Perjalanan dinas bukan hal baru bagiku. Kami—aku dan Arga—sudah beberapa kali ditugaskan keluar kota bersama, bersama tim yang itu-itu juga. Tapi entah kenapa, perjalanan kali ini terasa berbeda.
Mungkin karena sejak sering dibonceng pulang olehnya, sesuatu dalam diriku berubah. Ada jarak yang sebelumnya kutarik rapat, kini mulai longgar. Ada ruang yang dulu kututup rapat, kini mulai terbuka, diam-diam... untuknya.
Kami berlima dalam satu mobil. Arga menyetir di depan, tenang seperti biasa. Tangannya menggenggam setir dengan gaya khasnya—tepat, terarah, dan entah kenapa, menggoda. Dari kursi belakang, aku memperhatikan bahunya yang naik-turun setiap ia berganti posisi. Gerakan kecil yang sepele, tapi cukup untuk membuat pikiranku mulai menjauh dari jalur tol.
Sialan.
Aku bahkan memperhatikan bagian tengkuknya. Keringat halus di kulit lehernya. Cara rambutnya turun sedikit menutupi kerah belakang.
Bayangan kecil muncul di pikiranku. Tentang tanganku yang menyentuh tengkuk itu... lalu turun perlahan ke dadanya dari belakang.
Ajeng... hentikan, bisikku dalam hati.
Tapi tubuhku tak mendengar.
Kami menginap di hotel besar di tengah kota Malang—tempat yang sudah tak asing lagi. Hotel itu menyediakan gym. Fasilitas yang biasanya tak pernah kulirik dua kali. Tapi hari itu, tubuhku terasa gerah—entah karena perjalanan panjang atau karena udara yang menggantung antara aku dan Arga.
Kupakai sport bra hitam yang sudah lama tak tersentuh, celana ketat berwarna gelap yang dulu terasa asing, kini menempel seperti identitas, dan hoodie pink tipis untuk menyamarkan bentuk tubuhku yang sudah lama tak kutampilkan ke siapa pun selain diriku sendiri.
Dan dia di sana. Arga.
Sudah lebih dulu di treadmill. Earphone terpasang, keringat membasahi pelipisnya, dan kaus hitam ketat yang melekat pada punggungnya seperti kulit kedua. Bahu itu... leher itu... dada itu...
Aku menelan ludah. Tak karena haus. Tapi karena lapar—bukan pada makanan, tapi pada perhatian yang tak pernah kudapat dari Chandra dalam beberapa tahun.
“Suka olahraga juga?” Arga bertanya, mencabut sebelah earphone-nya.
“Dulu. Sekarang cuma kalau kangen.” Suaraku terdengar lebih lembut dari biasanya. Mungkin terlalu lembut.
“Kangen olahraga atau kangen dilihat orang saat olahraga?”
Matanya menatapku—dan aku tahu itu bukan pertanyaan iseng.
Aku tertawa kecil, mencoba menyembunyikan gemetar halus di ujung jari. Tapi Arga tidak berhenti di situ.
“Kita sparring yuk, biar nggak cuma lari dari kenyataan,” katanya sambil menyeringai kecil.
Kami mulai dengan stretching ringan, lalu sit-up, plank, dan push-up bergantian. Tak banyak kata, tapi tubuh kami bicara lebih lantang dari mulut. Saat ia mengoreksi posisi lenganku dalam gerakan plank, sentuhan itu terlalu ringan untuk disebut menggoda—tapi terlalu lama untuk dianggap biasa.
Semua seperti tarian kecil yang membuat jarak di antara kami perlahan menguap.
Dan dalam waktu yang singkat itu, tubuhku mengirimkan sinyal yang tak bisa kudustakan aku menginginkannya.
Malam itu aku kembali ke kamar dalam keadaan berkeringat, tapi bukan karena lelah. Ada sensasi aneh. Jantungku tak henti berdetak. Mataku tak bisa lepas dari bayangan punggungnya yang basah oleh peluh.
Aku rebah di kasur hotel sambil memandangi langit-langit putih yang membosankan. Tapi pikiranku melayang... ke satu sosok yang kini tak bisa kutepis dari kepala.
