Tak ada jawaban dari Dihan. Inda sudah menduga bahwa sang suami tidak akan mampu membalas permintaan darinya.
"Cih. Kamu bahkan tidak bisa menjawabku," ucap Inda, menelan saliva pahitnya, kemudian berlalu di hadapannya.Namun perkataan yang dikeluarkan sang suami selanjutnya sukses menghentikan langkah Inda."Maaf Inda, aku tidak bisa. Aku dan Mega sudah nikah siri, karena ada janin di dalam perutnya. Selain itu, Ayah dan Ibuku juga mendukung karena mereka menginginkan cucu. Apakah kamu ingin mengecewakan mereka?"Pengakuan yang keluar dari mulut Dihan membuat Inda meringis. Seolah kehamilan madunya tidak cukup untuk menancapkan duri di hatinya, tapi mertua yang selama ini selalu berhubungan baik dengannya juga mengkhianatinya.
Sementara Dihan tidak sepenuhnya membeberkan fakta yang terjadi sesungguhnya. Malam itu, tepatnya 6 bulan yang lalu, Dihan mabuk-mabukkan di sebuah kelab akibat tekanan yang diberikan selama ini oleh orangtuanya. Berada di bawah pengaruh alkohol, pria itu berujung kepada cinta satu malam dengan seorang wanita yang tidak kalah cantiknya dengan sang istri.Pada saat itu, Mega hanyalah kupu-kupu malam yang biasa menemani pelanggan minum. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali ketika Mega bekerja sebagai bawahan Dihan di kantornya."Karena itu, Mas lebih memilih membuat anak dengan wanita lain?! Mas kan bisa bicara dengan Inda! Kita bisa berusaha lebih keras, Mas! Mas juga tahu aku tidak mandul," Inda kini sudah tidak tahan, amarahnya benar-benar meledak.Tak terpengaruh oleh bentakan sang Istri, Dihan menghentak balik, "Terserah kamu mau bilang apa! Aku lelah berdebat terus denganmu!""Aku juga sudah muak lihat tingkah Mas sekarang!"Inda langsung berbalik pergi dari dapur. Tak sengaja ia berpapasan dengan madunya di depan pintu. Mega menundukkan kepalanya."Mengapa kau di sini? Kau pasti menguping pembicaraanku dan suamiku, kan?" ucap Inda dengan menekan kata 'suamiku'."Ti-tidak Kak, aku kebetulan mau masuk."Inda mendengus kesal. "Tak usah panggil kak. Aku tidak sudi jadi kakak madumu!" balas Inda. Dirinya pun bergegas, ingin segera melepaskan air mata yang sudah tak terbendung sedari tadi.Karena terburu-buru, tak sengaja Inda menabrak ringan pundak Mega. Belum sempat Inda masuk ke kamarnya, Inda mendengar suara rintihan Mega dari arah belakang. Spontan Inda menoleh.
"Ada apa ini? Astaga Mega, kamu tidak apa-apa?" tanya Dihan yang muncul dari balik tembok dapur. Sorot matanya terlihat panik.Inda mengepalkan kedua tangan menahan gundahan di dadanya. Hatinya retak melihat adegan tersebut. Saat hati Inda terluka karena kelakukan suaminya, malah dia sekali pun tidak bertanya pada Inda."Aku baik-baik saja, Mas. Tapi, aku tidak yakin dengan anak kita," lirih Mega.Dihan pun menatap tajam ke arah istri pertamanya. "Kamu apakan dia?! Kenapa bisa terjatuh?!""Aku- aku hanya berjalan melaluinya, Mas! Aku tidak melakukan apa-apa!" balasnya, mencoba meyakinkan sang suami yang kini semakin menatapnya dengan benci.Seolah tidak peduli dengan jawaban Inda, Dihan mengelaknya dengan keras. "Tidak melakukan apa-apa, katamu? Kamu habis keluar dari dapur, Mega langsung terjatuh! Mega sedang mengandung, Inda! Apa jangan-jangan kamu sengaja agar Mega keguguran?!" Tangis yang sudah susah payah Inda tahan, kini tak kuasa membanjiri di kedua pipi mulusnya. Baru saja Dihan mengaku bahwa Inda masih berstatus istrinya, tapi sang suami justru menuduhnya dengan keras.Manik hitam milik Inda kini terpaksa menyaksikan Dihan menggendong istri mudanya tergegas keluar dari rumah. Kekhawatiran muncul di ekspresi sang suami, sementara istri pertamanya dibiarkan terpaku di tempat, menangis, menangis dan terus menangis sambil memukul dadanya yang sesak.🌺🌺🌺
Mega mengusap perutnya dengan wajah masam. Sang suami yang menyadarinya sontak meremas tangan Mega.“Jangan khawatir, Sayang. Anak kita akan baik-baik saja,” ucap Dihan menenangkan.Mega mengangguk patuh. Ia tersenyum seraya menyandarkan kepala ke dada bidang Dihan. Mega sangat menyukai kelembutan Dihan padanya. Senyum pun tak pernah luput dari garis wajah milik Dihan. Sampainya di rumah sakit terdekat, Dihan pelan-pelan menuntun Mega turun dari mobil untuk mencari sang dokter.“Dok, tolong periksa kondisi kandungan istri saya. Tadi dia terjatuh, saya khawatir terjadi sesuatu dengan janin di dalam perutnya.” ucap Dihan.“Baik, silakan ditunggu. Akan saya periksa ya.”Setelah selesai melakukan berbagai macam check-up, dokter wanita itu menghampiri Dihan untuk menyampaikan kabar tentang Mega dan janinnya. “Pak Dihan, istri bapak hanya mengalami shock. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, janin dalam perut Ibu Mega sangat sehat. Hanya saja, lebih hati-hati lain kali, ya.”Dihan menghela napas lega. Untung saja, kalau sampai keguguran dipastikan dia tidak akan memaafkan istri pertamanya yang kini sedang mempercantik kuku di rumah.Inda nggak mau membuang waktu lama-lama cuma untuk menangisi pria brengsek seperti Dihan yang sudah berzina. Lebih baik ia merubah penampilan dari cepolan ekor kuda, sekarang tergerai indah di punggung mulusnya. Kaos rumahan besar juga sudah Inda minta asisten rumah tangga buang ke tong sampah.🌺🌺🌺
Dihan dan istri keduanya yang baru masuk tersita dengan makan malam di meja. Tak disangka kalau Inda akan mempersiapkan makanan untuk mereka. Dihan tersenyum bahagia karena berpikir Inda sudah iklas menerima Mega sebagai adik madunya. Hati Dihan terenyuh, rasa bersalah kini menerpanya.“Yuk, makan dulu, Meg.” Mega mengiyakan ajakan Dihan.
Dihan sudah makan begitu lahap. Kalau soal masak, memang Inda selalu jago dan tidak pernah mengecewakan perutnya. Selain itu, Inda juga pintar dalam hal buat kue dan hidangan pencuci mulut. Mega yang melihatnya pun mulai turut serta menggerakan tangan.
“Uhuk! Uhuk!” Mega terbatuk tiba-tiba.
Dihan bangun mengambil air putih lalu menyodorkan kepada Mega. “Aku tahu masakan Inda enak tapi pelan-pelan juga makannya, Meg. Tidak ada yang rebut kok.”“Mas, ini yang Mas sebut enak?” tanya Mega sambil mengibas wajahnya yang seperti kepiting rebus.Dihan kebingungan. “Kenapa Meg?”“Mas makan saja sendiri. Masa ada cuka sama bon cabe seabrek!” kesal Mega.Kening Dihan semakin berkerut, lalu mengambil sendoknya dan cobain nasi mangkuk milik Mega. Tak sampai 1 detik, Dihan langsung muntah ke tempat sampah terdekat. Ternyata benar rasanya sangat asam dan pedas.“Mas, Kakak sepertinya benci sekali padaku. Padahal aku sudah sopan dan hormat dengan dia.”Tanpa basa-basi lagi, Dihan beranjak keluar dari ruang makan, menaiki tangga ke kamar Inda. Lalu memutar kenop pintu itu.“Inda!”Wanita berpakaian dress hitam ketat itu terlonjat kaget mendengar teriakan sang suami. “Ck! Apa si Mas kok teriak-teriak segala.”Mata Dihan lekas mengamati istri pertama dari atas sampai mata kaki. “Kamu ... kenapa kamu pakai baju gini malam-malam? Mau ke mana?”“Loh, memangnya Mas peduli?”Semoga kalian suka ya! Bagi yang belum kenal, perkenalkan aku Mochi alias Bella Angeline. Bisa nemu cerita lain Mochi : W*****d : coffeebean888 KBM : Mochi88 Happy Reading Guys! Regars, Mochi
