Share

Bab.7: Nasehat Suami

"Alhamdulillah...pengajuannya diacc, kamu memang pembawa keberuntungan, Din!" puji Ismi padaku.

Sementara aku masih tidak percaya, pengajuan pinjaman online yang diproses setengah jam yang lalu sudah bisa menghasilkan uang.

"Ting" terdengar notif pesan dari ponselku.

Aku segera membukanya, ternyata notif pemberitahuan dari sms banking. Ada transferan masuk sebesar satu juta rupiah.

Setelah membaca notif yang baru diterima, barulah aku percaya. Ternyata semudah itu mendapatkan pinjaman. Namun entah kenapa bukannya senang, tetapi malah sebaliknya. Mungkin karena pengajuan pinjol menggunakan namaku, bukan nama Ismi.

"Ismi, kenapa enggak mengajukan pinjaman pakai nama kamu sendiri aja, sih? Malah pakai nama orang lain. Aku takut sekali, karena baru pertama kali berurusan dengan hutang!" cetusku pada Ismi serius.

"Aku sudah mengajukan pinjaman online sendiri, tetapi uang yang dibutuhkan masih kurang. Tidak mungkin Aku mengajukan dua kali pinjaman pada aplikasi yang sama, makanya minta bantuanmu!" ujar Ismi dengan entengnya memberikan alasan.

"Jadi Kamu punya dua pinjaman, Is? apa kamu nanti enggak keberatan membayarnya?" tanyaku sedikit kesal.

Pantas saja dia meminta bantuanku, ternyata dia sudah mengajukan pinjaman sebelumnya. Bagiku, nominal pinjamannya yang diajukan cukup besar. Bisa untuk biaya kebutuhan keluargaku selama satu bulan. Tetapi Ismi malah mengajukan dua kali pinjaman, padahal dia hidup sendiri serta tidak mempunyai tanggungan karena belum memiliki anak.

Tetapi aku tidak berani bertanya kepada Ismi, dipergunakan untuk apa uang pinjaman itu. Aku tahu kebutuhan setiap orang berbeda-beda, sehingga tidak bisa hanya dilihat dari jumlah tanggungannya.

Ismi meminta ATM yang tadi pagi baru di buat. Dia tidak bertanya nomor PINnya, karena saat pembuatan rekeningnya dia ikut bersamaku dan mengetahui nomor PINnya.

Setelah mendapatkan ATM, dia berpamitan pulang. Tidak lama kemudian aku melihat dia pergi menggunakan motornya. Ismi pasti pergi ke ATM untuk mengambil uang.

Malam harinya, keluargaku baru saja menyelesaikan makan malam. Tiba-tiba terdengar suara yang mengucapkan salam. Aku tahu, itu suara Ismi. Aku langsung menghampirinya dan menjawab salamnya.

"Din, ini skin care yang aku janjikan itu lho," ucap Ismi seraya tersenyum. Dia menyerahkan sebuah pouch cantik yang berisi kosmetikmpianku.

"Kamu enggak rugi kasih skin care ini secara gratis?" tanyaku ragu untuk menerimanya.

"Enggak gratis dong, anggap saja ini sebagai ungkapan terimakasih karena kamu sudah membantuku" Ismi meletakan skin care itu di tanganku.

Dengan berat hati aku menerimanya. Setelah memberikan skin care, Ismi berpamitan pulang. Aku kembali masuk ke dalam rumah dengan skin care di tangan. Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku merasa senang menerimanya. Aku bisa merasakan kosmetik yang banyak diendors oleh banyak artis. Tidak sabar rasanya untuk segera mencoba.

Mas Dito memperhatikan benda yang berada di tanganku.

"Tadi siapa, Din?" tanya Mas Dito penasaran.

"Ooh, itu tadi Mbak Ismi, Mas!" jawabku singkat.

"Terus apa itu yang ada di tanganmu?" tanya Mas Dito lagi, penuh selidik.

"Emhh, anu...ini kosmetim dari Mbak Ismi, Mas. Dia jualan kosmetik secara online, Mas. Dia ingin mencoba dulu apakah kosmetik yang akan dijual bagus atau tidak" jawabku berbohong.

"Maksudnya kamu jadi kelinci percobaan si Ismi gitu? Kalau cosmeticsnya berbahaya bagaimana, Din?" ucap Mas Dito. Dia terlihat sedikit kesal.

Sepertinya aku salah menjawab pertanyaan Mas Dito. Habisnya aku bingung harus memberi alasan apa ke Mas Dito. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya.

"Bukan begitu, Mas. Ismi sudah pakai cosmeticsnya sendiri dan Mas lihat kan hasilnya, wajah Ismi mulus dan glowing. Aku dikasih kosmetiknya gratis supaya dia tahu kalau di pakai orang lain yang jenis kulitnya berbeda apa hasilnya masih bagus juga? Gitu lho Mas. Nanti kalau hasilnya bagus, aku diajak buat kerja sama untuk menjualnya!" ucapku, mengarang bebas.

