Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Suamiku sudah berikhtiar dengan cara yang halal mencari rezeqi untuk keluarganya. Berapapun hasilnya, mungkin itulah rezeqi yang Allah titipkan kepada kami.
"Alhamdulillah...tidak apa-apa, Mas. Masih bisa untuk beli beras satu liter. Semoga besok Allah memberikan rezeqi lebih untuk kita" ucapku membesarkan hati Mas Dito."Maafkan Mas ya, Dinar" lagi-lagi Mas Dito meminta maaf seraya menggenggam tanganku erat."Tidak usah minta maaf, Mas Dito enggak salah kok. Sekarang Mas bersih-bersih, setelah itu baru makan," ujarku seraya mengelus pundak Mas Dito dengan lembut."Memang Kamu sudah masak? dapat uang darimana?" tanya Mas Dito heran."Aku belum masak, Mas. Tadi ada rezeqi nasi kotak dari tetangga baru kita, namanya Mbak Ismi" sahutku."Alhamdulillah. Itu artinya kamu sudah makan, Din?" tanya Mas Dito dengan mata berbinar."Iya, sudah Mas. Ayo buruan bersih-bersih, tubuh Mas Dito bau kecut tuh" ucapku meledek Mas Dito dan tergelak."Biarpun bau kecut tapi Kamu tetap sayang, kan?" Mas Dito mencubit pinggangku dengan mesra dan Kami pun tergelak bersama."Bu, ayamnya enak banget ya" ucap Dani, saat menikmati ayam bakar pemberian Mbak Ismi."Iya, nanti kalau ada rezeqi lebih, Ibu mau masak ayam bakar juga, ya" timpalku seraya menyuapi makan Dita."Asyiiik, Dani mau Bu. Semua masakan buatan Ibu pasti enak!" ucap Dani mengacungkan ibu jarinya kepadaku."Jangan lupa bersyukur atas rezeqi yang kita dapat hari ini. Allah akan menambah nikmatnya jika kita selalu bersyukur" timpal Mas Dito mengingatkan Kami.Aku dan Dani menganggukkan kepala. Mas Dito adalah sosok suami dan ayah yang baik keluargaku. Dia tidak pernah lupa mengingatkan hal kebaikan kepada Kami. Mas Dito pernah berkata jika menjadi kepala keluarga itu mempunyai tugas yang berat. Karena akan di mintakan pertanggung jawaban di akhirat kelak atas semua perbuatan istri dan anak-anaknya. Aku tidak salah memilih Mas Dito menjadi imam dalam hidupku."Mas, Mbak Ismi itu orangnya baik, lho" ucapku pada Mas Dito saat menjelang tidur."Kamu jangan terlalu cepat menilai seseorang. Kamu kan baru mengenalnya" sanggah Mas Dito."Tetapi memang benar Mbak Ismi itu baik, Mas. Nanti Mas pasti bisa menilai kalau sudah bertemu orangnya," ucapku membela diri."Iya, tetapi ingat kamu tetap harus berhati-hati kepada siapa pun. Apalagi statusnya hanya mengontrak disini. Dia bisa pergi kapan saja" Mas Dito mengingatkanku."Iya Mas." Aku tidak ingin pembicaraan Kami berubah menjadi sebuah perdebatan. Itu sebabnya Aku mengalah dan menyetujui perkataan Mas Dito."Sudah malam ayo kita tidur, Din," ajak Mas Dito seraya memejamkan matanya. "Iya, Mas" sahutku singkat.Aku memeluk tubuh Dita, menyusul Mas Dito yang telah lebih dulu memejamkan mata. Melepaskan semua letih dan beban fikiran seharian, untuk menggapai mimpi indah yang semoga kelak akan menjadi kenyataan.....Keesokan harinya, seperti biasa Aku menyiapkan sarapan untuk kami sekeluarga. Hari ini Aku bisa ikut sarapan, karena masih ada lauk sisa kemarin dan tumis daun singkong hasil panen kemarin.Wajah Mas Dito tampak bahagia, berkali-kali dia mencuri pandang ke arahku. Aku tersenyum tersipu. Satu hal yang membuat Mas Dito bahagia adalah melihatku bisa ikut sarapan bersama. Tidak ada lagi alasan tidak ikut sarapan karena sedang berpuasa sunah."Mas, beberapa bulan lagi pembukaan pendaftaran masuk SD. Usia Dani besok sudah genap enam tahun, jadi sudah bisa daftar masuk SD" ucapku pada Mas Dito, sambil membereskan piring bekas sarapan kami."Ooh, besok Dani ulang tahun ya? Ayah hampir lupa. Ternyata anak Ayah sudah besar, sudah mau masuk SD juga. Doakan Ayah supaya bisa mendapatkan rezeqi untuk mendaftarkan sekolah Dani, ya" Mas Dito tersenyum dan mengusap puncak kepala Dani dengan lembut."Dani setiap habis sholat selalu mendoakan Ayah, kok. Supaya mendapatkan rezeqi yang banyak dan berkah," timpal Dani seraya tersenyum manis."Iya, Ibu juga selalu berdoa untuk keluarga kita" ucapku tak mau kalah.Kami pun tertawa bersama. Beginilah kehidupan keluargaku, meskipun keadaan ekonomi kami serba kekurangan tetapi tidak mengurangi kehangatan keluarga setiap harinya.Mas Dito berpamitan, seperti biasa kami mencium punggung tangannya dengan takzim. Mengantarkannya sampai di halaman depan rumah dan melambaikan tangan saat motornya melaju meninggalkan halaman rumah.Aku merasa ada yang memperhatikan. Pandanganku beralih ke arah rumah kontrakan Mbak Ismi yang letaknya hanya beberapa meter saja dari rumah. Nampak sepi, namun jendelanya terbuka. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku kembali masuk ke dalam rumah, menyusul Dani dan Dita yang sudah lebih dulu masuk.Hari berganti hari, hubunganku dengan Mbak Ismi semakin dekat. Yang awalnya hanya sebagai tetangga, kini hubungan kami sudah seperti sahabat karib. Setiap hari Mbak Ismi main ke rumahku, begitupun sebaliknya.Ternyata usiaku hanya terpaut satu tahun dibawah Mbak Ismi. Itu sebabnya, sekarang Kami memanggil nama ami masing-masing, tanpa ada embel-embel Mmak seperti awal baru kenal."Din, kamu pake skin care apa?" tanya Ismi di suatu siang di teras depan rumahku."Aku mah enggak pake skincare-skincarean, Is. Cukup air wudhu saja. Yang terpenting itu bukan hanya kecantikan wajah, tetapi kecantikan hati yang lebih penting" ucapku enteng."Iya sih, kecantikan hati itu penting. Tetapi kecantikan wajah juga penting, Din. Kalau gak di rawat, mana bisa cantik dan glowing" sanggah Ismi."Iya kalau yang punya banyak uang, bisa pakai skin care yang mahal biar bisa bikin glowing kayak kulit wajah Kamu, Is" sahutku."Kata siapa skin care yang Aku pakai ini mahal? harganya minimal kok, tetapi kamu lihat sendiri kan hasilnya maximal!" sahut Ismi seraya memegang kulit wajahnya yang terlihat mulus dan glowing."Masa sih? emang Kamu pakai skin care apaan, Is?" tanyaku penasaran."Aku pakai skin care B*** cosmetics. Itu lho, yang ambassadornya artis-artis terkenal" jawab Ismi bersemangat."Ooh iya, Aku pernah dengar. Dulu teman-teman kerjaku juga pakai cosmetics itu. Pantas saja kulit mereka mulus dan glowing" timpalku."Iya Din, sekarang standar kecantikan itu harus yang glazed skin, artinya kulit yang mengkilap. Kalau di Indo di sebutnya glowing. Jadi kalau mau di sebut cantik, ya harus glazed skin, gitu." ujar Ismi panjang lebar."Aku baru tahu, ternyata ada standar kecantikan segala. Bagaimana kabarnya kulit wajahku yang biasa aja" ucapku sambil merengut."Makanya, sekarang para wanita berlomba-lomba untuk punya wajah yang glowing, biar makin di sayang Suami. Kamu mau kulitnya glowing juga?" tanya Ismi."Pasti mau lah, tetapi Aku enggak punya uang buat beli skin carenya," ucapku dengan wajah sedih."Nanti Aku kasih Kamu skin care gratis!" ucap Ismi dengan wajah serius."Beneran gratis? serius?" tanyaku tidak percaya dengan ucapan Ismi."Iya gratis, tapi ada syaratnya!"*****"Apa syaratnya?" tanyaku ragu."Aku mau minta bantuanmu. Tolong pinjamkan data identitasmu buat ajukan pinjaman online, ya?" ucap Ismi dengan wajah memelas.Aku sedikit terkejut mendengar permintaan Ismi. Dia sendiri yang menawarkan akan memberikan skin care secara cuma-cuma, tetapi kenapa harus bersyarat? Lalu syaratnya pun cukup berat menurutku. "Kalau ada syaratnya, aku gak mau. Enggak dikasih skin care cuma-cuma juga gak apa-apa!" tolakku tegas."Sebenarnya ini bukan masalah skin care gratis, tetapi aku memang benar-benar butuh bantuanmu, Din!" ucap Ismi dengan wajah sedih.Kenapa Ismi meminta bantuan padaku untuk mengajukan pinjaman online? setahuku dia orang yang berkecukupan materi, karena suaminya bekerja di pertambangan yang gajinya pasti besar."Enggak salah kamu Ismi, mau minta tolong sama aku? buat apa kamu ajukan pinjaman online? suamimu kan kerja di pertambangan?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Itu dia masalahnya, suamiku memberi kabar kalau agak telat mengirim transferan