"Inda!" Dihan meninggikan volum suaranya ketika mendengar ucapan sang istrinya. "Kenapa? Benar kan Mas?" tanya Inda tertawa hambar.Dihan menggelengkan kepala, memijit pangkal hidungnya. "Inda, aku hanya ingin kau bisa menerima Mega saja. Apa susahnya? Dia juga wanita baik, kalian pasti bisa akur. Jangan lagi memusuhinya.""Mudah untuk Mas Dihan bicara begitu, karena Mas tidak di posisi yang kurasakan! Apa kau tahu rasa sakit dan kecewa ketika orang yang kau cintai dan hormati itu membawa wanita lain ke dalam rumah tangga kita? Mas bahkan dengan enteng memintaku menerima Mas nikah siri. Mas tahu tidak? Aku menangis terluka, tidur sendirian di kamar, kedinginan di saat tengah malam. Lantas pagi ini juga Mas menyalahkan aku, tidak memercayai aku. Ini baru hari pertama loh, Mas. Kedepannya kamu pasti akan dikuasai olehnya lalu meninggalkan aku." Satu tetes air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Inda. Lidahnya benar-benar kelu saat mengatakan semua gunda gulananya itu. Sungguh, pedih
“Astaghfirullahal'adzim, Inda! Lepasin Mega sekarang!” Dihan bergerak mendekati istri mudanya yang sedang hamil.Inda menjauhkan tangan dengan enggan, lalu memutar bola mata malas. Inda berdecih pelan ketika melihat air mata madunya memupuk keluar. Air mata rubah! “Kamu baik-baik saja?” tanya Dihan lembut melebihi kain sutra.Dihan lalu merapikan rambut wanita itu dengan pelan. Jujur saja, melihat adegan tidak adil itu berhasil membuat hati Inda merasa ngilu.Sebelumnya Dihan juga memperlakukan Inda seperti itu selama 6 tahun belakangan ini. “Mas, Kak Inda ... Aku didorong oleh Kak Inda, padahal aku hanya ingin melihat foto pernikahan Mas Dihan dengan Kak Inda. Lihat ini, tanganku berdarah, Mas ... Sakit ...” adunya. Mendengar penjelasan dari Mega, emosi Inda memuncah. Wanita itu bagaikan ular, menuduhnya sembarangan hanya demi perhatian dari sang suami. "Omong kosong! Jangan percaya dia, Mas. Dia-"Belum sempat Inda menyelesaikan kalimatnya, Dihan sudah memotongnya dengan suara
Waktu berputar sangat cepat, tak terasa sudah 3 bulan berlalu sejak kepindahan Dihan dan Mega dari rumah mereka. Dihan berjanji kepada Inda bahwa ia akan berkunjung seminggu sekali.“Mas mau ke mana hari Minggu gini?” tanya Mega melihat sang suami memakai pakaiannya. “Pergi menemani Inda, Meg. Aku akan pulang sore.”Mendengar nama Inda, tentu Mega tidak senang. Kenapa wanita itu masih saja bersarang di hati Dihan?“Tidak boleh, Mas. Masa Mas tega ninggalin istrimu yang sudah besar kandungannya ini sendirian,” ujar Mega kesal.“Astaga, Meg, Inda juga istriku. Bagaimana pun aku masih punya tanggung jawab atas dirinya sebagai suami. Papa ada di bawah dan Mama sebentar lagi pulang dari pasar. Mereka akan menjagamu.”“Aku nggak mau tahu, aku mau Mas yang temenin aku. Anak kita juga pasti cariin terus nanti.”“Minggu lalu aku sudah tidak menjenguknya, Meg. Waktuku minggu ini harusnya buat Inda.” Dihan tetap keukeuh dengan pendiriannya. Mega mengentakkan kakinya setelah Dihan merapikan baj
“Mama!”Baru saja Inda tiba di kantor, mendadak ada seorang anak kecil memeluk kaki betis ramping miliknya. Iris mata bulatnya sungguh menggemaskan sekali. Begitu polos dan penuh sinar cahaya. “Sasha, sini.” Sebuah suara membuat Inda menengadahkan kepala melihat atasannya, David berjalan menghampirinya—ralat, lebih tepat kepada Sasha. “Dia bukan Mama, Sasha.” Anak perempuan lugu itu cemberut, semakin kuat mengeratkan pelukannya. “Mama....”David menghela napas berat. “Maafkan anakku.”Inda mengagguk paham lalu beralih melihat Sasha. “Mau aku peluk?” Sasha sontak tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangan mungilnya. Inda dengan senang hati menggendong Sasha kemudian memberikan isyarat kepada atasannya bahwa tidak apa-apa. Inda lalu menurunkan Sasha ketika sampai di ruang David. “Sasha, kamu baik-baik di sini ya." “Mama mau ke mana? Mama mau tinggalin Sasha lagi?” tanya Sasha menarik celana panjang kerja putih Inda. Tatapan Sasha kembali berair. David yang melihatnya langsung