Arga.
Bukan karena dia tampan. Bukan karena dia perhatian. Tapi karena tubuhku bereaksi hanya pada dia.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak menikah, aku menyentuh diriku sendiri...
Bukan karena rindu pada suamiku, Tapi karena aku membayangkan Arga sedang berdiri di ujung ranjang... Menatapku... Sambil perlahan membuka hoodie-ku... Dengan mata yang lebih lembut dari niatnya. Dan setelahnya, saat tubuhku perlahan tenang... yang justru tak bisa tenang adalah hatiku sendiri. Karena aku tahu, ini bukan hanya tentang keinginan. Ini tentang sesuatu yang telah tumbuh diam-diam... dan kini mulai menuntut ruang.Arga memegang kunci kayu kecil bertuliskan angka 03 dan membukakan pintu kamar. Cahaya kuning temaram langsung menyambut mereka—hangat, redup, menenangkan. Aroma kayu basah dan teh melati samar-samar menguar dari sudut meja kecil. Sebuah ranjang besar tertata rapi dengan selimut tebal berwarna krem, mengundang siapa pun yang lelah untuk rebah tanpa pikir panjang.Aku melangkah masuk, mengedarkan pandang. Ruangan ini tak mewah, tapi hangat dan menenangkan. Seperti pelukan setelah hujan."Aku cuci tangan dan kaki dulu, ya," ucap Arga sambil melepas jaket dan berjalan ke arah kamar mandi.Giliranku masuk kamar mandi. Ketika ia kembali, Arga sudah duduk di tepi ranjang, menyalakan televisi hanya untuk mengisi keheningan.Arga menepuk kasur di sebelahnya, pelan, tanda menyuruhnya duduk. Aku menurut, berjalan perlahan lalu duduk di sampingnya.Kaki mereka bersentuhan tanpa sengaja. Lalu sama-sama diam untuk beberapa saat."Danau ini… udah banyak berubah, ya," gumamku membuka percakapan."Ka
Setelah beberapa menit, akhirnya sampai di pinggir danau. Ada banyak jejeran warung di tepi danau, mengeluarkan aroma sate ayam yang mengundang. Kita memutuskan berhenti di salah satunya. "Sate dua porsi, teh panas dua ya, Bu," ujar Arga ramah pada penjual. Aku tersenyum bahagia, menggenggam cangkir teh panas dan meniup uapnya. "Ini sih lebih enak dari restoran bintang lima." "Enak karena ada kamu," balas Arga tanpa ragu, membuat pipiku memanas. Aku menunduk, pura-pura sibuk meneruskan menyeruput teh agar dia tak melihat rona merah di wajahku. Tapi sialnya, senyumku malah melebar tanpa bisa dikendalikan. “Jangan gitu ah,” bisikku pelan, nyaris seperti gumaman. Tapi Arga mendengarnya. Selalu saja mendengarnya. “Apa? Jujur dikit aja nggak boleh?” ujarnya sambil tertawa pelan. Arga menyelesaikan tusukan terakhirnya lebih dulu. Ia mengelap tangannya dengan tisu, lalu bersandar di bangku kayu yang mulai dingin, mengeluarkan rokok dari saku jaketnya. Jari-jarinya tampak ceka
Sabtu pagi, udara masih setia menggigit. Kami bertemu di titik yang disepakati, hanya berdua. Tak ada teman kantor, tak ada suara lembur, tak ada tanggung jawab menumpuk. Hanya aku, dia, dan sebuah keputusan diam-diam untuk kabur sejenak dari dunia.Aku mengenakan jaket biru tebal dan kacamata hitam. Sementara Arga datang dengan kaos hitam dan hoodie abu-abu. Sederhana, tapi dada kami berdetak tak sederhana. Ada sesuatu yang menanti. Sesuatu yang tak bisa disebut—hanya bisa dirasakan.Mobil Arga melaju pelan menyusuri jalanan yang berkabut. Hawa dingin masuk dari jendela yang sedikit terbuka, memaksa kami merapat, mencari hangat dari sisa-sisa energi dua hari terakhir yang penuh tawa, canggung, dan—aku tak bisa memungkiri—kerinduan yang tak seharusnya ada.Radio mengalun pelan. Lagu “Sahabat Kecil” dari Ipang mengisi ruang kabin dengan lembut, seperti suara hati yang bicara tanpa izin.“Eh, kamu hafal nggak liriknya?” tanyaku sambil mengusap embun dari kaca mobil.“Hafal lah,” jawabny
