Share

Mencari Kebenaran Ketua OSIS

Pagi hari tepat pukul 7. Aku menyantap sarapan yang telah aku buat sendiri dengan keadaan mata masih berat untuk dibuka lebar-lebar.

Karena tidak terlalu suka memakan makanan yang berat saat baru saja bangun tidur, aku hanya membuat sebuah sandwich ala barat dengan segelas jus jeruk yang aku simpan di kulkas dari minimarket terdekat beberapa hari yang lalu.

“Ngantuk.”

Aku memutuskan untuk hidup sendiri saat sudah masuk SMA. Itu juga merupakan bagian dari perjanjianku dengan kedua orang tuaku.

Aku yang menginginkan bagaimana rasanya hidup sendiri sebelum masuk kuliah ditentang oleh ibu. Dan bisa ditebak, ayahlah yang selalu menjadi orang yang sangat bijaksana di keadaan anaknya sedang mengalami masa pubertas.

Ayah membuat sebuah syarat agar aku bisa hidup mandiri, syarat yang dia berikan adalah masuk ke salah satu SMA terbaik, tidak peduli itu negeri maupun swasta. Bisa dibilang itu adalah syarat yang sangat mudah bagiku.

Yah, aku bisa mendapatkan hal yang mudah seperti itu karena ayah sudah mengetahui kalau aku menabung untuk sesuatu yang seperti ini.

Aku juga mungkin beruntung untuk lahir di keluargaku yang sekarang. Selain biaya sekolah yang masih ditanggung oleh ibu dan ayah, rumah yang aku tinggali saat ini juga dibelikan oleh ayah.

“Kebetulan teman ayah ingin menawarkan rumah dengan harga yang spesial! Hanya ini yang ayah bisa dapatkan untukmu, Raihan. Bersemangatlah!” katanya.

Ayah bilang hanya sebatas ini yang bisa ia dapatkan, tapi rumah berukuran 54 meter persegi dengan gaya kontemporer seperti ini terlalu besar untukku sendiri.

Selain terlalu besar, itu juga terlalu melelahkan untuk dibersihkan. Sepertinya aku mengetahui mengapa ibu selalu marah saat menyangkut soal kebersihan rumah. Maafkan aku ibu.

Uang yang awalnya aku tabung untuk nge-kost, aku pakai untuk perlengkapan sekolah seperti tas, buku, alat tulis, dan laptop. Tak lupa untuk kebutuhanku sehari-hari. Seberapapun banyak uang yang dimiliki oleh ayah aku tidak ingin merepotkan dia lebih dari ini.

Aku masih tidak mengerti apa yang ayah pikirkan saat membeli rumah ini untukku. Apa pun alasannya aku sangat berterima kasih mendapatkan hal ini semua.

Tapi rumah ini benar-benar nyaman, aku jadi susah untuk bangun pagi di sini. Walaupun aku dapat dengan nyaman belajar di mana pun aku mau. Semua hal ada baik dan buruknya, huh.

Tapi kenyamanan seperti itu sepertinya terhenti untuk sementara. Aku masih memikirkan tentang rumor yang ketua kelas dan Fachri katakan. Bagaimana untuk mengatakannya, itu membuat hatiku tidak nyaman dan gelisah bahkan itu terasa sampai sekarang aku sarapan.

“Hambar... Apakah kegelisahan bisa membuat kita sakit?”

Aku harap aku bisa menemukan jawaban ini secepatnya.

Dengan menyisakan satu dari tiga sandwich yang sudah dibuat, aku menyuci semua peralatan yang aku pakai dan pergi mandi untuk bersekolah.

Di saat mandi pun aku masih tetap memikirkan hal itu, huh.

Setelah selesai membersihkan tubuh dan memakai seragam, aku langsung bergegas ke luar, tidak lupa untuk mengunci pintu dan langsung pergi ke sekolah menggunakan LRT yang sudah selesai proyeknya di seluruh Jabodetabek.

Hanya butuh sekitar 8 menit dari rumahku ke stasiun di daerah yang sama, Jati Asih, 16 menit dari stasiun ke sekolah, 10 menit dari stasiun ke stasiun, dan 6 menit jalan kaki menuju sekolah. Jika dijumlahkan maka butuh waktu sekitar 24 menit agar aku bisa sampai ke sekolah yang berada di daerah Pondok Melati.

Meskipun begitu Fachri selalu mengatakan aku datang terlalu pagi, datang pukul 08.17 terlalu pagi? Masuk sekolah pukul 08.30 dan itu masih dibilang terlalu pagi?

Jam masukku tidak selalu seperti itu, sih. Terkadang bisa lebih dan terkadang bisa kurang. Contohnya saat ini, pukul 08.17 hannyalah prediksi yang aku buat di dalam LRT yang sekarang sudah berhenti di stasiun di mana aku harus turun.

Jalan kaki ke sekolah setelah dari stasiun cukup menyenangkan menurutku. Apakah ini karena pengalamanku untuk pertama kalinya, ya?

Menikmati suasana di sekitar dengan murid yang mengenakan seragam yang sama sepertiku, aku membuka sebuah novel yang aku bawa dari rumah sebelumnya untuk aku baca.

Novel yang sedang aku baca sekarang ini adalah novel lama yang bergenre romansa dan aku menyukai saat pertama kali membaca . Kata-kata yang dipakai tidak terlalu berat namun masih tetap pada jalurnya. Alasan aku menyukai novel ini mungkin aku ingin merasakan adegan romansa remaja yang ada di dalam novel ini walaupun terdengar mustahil bagiku.

“Selamat pagi, Raihan.”

“Ya, selamat pagi juga.”

Benar-benar novel yang menarik... Huh?

Tunggu, apakah tadi ada yang menyapaku?

Aku melihat ke arah kananku dan terlihat ketua kelas sedang berjalan bersama denganku.

Ketua kelas ternyata.

Huh?

“Woah woah, ketua kelas!? Selamat pagi!”

Sial aku meninggikan suaraku dan sekarang semuanya melihat ke arahku. Begitu pula dengan ketua kelas, dia berhenti dan memiringkan kepalanya terlihat kebingungan.

“Ada apa, Raihan?”

“Maaf, aku tidak menyadari ada kamu di sini.”

Dia terlihat kebingungan lagi.

“Hm? Tapi kau membalas sapaanku tadi, apa aku salah?”

“Ah, um... Bagaimana mengatakannya, itu adalah kebiasaanku.”

Kami berdua berjalan kembali dan ketua kelas mengembalikan pandangannya ke arah depan.

“Kebiasaan?”

“Ya, saat aku di rumah dulu aku sering disapa oleh ibuku saat sedang belajar, dan seperti yang dilihat sekarang, itu menjadi kebiasaan.”

Ketua kelas merespons dengan tawaan kecil.

“Sangat menarik.”

“Itu memalukan. Setidaknya untuk saat ini.”

“Benarkah?”

“Ya.”

Kami berdua melanjutkan langkah agar bisa sampai di sekolah. Tapi sudah berapa lama saat seseorang menyapaku saat datang ke sekolah?

Oh, benar.

“Aku masih saja memikirkan hal itu, Ketua.”

“Hm?”

“Apa yang kau katakan kemarin, rumor tentang ketua OSIS yang digantikan paksa.”

“Kau masih memikirkan hal itu? Kalau begitu aku minta maaf, sepertinya aku membuatmu terbebani.”

“Tidak, bukan seperti itu. Kau tidak perlu meminta maaf, lagi pula akulah yang meminta hal tersebut. Hanya saja entah mengapa itu masih ada di dalam pikiranku.”

“Jika seperti itu, mengapa kau tidak menanyakan hal itu langsung ke ketua OSIS?”

“Dia bilang itu harus aku temukan sendiri jawabannya.”

“Walaupun kau berada di peringkat 1 di antara murid baru?”

“Aku pikir itu tidak ada hubungannya.”

Dia kembali tertawa kecil.

“Kalau boleh tahu, apakah kau juga bagus dalam pelajaran, Ketua Kelas? Kalau tidak salah, salah satu syarat untuk menjadi ketua kelas ialah bagus dalam pelajaran, bukan?”

“Hm? Yah, aku yakin kau juga tidak ingin melihat selain namamu, bukan? Aku berada di peringkat ke-2. Hanya berbeda 9 poin dari dirimu yang mendapat 100 poin, lho.”

Apa maksudnya itu? Ngomong-ngomong bagaimana dia tahu tentang peringkatku?

“Bagaimana kau tahu peringkat dan nilaiku?”

Dia berhenti lalu menatapku, “Semua peringkat murid baru ditempel di sebelah papan pembagian kelas. Kau tidak tahu?”

“Tunggu, jadi itu dipajang juga?”

“Ya, terlihat jelas. Apakah kau benar-benar tidak mengetahuinya?”

“Um... bagaimana menjelaskannya. Saat itu aku hampir terlambat untuk mengikuti upacara pembukaan jadi aku hanya melihat papan pengumuman pembagian kelas saja. Seperti itu.”

Ketua kelas hanya terdiam tanpa pergerakan dengan mulut yang sedikit terbuka. Apakah aku mengatakan hal yang aneh?

Lalu dia tiba-tiba tertawa dengan kepalan tangan kanan di mulutnya.

“Ketua kelas?”

Setelah aku mengatakan hal itu, dia masih tertawa sedikit sambil mengusap air mata yang keluar dari ujung matanya.

“Panggil saja aku dengan namaku, Raihan.”

“B-baiklah, A-arshinta.”

“Shinta saja tidak apa-apa.”

“S-shinta.”

Dia tersenyum dan kembali berjalan.

“Maaf, aku tidak menyangka ada seseorang yang hampir terlambat saat upacara pembukaan.”

Aku menggaruk pipi sebalah kananku dengan telunjuk “Itu karena keadaan rumah, maka dari itu aku kesiangan.”

“Terdengar berat... Oh, benar. Kebetulan aku bertemu denganmu di sini. Sepertinya nanti kau akan sibuk setelah pelajaran Bu Annisa.”

“Setelah itu adalah istirahat ke-2 bukan? Apa ada masalah?”

“Hmmm... Kau akan mengetahuinya nanti.”

Bu Annisa, ya. Tidak heran dia selalu sibuk. Saat aku pergi ke ruang guru aku selalu melihat Bu Annisa begitu fokus dengan laptop dan kertas yang menumpuk di mejanya. Aku jadi bertanya-tanya apakah dia guru atau karyawan yang berada di perusahaan hitam?

Apa yang dikatakan oleh Arshinta benar terjadi. Setelah Bu Annisa selesai mengajar dia langsung memanggilku dan memintaku untuk langsung pergi ke mejanya yang berada di ruang guru.

Saat aku masih kebingungan dan melihat Bu Annisa pergi dari kelas, aku tidak sengaja melihat wajah Shinta melihat ke arahku dan tersenyum. Apakah dia ingin membuktikan kalau dia tidak berbohong?

Bu Annisa menyuruhku untuk mengantarkan kertas-kertas yang menumpuk di mejanya untuk diletakkan di ruang OSIS. Shinta juga membantuku, sepertinya dia juga dimintai tolong oleh Bu Annisa.

Hal ini berlanjut sampai jam pulang sekolah. Bu Annisa meminta kami untuk pergi ke kelas terlebih dahulu lalu setelah jam pulang sekolah meminta kami untuk kembali membantunya.

“Jika seperti ini aku menjadi penasaran apa isi kertas di dalam amplop coklat ini.”

“Mengapa?”

“Semua amplop ditulis dengan angka, seperti tumpukan amplop yang aku bawa sekarang. Saat ini semua amplop ditulis dengan angka tunggal, 10,11,12, hingga 22. Sedangkan tumpukan amplop sebelumnya ditulis dengan angka 8/2020, 1/2021, 4/2021, dan sebagainya. Untuk apa sebenarnya?”

“Jika kau berkata seperti itu ada benarnya juga.”

“Mungkin sesuatu yang sangat rahasia?”

“Dari mana kau bisa menyimpulkan seperti itu, Raihan?”

“Ini tentang OSIS dan guru bukan? Jika bukan hal yang rahasia lalu apalagi?”

“Jika ini memang rahasia seharusnya ini dibawa oleh anggota OSIS sendiri bukan?” 

“Ah, kau benar.”

Tak lama aku dan Shinta membicarakan tentang tumpukan amplop yang kita berdua bawa, kita sudah sampai di ruangan OSIS.

Namun setelah aku membuka pintu ruangan, ruangan yang sedari tadi kosong, sekarang terlihat seseorang berdiri menghadap ke luar jendela dengan sebuah gelas di tangannya.

Itu adalah Kak Clarrisa.

“Kak Clarissa?”

Dia membalikkan badannya ke arah kami.

“Apa yang Kakak lakukan di sini?”

Dia tersenyum, “Apakah tidak diperbolehkan untuk ketua OSIS pergi ke ruangannya? Lagi pula itu adalah jawabanku, Raihan. Apa yang kau lakukan di sini? Apakah kau sudah memutuskan apa yang kau pilih?”

Aku hanya diam dan mengalihkan pandanganku ke arah lain.

“Lalu, siapa yang ada di sebelahmu?”

Setelah Shinta diberi pertanyaan itu, dia menaruh tumpukan amplop di meja yang berada di dekatnya. Melihat dia, aku juga melakukan hal yang sama.

