Home / Romansa / Rasaku Ditelanjangi / Bab 4: Pukul 8 Hingga 4

Share

Bab 4: Pukul 8 Hingga 4

Author: AYURI
last update Last Updated: 2025-07-21 16:17:23

Pekerjaan adalah satu-satunya tempat aku merasa dihargai tanpa perlu membuka luka. Aku bekerja sebagai staf akuntansi di sebuah perusahaan jasa. Setiap pukul delapan pagi, aku sudah duduk di depan layar komputer, membenamkan diri dalam dunia angka yang rapi—berbanding terbalik dengan hidupku sendiri.

Di antara hiruk-pikuk ruang kantor, ada kedatangan yang nyaris tidak terasa. Ia bukan tipe pria yang membuat semua wanita menoleh dengan gaya flamboyan atau wangi yang menyengat. Justru sebaliknya—ia terlalu tenang. Terlalu santun. Terlalu... berbahaya.

Namanya Arga.

Dia berdiri di ujung ruangan saat pertama kali diperkenalkan. Kemeja putih yang masih kaku, rambut disisir rapi, dan suara yang rendah namun jelas saat menyebutkan namanya. Semua biasa saja—kecuali tatapan itu.

Matanya menatap lurus, hangat... tapi terlalu dalam untuk ukuran rekan kerja baru. Tatapan yang tidak kasar, tidak menggerayangi, tapi seperti mempelajari.

Sejenak saja, aku merasa ditelanjangi.

Tanpa disentuh. Tanpa satu pun kata yang melampaui etika.

Aku tak menanggapi. Hanya tersenyum seperlunya, lalu kembali ke komputer. Sebagai karyawan senior, aku sudah terbiasa melihat wajah-wajah baru yang datang dan pergi. Tak satu pun mengganggu ritme hidupku yang datar dan penuh peran—sebagai pegawai, istri, dan ibu. Aku punya rutinitas. Punya tanggung jawab. Dan tentu saja, punya batasan.

Tapi Arga... entah kenapa, dari semua yang pernah datang, hanya dia yang matanya lebih lembut dari niatnya.

Menjelang sore, aku membaca pesan dari Chandra- suamiku. "Aku lembur, kamu dan Khaira pulang sendiri ya."

Satu kalimat. Tanpa tanya. Tanpa peduli.

Aku menghela napas.

Aku mematikan komputer, membereskan meja, dan memandangi sejenak foto kecil Khaira di bingkai lucu berwarna kuning. Senyum kecil anak itu selalu menjadi pengingat bahwa aku tidak boleh menyerah.

Di luar gedung kantor, matahari sore memantulkan bayanganku di kaca pintu. Wajah lelah, mata yang mulai cekung, namun bibir tetap berusaha tersenyum. Karena di rumah, ada gadis kecil yang menunggu pelukan ibunya.

“Udah mau pulang?” Sebuah suara laki-laki, tenang dan akrab.

Aku menoleh. Arga berdiri sambil menenteng helm. Jaket hitamnya dilipat di lengan. Senyumnya tidak dibuat-buat.

“Iya,” jawabku singkat.

“Yuk bareng. Motorku kosong.”

Aku hampir menolak, tapi terlalu lelah untuk sendiri.

“Boleh,” kataku pelan, dan senyum kecil itu muncul tanpa bisa kutahan.

Biasanya, aku bawa mobil sendiri. Tapi hari ini... tidak. Dan dia tahu itu.

“Yakin, nggak apa-apa?” tanyaku, langkahku mendekatinya pelan.

“Yakin. Motorku kuat kok buat boncengin kamu.” Ia menyeringai ringan, tidak menggoda, hanya hangat.

Di parkiran, motor matic-nya sudah siap. Ia mengambil helm cadangan dari bagasi lalu menyerahkannya padaku.

“Aku nggak bawa masker,” kataku, sedikit kikuk.

Arga membuka saku jaketnya dan menyodorkan satu masker lipat baru. “Selalu sedia buat jaga-jaga.”

Aku tersenyum kecil, menunduk menyembunyikan pipi yang entah kenapa terasa hangat.

Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku. Jaket Arga, yang aromanya samar mengingatkanku pada hujan pertama dan daun basah, jadi sandaran hangat di sepanjang perjalanan.

Kupeluk tas di pangkuan kiri, dan tangan kanan tanpa sadar bersandar ringan di belakangnya—hanya menyentuh punggungnya melalui jaket. Tak lebih dari sepersekian sentimeter, tapi cukup untuk membuat jantungku bekerja dua kali lebih keras.

Saat lampu merah menyala di perempatan kecil, Arga menoleh sedikit. “Weekend ini ada rencana?”

“Nggak ada. Paling nemenin Khaira main di rumah Ibu.”

“Hebat kamu,” ujarnya tiba-tiba. “Bisa bagi waktu antara kerja dan jadi ibu.”

Aku tertawa kecil. “Nggak sehebat itu, Ga. Kadang rasanya gagal di dua-duanya.”

“Ngomong gitu karena kamu capek. Tapi dari yang aku lihat, kamu ibu yang hebat, dan staf yang luar biasa.”

Suara klakson dari mobil belakang memutus percakapan kami. Lampu hijau menyala, dan Arga kembali memacu motor.

Tapi kalimat itu... kalimat itu tertinggal di pikiranku lebih lama dari yang seharusnya. Barangkali karena sudah lama sekali tidak ada yang benar-benar melihatku sebagai perempuan yang utuh—bukan hanya sebagai ibu, istri, atau pegawai. Tapi sebagai diriku sendiri.

Aku menunduk, menelan ludah. Tak ingin suara hatiku terdengar terlalu jelas.

Kami tiba di gang rumahku saat langit telah berubah oranye keemasan. Aku turun perlahan, melepas helm dengan hati-hati seolah ingin memperpanjang momen. Angin masih bertiup, membawa aroma dedaunan basah dan suara anak-anak bermain di kejauhan.

“Makasih ya, udah nganter.”

Arga mengangguk, lalu menatapku sebentar. “Besok kalau masih butuh tumpangan, tinggal bilang ya.”

Aku nyengir kecil, berusaha bercanda agar perasaanku sendiri tak terlalu kentara. “Kamu yakin nggak keberatan?”

“Yakin.” Ia tersenyum.

Aku mengangguk, masih dengan senyum tipis yang tak bisa kusembunyikan. Tapi di dalam hati... aku tahu. Aku akan menantikan esok hari.

Karena sejak hari itu, segalanya perlahan berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 29: Sebelum Fajar

    Tubuhnya masih memelukku dari belakang. Kulit kami bersentuhan tanpa jeda, dan napasnya yang hangat masih menyentuh tengkukku. Tak ada kata, hanya detak jantung yang mulai melambat, mengiringi keheningan yang nyaman.Kepalaku bersandar di lengannya. Mataku baru setengah terpejam saat kulirik jam digital di nakas—12.19. Tuhan. Kami sudah lebih dari dua jam terbenam dalam satu sama lain.Aku menarik napas pelan. Masih ada sisa gemetar di otot pahaku. Bukan hanya karena lelah, tapi karena terlalu lama ditahan oleh rasa yang tak biasa. Arga belum juga melepaskan. Ia hanya memelukku makin erat, seolah tak ingin malam ini berakhir.“Sayang,” bisiknya lembut di belakang telingaku. “Kita harus bersihin diri, ya?”Aku mengangguk kecil. Tubuhku masih berat, tapi aku tahu kami tak bisa berlama-lama. Esok hari masih ada acara pagi yang harus kami hadiri. Dunia luar menunggu. Tapi untuk saat ini, dunia kami hanya berisi pelukan dan kulit yang saling mengenal tanpa kata.Dengan lembut, Arga menarik

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 28: Dalam Satu Tarikan Nafas

    Tubuhku masih gemetar ringan, tersisa dari ledakan yang baru saja meluluhlantakkan seluruh keberadaanku. Tapi bukan hanya tubuhku yang masih bergetar. Hatiku. Nadiku. Napasku.Dan Arga masih di atas tubuhku, dalam keheningan yang syahdu, seolah turut merasakan semuanya dalam satu aliran napas yang sama. Dahi kami bersentuhan. Napas kami bertabrakan. Tidak ada jarak.Tangannya masih menggenggam jemariku yang lembab dan lemas. Lalu pelan-pelan, ia mencium pundakku—hangat, basah, penuh rasa. Seolah ingin mengucapkan terima kasih kepada tubuh yang baru saja memberinya tempat untuk tinggal.Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, ia menarik dirinya keluar dari dalamku. Perlahan. Tidak tergesa. Dan saat ia melepaskannya, aku bisa merasakan setiap milimeter dari kepergiannya—menghangatkan, menyisakan jejak di rongga tubuhku.Sebelum sempat kehilangan, ia langsung membungkuk mencium keningku, lalu pipiku, satu per satu. Keduanya masih basah oleh peluh dan sisa air mata kecil yang entah k

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 27: Dia Belum Selesai

    Tubuhku masih bergetar dalam pelukannya. Nafasku belum sepenuhnya kembali, tapi hatiku telah lebih dulu jatuh tenang di dadanya. Arga tidak terburu-buru. Ia mendekapku, membiarkan jantungku berdetak di antara jarak yang lenyap. Satu tangannya mengusap lenganku pelan, seolah ingin menyampaikan bahwa malam ini belum selesai—bahwa semuanya baru saja dimulai.Ia mencium tengkukku, lembut sekali. “Masih bisa?” bisiknya, napasnya hangat menyentuh kulitku.Aku tak menjawab dengan kata. Hanya menarik jemarinya yang tadi memeluk pinggangku, membawanya ke arah bibirku. Kucium punggung tangannya perlahan, lalu memutar tubuhku hingga aku bisa menatap matanya.Dan dalam diam, aku menyentuhnya, dibalik celana pendek.Tubuhnya masih hangat, tegang, seolah belum benar-benar selesai. Aku membiarkan jemariku menyapunya pelan, merespons kekerasan yang masih penuh rasa itu. Sorot matanya berubah—redup, dalam, tapi menyala.Kemudian ia bangkit dari kasur.Berdiri di ujung ranjang, membuka kaos dan celana

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 26: Pelan Tapi Membakar

    Aku tidak tahu berapa lama ia bermain di dadaku. Tapi waktu terasa melambat.Mungkin karena ia begitu lembut. Mungkin karena aku terlalu menikmatinya.Tangannya kini berada di pahaku, di balik celana pendekku. Ia tidak melepasnya langsung, hanya membelai di balik jeans biru ini. Sentuhannya ringan, nyaris seperti angin—tapi justru itu yang membuatku menggigit bibir, menahan suara.“Relain semua ya,” katanya. “Nggak usah ditahan.”Tangannya mengusap lembut paha bagian dalamku, mendekat ke pusat rasa, tapi belum menyentuh langsung. Sementara bibirnya kembali menjelajahi dadaku, pelan—seolah tubuhku sebuah peta yang ingin ia hafalkan ulang. "Aku udah gak tahan sayang." pintaku manja.Ia mulai menurunkan celanaku perlahan.Aku mengangkat pinggul agar ia lebih mudah melepasnya.Ia mencium bagian bawah perutku, lalu turun ke paha, lutut, dan pergelangan kaki, sebelum kembali naik—membiarkan bibir dan jari-jarinya menandai setiap inci tubuhku dengan rasa.Ia memelukku dulu. Mengusap rambutk

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 25: Lagu Yang Tak Pernah Usai

    Aku tak ingat kapan terakhir kali dunia terasa setenang ini. Hanya dengungan lembut AC, suara air kolam dari balik jendela, dan napas kami—bertemu di udara yang sama, di ruang yang tak seharusnya kami miliki.Tangannya masih di tengkukku, menahan kepalaku tetap dalam pelukannya. Bibirnya melekat pada milikku, mencium seperti mengingat, seperti menghafal ulang apa yang mungkin hilang esok pagi. Tak ada suara, hanya napas kami yang makin tak beraturan, dan detak jantungku yang bergetar di seluruh tubuh.Ia menarik tubuhku pelan, menyandarkanku pada dadanya. Keningku menyentuh lehernya. Aku bisa mencium aroma kulitnya—hangat, samar seperti kayu dan hujan. Tangannya membelai rambutku, jemarinya menyusup lembut ke pangkal leher. Lalu mengusap perlahan punggungku, turun, mengunci punggung bawahku dalam dekapan yang utuh.“Malam ini, giliranku,” bisiknya. Sederhana. Tapi suara itu membuat jantungku berdentum keras.Aku membuka mulut untuk bicara, tapi ia sudah menunduk, mencium bibirku lembu

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 24: Di Balik Pintu 106

    Di kamar, Tyas langsung tertidur. Aku duduk dalam gelap, menatap layar ponsel yang kosong.Tak ada pesan.Tapi aku tahu, dia sedang menunggu. Sama sepertiku.Aku menarik napas dalam. Lalu mulai mengetik, pelan-pelan, dengan hati yang berdegup tak menentu.Aku (23.41): Kamu masih bangun?mylovember: Masih. Aku nunggu kamu ngetik duluan 😌Aku: Aku booking kamar lain.mylovember: Hah? Buat siapa?Aku: Kamar 106. Lantai bawah. Dekat kolam.Aku: Buat kita.Ada jeda cukup lama sebelum ia membalas lagi.mylovember: Kamu sendirian sekarang?Aku: Tyas udah tidur. Aku turun duluan ya. Pintu nggak dikunci.Aku menutup ponsel, berdiri pelan-pelan, memastikan suara langkahku tak membangunkan siapa pun. Lorong kamar sunyi. Lampu-lampu temaram menggantung di dinding, memantulkan bayangan samar ke ubin yang dingin.Di lantai bawah, kamar 106 tampak sunyi. Tirainya tertutup. Lampu taman memantul di permukaan kolam, menciptakan siluet bergelombang di dinding luar kamar. Aku membuka pintu dan masuk. Ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status