Suasana kantor kembali seperti biasa—atau setidaknya, seolah-olah begitu. Kertas masih berserakan di meja, suara keyboard beradu cepat dengan tenggat waktu, dan tatapan-tatapan profesional dipertahankan demi menjaga batas. Tapi aku tahu, sejak malam itu, ada yang berubah.Bukan hanya pada Arga. Tapi juga pada diriku.Aku melangkah masuk ke ruang kerja dengan langkah teratur, membawa aroma tubuh yang sama, mengenakan pakaian kerja yang sama. Namun saat mataku menangkap sosok Arga di seberang meja, detak jantungku seakan terlewat satu irama.Dan Arga—pria itu hanya melirik sekilas, lalu menunduk lagi ke layar monitor. Tapi aku tahu, ada senyum tipis yang tertahan di sudut bibirnya. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan hal-hal kecil yang tak bisa didefinisikan.Seperti saat kita berpapasan di lorong pantry, dan jemari Arga menyentuh punggung tanganku sekilas—tanpa alasan, tanpa permisi, tapi cukup untuk membuat kulit ini memanas.Atau saat Arga menyerahkan berkas, dan telapak tangannya
Aku masih merasakan denyut di bibirnya ketika jemarinya mengusap tengkuk Arga. Nafasnya belum kembali tenang, tapi hatinya sudah lebih jujur dari sebelumnya. Aku beralih, perlahan menggeser duduk hingga kini berada di atas pangkuan Arga, menghadapnya langsung. Kakiku menekuk di samping tubuh pria itu, mendekap lembut. Arga memundurkan posisi duduknya, membuat sandaran kursi itu merebah lebih rendah. Tubuhku menyusul gerakannya, tetap melekat di pangkuannya, dadaku menempel di dadanya yang berdegup keras dan hangat. Tangannya menjelajah, mulai dari pinggang, lalu ke sisi dadaku. Ia berhenti. Menatapku dalam. “Boleh aku?” bisiknya serak, nyaris seperti rintihan. Aku tak menjawab dengan kata. Bibirku nyaris menyentuh telinganya saat kubisikkan, “Jangan tanya lagi. Rasakan aku… seperti aku ingin merasakan kamu.” Pandangan matanya berubah. Seperti api yang dipantik oleh bensin. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya kembali naik. Dan aku yang kini tak lagi malu, menggeser sedikit tubuhk
Lembur hari itu selesai lebih cepat dari biasanya, tapi bukan berarti mereka buru-buru pulang. Aku masih duduk di kursinya, pura-pura merapikan berkas, padahal pikirannya sudah ke mana-mana sejak Arga menawarkan, “Mau cari angin bentar?”Mereka tak perlu alasan. Sama-sama tahu itu bukan cuma tentang angin.Mobil Arga melaju perlahan ke arah dataran tinggi.“Kenapa ngajak aku?” tanyaku.“Karena kamu kelihatan butuh istirahat.”“Terus kamu? Butuhnya apa?”Arga menoleh sebentar, “Butuh keberanian.”Aku menoleh juga, pelan. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Ada yang lebih nyaring dari kata-kata: degup jantungnya sendiri.Udara malam mulai menggigit, tapi anehnya, aku merasa justru lebih hangat daripada siang tadi. Di warung kecil yang nyempil di pinggir tebing, mereka duduk berdampingan, memesan mie rebus dan teh manis panas. Tak ada yang bicara banyak, tapi setiap tatapan terasa lebih lama dari biasanya.“Kamu sering begini?” tanyaku, mencoba terdengar santai.Arga menoleh, senyumnya mirin