"Alhamdulillah...pengajuannya diacc, kamu memang pembawa keberuntungan, Din!" puji Ismi padaku.Sementara aku masih tidak percaya, pengajuan pinjaman online yang diproses setengah jam yang lalu sudah bisa menghasilkan uang. "Ting" terdengar notif pesan dari ponselku.Aku segera membukanya, ternyata notif pemberitahuan dari sms banking. Ada transferan masuk sebesar satu juta rupiah.Setelah membaca notif yang baru diterima, barulah aku percaya. Ternyata semudah itu mendapatkan pinjaman. Namun entah kenapa bukannya senang, tetapi malah sebaliknya. Mungkin karena pengajuan pinjol menggunakan namaku, bukan nama Ismi."Ismi, kenapa enggak mengajukan pinjaman pakai nama kamu sendiri aja, sih? Malah pakai nama orang lain. Aku takut sekali, karena baru pertama kali berurusan dengan hutang!" cetusku pada Ismi serius."Aku sudah mengajukan pinjaman online sendiri, tetapi uang yang dibutuhkan masih kurang. Tidak mungkin Aku mengajukan dua kali pinjaman pada aplikasi yang sama, makanya minta ban
Ismi membisikkan sesuatu ke telingaku. Mataku terbelalak, tetapi tak bisa menahan diri untuk tidak tergelak."Kamu ada-ada aja Is, pakai ngerjain mereka segala. Aku mah takut dosa!" ucapku, masih saja tergelak."Orang seperti mereka sekali-sekali memang perlu di kasih pelajaran, supaya lebih menghargai orang lain!" timpal Ismi, dia pun sama sepertiku tergelak juga."Cuaca hari ini panas banget ya. Kita beli minuman di warung Mbak Eti, yuk" ajak Ismi padaku."Boleh, kebetulan Dita juga udah tidur nih" sahutku, seraya bangkit dari pembaringanku.Kami melangkah bersama menuju warung Mbak Eti yang berada di lingkungan kontrakan Trio Barokah. Warung sederhana yang hanya berupa meja dengan ukuran sedang dan segala perabotan di atasnya. Warung Mbak Eti selain menjual minuman jus buah asli dan minuman kemasan, dia juga menjual aneka makanan yang diolah secara dadakan. Selain harganya murah, rasa makanannya juga lumayan enak. Tidak heran kalau warungnya selalu ramai oleh pembeli dari berbagai
Namaku Pradito Lukito. Aku adalah anak tunggal di keluargaku. Walaupun anak tunggal, aku sudah terbiasa hidup mandiri dan sederhana, meski kedua orang tuaku adalah pemilik usaha dibidang kuliner yang cukup sukses di Klotaku. Mereka memiliki puluhan anak cabang yang tersebar di beberapa kota. Aset yang mereka miliki meliputi aset tidak bergerak, mulai dari puluhan kontrakan dan kos-kosan yang tersebar di beberapa daerah. Belum lagi aset bergerak, berupa beberapa kendaraan yang terparkir cantik di rumahku.Menjadi anak tunggal yang merupakan impian banyak orang, tetapi tidak menurutku. Aku merasa kesepian di rumah yang ukurannya begitu luas. Kedua orang tuaku sibuk mengurus bisnisnya, sedangkan aku bersama para asisten rumah tangga yang bekerja di rumah.Aku tipe orang yang tidak suka bergaul, oleh sebab itu tidak memiliki banyak teman di tempat kuliah. Kedua orang tua bercita-cita agar aku meneruskan bisnis mereka jika sudah lulus kuliah. Oleh karenanya jurusan yang aku ambil adalah bis
Pada suatu pagi, sesaat setelah keberangkatan Mas Dito bekerja terdengar ada yang mengucapkan salam."Assalamualaikum."Aku yang sedang berjibaku dengan tugas negara, tergopoh-gopoh menghampiri asal suara."Waalaikum salam," jawabku seraya membuka pintu rumah."Din, lagi repot enggak?" tanya Dinar seraya tersenyum manis ke arahku."Lumayan sih. Biasa, lagi ngerjain tugas negara. Ada apa?" tanyaku penasaran.Ismi selalu datang saat Mas Dito sudah berangkat bekerja. Dia seperti sengaja menghindari bertemu langsung dengan Mas Dito.l"Ayo masuk, pamali ngobrol di depan pintu nanti susah jodoh lho!" ledekku pada Ismi."Enak aja, aku sudah dapat jodoh, kali!" timpal Ismi kesal. Dia mengerucutkan bibirnya, membuatku terkekeh melihatnya.Aku membentangkan karpet usang andalan di atas lantai semen rumahku. Mengajak Ismi untuk ikut duduk lesehan bersamaku."Ada apa pagi-pagi datang kesini? pasti ada maunya ya?" tanyaku menebak tujuan Ismi datang kerumah."Kok kamu tahu aja sih, kalau aku ada ma
Dani dan Dita akhirnya tertidur, karena sudah terlalu lama menunggu ayahnya yang belum juga pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku benar-benar mengkhawatirkan Mas Dito. Andai Mas Dito mempunyai ponsel, pasti ku sudah menghubunginya sejak tadi. Dulu sewaktu Mas Dito masih bekerja di percetakan, dia memiliki sebuah ponsel. Tetapi terpaksa harus dijual karena terdesak kebutuhan ekonomi. Sempat ada niatan untuk mendatangi pangkalan ojek tempat Mas Dito biasa menunggu penumpangnya. Akan tetapi tidak tega jika harus meninggalkan kedua anakku yang sedang tertidur. Tidak hentinya aku berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mas Dito.Tidak berapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah rumah. Aku segera berlari menuju jendela rumah untuk memastikan siapa yang datang. Aku sangat berharap kalau Mas Dito yang datang.Hatiku begitu lega, begitu mengetahui yang datang adalah Mas Dito. Wajahnya murung dan terlihat begitu letih.Aku membukakan pintu yang
"Dinar? Ini nomor hape siapa? Pasti pinjam punya orang, kan?" tanya kak Disti, dia selalu meremehkanku."Iya Kak, aku pinjam sama teman. Kalau mau simpan saja nomornya Kak, siapa tahu suatu hari nanti membutuhkannya," ucapku berusaha tidak terpengaruh dengan ucapannya."Untuk apa menyimpan nomor orang yang enggak penting!" ucapan Kak Disti semakin pedas.Aku mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha tidak terpancing emosi, karena tujuan utamaku adalah meminta bantuannya."Kak, Aku mau minta tolong boleh?" tanyaku ragu-ragu."Tuh kan, sudah aku duga. Kamu menghubungiku karena ada maunya!" rupanya Kak Disti sudah menduga tujuanku menghubunginya."Kak, Aku mau pinjam uang untuk menebus motor Mas Dito yang turun mesin di bengkel. Kalau tidak di tebus, darimana Mas Dito mendapatkan uang untuk kebutuhan kami?!" ucapku dengan nada memelas.Untuk pertama kalinya mengingkari prinsip yang selama ini aku pegang teguh. Bahwa jangan pernah mengharapkan belas kasihan ora
"Mas, itu motornya .... ?" ucapanku terputus."Iya, motornya sudah Mas tebus. Alhamdulillah, tadi Mas ketemu teman lama sewaktu bekerja. Kamu ingat sama si Dilan kan?" tanya Mas Dito."Dilan? iya, ingat Mas. Dilan yang dapat julukan si cupu itu ya?" tebakku."Iya benar. Tadi engak sengaja ketemu di masjid waktu mau sholat dzuhur. Kita saling bertukar cerita dan qodarullah, ternyata dulu dia pernah mempunyai hutang sama Mas. Dia mau membayar tetapi kehilangan kontak Mas. Kebetulan kita bertemu, lalu dia membayar hutangnya. Padahal Mas sama sekali tidak ingat kalau dia punya hutang!" beber Mas Dito panjang lebar.Aku hanya bengong mendengarkan cerita Mas Dito. Seharusnya aku bersyukur karena Mas Dito sudah menebus motor dengan uangnya sendiri. Tetapi masalahnya, aku sudah terlanjur meminjam uang ke pinjol dan siapa nanti yang akan membayarnya?"Din ... kok bengong sih? ini Mas juga beli sate ayam plus lontongnya buat makan malam kita" ucap Mas Dito seraya tersenyum manis ke arahku. "Ee