Share

Chapter 5 - Original Novel

Author: Aerina No 7
last update Last Updated: 2021-07-24 18:12:36

“Menjinakkan Tunangan Posesif.”

Judul dari light novel online yang terkenal di kalangan anak muda-mudi penggemar setia aplikasi oranye. 

Ceritanya sangat booming dan populer di mana-mana. 

Dengan berisikan 163 bagian, novel itu dikarang oleh seorang penulis bernama pena “Rui Lean.”

Novelnya menembus pasar industri hiburan yang sangat luas dengan dijadikan buku cetak, diilustrasikan jadi komik dan visual novel, bahkan sampai diadaptasi jadi film layar lebar.

Penggemarnya sangat banyak, berasal dari berbagai macam tempat.

Termasuk, seorang gadis biasa berpenampilan sederhana yang tinggal di rumah kumuh ini, sebut saja namanya Mariana.

Dia selalu mengenakan kacamata tebal, wajahnya juga dipenuhi oleh jerawat.

Dia selalu tinggal di rumahnya terus karena dia adalah seorang pengangguran, di mana kerjanya hanya tiduran memainkan ponsel yang dia punya hasil dari menghutang.

Gadis tersebut sangat tergila-gila dengan salah satu karakter novel “Menjinakkan Tunangan Posesif," walaupun itu semua hanyalah cerita fiksi biasa.

Novel “Menjinakkan Tunangan Posesif", menceritakan tentang seorang tokoh utama wanita yang merupakan sesosok gadis ramah dengan sifat Mary Sue.

Dia berasal dari keluarga bangsawan yang berpangkat cukup rendah.

Dia dicintai semua orang karena pesona menawannya terbilang sangat indah, bagaikan seorang bidadari yang suci saja.

Ada 3 karakter pria yang tertarik padanya, membuat alur cerita novel itu semakin menarik untuk dibaca.

Karakter pertamanya adalah seorang pangeran.

Dengan paras rupawan dan sikap dermawan, dia menjadi orang terpenting nomor-1 di kerajaan, dan juga nomor-1 di hati si tokoh utama wanita.

Karakter yang kedua adalah seorang ksatria pengawal pribadi si pangeran.

Dia menyukai tokoh utama wanita itu dalam diam.

Saking sukanya dengan gadis itu, dia bahkan sampai nekat mengkhianati tuannya untuk menjadikan tokoh utama wanita sebagai satu-satunya wanita miliknya. 

Pada akhirnya, dia pun mengalami nasib yang mengenaskan akibat mati di tangan tuannya sendiri. 

Orang yang bertanggung jawab atas kematiannya yang tidak adil itu, tak lain dan tak bukan ialah si pangeran.

Dan yang terakhir, adalah karakter favorit Mariana dalam novel ini. Itu adalah si penjahat utama dalam cerita.

Pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap si tokoh utama wanita.

Dia sangat ganas, kejam, dan terkenal akan tak memiliki belas kasih kepada sesama manusia. 

Namun, sikapnya akan berubah drastis saat sedang bersama dengan gadis yang disukainya.

Dia kan selalu melembutkan setiap ucapan dalam perkataannya dengan untaian kata-kata yang terdengar manja, lalu menghujani tokoh utama wanitanya dengan kasih sayang yang seluas samudera. 

Bukankah itu akan sangat terdengar keren?

Jikalau ada seorang gadis biasa yang baik hati, bisa menjinakkan monster ganas sepertinya dan menggetarkan hatinya hanya memakai sedikit percikan cinta?

“Lalalala, si authornya udah update chapter terakhir nih, moga-moga endingnya enggak membagongkan.”

Mariana membaca chapter terakhir novel itu dengan saksama.

Kata demi kata ia telaah seserius mungkin. 

Kesenangan membingkai di wajahnya tatkala mengetahui apa yang telah terjadi kepada salah seorang karakter perempuan sampingan dalam novel itu, karakter yang sangat dibencinya. 

Dia adalah karakter yang sering memamerkan kepintarannya, dan membuat si tokoh utama wanita terlihat tidak berguna dari sudut pandang para pembaca.