Aku malah menambah kebohongan. Benar kata pepatah, jangan pernah berbohong karena satu kali berbohong, pasti akan bertambah terus kebohongannya.

"Ooh gitu, aku kira kamu di jadikan kelinci percobaannya si Ismi. Padahal tidak pakai cosmetics juga wajah kamu sudah cantik, Din. Kecantikan seorang wanita yang sebenarnya itu berasal dari hatinya. Jika hatinya sudah cantik, auranya pasti akan terpancar ke wajah," timpal Mas Dito lagi.

Aku hanya menganggukkan kepala, menyetujui ucapannya. Takutnya malah akan menambah kebohonganku lagi.

"Kalau mau usaha itu kan harus punya modal, Din. Apalagi kalau usaha online, minimal harus punya hape sendiri. Sementara kamu, enggak punya hape!" lanjut Mas Dito.

"Aku udah ada hapenya, Mas. Ismi kasih pinjam aku. Sambil nunggu hasil cosmeticnya,, aku diminta belajar dulu mengenai sistem penjualannya!" tuh...kan, aku berbohong lagi hiks....

"Kamu dikasih pinjam hape Ismi? baik sekali si Ismi itu," sahut Mas Dito.

"Laah, kan aku pernah bilang kalau Ismi itu baik, Mas!" timpalku.

"Mas selalu mendukung selagi itu hal yang positif dan tidak mengganggu tanggung jawabmu di rumah. Tetapi Kamu harus tetap berhati-hati, jangan mudah percaya kepada orang lain melebihi kepercayaan pada keluargamu!" Mas Dito kembali mengingatkanku.

"Terimakasih ya Mas, kamu sudah mendukungku. Aku akan selalu ingat pesan suamiku yang ganteng ini," ucapku seraya mengerling mata, menggoda Mas Dito.

Dia tertawa melihat sikapku. Aku berpamitan masuk ke kamar lebih dulu. Tidak sabar ingin segera mencoba cosmeticsnya. Setelah membaca cara pemakaiannya, aku mulai memakainya di wajah. Tentunya setelah menidurkan Dita, dan menunaikan sholat isya terlebih dahulu. Malam ini aku tidur dengan nyenyak, karena dibuai mimpi menjadi wanita tercantik di dunia.

...

Hari-hari telah berlalu. Aku merasa was-was, karena waktu semakin mendekati jatuh tempo pembayaran pinjaman online Ismi. Sudah beberapa kali aku mengingatkan Ismi, agar dia tidak lupa pada tanggung jawabnya.

"Assalamualaikum," Ismi mengucapkan salam.

"Waalaikum salam, masuk Is. Aku lagi menyusui Dita, nih!" jawabku sedikit berteriak dari ruang tengah rumahku.

Hari ini terasa sangat panas, sehingga terpaksa menidurkan Malika di ruang tengah hanya dengan beralaskan karpet usang satu-satunya milikku. Tentunya setelah dialasi kain sarung milik Mas Dito yang terlihat bolong di beberapa sisinya.

"Din, aku sudah bayar pinjamannya, ya" ujar Ismi memberitahuku, dia masuk ke dalam rumah dan ikut duduk di lantai bersamaku.

"Alhamdulillah...terimakasih ya, Is. Aku sudah was-was aja ini!" timpalku.

"Kapan-kapan kalau aku butuh bantuanmu lagi, kamu mau ya?" ucap Ismi dengan wajah memohon.

"Boleh, asal lancar seperti pinjaman yang pertama ini," jawabku enteng.

Aku begitu senang mendengar Ismi sudah membayar pinjamannya sebelum jatuh tempo. Aku jadi semakin percaya pada Ismi, karena dia telah membuktikan ucapannya.

"Oh ya, skin care nya udah di pakai belum?gimana rasanya pakai?" tanya Ismi mengalihkan topik pembicaraan.

"Sudah aku pakai semalam. Rasanya enak, lembut di kulit dan enggak bikin kering. Baru sekali pemakaian saja sudah terasa lembut dikulit wajahku!" jawabku.

"Tuh...kan, kosmetik rekomendasi dari aku emang bagus. Walaupun harganya minimal, tetapi hasilnya maksimal. Siap-siap aja semakin disayang sama Mas Dito, hahaha." Kami akhirnya tertawa bersama.

"Din, Kamu kenapa sih enggak akur sama si Trio Barokah?" tanya Ismi, membuatku sedikit terkejut mendengarnya.

"Bukan Aku yang bikin enggak akur, tetapi mereka sendiri yang enggak mau akur sama aku. Mereka bilang enggak level, karena aku orang susah!" sarkasku.

"Tapi emang mereka nyebelin sih. Melihat seseorang itu hanya dari penampilan dan materi saja. Bagaimana kalau kita kasih pelajaran buat mereka?"

"Bagaimana caranya?"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status