"Apa syaratnya?" tanyaku ragu.
"Aku mau minta bantuanmu. Tolong pinjamkan data identitasmu buat ajukan pinjaman online, ya?" ucap Ismi dengan wajah memelas.Aku sedikit terkejut mendengar permintaan Ismi. Dia sendiri yang menawarkan akan memberikan skin care secara cuma-cuma, tetapi kenapa harus bersyarat? Lalu syaratnya pun cukup berat menurutku."Kalau ada syaratnya, aku gak mau. Enggak dikasih skin care cuma-cuma juga gak apa-apa!" tolakku tegas."Sebenarnya ini bukan masalah skin care gratis, tetapi aku memang benar-benar butuh bantuanmu, Din!" ucap Ismi dengan wajah sedih.Kenapa Ismi meminta bantuan padaku untuk mengajukan pinjaman online? setahuku dia orang yang berkecukupan materi, karena suaminya bekerja di pertambangan yang gajinya pasti besar."Enggak salah kamu Ismi, mau minta tolong sama aku? buat apa kamu ajukan pinjaman online? suamimu kan kerja di pertambangan?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Itu dia masalahnya, suamiku memberi kabar kalau agak telat mengirim transferan uang bulan ini karena sedang ada kendala di ATM nya" jawab Ismi memberikan alasan."Ooh, begitu. Tetapi aku tidak punya rekening Bank. Dulu pernah punya waktu masih bekerja, tetapi kayaknya tidak aktif karena sudah lama tidak terisi" ucapku polos."Itu masalah kecil, Din. Nanti aku antar buat rekening Bank atas nama kamu. Nanti untuk saldo awalnya dari aku, kamu cukup siapkan saja persyaratannya, ya!" timpal Ismi bersemangat."Terus, kalau hapenya bagaimana? Aku kan enggak punya, lalu bagaimana caranya mau mengajukan?" tanyaku. Berbagai alasan aku lakukan, sebagai bentuk penolakan secara halus atas permintaan Ismi.Sejujurnya, aku paling takut dengan yang namanya hutang. Walaupun ekonomi keluarga serba kekurangan, sebisa mungkin aku menghindarinya. Aku pernah mendengar sebuah pepatah yang mengatakan, bahwa sesungguhnya hutang itu membuat terhina di siang hari dan membuat gelisah di malam hari. Selain itu, Mas Dito juga sangat tidak menyukai yang namanya hutang. Dia pasti marah besar kalau sampai tahu aku berhutang."Itu juga soal kecil, aku punya hape yang sudah tidak terpakai tetapi kondisinya masih mulus dan layak pakai. Nanti kamu boleh memakainya, karena aku sudah punya yang baru!" ujar Ismi, mematahkan alasanku.Aku merasa tidak enak kalau menolak permintaan Ismi. Tidak enak karena selama ini dia sudah begitu peduli dan baik kepada keluargaku. Sepertinya tidak ada salahnya kalau aku membantunya untuk kali ini saja."Ya sudah, aku mau membantu, tetapi jangan lupa bayar cicilannya tepat waktu. Aku enggak mau di kejar sama Debt Colectornya!" tegasku, memperingatkan Ismi."Masa kamu enggak percaya sama sahabat sendiri sih, Din? Enggak mungkinlah aku ngerugiin Kamu!" ucap Ismi berusaha meyakinkanku."Bukan masalah enggak percaya, Is. Aku hanya tidak terbiasa berhutang, jadi agak takut. Apalagi kalau sampai Mas Dito tahu, pasti dia akan marah besar!" ucapku dengan wajah ragu.Aku masih berharap Ismi membatalkan permintaannya ketika membawa nama Mas Dito. Siapa tahu dia segan jika bersinggungan dengan Mas Dito."Ya kamu jangan bilang lah sama Mas Dito. Ini urusan dua orang sahabat yang saling membantu dalam suka dan duka!" ucap Ismi tetap pada pendiriannya meminta pertolongan padaku.Aku menyerah dan akhirnya bersedia membantu Ismi. Setelah menyiapkan semua persyaratan yang di butuhkan, Ismi mengantar untuk membuat rekening atas namaku ke Bank terdekat. Ismi memboncengku menggunakan motornya.Proses pembuatan rekening Bank berjalan lancar, kebetulan Dita juga tidak rewel berada dalam gendonganku. Aku dan Ismi segera kembali kerumah setelah proses di Bank selesai.Sebelum sampai ke rumah, Ismi menghentikkan motornya di depan sebuah counter ponsel. Ismi