Dia benar-benar tipe perempuan yang sangat Mariana benci.

Namun, kini, tokoh perempuan itu ternyata sudah mati di tangan tokoh favoritnya akibat sering membuat si tokoh utama wanita menderita.

“Haha, mampus! Habisnya nyebelin banget. Pantes dia dibunuh sama husbu Gua. Wong dia ini sok cantik, sok pinter, sok iyeh deh. Nyebelin!”

Mariana kembali menggulirkan layar ponselnya dan terus membaca kelanjutan cerita itu.

Wajah senangnya sekarang telah menghilang dalam sekejap, ketika netra coklat yang terlihat serius miliknya membaca lanjutan bagian bacaan sampai berakhir di penghujung alur. 

Dadanya naik turun, dan nafasnya yang kembang-kempis kian memberat.

Kilat kemarahan terpancar dari mata sipitnya, disalurkannya seluruh emosinya yang memuncak itu, lalu mendeskripsikan perasaannya melalui ketikan kasar lewat kolom komentar.

//“Bang*at! Dasar Author ba*ingan! Cerita sampah! Ampas! Ngapain sih, lu buat karakter favorit gua tertolak dan berakhir mati juga? Harusnya yang lu buat mati tuh si pangeran gak guna aja! Benar-benar deh, dasar cerita ampas!”//

Mariana tidak terima, dengan ending novel yang berakhir dengan menikahnya si tokoh utama wanita dengan sang pangeran.

Sementara itu, karakter favoritnya yang merupakan seorang tokoh penjahat, malah dihukum mati atas semua perbuatannya di hadapan khalayak ramai.

Padahal, dia adalah seorang pengirim pasangan garis keras antara si tokoh utama wanita tersebut, dengan tokoh penjahatnya dan berharap sekali untuk mereka berdua berakhir bersama.

Tapi sekali lagi, kehendak Author itu adalah mutlak karena dialah yang membuat novelnya.

Bukan hak Mariana untuk memutuskan siapa yang akan berakhir dengan siapa, di antara tokoh-tokoh novel karangan “Rui Lean”.

DING!

Ponsel Mariana bergetar akibat notifikasi dari rentetan balasan komentarnya yang pedas.

Mariana membaca balasan-balasan komentar itu dengan hatinya yang kembali memanas dan matanya yang semakin melotot.

//”Wow, puas banget aku tuh Thor, pas baca bagian si cowok baj*ngan itu dihukum mati. Sekali baj*ngan tetaplah baj*ngan. Seberapa gantengnya pun orang kek gitu, aku mah ogah membayanginya aja. Dari awal kemunculannya aja udah bikin gedek, hiih! Takut diserang ama fans gilanya!”//

//”Awokawokawok, nah loh si fans psikopat itu malah mencak-mencak gak terima gegara idola khayalannya modar.”//

//”Padahal aku nge-simp sama guru sihirnya si pangeran. Sayang part kemunculan do’i malah dikit.”//

//Hiks, apa cuman aku yang kasihan dengan nasib si ksatria sama cewek yang matanya emas itu? Udah nge-ship mereka berdua, eh malah mati dua-duanya. Mengsedih.”//

//”Aku setuju, Aku setuju! Mungkin menurut si Author ini, si ksatria itu terlalu baik untuk membuatnya bersanding dengan tokoh utama ceweknya. Makanya lebih baik dibikin mati aja. Mungkin ini cuman seleraku doang, tapi jujur aja deh! Aku kesel sama tokoh utama ceweknya. Dia menye-menye, banyak omong, kepolosannya sampai bikin gedek, juga cengeng dan selalu nyusahin setiap tokoh cowoknya. Bagusan si cewek rambut biru itu, terkesan elegan dan gak murahan.”//

Mariana yang sudah geram dengan komentar-komentar itu segera mengetikan kembali komentar pedasnya yang penuh dengan perkataan hujatan.

//”Kalian semua banyak bacot gak guna! Yang karakternya keren di novel ini tuh ya cuman si penjahat dan tokoh ceweknya! Selain mereka berdua, semua karakternya ampas! Apaan tuh, kalian lebih suka sama tokoh utama cowoknya yang lembek kek gitu? Dan apa bagusnya sih, si anak haram raja sama si cewek kecentilan itu?! Kerenan si penjahat yang ingin melindungi tokoh ceweknya itu dong, daripada dua cowok lainnya yang gagu.”//

DING!

Notifikasi balasan kembali menyala, berbunyi saling bersahutan membalas komentar Mariana sekali lagi.

//”Tulisan doang di permasalahin. Hadeh … dasar bochil.”//

//”Bodo amat sama opinimu, yang penting pesta dulu rayain matinya si psikopat.”//

//Gila, sampai segitunya belain karakter fiksi.”//

//”Eh btw, ada yang tahu identitas Author Rui Lean gak sih? Aku penasaran dia ini cowok apa cewek.”//

//”Kayaknya cowok deh, kalau dilihat dari nama penanya. Tapi kalau dari novel karangannya yang genrenya romansa kek gini, bukannya si penulisnya lebih terlihat seperti cewek? Namanya bikin puyeng kepala dah.”//

//”Author, apa akan ada cerita spin off tentang mereka, enggak? Misal, pas udah nikah atau udah punya anak gitu?”//

“Sialan!”

PRAKKK!

“Gak ada yang peduli sama pendapat gua! Cewek to*ol! Kalau gua jadi dia, lebih baik gua milih si tokoh penjahatnya daripada si cowok ampas gitu.”

Mariana mengumpat, membanting ponselnya kasar sehingga membuat komponen-komponen kecil dari dalam benda pipih itu pecah berserakan.

Ibunya yang sedang memasak di dapur, terkejut mendengar suara keras yang berasal dari kamar putri semata wayangnya.

Wanita yang sudah berumur itu pun tergopoh-gopoh, pergi menemui putrinya dengan penuh rasa khawatir. 

Wajahnya yang keriput, semakin mengerut seiring bertambahnya usia.

“Ada apa Nduk, apa kamu baik-baik saja? Emak dengar tadi dari dapur kalau ada suara benda pecah di sini. Kamu gak terluka ‘kan?”

“Bawel banget sih! Kalau Emak emang ngekhawatirin aku, kasih aku duit 3 juta dong, buat beli hape baru.”

“Ya ampun, Nduk kesayangan Emak. Emak punya uang dari mana? Buat makan aja kita susah. Emak ‘kan juga lagi nyicil bayarin hutang hape kamu yang masih belum lunas.”

“Makanya cari duit dong! Kere amat jadi orang tua! Dah sana minggir!”

Mariana meninggikan suaranya, membuat sang Ibunda tersentak.

Dilewatinya sang ibu sembari sengaja mendepak bahunya yang sudah ringkih.

Mariana keluar meninggalkan rumah peotnya untuk menenangkan pikiran.

Andai saja dia terlahir sebagai anak kaya atau mungkin menikah dengan orang kaya, … pasti hidupnya tak akan sesengsara ini.

Mariana berjalan tanpa tujuan sambil terus mengkhayal akan kehidupan royal.

Namun, tak lama kemudian, lamunannya itu buyar saat mendengar suara teriakan orang-orang yang menyuruhnya untuk segera menyingkir dari jalan.

“Awas mbak! Pergi dari sana!”

“Mbak! Awas!”

Sebuah mobil ferrari mewah melaju dengan kencang ke arah trotoar yang sedang dilalui oleh Mariana.

Tidak ada waktu lagi untuk berguling menyelamatkan diri ke samping.

Mobil berwarna putih mengkilap itu telah menghantam tubuhnya keras sehingga menyebabkan terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri, … sampai membuatnya berakhir mencium jalanan aspal.

“Mbak!”

“Panggil polisi woy! Pelakunya kabur tuh!”

“Hei-hei! Cepetan panggil ambulan!”

Apakah ini akhir dari hidupnya?

Mariana memandangi orang-orang yang berkeliaran di sekitarnya dengan mata berkunang-kunang.

Darah mengucur deras dari kepalanya dengan kondisi yang seperti mau pecah.

Tubuhnya tak bisa dia gerakan dengan mudah, seakan-akan semua tulang yang menyangga onggokan daging itu telah patah semua.

Atau bahkan … mungkin saja semua tulangnya sudah remuk.

“To … long … Sa … ya ….”

Aliran nafasnya semakin terasa menyempit, suaranya tertelan di kerongkongan.

Detakan jantungnya yang mengemban tugas untuk memompa sirkulasi peredaran darah, kini telah memperlambat lajunya.

Paru-parunya yang kembang-kempis itu pun, mulai terasa pengap.

Rasa sakit yang melebihi sakitnya ditusuk seribu pedang mulai mengulitinya hidup-hidup.

Dimulai dari ujung kakinya lalu merambat pada betis, paha, perut, dan terakhir adalah sumber kehidupan di dada.

Ah.

Mariana pun merenung, menatap bentangan langit yang cerah di atas sana, lalu membatin dengan menggumamkan sesuatu, “Seperti inikah rasanya sekarat itu?”

Itulah yang dia pikirkan di tengah kondisinya yang menyedihkan ini.

Mariana tidak tahu.

Dia tidak pernah merasakan ini sebelumnya.

Sebelum matanya yang kelelahan memaksanya untuk tertidur selamanya, Mariana melihat sosok seorang wanita yang tidak lagi muda tengah berlari ke arahnya dengan kaki telanjang.

Tak peduli dengan panasnya aspal dan tajamnya kerikil jalanan, meskipun sesekali dia tampak terjatuh menghantamkan lutut pada kerasnya permukaan bumi, … wanita itu kembali bangkit dan kemudian menghampirinya dengan banjiran air mata.

“Duh Nduk, anakku sayang. Ayo pergi ke rumah sakit yuk. Nduk jangan tidur dulu ya? Emak akan kasih kamu apapun yang kamu mau. Kamu tadi mau beli hape baru ‘kan? Ayo beli yuk, gak papa beli hapenya pakai uang hasil dari jual rumah, asalkan kamu jangan ninggalin Emak sendirian, Cu.”

Ibu Mariana meletakan kepala putrinya yang terasa empuk itu ke atas lahunan.

Dia mengabaikan bau amis juga luka di kakinya yang tak beralaskan itu, hanya untuk membuat anak perempuan berharganya merasa sedikit lebih nyaman.

Rintikan air mata mulai membasahi wajah Mariana yang berlumuran darah.

Diusapnya cairan merah yang menodai wajah cantik putrinya dengan menggunakan tangan keriput yang hanya tulang berbalutkan sehelai kulit, meski dia sudah tak kuasa untuk menahan rasa gemetar ketakutan.

“Nduk, jangan tidur dulu Cu. Kata orang-orang, mobil yang mau jemput lamu sedang dalam perjalanan. Kalau kamu tidur, bagaimana bisa pergi ke konternya untuk beli hape? Sebentar lagi ya sayang, Emak mohon.”

Mariana sudah lelah.

Dia melirik sekilas ibunya itu dengan mata sayu.

Dia sudah tak kuasa lagi untuk menahan rasa kantuk yang kian menggelayuti pelupuk matanya.

Bukankah hidup sengsaranya akan langsung berakhir hanya dalam sekejap mata, seperti yang dia harapkan selama ini?

Ah … mana bisa? Yang dia maksudkan itu bukan yang seperti ini.

Tapi, yah … ini ….

“Nduk! Nduk! Nduk, bangun Nduk! Jangan tinggalin Emak! Nduk, Emak mohon, sekali saja turuti omongan Emak. Bangun Nduk, bangun ….”

Ibu Mariana menjerit histeris ketika melihat gadis yang sekarang dia rangkul itu, menghembuskan nafas terakhir dan memejamkan mata untuk selama-lamanya.

Air matanya mengalir deras dan tak mau berhenti. 

Dipeluknya erat tubuh yang sudah tak bernyawa itu, seakan-akan dirinya tak menginginkan sebuah perpisahan.