“Maaf mengganggu waktunya, Kak. Perkenalkan, nama saya Arshinta Kirania Pratista. Saya adalah ketua kelas 1-B serta teman sekelas dari Raihan. “

Tidak ada jawaban darinya. Apakah perkenalan diri dari Shinta begitu bagus sehingga ia tidak bisa mempermainkannya?

“Begitu.” Sambil menganggukkan kepalanya.

“Kalau begitu, Kak. Tadi itu adalah yang terakhir, kita diminta untuk melapor ke Bu Annisa jika sudah selesai. Kita izin pamit.”

“K-kalau begitu, Kak. Sampai nanti.”

Kita berjalan keluar dan aku berusaha untuk menutup pintu.

“Tunggu, Raihan.”

Aku membuka pintu kembali.

“A-ada apa, Kak?”

“Aku tunggu jawabanmu di hari Jum’at di tempat biasa setelah pulang sekolah. Itu adalah batas terakhir dan kau harus menentukan pilihanmu.”

“Baik.”

“Jangan lupa bawakan aku juga Set A.”

“Baik.”

Aku menutup pintunya kembali lalu berjalan meninggalkan ruangan itu bersama dengan Shinta.

“Apakah ketua OSIS mengungkapkan cinta kepadamu, Raihan?”

“Tidak. Itu adalah masalah yang aku konsultasikan padamu kemarin.”

“Jadi itu.”

“Mengapa kau tidak berikan jawaban dengan tegas saja kalau kau menolaknya?”

“Aku juga tidak tahu. Walaupun dia memaksaku untuk menjadi wakilnya selama 3 minggu terakhir aku tidak merasakan sesuatu yang dipaksakan.”

“Apa maksudmu?”

“Aku merasakan bahwa ia memaksaku dengan tulus, maksudku dia seperti benar-benar ingin meminta tolong padaku.”

“Mengapa kau bisa yakin seperti itu?”

“Kau tahu, selama 3 minggu itu tidak hanya memaksaku, Kak Clarrisa juga menjadi teman untukku mengobrol. Dan betapa aku sering bersamanya aku bisa mengetahui bagaimana sifatnya, seperti itu? Aku juga tidak tahu mengapa aku merasakan hal seperti itu. Bukan seperti diriku.”

Meskipun Kak Clarissa selalu memaksaku untuk menjadi ketuanya. Pada akhirnya Kak Clarisa adalah seorang kakak kelas yang dapat diandalkan. Itulah apa yang aku rasakan beberapa minggu terakhir saat bersamanya.

“Bagaimana kalau kau bertanya kepada Bu Annisa saja?”

Aku menghentikan langkahku yang tepat di depan ruang guru.

Kenapa Bu Annisa?

Tidak mendapatkan respons dariku, Shinta kembali berbicara. “Aku pikir kau akan mengetahui sesuatu. Bagaimana untuk mencobanya? Jika kau ingin melakukannya tolong kasih tahu bahwa aku harus pergi.”

“Kau harus pulang?”

“Ya, ada sesuatu yang harus aku lakukan, bagaimana?”

Aku mengangguk, “Baiklah, hati-hati di jalan.”

Setelah aku mengatakan hal itu, Shinta melambaikan tangannya sambil berlari ke arah kelas, mungkin untuk mengambil tasnya yang masih ada di dalam.

Setelah dia masuk ke dalam kelas, aku berbalik ke arah pintu ruang guru. “Permisi” kataku sambil membuka pintunya.

Di dalam hanya terdapat Bu Annisa seorang yang masih sibuk dengan laptop dan juga kertas-kertasnya. Aku langsung menghampiri Bu Annisa yang sedang kesusahan itu.

“Semuanya sudah diantar ke ruang OSIS, Bu.”

“Ya... Kerja bagus...”

Dia melihat ke arahku dengan alis yang mengerut akibat pekerjaannya.

“Shinta bilang dia harus pergi karena ada sesuatu. Dia juga menitipkan maaf kepadaku.”

“Begitu.”

Dengan nada yang datar, Bu Annisa mengatakan hal itu sambil melanjutkan pekerjaannya dengan keras.

Jika apa yang dikatakan oleh Shinta aku dapat mengetahui sesuatu dari Bu Annisa, satu-satunya cara hannyalah dengan menanyakan itu secara langsung.

Aku menghirup napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan.

Aku membuka mulutku secara perlahan, meskipun sedikit ragu aku terus memaksakan tekadku untuk bertanya.

“B-“

“AHHHH! SIALAN! MENGAPA POSISI PEMBIMBING OSIS TAHUN INI JATUH KEPADAKU?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status