membeli sebuah kartu perdana. Dia memintaku memilih sendiri nomor ponsel yang akan digunakan nantinya. Setelah urusannya selesai, Ismi melajukan motornya menuju rumahku.Sepanjang perjalanan pulang, hatiku rasanya tidak karuan. Sebenarnya dengan sangat terpaksa memberikan bantuan kepada Ismi, karena merasa berhutang budi atas kebaikannya selama ini kepada keluargaku, sehingga ada rasa sungkan untuk menolaknya. Aku berusaha mempercayai ucapan Ismi, bahwa dia akan membayar cicilan tepat waktu.Motor Mbak Ismi berhenti di halaman depan rumah. Terlihat Dani sedang duduk menunggu di teras depan rumah. Rupanya dia tidak bisa masuk ke dalam rumah karena pintunya terkunci.Aku bersyukur Mas Dito belum pulang dari mengojek. Biasanya siang hari setelah mendapatkan sedikit rezeqi, dia akan pulang sebentar untuk memberikannya kepadaku lalu pergi mengojek lagi."Ibu habis darimana sih? tanya Dani dengan wajah sedikit kesal."Ibu habis antar Tante Ismi karena ada keperluan sebentar. Tadi sebelum berangkat Ibu cari kamu tetapi enggak ada, jadinya rumah Ibu kunci!" jelasku pada Dani."Dani haus, mau minum!" sungut Dani.Rupanya dia masih kesal kepadaku karena tidak bisa masuk ke dalam rumah.Saat pintu rumah terbuka, Dani sudah berlari melesat masuk ke dalam rumah. Sementara Dita, dia tertidur di dalam gendonganku. Dengan tergopoh aku melangkah menuju kamar untuk menidurkan Dita. Bahuku terasa pegal karena sejak tadi menggendongnya.Baru saja aku beranjak dari tempat tidur, terdengar orang yang mengucapkan salam."Assalamualikum," tidak salah lagi, itu suara Ismi."Waalaikum salam," jawabku seraya melangkah menghampiri."Din, ini ada makanan buat makan siang" ucap Ismi memberikan piring yang berisikan nasi beserta lauknya.Aku sedikit ragu menerima pemberian Ismi, tetapi melihat wajahnya aku jadi tidak tega untuk menolaknya. Aku tidak ingin semakin terbebani dengan hutang budi pada Ismi.Dengan terpaksa, aku menerima pemberian Ismi dan mempersilakannya masuk."Duduk dulu Is, Aku taruh piring ini di dapur dulu. Sekalian aku ambilkan minum, kamu pasti haus," pamitku pada Ismi.Aku menuju dapur untuk meletakkan nasi dan lauk pemberian Ismi. Karena aku tidak mempunyai makanan apapun untuk di suguhkan pada Ismi, akhirnya hanya membawa teko berisi air putih dan sebuah gelas."Maaf Is, hanya ada air putih," ucapku berbasa-basi pada Ismi."Iya gak apa-apa, Din." jawab Ismi.Dia langsung menuang air kedalam gelas dan meneguknya sampai tandas. Sepertinya Ismi kehausan."Mana kartu perdana yang barusan di beli, Din?" tanya Ismi.Aku berpamitan ke kamar untuk mengambil kartu perdana yang tersimpan dalam tas kecil yang dibawa saat ke bank tadi. Beberapa detik kemudian, aku sudah kembali dengan membawa tas kecil."Sini aku daftarkan dulu kartu perdananya. Tolong bawa ktp kamu."Aku mengeluarkan kartu identitas dalam tas dan memberikannya pada Ismi. Sejurus kemudian, wajah Ismi terlihat serius memproses kartu perdana ke dalam ponsel. Setelah berhasil, Ismi menyerahkan ponselnya kepadaku.Aku menatap ponsel pemberian Ismi di tangan. Kondisinya masih bagus, hanya ada sedikit goresan pada layar ponselnya."Buku rekeningnya, Din!" pinta Ismi.Aku seperti orang yang terkena hipnotis, menuruti saja perintah Ismi.Terlihat Ismi sibuk dengan ponsel, sebelum akhirnya dia mengambil gambar aku yang sedang memegang ktp. Lagi-lagi aku hanya menurut pada Ismi."Kita tinggal tunggu hasilnya, apakah di acc atau tidak. Kalau belum, berarti bukan rezeqi kita" ucap Ismi dengan wajah harap-harap cemas.Hampir setengah jam lamanya kami menunggu dan akhirnya...."Wow, pengajuan kita di acc, Din! pekik Ismi, berhasil mengejutkanku.Secepat itu? kok bisa?*****"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud