Share

Bab.5: Ada Syaratnya

Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Suamiku sudah berikhtiar dengan cara yang halal mencari rezeqi untuk keluarganya. Berapapun hasilnya, mungkin itulah rezeqi yang Allah titipkan kepada kami.

"Alhamdulillah...tidak apa-apa, Mas. Masih bisa untuk beli beras satu liter. Semoga besok Allah memberikan rezeqi lebih untuk kita" ucapku membesarkan hati Mas Dito.

"Maafkan Mas ya, Dinar" lagi-lagi Mas Dito meminta maaf seraya menggenggam tanganku erat.

"Tidak usah minta maaf, Mas Dito enggak salah kok. Sekarang Mas bersih-bersih, setelah itu baru makan," ujarku seraya mengelus pundak Mas Dito dengan lembut.

"Memang Kamu sudah masak? dapat uang darimana?" tanya Mas Dito heran.

"Aku belum masak, Mas. Tadi ada rezeqi nasi kotak dari tetangga baru kita, namanya Mbak Ismi" sahutku.

"Alhamdulillah. Itu artinya kamu sudah makan, Din?" tanya Mas Dito dengan mata berbinar.

"Iya, sudah Mas. Ayo buruan bersih-bersih, tubuh Mas Dito bau kecut tuh" ucapku meledek Mas Dito dan tergelak.

"Biarpun bau kecut tapi Kamu tetap sayang, kan?" Mas Dito mencubit pinggangku dengan mesra dan Kami pun tergelak bersama.

"Bu, ayamnya enak banget ya" ucap Dani, saat menikmati ayam bakar pemberian Mbak Ismi.

"Iya, nanti kalau ada rezeqi lebih, Ibu mau masak ayam bakar juga, ya" timpalku seraya menyuapi makan Dita.

"Asyiiik, Dani mau Bu. Semua masakan buatan Ibu pasti enak!" ucap Dani mengacungkan ibu jarinya kepadaku.

"Jangan lupa bersyukur atas rezeqi yang kita dapat hari ini. Allah akan menambah nikmatnya jika kita selalu bersyukur" timpal Mas Dito mengingatkan Kami.

Aku dan Dani menganggukkan kepala. Mas Dito adalah sosok suami dan ayah yang baik keluargaku. Dia tidak pernah lupa mengingatkan hal kebaikan kepada Kami. Mas Dito pernah berkata jika menjadi kepala keluarga itu mempunyai tugas yang berat. Karena akan di mintakan pertanggung jawaban di akhirat kelak atas semua perbuatan istri dan anak-anaknya. Aku tidak salah memilih Mas Dito menjadi imam dalam hidupku.

"Mas, Mbak Ismi itu orangnya baik, lho" ucapku pada Mas Dito saat menjelang tidur.

"Kamu jangan terlalu cepat menilai seseorang. Kamu kan baru mengenalnya" sanggah Mas Dito.

"Tetapi memang benar Mbak Ismi itu baik, Mas. Nanti Mas pasti bisa menilai kalau sudah bertemu orangnya," ucapku membela diri.

"Iya, tetapi ingat kamu tetap harus berhati-hati kepada siapa pun. Apalagi statusnya hanya mengontrak disini. Dia bisa pergi kapan saja" Mas Dito mengingatkanku.

"Iya Mas." Aku tidak ingin pembicaraan Kami berubah menjadi sebuah perdebatan. Itu sebabnya Aku mengalah dan menyetujui perkataan Mas Dito.

"Sudah malam ayo kita tidur, Din," ajak Mas Dito seraya memejamkan matanya. "Iya, Mas" sahutku singkat.

Aku memeluk tubuh Dita, menyusul Mas Dito yang telah lebih dulu memejamkan mata. Melepaskan semua letih dan beban fikiran seharian, untuk menggapai mimpi indah yang semoga kelak akan menjadi kenyataan.

....

Keesokan harinya, seperti biasa Aku menyiapkan sarapan untuk kami sekeluarga. Hari ini Aku bisa ikut sarapan, karena masih ada lauk sisa kemarin dan tumis daun singkong hasil panen kemarin.

Wajah Mas Dito tampak bahagia, berkali-kali dia mencuri pandang ke arahku. Aku tersenyum tersipu. Satu hal yang membuat Mas Dito bahagia adalah melihatku bisa ikut sarapan bersama. Tidak ada lagi alasan tidak ikut sarapan karena sedang berpuasa sunah.