Seingatnya, kondisi saat ini membuat wanita renta itu merasa nostalgia.

Walaupun sudah berumur dan banyak yang ia lupakan akibat mulai sering mengalami kepikunan, akan tetapi, ada sebuah kenangan yang masih dia ingat betul.

Ada satu memori indah di masa mudanya yang tak akan pernah dia singkirkan dari ingatan, meskipun maut pun menjemputnya sekarang juga.

Saat itu, adalah saat di mana tangannya merangkul punggung seorang makhluk kecil yang mengagumkan. 

Saat di mana mata bulat dan bibir mungil itu untuk pertama kalinya terbuka.

Saat di mana tangisan kerasnya terdengar menggema.

Saat di mana gadis kecilnya itu menggeliat-geliat di pangkuannya.

Lalu saat di mana jari jemari gemuknya menggenggam jari kelingkingnya, … itu semua adalah saat di mana dia menyambut putri berharganya, … yang merupakan hadiah terindah pemberian dari Tuhan yang tak akan ada duanya, karena telah terlahir ke dunia.

Dan sekarang, dengan cara yang sama seperti dia datang merayap ke kehidupan, putrinya itu juga hendak pergi meninggalkan ketika berada di pangkuannya? 

Siapa yang tak merasa hancur?

Siapa yang tak merasa dirinya tak akan gila?

Namun, takdir sudah berkata lain.

Jika memang takdirnya berakhir seperti itu … maka menyerahlah saja.

Karena di dalam dunia yang dikendalikan oleh takdir, tidak pernah ada yang namanya pengecualian.

Ibu Mariana pasrah.

Dia pun ingin memberikan hadiah terakhir untuk putrinya, sama seperti hadiah pertama yang ia berikan dulu.

Di mana ada pertemuan, di situ pasti ada yang namanya perpisahan.

Disibakkannya poni Mariana yang lengket akibat terlumuri darah.

Seingatnya dulu, dahi bayi kecilnya itu tak lebih panjang dari ukuran telapak tangannya.

Dikecupnya kening itu dengan perasaan yang bercampur aduk.

Disela-sela isak tangisnya, Ibunya Mariana membisikkan kata-kata cinta yang tulus persis sama seperti yang ia lakukan 23 tahun yang lalu.

Itu adalah ucapan yang dia pernah katakan kepada sang putri untuk pertama kali, yang di mana kali ini … dia mengucapkannya untuk kali terakhir.

“Terima kasih telah lahir ke dunia, Emak."

Sekiranya … begitulah perkataannya.

"Emak sayang Kamu, Nduk.”

•••

“Lihat, pipi gemuknya yang seperti kue mochi! Dia mengingatkanku padamu kalau sedang marah, haha.”

“Berhenti mengerjaiku! Kau mempermalukanku di depan putri kita!”

“Ohoho, lihatlah Ibumu nak, dia orang yang pemalu sekali. Ehm, Yunia. Biarkan Aku menggendongnya juga, aku ini ‘kan ayahnya.”

“Sshhh, dia baru lahir. Biarkan dia tidur di pangkuanku saja dulu. Takutnya kamu bertindak gegabah dan membuat putri kita kenapa-kenapa.”

Mariana yang mendengarkan percakapan sepasang orang asing dalam waktu yang cukup lama itu, perlahan mengerjapkan matanya yang terasa rapat dan susah dibuka.

“Oh lihat, matanya sama seperti milikmu Hain! Sedangkan rambutnya sama seperti milikku. Bukankah putri kita ini sangat cantik?”

“Tentu saja dia cantik, karena dia mewarisi kecantikanmu.”

Mariana tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Dirinya kebingungan saat mendapati dua orang asing itu, tersenyum hangat padanya.

“Hei sayang, ayo sambut putri kita secara bersamaan!”

“Ide yang bagus, itu terdengar manis.”

Pasangan suami-istri muda tersebut saling memandang sejenak, lalu segera kembali menatap Mariana.

"Selamat datang ke dunia, putri kami yang tersayang …."

Dengan senyuman lebar dan raut wajah bahagia, mereka berdua mengatakan sesuatu secara bersamaan.

“… Aira Qianzy.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rather Than My Fiancé, I Will Choose You!   Chapter 156 - Breaking the Rules

    BRAKK!Suara meja rias yang digebrak, memenuhi ruangan tempat Aira menempati kamar tidur yang ia huni hanya untuk diri sendiri di tingkatan kelas 3-1 ini.Semakin ke sini, ia dibuat semakin kesal.Alih-alih dunia dan aturan di dalamnya mengikuti kehendaknya sebagai “tokoh utama” dalam semesta yang dipercayainya sebagai novel “Tame my possessive Fiancé” ini, gadis berambut hijau lumut itu malah semakin menjauh.“Grkk! Sialan!”Jangankan keinginannya semua tokoh laki-laki di dunia novel ini menyukainya.Satu saja yang sekiranya dapat ia goda, sungguh benar-benar tidak tersisa.“Semua ini, pasti gara-gara Eiren!”Awalnya, Aira tak dapat memungkiri itu.Dia tahu alasan mengapa putri bungsu Marquess Eiren yang masih bersekolah di akademi ini sama sepertinya, mendekati Pangeran Kerajaan Aethelred, Lancient, dengan lebih terang-terangan dan bukan karena memang sekadar teman dekat.Melainkan, dia seolah-olah ingat kehidupan masa lalu juga, dan mengambil langkah penuh kehati-hatian untuk antis

  • Rather Than My Fiancé, I Will Choose You!   Chapter 155 - The Day I've Losing You

    “Dengan ini aku mengesahkan, Pangeran Fennel sebagai kepala keluarga Eglantine yang sah.”Saat ini, Fennel tengah menekuk satu lututnya dengan sigap, menghadap kakak tirinya, Zelvin Re Aethelred dengan patuh, dan mendengarkan dengan saksama akan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya sebagai seorang raja.“Sambutlah rekan kebangsawanan kita, … His Grace, the Grand Duke of Eglantine.”Lalu, begitu mendengar penyambutan itu, Fennel pun lekas membangkitkan dirinya.Tak lama kemudian, ia memberikan salam kehormatan penuh kepada matahari Kerajaan Aethelred tersebut, seterusnya berbalik memberi salam kepada seluruh bangsawan lain.Termasuk di antaranya ….“Semoga keselamatan dan kebahagiaan, senantiasa memberkati Anda selalu, ….”… Alesya yang mengulas senyum bangga sembari sedikit menurunkan silangan lulutnya yang ditekuk, sebab tak bisa memberikan salam kehormatan ala biasanya akibat gaunnya terlalu ketat nan mencetak lekuk tubuh.“… Grand Duke.”Menyadari salam dari Alesya itu, F

  • Rather Than My Fiancé, I Will Choose You!   Chapter 154 - What Are We?

    GLODAK~! GLODAK~!Suara gemuruh dari roda kereta kuda yang berpacu dengan kecepatan sedang, membelah hiruk pikuk keramaian kota.Terdapatlah di dalamnya, putri sulung Marquess Eiren yang duduk sambil meremas rok gaunnya secara erat, dengan wajah bersemu begitu merah.Netra kuning keemasan seindah emas dihujani madu matang itu bergulir sejenak ke arah suatu benda pipih di sampingnya.Yakni, sebuah lukisan yang ia dapatkan sebelum memutuskan untuk pulang bersama sang pelayan pribadi.“….”Yakni, sebuah lukisan yang memuat gambaran suatu adegan, yang berhasil membuat wajahnya memerah lagi dan lagi setiap kali mengingat kejadian manis itu.Yaitu, adegan saat Grand Duke muda Eglantine mengecup ujung rambutnya yang setengah dikepang.“Bagaimana? Anda menyukainya, kan?” Tanya Poppy, pelayan pribadi Alesya di seberang tempat duduk, memasang ekspresi wajah yang jahil.“H-Huh?! A-apanya?” Tentunya, atas pertanyaan yang tiba-tiba lagi terdengar ambigu itu, telah membuat Alesya gelagapan tidak m

  • Rather Than My Fiancé, I Will Choose You!   Chapter 153 - The Ray of My Sunshine

    “Akan terasa tidak nyaman jika rambut Anda menjuntai selagi asyik memakan camilan, bukan? Oleh sebab itu, akan lebih baik jika Anda mengikatnya untuk sementara waktu.” Alesya kira apa, ternyata ini toh yang dimaksudkan untuk dipakai olehnya tadi? “Apa Anda ingin memanggil pelayan pribadi tadi, dan membiarkannya membantu memakaikan ini?” SRAKK~! Fennel membuka dan mengeluarkan isi dari kantung kain itu. Terdapat banyak manik-manik kecil berbentuk bunga krisan, satu sisir kecil, dan juga pita berwarna kuning cerah supaya serasi dengan warna gaun yang saat ini tengah dikenakan oleh Alesya. “Poppy ya? Dia pergi ke suatu tempat dan akan kembali lumayan lama, jadi … Saya pikir ….” Alesya menggantung kalimatnya sejenak, tuk menundukkan wajahnya yang terasa mulai bersemu kembali. Dia juga menempatkan kedua telapak tangannya di bawah meja, untuk meremas rok gaun demi menyalurkan rasa gugup tak menentu. Dengan suara yang samar lagi terdengar seperti melirih, gadis itu pun lanjut berkat

  • Rather Than My Fiancé, I Will Choose You!   Chapter 152 - Have A Good Day, Milady!

    “….”Untuk beberapa waktu, Fennel mengerjapkan matanya beberapa kali selagi menahan nafasnya akibat merasa kaget.Sejujurnya, pemuda itu merasa bingung.Bukankah seharusnya Alesya merasa senang? Lantas, mengapa dia malah meresponsnya dengan meninggikan suara, serta menodongkan kepalan tangan kanan di depan mukanya sekarang???“Poppy?”“Ya? Saya mendengarkan.”Akhirnya, Fennel bisa bernafas lega kembali sewaktu Alesya menarik kepalan tangan dari depan muka, dan membalikkan badannya tuk menghadap lurus sang pelayan pribadi bernama Poppy.“Aku akan berada dalam pengawasan Tuan muda Eglantine, jadi … aku harap kau mengerti."Pelayan berambut merah ati dam bermata hijau apel muda itu menyunggingkan senyuman tipis.Dengan menundukkan kepala dan merundukkan sedikit badan, Poppy menekuk kakinya sedikit selagi mengangkat masing-masing sisi rok, tanda bahwa ia langsung menuruti titahan tanpa perlu mendengarkan penjelasan secara menyeluruh.“Selamat bersenang-senang, Milady.”Mendapati respons

  • Rather Than My Fiancé, I Will Choose You!   Chapter 151 - A Simple Date

    “Mohon tunggu sebentar ya? Saya harus melayani beberapa pelanggan yang sudah datang lebih awal terlebih dahulu.”Sekali lagi, keadaan yang membuat suasana menjadi begitu canggung pun terjadi.Malahan, suasananya benar-benar menjadi jauh lebih kaku dari pada di luar tadi.“….”“….”Dikarenakan tempat duduk lain sudah dipadati oleh banyaknya pelanggan butik ini yang telah datang lebih awal, akhirnya … Fennel dan Alesya pun, berakhir duduk bersebelahan dalam satu sofa.Walau, yah … mereka agak menyisakan tempat kosong di tengah-tengah, sebagai sebuah jarak pemisah.GRTT~!Dalam waktu bersamaan, seperti saling berbagi pikiran, keduanya memalingkan muka masing-masing tuk melihat ke arah lain, … dengan kedua telapak tangan mengepal gugup di atas lutut.Meski begitu, sesekali … baik itu Alesya atau bahkan Fennel, keduanya sempat mencuri-curi pandang terhadap satu sama lain.Fennel terpana dengan betapa lucunya hidung Alesya yang kecil seperti hidung kucing. Sedangkan Alesya sendiri, dia terp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status