Lembur hari itu selesai lebih cepat dari biasanya, tapi bukan berarti buru-buru pulang. Aku masih duduk di kursinya, pura-pura merapikan berkas, padahal pikirannya sudah ke mana-mana sejak Arga menawarkan, “Mau cari angin bentar?”
Kami tak perlu alasan. Sama-sama tahu itu bukan cuma tentang angin. Mobil Arga melaju perlahan ke arah dataran tinggi. “Kenapa ngajak aku?” tanyaku. “Karena kamu kelihatan butuh istirahat.” “Terus kamu? Butuhnya apa?” Arga menoleh sebentar, “Butuh keberanian.” Aku menoleh juga, pelan. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Ada yang lebih nyaring dari kata-kata: degup jantungnya sendiri. Udara malam mulai menggigit, tapi anehnya, aku merasa justru lebih hangat daripada siang tadi. Di warung kecil yang nyempil di pinggir tebing, kita berdua duduk berdampingan, memesan mie rebus dan teh manis panas. Tak ada yang bicara banyak, tapi setiap tatapan terasa lebih lama dari biasanya. “Kamu sering begini?” tanyaku, mencoba terdengar santai. Arga menoleh, senyumnya miring. “Enggak juga. Biasanya sendirian. Tapi malam ini… kayaknya enak kalau ada temen ngobrol.” “Ngobrol?” aku hanya tertawa kecil. “Kita banyak diemnya daripada ngobrol.” “Kadang, diem juga ngobrol,” jawab Arga. “Kalau orangnya pas.” Setelah makan, kami tidak buru-buru pulang. Hanya duduk diam di dalam mobil, melihat lampu kota dari kejauhan. Suasana jadi terlalu tenang, terlalu lengang untuk dua orang yang dadanya sama-sama riuh. “Ajeng,” kata Arga akhirnya. “Aku tahu ini nggak ideal. Tapi aku suka sama kamu.” Diam. Aku tak membalas. Tapi tak juga menghindar. “Maaf kalau aku ganggu pikiran kamu akhir-akhir ini…” “Kamu memang ganggu,” selaku, menatap lurus ke depan. Arga tertawa kecil. “Tapi kamu nggak keberatan?” Aku akhirnya menoleh. “Aku nggak tahu ini akan ke mana, Ga. Tapi… aku juga nggak mau pura-pura nggak ngerasa apa-apa.” Itu cukup. Perjalanan turun terasa lebih pelan. Bukan karena jalanan, tapi karena mereka diam-diam ingin waktu berhenti. Arga akhirnya menghentikan mobil di pinggir jalan yang gelap, hanya ditemani suara jangkrik dan angin yang menyapu dedaunan. Aku diam. Arga menarik napas. Aku menoleh. Mataku bertemu dengan mata Arga. Nafasku sedikit tercekat, bukan karena kaget, tapi karena sudah terlalu lama menghindari apa yang sebenarnya aku inginkan. Arga melepas seatbelt miliknya, menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat. “Boleh aku cium kamu?” Aku tak menjawab. Tapi aku menatap Arga, lama. Lalu, entah, mataku perlahan terpejam. Angguk kecil itu lebih lantang dari seribu kata. Dan saat bibir kami akhirnya bertemu, semuanya lenyap. Udara, waktu, bahkan suara jangkrik tak lagi terdengar. Hanya desah pendek dan hentakan jantung yang berbenturan di dada masing-masing. Ciuman itu lembut di awal, seperti menyapa rasa yang sudah lama menunggu. Lalu berhenti sejenak. Mereka saling menatap. Matanya sama-sama berkata: “Kita sudah kelewat batas, tapi siapa yang peduli?” Lalu bibir ini kembali bertemu—lebih dalam, lebih lama, lebih hangat dari mie rebus tadi. Lidah mereka saling menyapa pelan, seperti dua rahasia yang akhirnya saling mengenal. Serangkaian ciuman kecil diselingi helaan napas yang berat, menciptakan simfoni lembut yang hanya bisa dimengerti oleh tubuh yang merindu terlalu lama. “Hmmmh…” desahku lirih di antara sela bibir yang terhisap pelan. Helaan napas Arga membalasnya, hangat dan dalam, menggetarkan rongga dada mereka yang nyaris bertaut. Tangan Arga melepas seatbeltku yang masih terpasang, kemudian dengan tangannya meraih tubuhku agar mendekat. Menyentuh pipi, mengusap pelan sisi wajahku yang memanas, seolah mengingat bentuknya. Jemarinya lalu bergerak ke belakang kepala, menyibak rambutku, mengelus tengkuknya dengan penuh rasa. Ia menarik rambut itu perlahan—lembut tapi menguasai, membuat napasku tertahan setengah. “Aahh...” desahku nyaris tak terdengar, mata setengah terpejam, kepala sedikit terangkat, membuka ruang bagi ciuman berikutnya yang lebih rakus, lebih dalam, seolah ingin menegaskan: “Aku menginginkanmu.” Dada kami nyaris bersentuhan, hanya terpisah beberapa helai kain yang sudah tak mampu menyembunyikan panas tubuh masing-masing. Tanganku pun terangkat pelan, menyentuh dada Arga, merasakan degup jantung yang sama cepatnya dengan miliknya. Tak ada yang tergesa, tapi semuanya terasa mendesak. “Ajeng...” bisik Arga di sela napasnya yang memburu, bibirnya meluncur turun ke garis rahang dan cuping telinga. Suaranya serak, nyaris seperti erangan tertahan. “Kalau aku lanjut... aku nggak akan bisa berhenti,” bisik Arga, nyaris seperti ancaman yang dibungkus rindu. Aku menatapnya balik, diam. Tapi tatapanku sudah cukup sebagai jawaban. Sunyi mengambang di antara mereka. Mobil berhenti di parkiran minim pencahayaan. Dan waktu ikut diam, menunggu babak selanjutnya dimulai.Tubuhnya masih memelukku dari belakang. Kulit kami bersentuhan tanpa jeda, dan napasnya yang hangat masih menyentuh tengkukku. Tak ada kata, hanya detak jantung yang mulai melambat, mengiringi keheningan yang nyaman.Kepalaku bersandar di lengannya. Mataku baru setengah terpejam saat kulirik jam digital di nakas—12.19. Tuhan. Kami sudah lebih dari dua jam terbenam dalam satu sama lain.Aku menarik napas pelan. Masih ada sisa gemetar di otot pahaku. Bukan hanya karena lelah, tapi karena terlalu lama ditahan oleh rasa yang tak biasa. Arga belum juga melepaskan. Ia hanya memelukku makin erat, seolah tak ingin malam ini berakhir.“Sayang,” bisiknya lembut di belakang telingaku. “Kita harus bersihin diri, ya?”Aku mengangguk kecil. Tubuhku masih berat, tapi aku tahu kami tak bisa berlama-lama. Esok hari masih ada acara pagi yang harus kami hadiri. Dunia luar menunggu. Tapi untuk saat ini, dunia kami hanya berisi pelukan dan kulit yang saling mengenal tanpa kata.Dengan lembut, Arga menarik
Tubuhku masih gemetar ringan, tersisa dari ledakan yang baru saja meluluhlantakkan seluruh keberadaanku. Tapi bukan hanya tubuhku yang masih bergetar. Hatiku. Nadiku. Napasku.Dan Arga masih di atas tubuhku, dalam keheningan yang syahdu, seolah turut merasakan semuanya dalam satu aliran napas yang sama. Dahi kami bersentuhan. Napas kami bertabrakan. Tidak ada jarak.Tangannya masih menggenggam jemariku yang lembab dan lemas. Lalu pelan-pelan, ia mencium pundakku—hangat, basah, penuh rasa. Seolah ingin mengucapkan terima kasih kepada tubuh yang baru saja memberinya tempat untuk tinggal.Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, ia menarik dirinya keluar dari dalamku. Perlahan. Tidak tergesa. Dan saat ia melepaskannya, aku bisa merasakan setiap milimeter dari kepergiannya—menghangatkan, menyisakan jejak di rongga tubuhku.Sebelum sempat kehilangan, ia langsung membungkuk mencium keningku, lalu pipiku, satu per satu. Keduanya masih basah oleh peluh dan sisa air mata kecil yang entah k
Tubuhku masih bergetar dalam pelukannya. Nafasku belum sepenuhnya kembali, tapi hatiku telah lebih dulu jatuh tenang di dadanya. Arga tidak terburu-buru. Ia mendekapku, membiarkan jantungku berdetak di antara jarak yang lenyap. Satu tangannya mengusap lenganku pelan, seolah ingin menyampaikan bahwa malam ini belum selesai—bahwa semuanya baru saja dimulai.Ia mencium tengkukku, lembut sekali. “Masih bisa?” bisiknya, napasnya hangat menyentuh kulitku.Aku tak menjawab dengan kata. Hanya menarik jemarinya yang tadi memeluk pinggangku, membawanya ke arah bibirku. Kucium punggung tangannya perlahan, lalu memutar tubuhku hingga aku bisa menatap matanya.Dan dalam diam, aku menyentuhnya, dibalik celana pendek.Tubuhnya masih hangat, tegang, seolah belum benar-benar selesai. Aku membiarkan jemariku menyapunya pelan, merespons kekerasan yang masih penuh rasa itu. Sorot matanya berubah—redup, dalam, tapi menyala.Kemudian ia bangkit dari kasur.Berdiri di ujung ranjang, membuka kaos dan celana
Aku tidak tahu berapa lama ia bermain di dadaku. Tapi waktu terasa melambat.Mungkin karena ia begitu lembut. Mungkin karena aku terlalu menikmatinya.Tangannya kini berada di pahaku, di balik celana pendekku. Ia tidak melepasnya langsung, hanya membelai di balik jeans biru ini. Sentuhannya ringan, nyaris seperti angin—tapi justru itu yang membuatku menggigit bibir, menahan suara.“Relain semua ya,” katanya. “Nggak usah ditahan.”Tangannya mengusap lembut paha bagian dalamku, mendekat ke pusat rasa, tapi belum menyentuh langsung. Sementara bibirnya kembali menjelajahi dadaku, pelan—seolah tubuhku sebuah peta yang ingin ia hafalkan ulang. "Aku udah gak tahan sayang." pintaku manja.Ia mulai menurunkan celanaku perlahan.Aku mengangkat pinggul agar ia lebih mudah melepasnya.Ia mencium bagian bawah perutku, lalu turun ke paha, lutut, dan pergelangan kaki, sebelum kembali naik—membiarkan bibir dan jari-jarinya menandai setiap inci tubuhku dengan rasa.Ia memelukku dulu. Mengusap rambutk
Aku tak ingat kapan terakhir kali dunia terasa setenang ini. Hanya dengungan lembut AC, suara air kolam dari balik jendela, dan napas kami—bertemu di udara yang sama, di ruang yang tak seharusnya kami miliki.Tangannya masih di tengkukku, menahan kepalaku tetap dalam pelukannya. Bibirnya melekat pada milikku, mencium seperti mengingat, seperti menghafal ulang apa yang mungkin hilang esok pagi. Tak ada suara, hanya napas kami yang makin tak beraturan, dan detak jantungku yang bergetar di seluruh tubuh.Ia menarik tubuhku pelan, menyandarkanku pada dadanya. Keningku menyentuh lehernya. Aku bisa mencium aroma kulitnya—hangat, samar seperti kayu dan hujan. Tangannya membelai rambutku, jemarinya menyusup lembut ke pangkal leher. Lalu mengusap perlahan punggungku, turun, mengunci punggung bawahku dalam dekapan yang utuh.“Malam ini, giliranku,” bisiknya. Sederhana. Tapi suara itu membuat jantungku berdentum keras.Aku membuka mulut untuk bicara, tapi ia sudah menunduk, mencium bibirku lembu
Di kamar, Tyas langsung tertidur. Aku duduk dalam gelap, menatap layar ponsel yang kosong.Tak ada pesan.Tapi aku tahu, dia sedang menunggu. Sama sepertiku.Aku menarik napas dalam. Lalu mulai mengetik, pelan-pelan, dengan hati yang berdegup tak menentu.Aku (23.41): Kamu masih bangun?mylovember: Masih. Aku nunggu kamu ngetik duluan 😌Aku: Aku booking kamar lain.mylovember: Hah? Buat siapa?Aku: Kamar 106. Lantai bawah. Dekat kolam.Aku: Buat kita.Ada jeda cukup lama sebelum ia membalas lagi.mylovember: Kamu sendirian sekarang?Aku: Tyas udah tidur. Aku turun duluan ya. Pintu nggak dikunci.Aku menutup ponsel, berdiri pelan-pelan, memastikan suara langkahku tak membangunkan siapa pun. Lorong kamar sunyi. Lampu-lampu temaram menggantung di dinding, memantulkan bayangan samar ke ubin yang dingin.Di lantai bawah, kamar 106 tampak sunyi. Tirainya tertutup. Lampu taman memantul di permukaan kolam, menciptakan siluet bergelombang di dinding luar kamar. Aku membuka pintu dan masuk. Ka