"Mas, beberapa bulan lagi pembukaan pendaftaran masuk SD. Usia Dani besok sudah genap enam tahun, jadi sudah bisa daftar masuk SD" ucapku pada Mas Dito, sambil membereskan piring bekas sarapan kami.

"Ooh, besok Dani ulang tahun ya? Ayah hampir lupa. Ternyata anak Ayah sudah besar, sudah mau masuk SD juga. Doakan Ayah supaya bisa mendapatkan rezeqi untuk mendaftarkan sekolah Dani, ya" Mas Dito tersenyum dan mengusap puncak kepala Dani dengan lembut.

"Dani setiap habis sholat selalu mendoakan Ayah, kok. Supaya mendapatkan rezeqi yang banyak dan berkah," timpal Dani seraya tersenyum manis.

"Iya, Ibu juga selalu berdoa untuk keluarga kita" ucapku tak mau kalah.

Kami pun tertawa bersama. Beginilah kehidupan keluargaku, meskipun keadaan ekonomi kami serba kekurangan tetapi tidak mengurangi kehangatan keluarga setiap harinya.

Mas Dito berpamitan, seperti biasa kami mencium punggung tangannya dengan takzim. Mengantarkannya sampai di halaman depan rumah dan melambaikan tangan saat motornya melaju meninggalkan halaman rumah.

Aku merasa ada yang memperhatikan. Pandanganku beralih ke arah rumah kontrakan Mbak Ismi yang letaknya hanya beberapa meter saja dari rumah. Nampak sepi, namun jendelanya terbuka. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku kembali masuk ke dalam rumah, menyusul Dani dan Dita yang sudah lebih dulu masuk.

Hari berganti hari, hubunganku dengan Mbak Ismi semakin dekat. Yang awalnya hanya sebagai tetangga, kini hubungan kami sudah seperti sahabat karib. Setiap hari Mbak Ismi main ke rumahku, begitupun sebaliknya.

Ternyata usiaku hanya terpaut satu tahun dibawah Mbak Ismi. Itu sebabnya, sekarang Kami memanggil nama ami masing-masing, tanpa ada embel-embel Mmak seperti awal baru kenal.

"Din, kamu pake skin care apa?" tanya Ismi di suatu siang di teras depan rumahku.

"Aku mah enggak pake skincare-skincarean, Is. Cukup air wudhu saja. Yang terpenting itu bukan hanya kecantikan wajah, tetapi kecantikan hati yang lebih penting" ucapku enteng.

"Iya sih, kecantikan hati itu penting. Tetapi kecantikan wajah juga penting, Din. Kalau gak di rawat, mana bisa cantik dan glowing" sanggah Ismi.

"Iya kalau yang punya banyak uang, bisa pakai skin care yang mahal biar bisa bikin glowing kayak kulit wajah Kamu, Is" sahutku.

"Kata siapa skin care yang Aku pakai ini mahal? harganya minimal kok, tetapi kamu lihat sendiri kan hasilnya maximal!" sahut Ismi seraya memegang kulit wajahnya yang terlihat mulus dan glowing.

"Masa sih? emang Kamu pakai skin care apaan, Is?" tanyaku penasaran.

"Aku pakai skin care B*** cosmetics. Itu lho, yang ambassadornya artis-artis terkenal" jawab Ismi bersemangat.

"Ooh iya, Aku pernah dengar. Dulu teman-teman kerjaku juga pakai cosmetics itu. Pantas saja kulit mereka mulus dan glowing" timpalku.

"Iya Din, sekarang standar kecantikan itu harus yang glazed skin, artinya kulit yang mengkilap. Kalau di Indo di sebutnya glowing. Jadi kalau mau di sebut cantik, ya harus glazed skin, gitu." ujar Ismi panjang lebar.

"Aku baru tahu, ternyata ada standar kecantikan segala. Bagaimana kabarnya kulit wajahku yang biasa aja" ucapku sambil merengut.

"Makanya, sekarang para wanita berlomba-lomba untuk punya wajah yang glowing, biar makin di sayang Suami. Kamu mau kulitnya glowing juga?" tanya Ismi.

"Pasti mau lah, tetapi Aku enggak punya uang buat beli skin carenya," ucapku dengan wajah sedih.

"Nanti Aku kasih Kamu skin care gratis!" ucap Ismi dengan wajah serius.

"Beneran gratis? serius?" tanyaku tidak percaya dengan ucapan Ismi.

"Iya gratis, tapi ada syaratnya!"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status