Ismi membisikkan sesuatu ke telingaku. Mataku terbelalak, tetapi tak bisa menahan diri untuk tidak tergelak.
"Kamu ada-ada aja Is, pakai ngerjain mereka segala. Aku mah takut dosa!" ucapku, masih saja tergelak."Orang seperti mereka sekali-sekali memang perlu di kasih pelajaran, supaya lebih menghargai orang lain!" timpal Ismi, dia pun sama sepertiku tergelak juga."Cuaca hari ini panas banget ya. Kita beli minuman di warung Mbak Eti, yuk" ajak Ismi padaku."Boleh, kebetulan Dita juga udah tidur nih" sahutku, seraya bangkit dari pembaringanku.Kami melangkah bersama menuju warung Mbak Eti yang berada di lingkungan kontrakan Trio Barokah. Warung sederhana yang hanya berupa meja dengan ukuran sedang dan segala perabotan di atasnya. Warung Mbak Eti selain menjual minuman jus buah asli dan minuman kemasan, dia juga menjual aneka makanan yang diolah secara dadakan.Selain harganya murah, rasa makanannya juga lumayan enak. Tidak heran kalau warungnya selalu ramai oleh pembeli dari berbagai kalangan. Terutama dari kalangan anak-anak. Aku bersyukur, diantara pembeli yang mengantri, tidak ada geng Trio Barokah diantara mereka.Selain memesan minuman jus, Ismi juga memesan pisang aroma yang menjadi makanan favorit kami."Waah, kayaknya ada yang lagi minta traktiran, nih" ucap seseorang tiba-tiba mengagetkan semua orang yang berada di warung Mbak Eti.Aku mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Mbak Wiwit, salah satu anggota Trio Barokah. Dia menghampiri kami dan menatap tajam ke arahku."Eh Mbak Wiwit. Siapa yang minta ditraktir? Mbak Wiwit minta ditraktir? boleh. Silahkan pesan saja, biar saya yang bayar!" sarkas Ismi pada Mbak Wiwit yang memasang wajah masam."Saya enggak minta ditraktir sama Mbak Ismi. Saya punya banyak uang, jadi bisa beli sendiri. Kalau perlu saya borong sekalian semua dagangannya Mbak Eti ini!" ucap Mbak Wiwit sombong."Maksud Wiwit, yang minta di traktir itu Mbak Dinar bukan Wiwit. Hati-hati lho Mbak Ismi, Mbak Dinar itu deketin Mbak Wiwit pasti ada maunya!" sindir Mbak Tina yang tiba-tiba saja datang dan sama seperti teman satu gengnya, kompak mengejekku.Aku terkejut mendengar ucapan Mbak Tina yang lagi-lagi bersuudzon. Ada rasa ingin membalas ucapan mereka, tetapi Mbak Ismi sudah lebih dulu pasang badan untukku."Dengar ya Mbak Wiwit dan Mbak Tina, hak saya mau dekat sama siapa pun. Asal Mbak-mbak tahu, Mbak Dinar ini Istri dan Ibu sholihah untuk suami dan anaknya. Makanya Saya mau bersahabat dekat dengan Mbak Dinar!" ucapan Ismi memukul telak ucapan mereka yang selalu berprasangka buruk pada orang lain."Wow, Mbak Ismi rupanya sudah kena peletnya Mbak Dinar. Makanya membela Mbak Dinar sampai segitunya!" timpal Mbak Beti, anggota geng Trio Barokah yang terakhir. Lengkap sudah, semua anggota geng berkumpul untuk menghinaku."Jangan sembarangan bicara Mbak Beti, itu sama saja menuduh saya bermain dukun. Naudzubillah, agama saya melarang berbuat syirik karena merupakan dosa besar dan tidak akan terampuni!" ucapku membela diri."Maling mana ada yang mau ngaku, kalau ada pasti penjara sudah penuh. Ha..ha..ha" mereka bertiga kompak menertawakanku.Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap istigfar, menghadapi semua hinaan mereka. Mereka berhasil membuatku malu di muka umum. Beberapa orang yang sedang berbelanja ikut menatapku dengan pandangan merendahkan."Jadi berapa semuanya Mbak Eti? malas lama-lama disini, takut nantinya ikutan jadi bahan bakar neraka jahanam seperti mereka!" tunjuk Mbak Ismi kepada mereka bertiga.Setelah membayar semua belanjaan, Ismi mengambil makanan dan minuman pesanan kami dari Mbak Eti. Aku tidak menyangka Mbak Ismi berani berkata seperti itu kepada mereka bertiga. Tatapan nyalang dari mereka menandakan tidak terima dengan ucapan Ismi.Namun Ismi bersikap cuek dan menarik tanganku untuk segera pergi dari warung Mbak Eti. Dia tidak mengiraukan teriakan dari mereka yang memanggil namanya.Setelah berada di dalam rumah, Ismi meletakkan belanjaannya di lantai tempat kami sebelumnya. Wajahnya terlihat menahan emosi."Kamu enggak sakit hati, di hina separah itu sama mereka, Din?" tanya Ismi menatap wajahku dengan serius."Biarkan saja, aku sudah biasa dihina oleh mereka. Anggap saja sebagai penggugur dosa-dosaku!" jawabku bijak."Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi kamu. Fix ini mah kita harus beri pelajaran pada mereka. Kamu jadi orang jangan lemah. Apalagi jika ada yang merendahkanmu, dimuka umum pula. Kamu gak lihat tatapan orang-orang tadi kepadamu? sungut Ismi.Setan dalam hatiku ikut berbicara. Benar apa yang dikatakan Ismi, perbuatan mereka sudah keterlaluan dan tidak bisa didiamkan. Aku tidak memikirkan lagi dosa, karena rasa sakit hati oleh perbuatan mereka. Akhirnya Aku menyetujui untuk memberikan pelajaran kepada mereka."Mereka itu cuma besar omongannya saja. Kamu tahu, selama ini mereka terlihat banyak uang? mereka mendapatkan uang dari pinjaman bangke!" ucap Ismi memberiku informasi yang tidak aku ketahui sebelumnya."Bangke itu apa?" tanyaku benar-benar tidak tahu."Bangke itu singakatan dari Bank keliling. Jadi mereka banyak uang juga dari hasil berhutang!" jelas Ismi padaku."Ooh, begitu. Bank keliling yang mengendarai motor besar itu ya? pantas saja hampir tiap hari mangkal di rumah Trio Barokah secara bergantian." ucapku lagi."Iya, yang laki-laki berkulit hitam dan bertampang seram itu lho!" jelas Ismi lagi."Berarti selama ini mereka pamer dari hasil ngutang ya. Enghak nyangka!" timpalku menggelengkan kepala."Kamu tinggal disini sudah berapa lama? Masa gitu aja enggak tahu, kalah sama aku yang baru tinggal disini. Makanya Din, jadi orang itu jangan terlalu polos. Biar enggak direndahin orang terus, kamu harus berani melawan!" ucap Ismi memprovokasikuAku mendengarkan ucapan Ismi dengan serius. Selama ini memang aku selalu diam jika diejek dan direndahkan oleh geng Trio Barokah, karena bukan tipe orang yang suka keributan. Ditambah lagi Mas Dito sering menasihatiku agar selalu mengalah pada orang yang tidak suka dengan kita. Jika Kita bersabar, itu akan menjadi penggugur dosa kita.Tetapi karena Ismi, cara pandangku kini berubah. Kedepannya tidak akan diam lagi jika ada yang merendahkanku."Din, mulai hari ini kamu yang kirim pesan misterius untuk Mbak Beti ya. Sedangkan Wita dan Tina biar menjadi urusanku. Untuk Wita dan Tina, memang sudah lebih dulu aku kirim pesan dan mengajaknya berkenalan. Mereka menanggapinya!" beber Ismi panjang lebar, menjelaskan rencana memberikan pelajaran kepada Trio Barokah."Oke siap Is, aku minta nomornya Mbak Beti, ya!" pintaku pada Ismi.Terlihat dia memainkan ponsel yang ada di tangannya."Sudah aku kirim ya. Nanti untuk permulaan, kirim pesan perkenalan saja. Jangan lupa sebelumnya ganti fhoto profil pesanmu dengan fhoto artis Korea Song Jong Ki!""Kenapa harus Song Jong Ki? Bukannya banyak pria tampan berasal dari negara lain, dari India misalnya," tanyaku penasaran."Dia pria tampan favoritku hehehe" jawab Ismi terkekeh.Akhirnya kami sepakat untuk memberi pelajaran kepada mereka dengan berpura-pura menjadi seorang pria yang mengajaknya berkenalan lewat pesan berlogo hijau. Untuk rencana selanjutnya, aku menunggu arahan dari Ismi yang mempunyai ide sebelumnya."Aku sudah membayangkan, wajah mereka yang kegeeran karena ada pria tampan yang mengajaknya berkenalan. Mereka pasti lupa deh sama suami mereka yang kucel and dekumel, hahaha." Kami tertawa bersama."Is, Kita jahat enggak sih, ngerjain mereka?" tanyaku setelah puas tertawa."Jahat sih, tetapi kan mereka yang duluan. Asal kamu tahu Din, sebenarnya orang jahat itu terlahir dari orang baik yang tersakiti!"*****"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud