"Wanita yang semalam adalah kekasihku! sekali lagi kau sebut gundikku, aku gunduli rambutmu!" teriak Lingga marah kemudian mendorong rambut yang di tarik menjauh hingga Naya tersungkur
Kaki dan tangannya namun masih sempat menyangga tubuh sehingga tidak sampai ke lantai. Naya menggenggam tangannya kuat-kuat! Rasa nyeri di pangkal rambutnya masih berdenyut, namun bukan itu yang membuat Naya marah. Namun, kenyataan bahwa Lingga membela gundiknya itu nyatanya juga masih membuat dadanya sesak, namun Naya sudah bertekad akan berlatih untuk bertahan. Kemudian dia kembali menatap Lingga dengan rambut yang sedikit berantakan karena jambakan itu, 'Teruslah sakiti aku, Mas!' batin Naya. "Apa?" pekik Lingga, "Kau marah? Kau sakit hati? Dia wanita yang sangat aku cintai!" lanjutnya memamerkannya. Naya tersenyum sedikit, kemudian berlalu begitu saja dengan menegakkan kepalanya tanpa menoleh sedikitpun. Seolah dia benar-benar biasa saja dan keluar dari kamar sambil menetralkan hatinya sendiri. Naya menuju restaurant hotel, karena pasti Ibu dan Mas Byakta sedang sarapan di sana, Naya ingin sekali memeluk ibunya. "Ibuuu!" pekik Naya dari kejauhan dan berlari sambil merentangkan tanya, kemudian mereka berpelukan, "Naya rasanya sangat rindu sekali dengan, ibu!" ucapnya. "Kamu ini! Udah menikah masih seperti anak kecil, malu dilihat suamimu, Nak!" jawab Bu Btari, ibu Naya. Sontak Naya melebarkan matanya, melerai pelukan dan menoleh pada suaminya yang mengikutinya, "Ayo, makan! Duduk sini sama Ibu dan Masmu!" "Iya, Bu!" jawab Lingga sopan. Membuat Naya melebarkan bibirnya sekejap, setelah itu terkekeh kecil, "Kenapa, Naya?" tanya Mas Byakta. "Tidak, Mas! Naya hanya lucu saja melihat Mas Lingga, tidak terasa ternyata kami sudah menjadi suami istri!" ucapnya membuat Mas Byakta terkekeh. "Kamu ini bisa saja, Nay! Dasar pengantin baru!" candanya. Namun berbeda dengan Lingga yang tersindir dengan ucapan Naya, dia tau persis maksud tawa Naya, "Iya, Mas, istriku tercinta ini masih belum terbiasa!" timpalnya!" Naya berdiri begitu saja bahkan sebelum Lingga menyelesaikan ucapannya, dia sangat muak dengan sandiwara ini! Pernikahan bahagia? Ish, Bullshit! Naya mengambil dua piring nasi goreng Jawa dengan beberapa tambahan sosis dan ayam katsu, juga beberapa dessert, meletakkan satu untuk Lingga dan satu untuknya, "Selama makan, Suami tercintaku!" ucap Naya sambil duduk. 'Teruslah bersandiwara, Mas! Kau pikir, aku tidak pandai? Aku bahkan jauh lebih pandai menutupi perasaanku!' batin Naya mulai menyendokkan makanannya. "Terima kasih, Dek!" Rasanya Naya ingin tertawa sekencang mungkin, Apa suaminya memiliki kepribadian ganda? Lucu sekali. Melihat itu, Ibu Btari dan Mas Byakta tersenyum, karena merasa anak dan adiknya telah menemukan sosok laki-laki yang luar biasa menghargainya. Dan mereka bisa tenang melepas Naya untuk menjalani kehidupan rumah tangga berdua. Bu Btari memberikan beberapa bakso yang baru diambilnya untuk sang menantu. "Terima kasih, Ibu!" ucap Lingga dan Bu Btari mengangguk sambil tersenyum. Sedang Naya hanya menoleh dan tersenyum, 'Ibu terlihat menyayangi Mas Lingga!' batinnya. Naya setidaknya cukup beruntung, Lingga masih berpura-pura seperti di depan keluarganya, sebab Naya tak mau ibunya khawatir. Terlebih menikah dengan Lingga adalah keinginannya, maka Dia yang akan menanggungnya sendiri, walaupun berdarah-darah. "Nak Lingga, tinggal di rumah Ibu dulu barang satu minggu ya? Ibu ingin merasakan tinggal bersama kalian sebelum kalian pindah ke rumah kalian, Nak!" pinta Bu Btari setelah menyelesaikan sarapan mereka. "Iya, Bu! Lingga dan Naya akan tinggal satu minggu di rumah Ibu!" jawab Lingga lembut membuat Bu Btari sangat senang. Begitu juga dengan Naya. Mereka semua pulang ke rumah Naya setelah Lingga membayar denda untuk kerusakan kamar, akibat perbuatan Naya. Setibanya di kamar, Lingga langsung merebahkan tubuhnya di kasur Naya yang relatif kecil, 160x200, dengan kedua dia tekuk di belakang kepalanya. Naya hanya diam, memilih untuk membersihkan baju kotor dari hotel kemarin. Naya sebisa mungkin menjauh dari laki-laki itu! Setelah itu membantu Ibunya di dapur menyiapkan makan siang, juga beberes sisa-sisa pernikahan kemarin, untungnya banyak pekerjaan yang membuatnya bisa menjauh dari Lingga. Satu kamar dengan Lingga terasa sangat aneh sekarang! Namun Naya tetap meladeni semua kebutuhan suaminya, mengambilkan makan, camilan, urusan ganti dll. Hingga malam hari, Naya masih sibuk membantu Ibu membuka amplop, berisi uang hadiah pernikahan dari tetangga seperti pada umumnya. "Sana kamu ke kamar, Nak! Kasihan suamimu!" titah Bu Btari. "Tidak apa-apa, Bu! Mas Lingga paling jug—" "Tidak baik begitu, Nak! Sana kamu temani!" potong Bu Btari tak mau mendengar alasan Naya lagi. Dan Naya menurut, memasuki kamarnya yang terasa asing dan dingin, aneh! Naya masuk, dengan pemandangan Lingga hanya menggunakan celana panjang, dan tubuh atasnya terbuka menonjolkan semua barusan roti sobek dengan posisi yang sama, yaitu rebahan dengan kedua tangan di tekuk di belakang kepalanya. 'Apa maunya? Aku tidak akan pernah tergoda, Mas! Setelah malam kemarin, bahkan aku mengharamkan tubuhku untuk kau sentuh! Aku bahkan tidak tertarik sama sekali!' batinnya sambil berjalan menuju almari. Naya mengambil sebuah selimut tebal, dia gelar di lantai bagian bawah ranjang, kemudian di berbaring di bawah. Sontak, mata Lingga membuka kemudian menyeringai, "Karena tidur disini, aku tidak bisa menyentuh kekasihku! Bagaimana ini? Apa aku undang kemari saja, ya!" gumamnya. Naya yang baru saja meletakkan kepalanya kemudian mengangkat kembali, "Kenapa repot-repot, tinggal keluar dan cek in lagi, Suamiku! Silahkan! Pintu di sebelah sana!" ucapnya. "Sayangnya aku sangat lelah, biarkan dia yang kemari saja! Mungkin kau ingin melihat permainan kami!" ucap Lingga kemudian memiringkan tubuhnya melihat Naya yang membulatkan matanya. "Menjijikan! Jangan menodai kamarku dengan aktifitas gilamu, itu, Raja Iblis!" kesal Naya. "Lantas, siapa yang bisa kusentuh malam ini?" jawabnya lagi sambil tersenyum dengan satu sudut bibitnya, "Mungkin, wanita murahan sepertimu yang tak laku!" lanjutnya sambil menatap seluruh tubuh Naya dari atas ke bawah. Sontak Naya tertawa, "Ahahaha ... Suamiku lucu sekali! Bukankah baru tadi pagi mengatakan tidak sudi dengan tubuh murahanku ini!" "Terpaksa! Sekali-kali harus mencicipi yang kotor supaya aku semakin menikmati sentuhan kekasihku!" ucapnya pedas. Sangat pedas, membuat hati Naya mulai panas, 'Teruslah menghina dan merendahkan aku, Mas! Teruslah menyakiti aku! Jangan salahkan jika kau akan ikut sakit!' batin Naya. "Wah, bagaimana kalau lain waktu saja, nanti wanita murahan ini akan memanggil laki-laki bayarannya dan kamu dengan kekasihmu? Indah bukan?" ucap Naya sambil menggigit telunjuknya sendiri secara sensual, "Wah, atau dengan asistenmu saja! Aku yakin gajinya cukup banyak untuk bisa membayar tubuhku!" Naya benar-benar tak bisa di tantang, sesuai tekadnya dia akan menciptakan neraka itu dengan senang hati, membiarkan dirinya dan Lingga terluka. Yah, Naya sangat tau jika saat ini mereka tengah saling menyakiti satu sama lain, terlihat dari rahang Lingga yang mengeras mendengar ucapannya. 'Jika seperti ini kau terlihat cemburu, tapi kau jahat dan tak sudi menyentuhku kan! Ada apa denganmu sebenarnya, Mas?' batin Naya. "Nay!" geram Lingga. "Aku hanya menuruti ucapanmu, jalang sepertiku hanya cocok untuk laki-laki menjijikkan yang dibay—" Cup! Emmhhtt!"Naya tak punya uang, jadi hanya dibantu tetangga!" ucapnya. "Kenapa kamu harus pergi, atau kalau tak ingin ditemukan oleh Lingga, kamu masih punya ibu, Nak! Kamu masih bisa meminta uang pada Ibu!" Naya menggeleng, "Naya merasa bersalah meninggalkan ibu dan Mas By, tapi saat itu Naya terpukul dengan kehamilan Naya! Saat itu hujan sangat deras, Naya sudah kesakitan sejak pagi namun tak tahun harus kemana, Naya memilih terus menahannya di dalam kontrakan, hingga tetangga Naya datang, dan melihat Naya!" ceritanya, "Dia punya anak tiga, jadi berbekal pengalaman, Mbak Can membantu Naya melahirkan Nendra! Sakit sekali, Bu!" ceritanya sambil melirik tangan Lingga yang bergerak. "Nak, kali ini kamu tidak akan sendirian! Ibu akan menemani kamu, suaminya akan menemani kamu! Tidak apa jika ingin melahirkan di ruangan ini! Kalau sampai suamimu tak kunjung bangun, nanti ibu sendiri yang akan carikan suami baru, yang bisa menemanimu!" ucap Bu Btari. Membuat Lingga meneteskan air mata, "Tidak m
"Ada Dimas, ada Masmu!""Biarkan Mas Dimas kencurahkan waktu sedikitnya itu untuk anak dan istrinya! Kasihan mbak Bia, Bu!""Tuhkan! Kamu tidak ingin menghentikannya, Ngga? Ibu sudah sangat bingung memperingatinya!" ucap Ibu tak menjawab Naya lagi, justru kembali curhat pada Lingga. "Nay! Tangan Lingga gerak!" pekik Bu Btari sesaat kemudian menekan tombol emergency, Naya sendiri langsung melemparkan sendoknya dan mendekatimu tempat tidur suaminy, "Mas! Bangun Mas! Aku tidak akan lagi menuntut cerai! Mas, kamu dengar? Aku mau selamanya bersama kamu, Mas!" ucap Naya mencoba terus memancing suaminya terbangun. Dia yakin, suaminya itu akan mendengarnya. Tak lama dokter masuk dengan beberapa suster, "Permisi, ada apa, Bu?" "Tangan suami saya bergerak, dok!" Dokter kemudian kembali mengecek semuanya, detak jantung, saturasi, dan lain-lain, "Alhamdulillah, Pak Lingga pertama kali menunjukkan perkembangan! Semoga sebentar lagi akan ada keajaiban!" ucap dokter itu. "Aman dok?""Aman, Bu,
Naya terbangun, dan semua perasaannya itu hanyalah halusinasi, dan ternyata tangan yang melingkari perutnya adalah tangan Nendra. Entah sejak kapan, Nendra diantara ke mari, "Anakku!" Naya meraih Nendra dan membawanya berbaring di tengah-tengah antaranya dan Lingga, "Cepat sembuh anak, Mama, tidur yang nyenyak! Nendra mau temani Papa, juga ya!" gumamnya mengusap putranya yang masih setia tertidur.Setelahnya, dia kembali tertidur mengapit Nendra, dan tidur bersama suaminya. Keesokan harinya, sesuai jadwal operasi Lingga, Naya dan Nendra menemani berdua, karena Bu Btari menemani Bia yang sudah memasuki HPL dan Mas Byakta menghandle rapat penting hari ini. Pada akhirnya dunia berjalan, setiap manusia memiliki kesibukannya, dan Naya beruntung sejak awal dia tak bergantung pada siapapun. Dia berusaha kuat, agar Nendra dan Lingga bisa bergantung padanya. Operasi terakhir ini, cukup lama, memakan waktu kurang lebih delapan jam, dan Naya habiskan dengan keterdiaman, karena Nendra juga
Semenjak pulang dari memeriksakan Nendra, hari Naya berubah drastis. Semua informasi yang dia terima sangat memukul telak hatinya, hingga remuk redam. Sakit akinat kecelakaan Lingga masih belum kering dan harus dihadapkan dengan cobaan baru yang lebih luar biasa. Rasa bersalah begitu besar membebani hatinya, pada Nendra, Lingga maupun pada anak yang kini dia kandung. Anak yang hadir karena hubungan mau sama mau antara Lingga dan Naya, Naya cukup tau untuk tidak membuat anaknya kembali menjadi korban, seperti yang dialami oleh Nendra. Dan Naya langsung mengirimkan surat pengunduran diri ke perusahaan tempatnya bekerja, karena Naya tau, perjuangannya akan dimulai. Disini! Dikota dimana dia dilahirkan dan besar, kembali menetap di kota malang dengan semua beban dan tanggung jawab yang harus dia pikul sendirian. Sangat berat, Namun bukanlah perempuan adalah tiang dalam rumah tangga, dan Naya bertekad akan menjadi tiang yang kuat di rumah tangganya. Tiang wajib kuat demi kokohnya ban
Naya semakin dikejutkan oleh pertanyaan Ibunya, "Memangnya Naya wanita tidak benar?" lanjutnya. "Lalu, kenapa kau memaksa cerai?" pekik Bu Btari kesal, bersamaan dengan Bia membawa Nendra untuk keluar. "Ha? Jawab Naya? Kau dan Lingga berhubungan begitu intim sampai menghasilkan adik untuk Nendra, tapi kau meminta Cerai? Hatimu di mana? Bagaimana perasaan Lingga?" pekik Bu Btari dengan mata berkaca-kaca. Naya bergeming, melihat ibunya sedikit tempramen mendengar kabar ini, membuat Naya hanya bisa meledakkan tangisannya. Merasa bersalah. Benar, dirinyalah yang naif, dirinyalah yang keras kepala dan egois. Naya nyaman bersama Lingga, Naya menyukai kehangatan yang Lingga suguhkan, namun dirinya tetap tak mau memberikan kesempatan, bahkan setelah suaminya berlutut memohon. Naya tak tau dengan keadaan ini, dan dia akhirnya kembali menjatuhkan tubuhnya memeluk Lingga, "Bangun, Mas ... Aku hamil!" isaknya di dada Lingga. Byakta yang melihat pertikaian itu, hanya bisa mengamankan Naya
Byakta lebih dulu menggendong Naya dan menidurkan di bangku panjang itu sambil menunggu suster membawa kursi roda atau tempat tidur dorong. "Dok, Jawab, Apa yang terjadi?" tanya Bia yang masih menunggu jawaban di depan pintu operasi itu. Byakta kembali menemani Bia dan Ibunya, sedangkan Nendra berjalan menjauh menemani Naya. Tak ada kata atau tangisan, Nendra hanya menggenggam tangan Mamanya dengan tatapan nanar. Sakitnya tak bisa dijelaskan, Papanya sedang berjuang hidup, dan Mamanya sakit, mamanya terus-terusan pingsan sepanjang hari. Dunia seakan tidak memihak pada laki-laki kecil itu, dilahirkan tanpa mengenal Papanya, hidup hanya mengenal mamanya seorang, menjadi bahan bullyan dan tak memiliki teman. Sekarang, disaat dia merasa dunianya indah, semesta kembali merebutnya paksa. Nendra jelas sangat terluka. Semesta seakan meminta papa yang dia harapkan sejak dulu, papa yang sangat dia tunggu kehadirannya. Di usianya yang baru genap tujuh tahun itu, dia sudah harus mengalam