"Saya permisi dulu ya, Pak. Sudah larut juga," sela Inda cepat, sebelum bosnya bertanya lebih. David menahan pergelangan tangan Inda. "Biarkan aku yang mengantarmu pulang."Wajah Inda muncul tanda tanya besar di benaknya."Ah, aku tidak ada maksud lain. Ini sebagai tanda terima kasih sudah membantuku menenangkan Sasha," jelas David.Inda berpikir sesaat, kemudian menganggukan kepala menyetujui tawaran David."Tunggu sebentar ya." David segera membereskan barangnya dan mengambil kunci mobil. Tak lupa menggendong Sasha dengan pelan, takut gadis kecilnya terbangun.Inda terdiam melihat adegan hangat itu, dan mengekor David menuju parkiran."Boleh bantu aku buka pintu belakang?" tanya David ke Inda. Inda menuruti permintaan atasannya. Kemudian David menurunkan Sasha yang masih tertidur pulas. Setelah menutup pintu, kini gantian David membuka pintu mobil untuk Inda. "Terima kasih," balas Inda tersenyum sopan.David pun menyusul masuk ke dalam mobil tersebut. Kemudian terkekeh sembari men
Inda menatap dalam manik mata David dengan tatapan kebingungan."Pak, apa anda baik-baik saja?" tanya Inda melambaikan tangannya di hadapan David.David tanpa sadar menahan tangan Inda. "Bisakah kamu menjadi mama pengganti untuk Sasha?" tanya David akhirnya.Mulut Inda melongo seakan tak percaya dengan indera pendengarannya. "Ta-tapi Pak...." "Aku tahu kamu keberatan karena kemungkinan besar sudah punya pacar atau bahkan mungkin suami. Tapi, ini hanya permintaanku sebagai seorang Ayah. Kamu cukup menjaga Sasha ketika ia membutuhkan sosok seorang mama. Paling lama aku minta 1 tahun," jelas David. Inda tampak berpikir. "Kasih saya sehari untuk mempertimbangkan ini, Pak." David memangut-mangut paham. "Baiklah. Sebelumnya aku minta maaf bila permintaanku ini terlalu mendadak."🪷🪷🪷Inda membolak-balikkan badan di kasurnya. Baru pertama kali ia merasa susah sekali untuk masuk ke alam mimpi padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apakah aku harus menyetujui permintaan Pak Dav
"Apa itu, Pak?" tanya Inda tanpa mengalihkan tatapannya dari Sasha. David berdeham sesaat. "Hubungan kamu dengan suamimu kurang baik ya?" Refleks Inda memalingkan wajahnya ke David dengan kaget."Semalam ketika aku mau balikin kunci aku mendengar laki-laki itu berteriak," jelas David yang menangkap raut kebingungan di muka Inda.Inda menoleh dan menunduk, memainkan jari-jari tangannya. Gugup untuk bercerita kepada David."Aku tahu ini bukan urusanku, tapi di luar ini kita bisa jadi teman kan? Dan kamu bisa langsung memanggilku nama." Mendengar hal itu, Inda berpikir sejenak sebelum menghela napas berat. "Suamiku ... dia menikah lagi." "Nikah siri tanpa sepengetahuanku. Dan wanita itu mengandung anaknya," lanjut Inda.David menganga lebar, seakan tidak bisa memercayainya. "Jadi kamu?" "Tetap istri pertama, ya cuma sebutan saja. Tak ada berpengaruh apa pun di rumah tanggaku sekarang." David bisa menangkap kekecewaan dan kesedihan di balik mata hitam pekat itu. Sungguh, ia tidak sa
Kini Inda berdiri di depan pagar yang menjulang tinggi dengan halaman yang cukup luas menuju pintu utama.Tangan Inda sedikit bergetar untuk menekan bel rumah milik David. Gugup, itulah yang Inda rasakan."Eh, Non. Anda mencari siapa?" tanya seorang paman paruh baya yang sedang menggunting dedaunan."Em.... Saya.... Tidak apa-apa. Saya salah alamat," kata Inda akhirnya mengulas senyum tipis kemudian berbalik arah dan menghela napas gusar."Mamaaa!" teriak Sasha sambil melambaikan tangannya melalui jendela mobil.David memarkirkan mobilnya di samping Inda. Lalu Sasha buru-buru membuka pintu mobil."Sasha, hati-hati, Nak." Inda gercep menggendong Sasha berkaki pendek itu turun. "Tadi Sasha bangun dan langsung mencarimu, aku tak enak hati mengganggumu lagi, jadi aku bawa dia makan es krim," jelas David. "Kamu sendiri kenapa ada di sini?" Inda menunduk malu. "Itu ... aku—" "Mama! Mari kita masuk!" ajak Sasha menarik tangan Inda. Inda tersentak, terpaksa membiarkan Sasha membawanya ke