"Apa-apaan ini!"
Manik hitam seorang wanita yang baru saja kembali dari pasar melebar sempurna ketika menyaksikan adegan yang terjadi tepat di hadapannya. Dihan, sang suami yang telah menikah dengan Inda selama enam tahun, sedang bercumbu mesra dengan wanita yang tak dikenalnya.Dengan segera, tangan Inda mengambil sayur dari kantong plastik lalu melempar ke dua orang yang sedang sibuk dengan cumbuannya.
"Apa yang kalian lakukan?!" tanya Inda dengan intonasi tinggi, menuntut sebuah penjelasan dari suaminya. Mendengar jeritan sang istri, Dihan terkejut sambil menyentuh pundak wanita berambut panjang yang sedang memasang wajah kesakitan."Inda, kamu melukainya. Minta maaf," Bukannya menghiraukan pertanyaan Inda, pria itu justru membela wanita lain.
"Tidak apa-apa, Mas. Pasti Kak Inda tidak sengaja." Wanita itu akhirnya bersuara, sambil berjalan ke arah Inda dan memegang lengannya.Merasa diremehkan, Inda menepis tangan sang wanita dan mengalihkan pandangan ke suaminya. "Dia siapa, Mas?!" Inda semakin meninggikan suaranya, tak tahan dengan sang suami yang tetap tak bergeming. Dirinya juga tak peduli dengan wanita di sampingnya yang menatapnya dengan sinis."Dia istriku, namanya Mega. Kuharap kamu bisa menuntunnya menjadi istri yang istiqomah sepertimu, Inda." Jawaban dari Dihan membuat Inda hanya bisa tertawa kosong. "Istri? Maksud Mas, dia maduku?" Dihan mengangguk, tak menunjukkan rasa bersalah dalam ekspresi dan ucapannya. "Aku harap kamu bisa mengerti, Inda. Ayah dan Bunda sudah meminta cucu terus ke aku. Dan kebetulan, Mega sudah hamil 2 bulan." Bagai tersambar petir, hati Inda terasa perih begitu mendengar penuturan dari sang suami. Seolah dimadu tidak cukup, pria itu berani-beraninya mengatakan bahwa wanita yang dibawanya sudah mengandung?"Bagaimana bisa Mas mengkhianati pernikahan ini?" tanya Inda, wanita itu kini tak mampu menahan tangis. Pernikahan dan kesetiaannya selama enam tahun justru dibalas dengan kabar kehamilan wanita lain. "Aku tidak punya pilihan, Inda. Semua sudah terjadi," jawab Dihan enteng, bahkan tak peduli dengan tubuh sang istri yang kini bergetar hebat karena tangisannya. "Tak punya pilihan? Omong kosong! Pasti kamu dan jalang ini memang sudah merencanakan semua dari lama, kan?" Plak! Tamparan di pipi kanan Inda membuat wanita itu terkejut. Enam tahun pernikahan yang dijalin keduanya, pertengkaran memang sering terjadi, tapi tak pernah sekalipun sang suami main tangan. "Jaga mulutmu, Inda. Kamu itu istri pertama, sikap dan perilakumu harusnya menjadikan contoh yang baik." Menyaksikan rahang Dihan yang mengeras karena perbuatan istrinya, wanita yang bernama Mega itu menghampirinya, menggaet lengan Dihan sambil berusaha membujuknya. "Sudah Mas, jangan seperti ini. Malu kalau didengar tetangga." "Dasar wanita licik! Aku tahu kamu pasti senang melihat pertengkaran ini! " batin Inda. Bisa-bisanya wanita yang merebut suaminya itu mencoba bersikap manis di depan sang suami, padahal jelas sebelumnya wanita itu menampilkan senyum puas ketika Dihan menamparnya.Dihan akhirnya menuruti pintaan istri keduanya. Pria itu kini menyentuh kedua bahu Inda perlahan, mencoba membangunkan sang istri dari posisinya. "Maafkan aku, Sayang. Aku tadi terlalu emosi. Tapi aku juga ingin kamu mengerti." "Apa yang aku harus mengerti, Mas? Wanita mana yang akan tersenyum menyambut orang ketiga dalam sebuah rumah tangga? Apa Mas pikir aku tidak punya perasaan?" ujar Inda. Wanita itu masih tidak mengerti, mengapa sang suami bisa mengkhianatinya begitu saja, bahkan lebih membela istri keduanya.Belum sempat suaminya menjawab, Inda bergegas lari ke kamar, menangisi semuanya. Sakit, pedih, marah, kecewa berkecamuk menjadi satu di dalam hatinya.Wanita itu berpikir, bahwa tega sekali suami yang dia selalu cintai, hargai, homati, bahkan kagumi justru menikah lagi, menghancurkan segalanya. Tak pernah sekali pun Inda mencurigai Dihan, bahkan ketika dia 6 bulan terakhir ini pria itu sering pergi dinas. Inda kini benar-benar merasa bodoh, setia menunggu kabar dari sang suami setiap hari, merindukan kepulangan sosok itu. Sayang, balasan dari kesetiaannya adalah sebuah pengkhianatan. Sang suami memilih untuk bermain, berselingkuh di belakang Inda, dan parahnya menghamili wanita lain, seolah enam tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk menjalin hubungan serius.Runtuh sudah impian, cinta, semangat, dan kepercayaan Inda kepadanya. Bahkan, kedua manusia itu menikah tanpa sepengetahuan Inda sebagai istri pertama. "Ya Allah, apa ini hukumanku karena tidak bisa memberikan keturunan?" batin Inda. Air mata semakin memenuhi wajahnya, tak mampu menerima kabar tiba-tiba yang datang kepadanya. Dia merasa seakan ribuan duri menancap tiada henti di hati.Entah berapa lama wanita itu menangis hingga akhirnya dia terbangun dalam keadaan meringkuk di atas ranjang, menenggelamkan kepala di antara lutut. Seluruh badannya seolah remuk saat digerakkan.Manik hitam Inda sontak menyapu ke kasur, mencari sosok sang suami yang dia pikir akan berusaha menghiburnya. Tak menemukan seorang pun, Inda kembali merasakan perih di hatinya. Percuma wanita itu berharap, ternyata Dihan memang lebih mengutamakan wanita yang merusak rumah tangganya itu.Pikiran Inda kini membayangkan sang suami yang sedang bergumul mesra bersama perempuan lain. Di saat sang istri terpuruk, Dihan justru mencari kepuasan dari Mega. Meski Mega kini telah menjadi istri Dihan, Inda tidak rela untuk mengakui Mega sebagai adik madunya.Mencoba menghilangkan pikirannya yang berkecamuk, Inda menepuk kedua pipinya. Wanita itu menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus membasuh wajahnya. Seusai berbenah, Inda berusaha untuk menenangkan diri. Tiba-tiba suara dehaman muncul di balik punggungnya."Sayang," panggil Dihan yang muncul dari kamar tamu.Seakan semalam tidak terjadi apa-apa, suaminya memeluk Inda dari belakang. Namun, wanita itu tak bergeming. Untuk apa memanggilnya sayang? Jelas dia sudah memiliki wanita lain. "Inda sayangku. Mana sarapanku, hm?" tanya Dihan, masih berusaha untuk memeluk, bahkan mencium leher jenjang milik istri pertamanya. Dulu, Inda merasa bersyukur karena memiliki suami yang menyayanginya, bahkan berbuat romantis ketika terbangun di pagi hari. Namun, hal itu kini membuatnya jijik. Inda memilih untuk diam, sebelum melepaskan diri dari sentuhan suami."Inda Sayang, Mega semalam kelelahan. Tidak bisakah kamu membuat sarapan untuk kami?" rayu Dihan pelan, namun ucapannya itu justru membuat amarah Inda semakin memuncak. mendengarkannya. "Kelelahan? Jadi mereka sungguh bergumul bahkan ketika aku ada di rumah yang sama?" Pikiran Inda yang sebelumnya sudah mulai tenang, kini dipenuhi dengan emosi. Dia sudah tak ingin mendengar nama Mega keluar dari mulut sang suami."Suruh saja istri tercinta milikmu itu!" teriak Inda dengan ketus. "Kamu kan juga istriku, Inda. Apa salahnya sih?" Inda hanya bisa tertawa getir melihat keegoisan dari suaminya. "Kalau Mas menganggap aku istrimu. Ceraikan dia sekarang juga. Gimana? Apa Mas berani?"Bersambung .... Terima kasih yang sudah membaca! Sampai jumpa lagi 😘
