Home / Rumah Tangga / Ratu Pinjol / Bab.4: Pendekatan

Share

Bab.4: Pendekatan

Author: Irma Juita
last update Last Updated: 2023-07-11 18:04:07

"Wah, malah merepotkan Mbak Ismi. Perkenalkan nama saya Dinar, Ibunya Dani dan Dita" ucapku seraya mengulurkan tangan. Mbak Ismi menyambutnya.

"Tidak repot kok, Mbak Dinar. Semua tetangga terdekat di lingkungan sini memang mendapatkan hantaran makanan yang sama. Nanti kalau butuh apapun, jangan sungkan datang kerumah saya ya, Mbak Dinar." timpal Mbak Ismi ramah.

"Semoga Mbak Ismi betah tinggal di kontrakan Babeh Sabeni, ya" ujarku tersenyum simpul.

"Amiin. Ya sudah, saya pamit dulu ya Mbak Dinar. Salam untuk keluarga semuanya!" Mbak Ismi berpamitan dan meninggalkan rumahku.

Lagi-lagi Aku harus bersyukur dengan rezeqi tak terduga yang Tuhan berikan hari ini melalui wanita cantik bernama Ismi itu.

Aku membawa dua kotak makanan besar itu ke dapur dan segera membukanya. Mataku berbinar ketika melihat isi dalam kotak makanan itu. Ada nasi, rendang daging, sambal goreng kentang plus ati ampela, bihun, kerupuk udang, buah serta minuman air mineral dalam gelas. Aku membuka kotak makanan yang satunya lagi, isinya hampir sama, hanya berbeda lauknya saja. Kotak makanan yang ini berisikan ayam bakar dari bagian dada yang berukuran besar.

Aku segera memindahkan semua nasi dan lauk ke dalam piring. Lauk ayam bakar untuk Dani dan Dita karena mereka tidak menyukai makanan yang pedas. Sementara rendang daging untukku dan Mas Dito. Aku memotong daging rendang menjadi dua bagian. Aku ingin Mas Dito juga bisa merasakan makan enak hari ini.

Aku mengangkat dan meniriskan daun singkong yang sudah selesai di rebus. Mencucinya dengan air dingin lalu kemudian mengirisnya menjadi potongan yang lebih kecil.

Aku segera mengambil piring dengan nasi secukupnya, sepotong rendang dan sedikit sambal goreng kentang. Lauk yang lainnya Aku pisahkan untuk makan sampai sore nanti. Aku mengambil sedikit daun singkong yang sudah di rebus sebagai lalapan. Setelah mengucap lafadz bismillah, Aku segera makan dengan lahapnya.

...

"Assalamualaikum" terdengar suara yang mengucap salam. "Waalaikum salam" jawabku, seraya membuka pintu rumah.

"Mbak Dinar, ini ada puding buah buat anak-anak. Kebetulan tadi saya buatnya lumayan banyak" sapa Mbak Ismi seraya menyerahkan sepiring puding buah yang terlihat lezat dan menyegarkan.

"Ya Allah, Mbak Ismi kok repot-repot segala. Terimakasih banyak ya, anak-anak pasti suka sama pudingnya." Ujarku. Ada perasaan tidak enak karena merepotkan Mbak Ismi.

"Mbak Dinar kayak sama siapa saja. Saya kan tetangganya Mbak Dinar. Ya memang harus akur sama tetangga, karena kalau nanti ada apa-apa yang di mintakan tolong pasti tetangga." sanggah Mbak Ismi beralasan.

Aku membenarkan alasan Mbak Ismi. Dari sini Aku bisa menilai, Mbak Ismi yang baru beberapa hari tinggal disini saja sudah menunjukkan rasa peduli kepada tetangganya. Berbeda sekali dengan tetanggaku sebelumnya yang tinggal lebih lama dari Mbak Ismi. Mereka tidak memiliki kepedulian sama sekali. Jangankan peduli, yang ada mereka malah mencibir dan menghina keluargaku saja.

"Mbak Ismi main dulu saja di sini, biar saya ada teman mengobrol," tawarku pada Mbak Ismi.

"Memang boleh, Mbak Din?" apa tidak merepotkan?" tanya Mbak Ismi tampak ragu.

"Ya boleh dong Mbak dan tidak merepotkan juga. Ayo, silahkan masuk Mbak" Aku membuka pintu rumahku selebar mungkin, memberikan akses jalan untuk Mbak Ismi.

Dengan sedikit malu-malu, Mbak Ismi masuk ke dalam rumahku. "Ayo silahkan duduk disini Mbak." Tunjukku pada karpet plastik usang namun nampak bersih yang mengalasi lantai rumah.

Mbak Ismi tersenyum dan kini sudah duduk di atas karpet."Maaf ya Mbak, seadanya. Disini tidak ada kursi atau sofa kayak di rumahnya Mbak," ucapku malu-malu.

"Ih Mbak Dinar ini, mau duduk di kursi atau di lantai itu sama saja. Malah enak lesehan begini, lebih adem," timpal Mbak Ismi yang terlihat biasa saja duduk di atas karpet usang milikku.

