"Alhamdulillah...pengajuannya diacc, kamu memang pembawa keberuntungan, Din!" puji Ismi padaku.
Sementara aku masih tidak percaya, pengajuan pinjaman online yang diproses setengah jam yang lalu sudah bisa menghasilkan uang."Ting" terdengar notif pesan dari ponselku.Aku segera membukanya, ternyata notif pemberitahuan dari sms banking. Ada transferan masuk sebesar satu juta rupiah.Setelah membaca notif yang baru diterima, barulah aku percaya. Ternyata semudah itu mendapatkan pinjaman. Namun entah kenapa bukannya senang, tetapi malah sebaliknya. Mungkin karena pengajuan pinjol menggunakan namaku, bukan nama Ismi."Ismi, kenapa enggak mengajukan pinjaman pakai nama kamu sendiri aja, sih? Malah pakai nama orang lain. Aku takut sekali, karena baru pertama kali berurusan dengan hutang!" cetusku pada Ismi serius."Aku sudah mengajukan pinjaman online sendiri, tetapi uang yang dibutuhkan masih kurang. Tidak mungkin Aku mengajukan dua kali pinjaman pada aplikasi yang sama, makanya minta bantuanmu!" ujar Ismi dengan entengnya memberikan alasan."Jadi Kamu punya dua pinjaman, Is? apa kamu nanti enggak keberatan membayarnya?" tanyaku sedikit kesal.Pantas saja dia meminta bantuanku, ternyata dia sudah mengajukan pinjaman sebelumnya. Bagiku, nominal pinjamannya yang diajukan cukup besar. Bisa untuk biaya kebutuhan keluargaku selama satu bulan. Tetapi Ismi malah mengajukan dua kali pinjaman, padahal dia hidup sendiri serta tidak mempunyai tanggungan karena belum memiliki anak.Tetapi aku tidak berani bertanya kepada Ismi, dipergunakan untuk apa uang pinjaman itu. Aku tahu kebutuhan setiap orang berbeda-beda, sehingga tidak bisa hanya dilihat dari jumlah tanggungannya.Ismi meminta ATM yang tadi pagi baru di buat. Dia tidak bertanya nomor PINnya, karena saat pembuatan rekeningnya dia ikut bersamaku dan mengetahui nomor PINnya.Setelah mendapatkan ATM, dia berpamitan pulang. Tidak lama kemudian aku melihat dia pergi menggunakan motornya. Ismi pasti pergi ke ATM untuk mengambil uang.Malam harinya, keluargaku baru saja menyelesaikan makan malam. Tiba-tiba terdengar suara yang mengucapkan salam. Aku tahu, itu suara Ismi. Aku langsung menghampirinya dan menjawab salamnya."Din, ini skin care yang aku janjikan itu lho," ucap Ismi seraya tersenyum. Dia menyerahkan sebuah pouch cantik yang berisi kosmetikmpianku."Kamu enggak rugi kasih skin care ini secara gratis?" tanyaku ragu untuk menerimanya."Enggak gratis dong, anggap saja ini sebagai ungkapan terimakasih karena kamu sudah membantuku" Ismi meletakan skin care itu di tanganku.Dengan berat hati aku menerimanya. Setelah memberikan skin care, Ismi berpamitan pulang. Aku kembali masuk ke dalam rumah dengan skin care di tangan. Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku merasa senang menerimanya. Aku bisa merasakan kosmetik yang banyak diendors oleh banyak artis. Tidak sabar rasanya untuk segera mencoba.Mas Dito memperhatikan benda yang berada di tanganku."Tadi siapa, Din?" tanya Mas Dito penasaran."Ooh, itu tadi Mbak Ismi, Mas!" jawabku singkat."Terus apa itu yang ada di tanganmu?" tanya Mas Dito lagi, penuh selidik."Emhh, anu...ini kosmetim dari Mbak Ismi, Mas. Dia jualan kosmetik secara online, Mas. Dia ingin mencoba dulu apakah kosmetik yang akan dijual bagus atau tidak" jawabku berbohong."Maksudnya kamu jadi kelinci percobaan si Ismi gitu? Kalau cosmeticsnya berbahaya bagaimana, Din?" ucap Mas Dito. Dia terlihat sedikit kesal.Sepertinya aku salah menjawab pertanyaan Mas Dito. Habisnya aku bingung harus memberi alasan apa ke Mas Dito. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya."Bukan begitu, Mas. Ismi sudah pakai cosmeticsnya sendiri dan Mas lihat kan hasilnya, wajah Ismi mulus dan glowing. Aku dikasih kosmetiknya gratis supaya dia tahu kalau di pakai orang lain yang jenis kulitnya berbeda apa hasilnya masih bagus juga? Gitu lho Mas. Nanti kalau hasilnya bagus, aku diajak buat kerja sama untuk menjualnya!" ucapku, mengarang bebas.Aku malah menambah kebohongan. Benar kata pepatah, jangan pernah berbohong karena satu kali berbohong, pasti akan bertambah terus kebohongannya."Ooh gitu, aku kira kamu di jadikan kelinci percobaannya si Ismi. Padahal tidak pakai cosmetics juga wajah kamu sudah cantik, Din. Kecantikan seorang wanita yang sebenarnya itu berasal dari hatinya. Jika hatinya sudah cantik, auranya pasti akan terpancar ke wajah," timpal Mas Dito lagi.Aku hanya menganggukkan kepala, menyetujui ucapannya. Takutnya malah akan menambah kebohonganku lagi."Kalau mau usaha itu kan harus punya modal, Din. Apalagi kalau usaha online, minimal harus punya hape sendiri. Sementara kamu, enggak punya hape!" lanjut Mas Dito."Aku udah ada hapenya, Mas. Ismi kasih pinjam aku. Sambil nunggu hasil cosmeticnya,, aku diminta belajar dulu mengenai sistem penjualannya!" tuh...kan, aku berbohong lagi hiks...."Kamu dikasih pinjam hape Ismi? baik sekali si Ismi itu," sahut Mas Dito."Laah, kan aku pernah bilang kalau Ismi itu baik, Mas!" timpalku."Mas selalu mendukung selagi itu hal yang positif dan tidak mengganggu tanggung jawabmu di rumah. Tetapi Kamu harus tetap berhati-hati, jangan mudah percaya kepada orang lain melebihi kepercayaan pada keluargamu!" Mas Dito kembali mengingatkanku."Terimakasih ya Mas, kamu sudah mendukungku. Aku akan selalu ingat pesan suamiku yang ganteng ini," ucapku seraya mengerling mata, menggoda Mas Dito.Dia tertawa melihat sikapku. Aku berpamitan masuk ke kamar lebih dulu. Tidak sabar ingin segera mencoba cosmeticsnya. Setelah membaca cara pemakaiannya, aku mulai memakainya di wajah. Tentunya setelah menidurkan Dita, dan menunaikan sholat isya terlebih dahulu. Malam ini aku tidur dengan nyenyak, karena dibuai mimpi menjadi wanita tercantik di dunia....Hari-hari telah berlalu. Aku merasa was-was, karena waktu semakin mendekati jatuh tempo pembayaran pinjaman online Ismi. Sudah beberapa kali aku mengingatkan Ismi, agar dia tidak lupa pada tanggung jawabnya."Assalamualaikum," Ismi mengucapkan salam."Waalaikum salam, masuk Is. Aku lagi menyusui Dita, nih!" jawabku sedikit berteriak dari ruang tengah rumahku.Hari ini terasa sangat panas, sehingga terpaksa menidurkan Malika di ruang tengah hanya dengan beralaskan karpet usang satu-satunya milikku. Tentunya setelah dialasi kain sarung milik Mas Dito yang terlihat bolong di beberapa sisinya."Din, aku sudah bayar pinjamannya, ya" ujar Ismi memberitahuku, dia masuk ke dalam rumah dan ikut duduk di lantai bersamaku."Alhamdulillah...terimakasih ya, Is. Aku sudah was-was aja ini!" timpalku."Kapan-kapan kalau aku butuh bantuanmu lagi, kamu mau ya?" ucap Ismi dengan wajah memohon."Boleh, asal lancar seperti pinjaman yang pertama ini," jawabku enteng.Aku begitu senang mendengar Ismi sudah membayar pinjamannya sebelum jatuh tempo. Aku jadi semakin percaya pada Ismi, karena dia telah membuktikan ucapannya."Oh ya, skin care nya udah di pakai belum?gimana rasanya pakai?" tanya Ismi mengalihkan topik pembicaraan."Sudah aku pakai semalam. Rasanya enak, lembut di kulit dan enggak bikin kering. Baru sekali pemakaian saja sudah terasa lembut dikulit wajahku!" jawabku."Tuh...kan, kosmetik rekomendasi dari aku emang bagus. Walaupun harganya minimal, tetapi hasilnya maksimal. Siap-siap aja semakin disayang sama Mas Dito, hahaha." Kami akhirnya tertawa bersama."Din, Kamu kenapa sih enggak akur sama si Trio Barokah?" tanya Ismi, membuatku sedikit terkejut mendengarnya."Bukan Aku yang bikin enggak akur, tetapi mereka sendiri yang enggak mau akur sama aku. Mereka bilang enggak level, karena aku orang susah!" sarkasku."Tapi emang mereka nyebelin sih. Melihat seseorang itu hanya dari penampilan dan materi saja. Bagaimana kalau kita kasih pelajaran buat mereka?""Bagaimana caranya?"*****"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud