Pekerjaan adalah satu-satunya tempat aku merasa dihargai tanpa perlu membuka luka. Aku bekerja sebagai staf akuntansi di sebuah perusahaan jasa. Setiap pukul delapan pagi, aku sudah duduk di depan layar komputer, membenamkan diri dalam dunia angka yang rapi—berbanding terbalik dengan hidupku sendiri.
Di antara hiruk-pikuk ruang kantor, ada kedatangan yang nyaris tidak terasa. Ia bukan tipe pria yang membuat semua wanita menoleh dengan gaya flamboyan atau wangi yang menyengat. Justru sebaliknya—ia terlalu tenang. Terlalu santun. Terlalu... berbahaya.
Namanya Arga.
Dia berdiri di ujung ruangan saat pertama kali diperkenalkan. Kemeja putih yang masih kaku, rambut disisir rapi, dan suara yang rendah namun jelas saat menyebutkan namanya. Semua biasa saja—kecuali tatapan itu.
Matanya menatap lurus, hangat... tapi terlalu dalam untuk ukuran rekan kerja baru. Tatapan yang tidak kasar, tidak menggerayangi, tapi seperti mempelajari.
Sejenak saja, aku merasa ditelanjangi.
Tanpa disentuh. Tanpa satu pun kata yang melampaui etika.
Aku tak menanggapi. Hanya tersenyum seperlunya, lalu kembali ke komputer. Sebagai karyawan senior, aku sudah terbiasa melihat wajah-wajah baru yang datang dan pergi. Tak satu pun mengganggu ritme hidupku yang datar dan penuh peran—sebagai pegawai, istri, dan ibu. Aku punya rutinitas. Punya tanggung jawab. Dan tentu saja, punya batasan.
Tapi Arga... entah kenapa, dari semua yang pernah datang, hanya dia yang matanya lebih lembut dari niatnya.
Menjelang sore, aku membaca pesan dari Chandra- suamiku. "Aku lembur, kamu dan Khaira pulang sendiri ya."
Satu kalimat. Tanpa tanya. Tanpa peduli.
Aku menghela napas.
Aku mematikan komputer, membereskan meja, dan memandangi sejenak foto kecil Khaira di bingkai lucu berwarna kuning. Senyum kecil anak itu selalu menjadi pengingat bahwa aku tidak boleh menyerah.
Di luar gedung kantor, matahari sore memantulkan bayanganku di kaca pintu. Wajah lelah, mata yang mulai cekung, namun bibir tetap berusaha tersenyum. Karena di rumah, ada gadis kecil yang menunggu pelukan ibunya.
“Udah mau pulang?” Sebuah suara laki-laki, tenang dan akrab.
Aku menoleh. Arga berdiri sambil menenteng helm. Jaket hitamnya dilipat di lengan. Senyumnya tidak dibuat-buat.
“Iya,” jawabku singkat.
“Yuk bareng. Motorku kosong.”
Aku hampir menolak, tapi terlalu lelah untuk sendiri.
“Boleh,” kataku pelan, dan senyum kecil itu muncul tanpa bisa kutahan.
Biasanya, aku bawa mobil sendiri. Tapi hari ini... tidak. Dan dia tahu itu.
“Yakin, nggak apa-apa?” tanyaku, langkahku mendekatinya pelan.
“Yakin. Motorku kuat kok buat boncengin kamu.” Ia menyeringai ringan, tidak menggoda, hanya hangat.
Di parkiran, motor matic-nya sudah siap. Ia mengambil helm cadangan dari bagasi lalu menyerahkannya padaku.
“Aku nggak bawa masker,” kataku, sedikit kikuk.
Arga membuka saku jaketnya dan menyodorkan satu masker lipat baru. “Selalu sedia buat jaga-jaga.”
Aku tersenyum kecil, menunduk menyembunyikan pipi yang entah kenapa terasa hangat.
Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku. Jaket Arga, yang aromanya samar mengingatkanku pada hujan pertama dan daun basah, jadi sandaran hangat di sepanjang perjalanan.
Kupeluk tas di pangkuan kiri, dan tangan kanan tanpa sadar bersandar ringan di belakangnya—hanya menyentuh punggungnya melalui jaket. Tak lebih dari sepersekian sentimeter, tapi cukup untuk membuat jantungku bekerja dua kali lebih keras.
Saat lampu merah menyala di perempatan kecil, Arga menoleh sedikit. “Weekend ini ada rencana?”
“Nggak ada. Paling nemenin Khaira main di rumah Ibu.”
“Hebat kamu,” ujarnya tiba-tiba. “Bisa bagi waktu antara kerja dan jadi ibu.”
Aku tertawa kecil. “Nggak sehebat itu, Ga. Kadang rasanya gagal di dua-duanya.”
“Ngomong gitu karena kamu capek. Tapi dari yang aku lihat, kamu ibu yang hebat, dan staf yang luar biasa.”
Suara klakson dari mobil belakang memutus percakapan kami. Lampu hijau menyala, dan Arga kembali memacu motor.
Tapi kalimat itu... kalimat itu tertinggal di pikiranku lebih lama dari yang seharusnya. Barangkali karena sudah lama sekali tidak ada yang benar-benar melihatku sebagai perempuan yang utuh—bukan hanya sebagai ibu, istri, atau pegawai. Tapi sebagai diriku sendiri.
Aku menunduk, menelan ludah. Tak ingin suara hatiku terdengar terlalu jelas.
Kami tiba di gang rumahku saat langit telah berubah oranye keemasan. Aku turun perlahan, melepas helm dengan hati-hati seolah ingin memperpanjang momen. Angin masih bertiup, membawa aroma dedaunan basah dan suara anak-anak bermain di kejauhan.
“Makasih ya, udah nganter.”
Arga mengangguk, lalu menatapku sebentar. “Besok kalau masih butuh tumpangan, tinggal bilang ya.”
Aku nyengir kecil, berusaha bercanda agar perasaanku sendiri tak terlalu kentara. “Kamu yakin nggak keberatan?”
“Yakin.” Ia tersenyum.
Aku mengangguk, masih dengan senyum tipis yang tak bisa kusembunyikan. Tapi di dalam hati... aku tahu. Aku akan menantikan esok hari.
Karena sejak hari itu, segalanya perlahan berubah.
Arga memegang kunci kayu kecil bertuliskan angka 03 dan membukakan pintu kamar. Cahaya kuning temaram langsung menyambut mereka—hangat, redup, menenangkan. Aroma kayu basah dan teh melati samar-samar menguar dari sudut meja kecil. Sebuah ranjang besar tertata rapi dengan selimut tebal berwarna krem, mengundang siapa pun yang lelah untuk rebah tanpa pikir panjang.Aku melangkah masuk, mengedarkan pandang. Ruangan ini tak mewah, tapi hangat dan menenangkan. Seperti pelukan setelah hujan."Aku cuci tangan dan kaki dulu, ya," ucap Arga sambil melepas jaket dan berjalan ke arah kamar mandi.Giliranku masuk kamar mandi. Ketika ia kembali, Arga sudah duduk di tepi ranjang, menyalakan televisi hanya untuk mengisi keheningan.Arga menepuk kasur di sebelahnya, pelan, tanda menyuruhnya duduk. Aku menurut, berjalan perlahan lalu duduk di sampingnya.Kaki mereka bersentuhan tanpa sengaja. Lalu sama-sama diam untuk beberapa saat."Danau ini… udah banyak berubah, ya," gumamku membuka percakapan."Ka
Setelah beberapa menit, akhirnya sampai di pinggir danau. Ada banyak jejeran warung di tepi danau, mengeluarkan aroma sate ayam yang mengundang. Kita memutuskan berhenti di salah satunya. "Sate dua porsi, teh panas dua ya, Bu," ujar Arga ramah pada penjual. Aku tersenyum bahagia, menggenggam cangkir teh panas dan meniup uapnya. "Ini sih lebih enak dari restoran bintang lima." "Enak karena ada kamu," balas Arga tanpa ragu, membuat pipiku memanas. Aku menunduk, pura-pura sibuk meneruskan menyeruput teh agar dia tak melihat rona merah di wajahku. Tapi sialnya, senyumku malah melebar tanpa bisa dikendalikan. “Jangan gitu ah,” bisikku pelan, nyaris seperti gumaman. Tapi Arga mendengarnya. Selalu saja mendengarnya. “Apa? Jujur dikit aja nggak boleh?” ujarnya sambil tertawa pelan. Arga menyelesaikan tusukan terakhirnya lebih dulu. Ia mengelap tangannya dengan tisu, lalu bersandar di bangku kayu yang mulai dingin, mengeluarkan rokok dari saku jaketnya. Jari-jarinya tampak ceka
Sabtu pagi, udara masih setia menggigit. Kami bertemu di titik yang disepakati, hanya berdua. Tak ada teman kantor, tak ada suara lembur, tak ada tanggung jawab menumpuk. Hanya aku, dia, dan sebuah keputusan diam-diam untuk kabur sejenak dari dunia.Aku mengenakan jaket biru tebal dan kacamata hitam. Sementara Arga datang dengan kaos hitam dan hoodie abu-abu. Sederhana, tapi dada kami berdetak tak sederhana. Ada sesuatu yang menanti. Sesuatu yang tak bisa disebut—hanya bisa dirasakan.Mobil Arga melaju pelan menyusuri jalanan yang berkabut. Hawa dingin masuk dari jendela yang sedikit terbuka, memaksa kami merapat, mencari hangat dari sisa-sisa energi dua hari terakhir yang penuh tawa, canggung, dan—aku tak bisa memungkiri—kerinduan yang tak seharusnya ada.Radio mengalun pelan. Lagu “Sahabat Kecil” dari Ipang mengisi ruang kabin dengan lembut, seperti suara hati yang bicara tanpa izin.“Eh, kamu hafal nggak liriknya?” tanyaku sambil mengusap embun dari kaca mobil.“Hafal lah,” jawabny
Suasana kantor kembali seperti biasa—atau setidaknya, seolah-olah begitu. Kertas masih berserakan di meja, suara keyboard beradu cepat dengan tenggat waktu, dan tatapan-tatapan profesional dipertahankan demi menjaga batas. Tapi aku tahu, sejak malam itu, ada yang berubah.Bukan hanya pada Arga. Tapi juga pada diriku.Aku melangkah masuk ke ruang kerja dengan langkah teratur, membawa aroma tubuh yang sama, mengenakan pakaian kerja yang sama. Namun saat mataku menangkap sosok Arga di seberang meja, detak jantungku seakan terlewat satu irama.Dan Arga—pria itu hanya melirik sekilas, lalu menunduk lagi ke layar monitor. Tapi aku tahu, ada senyum tipis yang tertahan di sudut bibirnya. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan hal-hal kecil yang tak bisa didefinisikan.Seperti saat kita berpapasan di lorong pantry, dan jemari Arga menyentuh punggung tanganku sekilas—tanpa alasan, tanpa permisi, tapi cukup untuk membuat kulit ini memanas.Atau saat Arga menyerahkan berkas, dan telapak tangannya
Aku masih merasakan denyut di bibirnya ketika jemarinya mengusap tengkuk Arga. Nafasnya belum kembali tenang, tapi hatinya sudah lebih jujur dari sebelumnya. Aku beralih, perlahan menggeser duduk hingga kini berada di atas pangkuan Arga, menghadapnya langsung. Kakiku menekuk di samping tubuh pria itu, mendekap lembut. Arga memundurkan posisi duduknya, membuat sandaran kursi itu merebah lebih rendah. Tubuhku menyusul gerakannya, tetap melekat di pangkuannya, dadaku menempel di dadanya yang berdegup keras dan hangat. Tangannya menjelajah, mulai dari pinggang, lalu ke sisi dadaku. Ia berhenti. Menatapku dalam. “Boleh aku?” bisiknya serak, nyaris seperti rintihan. Aku tak menjawab dengan kata. Bibirku nyaris menyentuh telinganya saat kubisikkan, “Jangan tanya lagi. Rasakan aku… seperti aku ingin merasakan kamu.” Pandangan matanya berubah. Seperti api yang dipantik oleh bensin. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya kembali naik. Dan aku yang kini tak lagi malu, menggeser sedikit tubuhk
Lembur hari itu selesai lebih cepat dari biasanya, tapi bukan berarti mereka buru-buru pulang. Aku masih duduk di kursinya, pura-pura merapikan berkas, padahal pikirannya sudah ke mana-mana sejak Arga menawarkan, “Mau cari angin bentar?”Mereka tak perlu alasan. Sama-sama tahu itu bukan cuma tentang angin.Mobil Arga melaju perlahan ke arah dataran tinggi.“Kenapa ngajak aku?” tanyaku.“Karena kamu kelihatan butuh istirahat.”“Terus kamu? Butuhnya apa?”Arga menoleh sebentar, “Butuh keberanian.”Aku menoleh juga, pelan. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Ada yang lebih nyaring dari kata-kata: degup jantungnya sendiri.Udara malam mulai menggigit, tapi anehnya, aku merasa justru lebih hangat daripada siang tadi. Di warung kecil yang nyempil di pinggir tebing, mereka duduk berdampingan, memesan mie rebus dan teh manis panas. Tak ada yang bicara banyak, tapi setiap tatapan terasa lebih lama dari biasanya.“Kamu sering begini?” tanyaku, mencoba terdengar santai.Arga menoleh, senyumnya mirin