Dia CEO di Zenith Corp, perusahaan yang bergerak di bidang properti. Kebetulan perusahaannya sedang menggarap proyek baru dan butuh modal."
Daffa terkejut dengan tindakan Nindi yang begitu langsung.
"Mohon perhatiannya, Pak. Setidaknya demi perke
Daffa tiba di ruangan tujuan dengan napas tersengal. Ia mendorong pintu dan langsung melihat istrinya. Nindi sudah tak berdaya, seperti orang yang kehilangan seluruh semangat hidup. Istrinya hanya terduduk lemah di ranjang perawatan, bersandar pada bantal dengan pandangan kosong menatap dinding putih.Daffa menelan ludah, rasa takut dan bersalah mencengkeramnya. Ia pun melangkahkan kaki amat pelan, setiap langkah terasa berat, menuju ranjang perawatan.“Sayang….” Daffa memanggil lembut. “Kamu baik-baik saja?”Mila, yang tadinya duduk menangis di kursi sudut ruangan, langsung bangkit begitu melihat Daffa. Matanya merah dan bengkak.Daffa sekilas melirik Mila yang berdiri tegang, lalu kembali fokus pada Nindi.“Sayang, maaf aku baru sempat ke sini,” katanya, tangannya meraih tangan Nindi yang dingin. Nindi tidak merespon, tangannya lemas di genggaman Daffa. “Aku… aku kira kamu baik-baik saja, ma
Nindi menarik napas berat. “Aku sudah tau selama ini kamu menutupi perselingkuhan Mas Daffa. Membelanya mati-matian, bahkan jadi mata-mata, melaporkan semua kegiatanku kepadanya agar dia aman selama bermain dengan selingkuhannya.”Napas Kiara seketika tercekat. Wajahnya langsung memucat, pengkhianatannya terbongkar di saat yang paling buruk.“Nindi, soal itu… a-aku bisa menjelaskannya. Ada alasan kenapa aku melakukan itu…”“Nggak ada yang perlu dijelasin lagi!” Nindi memotong, suaranya meninggi dengan getaran emosi yang tertahan. “Aku nggak mau mendengar penjelasan dari orang munafik sepertimu!”Mendengar kata 'munafik', mata Kiara mendadak memanas. Ia merasa marah dan kecewa dituduh seperti itu. “Munafik? Nindi, aku ini sahabatmu!”Nindi tak mau kalah. Dadanya makin bergemuruh, mengingat semua dukungan palsu Kiara. “Maka jadilah sahabat yang baik, Kiara! Stop
Sore itu, Daffa menyempatkan diri menemui Wilona.Kali ini mereka bertemu di sebuah kamar hotel mewah, jauh dari risiko ketahuan.Ibu Wilona, Nanik, sudah menjalani perawatan intensif di rumahnya dengan dokter pribadi, jadi Daffa tidak perlu lagi mengunjungi rumah sakit hanya demi bertemu Wilona.Wilona tersenyum lepas saat membuka pintu, senyum yang langsung menerangi wajahnya. Daffa berdiri di ambang pintu, membawa seikat bunga mawar merah favorit Wilona.Wilona mengambil bunga itu dengan gembira, mencium aromanya sekilas, lalu mempersilakan Daffa masuk.Begitu pintu tertutup, Daffa langsung menarik Wilona ke dalam pelukan dan melabuhkan ciuman yang mendesak di bibir wanita itu.Wilona spontan mengalungkan tangannya ke leher Daffa, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama.Ciuman Daffa makin turun, bergerak dari bibir, beralih liar ke leher, lalu menuju lekukan dada Wilona. Saat Daffa hendak meremas buah dada Wilona di balik
Makin hari, Daffa makin jarang pulang. Ia selalu tiba larut malam, beralasan bahwa ia lembur di kantor. Nindi juga tidak begitu memedulikan suaminya, tidak lagi bertanya atau melarang. Hatinya sudah mati rasa terhadap keberadaan Daffa.Nindi hanya tersiksa karena ia harus terus menunda proses perceraian ini, entah sampai kapan, hingga Rexa menghubunginya lagi.Tanpa ia sadari, ia sudah larut dalam pusaran kesedihan yang mendalam. Nafsu makannya hilang, dan ia hanya menghabiskan waktu dengan menangis sepanjang hari. Di luar sana, ia tahu, Daffa sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya, menikmati kebebasan dari kewajiban pernikahan.Pukul satu malam, Daffa tiba. Ia membuka pintu kamar perlahan dan melihat Nindi meringkuk di sisi ranjang, tubuhnya gemetar tanpa selimut.Jujur, Daffa merasa iba melihat pemandangan itu. Ia mengambil selimut tebal dan dengan hati-hati menutupi tubuh sang istri yang kedinginan.“Sayang.…” Daffa mem
Pagi hari setelah malam yang penuh gejolak emosi itu, Nindi kembali kedatangan tamu. Kali ini adalah Abraham, ayahnya.Nindi berdiri kaku di ambang pintu. Ia sempat merasa heran bahkan curiga, bertanya-tanya, kenapa ayahnya, setelah sekian lama tidak pernah muncul atau menunjukkan kepedulian, tiba-tiba datang.Selama ini, Abraham tidak pernah menjenguknya, bahkan untuk sekadar bertanya kabar soal kehamilan atau kandungannya.“Ayah? Tumben sekali Ayah datang,” sapa Nindi, nadanya datar, tanpa kehangatan yang tulus.Abraham mengamati wajah putrinya. Wajah yang terlihat kacau, sembab, dan berantakan. “Boleh Ayah masuk? Ada sesuatu yang harus kita bahas.” Suara Abraham terdengar dingin dan mendesak, tanpa ada nada khawatir seorang ayah.Nindi menghela napas, merasa lelah, tetapi ia mempersilakan Abraham masuk.Saat mereka sudah duduk berhadapan di ruang tamu, Abraham langsung menembak ke inti masalah, tanpa basa-basi sedi
Malam itu, Nindi pulang dengan langkah gontai, pikirannya masih dipenuhi bayangan Rexa dan tekadnya untuk menggugat cerai. Begitu ia memasuki ruang tamu, langkahnya mendadak terhenti.Di sana, ada Yunita yang duduk di sofa tunggal dengan raut wajah keras.Perhatian Yunita langsung teralihkan begitu Nindi tiba. Wanita paruh baya itu bangkit, matanya memancarkan amarah yang siap meledak.Yunita mendekat dengan langkah cepat, dan tanpa sepatah kata atau aba-aba, sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri Nindi.Nindi terkejut. Ia tersentak mundur, tangannya refleks mengusap pipinya yang langsung terasa panas dan perih. Ia menatap mertuanya dengan pandangan kosong.“Mama… kenapa? Kenapa Mama menamparku?” tanyanya, suaranya bergetar antara sakit dan kebingungan.“Karena kamu memang pantas untuk ditampar!” ketus Yunita, suaranya penuh penghinaan.“Apa maksud Mama? Aku nggak ngerti.”