Tak ada jawaban dari Dihan. Inda sudah menduga bahwa sang suami tidak akan mampu membalas permintaan darinya. "Cih. Kamu bahkan tidak bisa menjawabku," ucap Inda, menelan saliva pahitnya, kemudian berlalu di hadapannya. Namun perkataan yang dikeluarkan sang suami selanjutnya sukses menghentikan langkah Inda."Maaf Inda, aku tidak bisa. Aku dan Mega sudah nikah siri, karena ada janin di dalam perutnya. Selain itu, Ayah dan Ibuku juga mendukung karena mereka menginginkan cucu. Apakah kamu ingin mengecewakan mereka?"Pengakuan yang keluar dari mulut Dihan membuat Inda meringis. Seolah kehamilan madunya tidak cukup untuk menancapkan duri di hatinya, tapi mertua yang selama ini selalu berhubungan baik dengannya juga mengkhianatinya.Sementara Dihan tidak sepenuhnya membeberkan fakta yang terjadi sesungguhnya. Malam itu, tepatnya 6 bulan yang lalu, Dihan mabuk-mabukkan di sebuah kelab akibat tekanan yang diberikan selama ini oleh orangtuanya. Berada di bawah pengaruh alkohol, pria itu ber
"Inda!" Dihan meninggikan volum suaranya ketika mendengar ucapan sang istrinya. "Kenapa? Benar kan Mas?" tanya Inda tertawa hambar.Dihan menggelengkan kepala, memijit pangkal hidungnya. "Inda, aku hanya ingin kau bisa menerima Mega saja. Apa susahnya? Dia juga wanita baik, kalian pasti bisa akur. Jangan lagi memusuhinya.""Mudah untuk Mas Dihan bicara begitu, karena Mas tidak di posisi yang kurasakan! Apa kau tahu rasa sakit dan kecewa ketika orang yang kau cintai dan hormati itu membawa wanita lain ke dalam rumah tangga kita? Mas bahkan dengan enteng memintaku menerima Mas nikah siri. Mas tahu tidak? Aku menangis terluka, tidur sendirian di kamar, kedinginan di saat tengah malam. Lantas pagi ini juga Mas menyalahkan aku, tidak memercayai aku. Ini baru hari pertama loh, Mas. Kedepannya kamu pasti akan dikuasai olehnya lalu meninggalkan aku." Satu tetes air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Inda. Lidahnya benar-benar kelu saat mengatakan semua gunda gulananya itu. Sungguh, pedih
“Astaghfirullahal'adzim, Inda! Lepasin Mega sekarang!” Dihan bergerak mendekati istri mudanya yang sedang hamil.Inda menjauhkan tangan dengan enggan, lalu memutar bola mata malas. Inda berdecih pelan ketika melihat air mata madunya memupuk keluar. Air mata rubah! “Kamu baik-baik saja?” tanya Dihan lembut melebihi kain sutra.Dihan lalu merapikan rambut wanita itu dengan pelan. Jujur saja, melihat adegan tidak adil itu berhasil membuat hati Inda merasa ngilu.Sebelumnya Dihan juga memperlakukan Inda seperti itu selama 6 tahun belakangan ini. “Mas, Kak Inda ... Aku didorong oleh Kak Inda, padahal aku hanya ingin melihat foto pernikahan Mas Dihan dengan Kak Inda. Lihat ini, tanganku berdarah, Mas ... Sakit ...” adunya. Mendengar penjelasan dari Mega, emosi Inda memuncah. Wanita itu bagaikan ular, menuduhnya sembarangan hanya demi perhatian dari sang suami. "Omong kosong! Jangan percaya dia, Mas. Dia-"Belum sempat Inda menyelesaikan kalimatnya, Dihan sudah memotongnya dengan suara
Waktu berputar sangat cepat, tak terasa sudah 3 bulan berlalu sejak kepindahan Dihan dan Mega dari rumah mereka. Dihan berjanji kepada Inda bahwa ia akan berkunjung seminggu sekali.“Mas mau ke mana hari Minggu gini?” tanya Mega melihat sang suami memakai pakaiannya. “Pergi menemani Inda, Meg. Aku akan pulang sore.”Mendengar nama Inda, tentu Mega tidak senang. Kenapa wanita itu masih saja bersarang di hati Dihan?“Tidak boleh, Mas. Masa Mas tega ninggalin istrimu yang sudah besar kandungannya ini sendirian,” ujar Mega kesal.“Astaga, Meg, Inda juga istriku. Bagaimana pun aku masih punya tanggung jawab atas dirinya sebagai suami. Papa ada di bawah dan Mama sebentar lagi pulang dari pasar. Mereka akan menjagamu.”“Aku nggak mau tahu, aku mau Mas yang temenin aku. Anak kita juga pasti cariin terus nanti.”“Minggu lalu aku sudah tidak menjenguknya, Meg. Waktuku minggu ini harusnya buat Inda.” Dihan tetap keukeuh dengan pendiriannya. Mega mengentakkan kakinya setelah Dihan merapikan baj
“Mama!”Baru saja Inda tiba di kantor, mendadak ada seorang anak kecil memeluk kaki betis ramping miliknya. Iris mata bulatnya sungguh menggemaskan sekali. Begitu polos dan penuh sinar cahaya. “Sasha, sini.” Sebuah suara membuat Inda menengadahkan kepala melihat atasannya, David berjalan menghampirinya—ralat, lebih tepat kepada Sasha. “Dia bukan Mama, Sasha.” Anak perempuan lugu itu cemberut, semakin kuat mengeratkan pelukannya. “Mama....”David menghela napas berat. “Maafkan anakku.”Inda mengagguk paham lalu beralih melihat Sasha. “Mau aku peluk?” Sasha sontak tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangan mungilnya. Inda dengan senang hati menggendong Sasha kemudian memberikan isyarat kepada atasannya bahwa tidak apa-apa. Inda lalu menurunkan Sasha ketika sampai di ruang David. “Sasha, kamu baik-baik di sini ya." “Mama mau ke mana? Mama mau tinggalin Sasha lagi?” tanya Sasha menarik celana panjang kerja putih Inda. Tatapan Sasha kembali berair. David yang melihatnya langsung
"Saya permisi dulu ya, Pak. Sudah larut juga," sela Inda cepat, sebelum bosnya bertanya lebih. David menahan pergelangan tangan Inda. "Biarkan aku yang mengantarmu pulang."Wajah Inda muncul tanda tanya besar di benaknya."Ah, aku tidak ada maksud lain. Ini sebagai tanda terima kasih sudah membantuku menenangkan Sasha," jelas David.Inda berpikir sesaat, kemudian menganggukan kepala menyetujui tawaran David."Tunggu sebentar ya." David segera membereskan barangnya dan mengambil kunci mobil. Tak lupa menggendong Sasha dengan pelan, takut gadis kecilnya terbangun.Inda terdiam melihat adegan hangat itu, dan mengekor David menuju parkiran."Boleh bantu aku buka pintu belakang?" tanya David ke Inda. Inda menuruti permintaan atasannya. Kemudian David menurunkan Sasha yang masih tertidur pulas. Setelah menutup pintu, kini gantian David membuka pintu mobil untuk Inda. "Terima kasih," balas Inda tersenyum sopan.David pun menyusul masuk ke dalam mobil tersebut. Kemudian terkekeh sembari men
Inda menatap dalam manik mata David dengan tatapan kebingungan."Pak, apa anda baik-baik saja?" tanya Inda melambaikan tangannya di hadapan David.David tanpa sadar menahan tangan Inda. "Bisakah kamu menjadi mama pengganti untuk Sasha?" tanya David akhirnya.Mulut Inda melongo seakan tak percaya dengan indera pendengarannya. "Ta-tapi Pak...." "Aku tahu kamu keberatan karena kemungkinan besar sudah punya pacar atau bahkan mungkin suami. Tapi, ini hanya permintaanku sebagai seorang Ayah. Kamu cukup menjaga Sasha ketika ia membutuhkan sosok seorang mama. Paling lama aku minta 1 tahun," jelas David. Inda tampak berpikir. "Kasih saya sehari untuk mempertimbangkan ini, Pak." David memangut-mangut paham. "Baiklah. Sebelumnya aku minta maaf bila permintaanku ini terlalu mendadak."🪷🪷🪷Inda membolak-balikkan badan di kasurnya. Baru pertama kali ia merasa susah sekali untuk masuk ke alam mimpi padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apakah aku harus menyetujui permintaan Pak Dav
"Apa itu, Pak?" tanya Inda tanpa mengalihkan tatapannya dari Sasha. David berdeham sesaat. "Hubungan kamu dengan suamimu kurang baik ya?" Refleks Inda memalingkan wajahnya ke David dengan kaget."Semalam ketika aku mau balikin kunci aku mendengar laki-laki itu berteriak," jelas David yang menangkap raut kebingungan di muka Inda.Inda menoleh dan menunduk, memainkan jari-jari tangannya. Gugup untuk bercerita kepada David."Aku tahu ini bukan urusanku, tapi di luar ini kita bisa jadi teman kan? Dan kamu bisa langsung memanggilku nama." Mendengar hal itu, Inda berpikir sejenak sebelum menghela napas berat. "Suamiku ... dia menikah lagi." "Nikah siri tanpa sepengetahuanku. Dan wanita itu mengandung anaknya," lanjut Inda.David menganga lebar, seakan tidak bisa memercayainya. "Jadi kamu?" "Tetap istri pertama, ya cuma sebutan saja. Tak ada berpengaruh apa pun di rumah tanggaku sekarang." David bisa menangkap kekecewaan dan kesedihan di balik mata hitam pekat itu. Sungguh, ia tidak sa