"Mbak Ismi bisa saja" sahutku tersipu. "Aku malah ngiri melihat keluarga Mbak Dinar, lho!" ucap Mbak Ismi yang membuatku sedikit terkejut.

"Lho, kenapa harus iri sama kehidupan saya yang serba pas-pasan, Mbak? malah saya lihat kehidupan Mbak Ismi lebih baik dari pada saya" jawabku tanpa berbasa-basi.

"Apa yang dilihat dari luar, terkadang tidak sama dengan kenyataan yang sebenarnya, Mbak. Mbak Dinar beruntung punya suami yang sangat sayang keluarga. Mbak Dinar juga mempunyai anak-anak yang sehat dan pintar. Sementara suami saya pulang tidak menentu, anak juga saya enggak punya. Saya merasa kesepian, Mbak" ucap Mbak Ismi dengan raut kesedihan di wajahnya.

Aku jadi merasa bersalah karena tanpa sengaja membuat Mbak Ismi bersedih. Karena memang itu kenyataan yang Aku lihat. Mbak Ismi nampak bahagia karena kehidupannya tercukupi. Tetapi Aku tidak tahu, kalau di balik itu semua Mbak Ismi menyimpan kesedihan di kehidupannya.

"Mbak Ismi tidak usah sedih, anggap saja Dani dan Dita anaknya Mbak Ismi juga. Sering-sering saja main kesini supaya tidak merasa kesepian lagi" ujarku berusaha menghibur Mbak Ismi.

Mbak Ismi menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. Dari obrolanku dengan Mbak Ismi, Aku jadi tahu kalau suaminya bekerja sebagai pekerja tambang di Kalimantan. Jadwal kepulangan suami Mbak Ismi tidak menentu, tergantung persetujuan atasannya. Katanya paling cepat pulang satu bulan sekali, paling lama malah setahun sekali saja. Walaupun begitu, uang transferan selalu masuk ke rekening Mbak Ismi setiap bulannya. Itu sebabnya kehidupan Mbak Ismi berkecukupan.

Sementara alasannya mengontrak rumah, karena Mbak Ismi adalah orang yang mempunyai sifat bosan. Suaminya sering menawarinya membeli rumah agar tidak selalu berpindah kontrakan, namun Mbak Ismi menolaknya. Dia lebih nyaman dengan hidup berpindah-pindah tempat.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Karena keasyikan mengobrol dengan mbak Ismi, Aku sampai lupa menunaikan sholat ashar. Mbak Ismi akhirnya berpamitan pulang karena beralasan ingin mandi sore. Aku pun segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan sholat. Baru setelahnya memandikan Dita.

Sudah menjadi kebiasaan setiap menjelang kepulangan Mas Dito, Aku dan anak-anak harus tampil rapi bersih. Aku tidak mau kepulangan Mas Dito yang lelah bekerja seharian di sambut oleh pemandangan yang tidak enak di lihat. Walaupun Aku tidak wangi karena tidak mampu membeli parfum, tetapi setidaknya pakaianku bersih dan rapi saat menyambut kepulangannya.

Terdengar deru mesin motor berhenti di depan rumahku. Itu pasti Mas Dito yang baru pulang mengojek. Dani dan Dita berlarian menyambut kedatangan ayahnya. Dari jauh terlihat raut wajah lelah Mas Dito, tetapi dia tetap menyunggingkan senyumnya ketika mendapatkan sambutan dari kedua naknya.

"Anak ayah sudah mandi apa belum?" tanya Mas Dito seraya mengangkat tubuh mungil Dita dan menciumi perutnya.

Dita tertawa terkekeh, karena merasa geli. Sementara Dani mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan Mas Dito, di ikuti olehku.

Kami berjalan bersamaan masuk ke dalam rumah. Aku sudah menyiapkan teh tawar hangat di atas meja. Minuman kesukaan Mas Dito sepulangnya bekerja.

"Dani, bawa dikmu main sebentar. Ayah mau berbicara pada Ibumu!" perintah Mas Dito pada Dani. "Iya Ayah," jawab Dani patuh. Dia menuntun Adiknya ke ruangan depan dan mengajaknya bermain.

"Dinar maafkan Mas, ya. Hari ini Mas hanya membawa uang sepuluh ribu saja. Tadi motor Mas mogok dan harus di bawa ke bengkel" ucap Mas Dito dengan wajah sedih dan merasa sangat bersalah....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ratu Pinjol   Bab.71: Akhir Cerita (Tamat)

    "M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw

  • Ratu Pinjol   Bab.70: Permintaan Maaf

    "Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena

  • Ratu Pinjol   Bab.69: Kabar dari Rumah Sakit

    Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i

  • Ratu Pinjol   Bab.68: Kedatangan Tamu tak Terduga

    "Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi

  • Ratu Pinjol   Bab.67: Perubahan Nasib

    "Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem

  • Ratu Pinjol   Bab.66: Masih Bersikap Dingin

    Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status