Home / Romansa / Rasaku Ditelanjangi / Bab 7: Kala Bibir Bicara Jujur

Share

Bab 7: Kala Bibir Bicara Jujur

Author: AYURI
last update Last Updated: 2025-07-22 10:49:52

Lembur hari itu selesai lebih cepat dari biasanya, tapi bukan berarti mereka buru-buru pulang. Aku masih duduk di kursinya, pura-pura merapikan berkas, padahal pikirannya sudah ke mana-mana sejak Arga menawarkan, “Mau cari angin bentar?”

Mereka tak perlu alasan. Sama-sama tahu itu bukan cuma tentang angin.

Mobil Arga melaju perlahan ke arah dataran tinggi.

“Kenapa ngajak aku?” tanyaku.

“Karena kamu kelihatan butuh istirahat.”

“Terus kamu? Butuhnya apa?”

Arga menoleh sebentar, “Butuh keberanian.”

Aku menoleh juga, pelan. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Ada yang lebih nyaring dari kata-kata: degup jantungnya sendiri.

Udara malam mulai menggigit, tapi anehnya, aku merasa justru lebih hangat daripada siang tadi. Di warung kecil yang nyempil di pinggir tebing, mereka duduk berdampingan, memesan mie rebus dan teh manis panas. Tak ada yang bicara banyak, tapi setiap tatapan terasa lebih lama dari biasanya.

“Kamu sering begini?” tanyaku, mencoba terdengar santai.

Arga menoleh, senyumnya miring. “Enggak juga. Biasanya sendirian. Tapi malam ini… kayaknya enak kalau ada temen ngobrol.”

“Ngobrol?” aku hanya tertawa kecil. “Kita banyak diemnya daripada ngobrol.”

“Kadang, diem juga ngobrol,” jawab Arga. “Kalau orangnya pas.”

Setelah makan, mereka tidak buru-buru pulang. Hanya duduk diam di dalam mobil, melihat lampu kota dari kejauhan. Suasana jadi terlalu tenang, terlalu lengang untuk dua orang yang dadanya sama-sama riuh.

“Ajeng,” kata Arga akhirnya. “Aku tahu ini nggak ideal. Tapi aku suka sama kamu.”

Diam. Aku tak membalas. Tapi tak juga menghindar.

“Maaf kalau aku ganggu pikiran kamu akhir-akhir ini…”

“Kamu memang ganggu,” selaku, menatap lurus ke depan.

Arga tertawa kecil. “Tapi kamu nggak keberatan?”

Aku akhirnya menoleh. “Aku nggak tahu ini akan ke mana, Ga. Tapi… aku juga nggak mau pura-pura nggak ngerasa apa-apa.”

Itu cukup.

Perjalanan turun terasa lebih pelan. Bukan karena jalanan, tapi karena mereka diam-diam ingin waktu berhenti.

Arga akhirnya menghentikan mobil di pinggir jalan yang gelap, hanya ditemani suara jangkrik dan angin yang menyapu dedaunan. Aku diam. Arga menarik napas.

Aku menoleh. Matanya bertemu dengan mata Arga. Nafasnya sedikit tercekat, bukan karena kaget, tapi karena sudah terlalu lama menghindari apa yang sebenarnya ia inginkan.

Arga melepas seatbelt miliknya, menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat. “Boleh aku cium kamu?”

Aku tak menjawab. Tapi dia menatap Arga, lama. Lalu matanya perlahan terpejam. Angguk kecil itu lebih lantang dari seribu kata.

Dan saat bibir mereka akhirnya bertemu, semuanya lenyap. Udara, waktu, bahkan suara jangkrik tak lagi terdengar. Hanya desah pendek dan hentakan jantung yang berbenturan di dada masing-masing. Ciuman itu lembut di awal, seperti menyapa rasa yang sudah lama menunggu. Lalu berhenti sejenak.

Mereka saling menatap. Matanya sama-sama berkata: “Kita sudah kelewat batas, tapi siapa yang peduli?”

Lalu bibir mereka kembali bertemu—lebih dalam, lebih lama, lebih hangat dari mie rebus tadi. Lidah mereka saling menyapa pelan, seperti dua rahasia yang akhirnya saling mengenal. Serangkaian ciuman kecil diselingi helaan napas yang berat, menciptakan simfoni lembut yang hanya bisa dimengerti oleh tubuh yang merindu terlalu lama.

“Hmmmh…” desahku lirih di antara sela bibir yang terhisap pelan. Helaan napas Arga membalasnya, hangat dan dalam, menggetarkan rongga dada mereka yang nyaris bertaut.

Tangan Arga melepas seatbeltku yang masih terpasang, kemudian dengan tangannya meraih tubuhku agar mendekat. Menyentuh pipi, mengusap pelan sisi wajahnya, seolah mengingat bentuknya. Jemarinya lalu bergerak ke belakang kepala, menyibak rambutku, mengelus tengkuknya dengan penuh rasa. Ia menarik rambut itu perlahan—lembut tapi menguasai, membuat napasku tertahan setengah. “Aahh...” desahku nyaris tak terdengar, mata setengah terpejam, kepala sedikit terangkat, membuka ruang bagi ciuman berikutnya yang lebih rakus, lebih dalam, seolah ingin menegaskan: “Aku menginginkanmu.”

Dada mereka nyaris bersentuhan, hanya terpisah beberapa helai kain yang sudah tak mampu menyembunyikan panas tubuh masing-masing. Tanganku pun terangkat pelan, menyentuh dada Arga, merasakan degup jantung yang sama cepatnya dengan miliknya. Tak ada yang tergesa, tapi semuanya terasa mendesak.

“Ajeng...” bisik Arga di sela napasnya yang memburu, bibirnya meluncur turun ke garis rahang dan cuping telinga. Suaranya serak, nyaris seperti erangan tertahan.

“Kalau aku lanjut... aku nggak akan bisa berhenti,” bisik Arga, nyaris seperti ancaman yang dibungkus rindu.

Aku menatapnya balik, diam. Tapi tatapanku sudah cukup sebagai jawaban.

Sunyi mengambang di antara mereka. Mobil berhenti di parkiran minim pencahayaan.

Dan waktu ikut diam, menunggu babak selanjutnya dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 12: Aku Membukakan Diri

    Arga memegang kunci kayu kecil bertuliskan angka 03 dan membukakan pintu kamar. Cahaya kuning temaram langsung menyambut mereka—hangat, redup, menenangkan. Aroma kayu basah dan teh melati samar-samar menguar dari sudut meja kecil. Sebuah ranjang besar tertata rapi dengan selimut tebal berwarna krem, mengundang siapa pun yang lelah untuk rebah tanpa pikir panjang.Aku melangkah masuk, mengedarkan pandang. Ruangan ini tak mewah, tapi hangat dan menenangkan. Seperti pelukan setelah hujan."Aku cuci tangan dan kaki dulu, ya," ucap Arga sambil melepas jaket dan berjalan ke arah kamar mandi.Giliranku masuk kamar mandi. Ketika ia kembali, Arga sudah duduk di tepi ranjang, menyalakan televisi hanya untuk mengisi keheningan.Arga menepuk kasur di sebelahnya, pelan, tanda menyuruhnya duduk. Aku menurut, berjalan perlahan lalu duduk di sampingnya.Kaki mereka bersentuhan tanpa sengaja. Lalu sama-sama diam untuk beberapa saat."Danau ini… udah banyak berubah, ya," gumamku membuka percakapan."Ka

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 11: Danau, Sate, dan Sebuket Bunga

    Setelah beberapa menit, akhirnya sampai di pinggir danau. Ada banyak jejeran warung di tepi danau, mengeluarkan aroma sate ayam yang mengundang. Kita memutuskan berhenti di salah satunya. "Sate dua porsi, teh panas dua ya, Bu," ujar Arga ramah pada penjual. Aku tersenyum bahagia, menggenggam cangkir teh panas dan meniup uapnya. "Ini sih lebih enak dari restoran bintang lima." "Enak karena ada kamu," balas Arga tanpa ragu, membuat pipiku memanas. Aku menunduk, pura-pura sibuk meneruskan menyeruput teh agar dia tak melihat rona merah di wajahku. Tapi sialnya, senyumku malah melebar tanpa bisa dikendalikan. “Jangan gitu ah,” bisikku pelan, nyaris seperti gumaman. Tapi Arga mendengarnya. Selalu saja mendengarnya. “Apa? Jujur dikit aja nggak boleh?” ujarnya sambil tertawa pelan. Arga menyelesaikan tusukan terakhirnya lebih dulu. Ia mengelap tangannya dengan tisu, lalu bersandar di bangku kayu yang mulai dingin, mengeluarkan rokok dari saku jaketnya. Jari-jarinya tampak ceka

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 10: Jalan Panjang Menuju Gairah

    Sabtu pagi, udara masih setia menggigit. Kami bertemu di titik yang disepakati, hanya berdua. Tak ada teman kantor, tak ada suara lembur, tak ada tanggung jawab menumpuk. Hanya aku, dia, dan sebuah keputusan diam-diam untuk kabur sejenak dari dunia.Aku mengenakan jaket biru tebal dan kacamata hitam. Sementara Arga datang dengan kaos hitam dan hoodie abu-abu. Sederhana, tapi dada kami berdetak tak sederhana. Ada sesuatu yang menanti. Sesuatu yang tak bisa disebut—hanya bisa dirasakan.Mobil Arga melaju pelan menyusuri jalanan yang berkabut. Hawa dingin masuk dari jendela yang sedikit terbuka, memaksa kami merapat, mencari hangat dari sisa-sisa energi dua hari terakhir yang penuh tawa, canggung, dan—aku tak bisa memungkiri—kerinduan yang tak seharusnya ada.Radio mengalun pelan. Lagu “Sahabat Kecil” dari Ipang mengisi ruang kabin dengan lembut, seperti suara hati yang bicara tanpa izin.“Eh, kamu hafal nggak liriknya?” tanyaku sambil mengusap embun dari kaca mobil.“Hafal lah,” jawabny

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 9: Jeda Yang Tak Pernah Jeda

    Suasana kantor kembali seperti biasa—atau setidaknya, seolah-olah begitu. Kertas masih berserakan di meja, suara keyboard beradu cepat dengan tenggat waktu, dan tatapan-tatapan profesional dipertahankan demi menjaga batas. Tapi aku tahu, sejak malam itu, ada yang berubah.Bukan hanya pada Arga. Tapi juga pada diriku.Aku melangkah masuk ke ruang kerja dengan langkah teratur, membawa aroma tubuh yang sama, mengenakan pakaian kerja yang sama. Namun saat mataku menangkap sosok Arga di seberang meja, detak jantungku seakan terlewat satu irama.Dan Arga—pria itu hanya melirik sekilas, lalu menunduk lagi ke layar monitor. Tapi aku tahu, ada senyum tipis yang tertahan di sudut bibirnya. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan hal-hal kecil yang tak bisa didefinisikan.Seperti saat kita berpapasan di lorong pantry, dan jemari Arga menyentuh punggung tanganku sekilas—tanpa alasan, tanpa permisi, tapi cukup untuk membuat kulit ini memanas.Atau saat Arga menyerahkan berkas, dan telapak tangannya

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 8: Dibalik Kaca Berembun

    Aku masih merasakan denyut di bibirnya ketika jemarinya mengusap tengkuk Arga. Nafasnya belum kembali tenang, tapi hatinya sudah lebih jujur dari sebelumnya. Aku beralih, perlahan menggeser duduk hingga kini berada di atas pangkuan Arga, menghadapnya langsung. Kakiku menekuk di samping tubuh pria itu, mendekap lembut. Arga memundurkan posisi duduknya, membuat sandaran kursi itu merebah lebih rendah. Tubuhku menyusul gerakannya, tetap melekat di pangkuannya, dadaku menempel di dadanya yang berdegup keras dan hangat. Tangannya menjelajah, mulai dari pinggang, lalu ke sisi dadaku. Ia berhenti. Menatapku dalam. “Boleh aku?” bisiknya serak, nyaris seperti rintihan. Aku tak menjawab dengan kata. Bibirku nyaris menyentuh telinganya saat kubisikkan, “Jangan tanya lagi. Rasakan aku… seperti aku ingin merasakan kamu.” Pandangan matanya berubah. Seperti api yang dipantik oleh bensin. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya kembali naik. Dan aku yang kini tak lagi malu, menggeser sedikit tubuhk

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 7: Kala Bibir Bicara Jujur

    Lembur hari itu selesai lebih cepat dari biasanya, tapi bukan berarti mereka buru-buru pulang. Aku masih duduk di kursinya, pura-pura merapikan berkas, padahal pikirannya sudah ke mana-mana sejak Arga menawarkan, “Mau cari angin bentar?”Mereka tak perlu alasan. Sama-sama tahu itu bukan cuma tentang angin.Mobil Arga melaju perlahan ke arah dataran tinggi.“Kenapa ngajak aku?” tanyaku.“Karena kamu kelihatan butuh istirahat.”“Terus kamu? Butuhnya apa?”Arga menoleh sebentar, “Butuh keberanian.”Aku menoleh juga, pelan. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Ada yang lebih nyaring dari kata-kata: degup jantungnya sendiri.Udara malam mulai menggigit, tapi anehnya, aku merasa justru lebih hangat daripada siang tadi. Di warung kecil yang nyempil di pinggir tebing, mereka duduk berdampingan, memesan mie rebus dan teh manis panas. Tak ada yang bicara banyak, tapi setiap tatapan terasa lebih lama dari biasanya.“Kamu sering begini?” tanyaku, mencoba terdengar santai.Arga menoleh, senyumnya mirin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status