Pada suatu pagi, sesaat setelah keberangkatan Mas Dito bekerja terdengar ada yang mengucapkan salam."Assalamualaikum."Aku yang sedang berjibaku dengan tugas negara, tergopoh-gopoh menghampiri asal suara."Waalaikum salam," jawabku seraya membuka pintu rumah."Din, lagi repot enggak?" tanya Dinar seraya tersenyum manis ke arahku."Lumayan sih. Biasa, lagi ngerjain tugas negara. Ada apa?" tanyaku penasaran.Ismi selalu datang saat Mas Dito sudah berangkat bekerja. Dia seperti sengaja menghindari bertemu langsung dengan Mas Dito.l"Ayo masuk, pamali ngobrol di depan pintu nanti susah jodoh lho!" ledekku pada Ismi."Enak aja, aku sudah dapat jodoh, kali!" timpal Ismi kesal. Dia mengerucutkan bibirnya, membuatku terkekeh melihatnya.Aku membentangkan karpet usang andalan di atas lantai semen rumahku. Mengajak Ismi untuk ikut duduk lesehan bersamaku."Ada apa pagi-pagi datang kesini? pasti ada maunya ya?" tanyaku menebak tujuan Ismi datang kerumah."Kok kamu tahu aja sih, kalau aku ada ma
Dani dan Dita akhirnya tertidur, karena sudah terlalu lama menunggu ayahnya yang belum juga pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku benar-benar mengkhawatirkan Mas Dito. Andai Mas Dito mempunyai ponsel, pasti ku sudah menghubunginya sejak tadi. Dulu sewaktu Mas Dito masih bekerja di percetakan, dia memiliki sebuah ponsel. Tetapi terpaksa harus dijual karena terdesak kebutuhan ekonomi. Sempat ada niatan untuk mendatangi pangkalan ojek tempat Mas Dito biasa menunggu penumpangnya. Akan tetapi tidak tega jika harus meninggalkan kedua anakku yang sedang tertidur. Tidak hentinya aku berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mas Dito.Tidak berapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah rumah. Aku segera berlari menuju jendela rumah untuk memastikan siapa yang datang. Aku sangat berharap kalau Mas Dito yang datang.Hatiku begitu lega, begitu mengetahui yang datang adalah Mas Dito. Wajahnya murung dan terlihat begitu letih.Aku membukakan pintu yang
"Dinar? Ini nomor hape siapa? Pasti pinjam punya orang, kan?" tanya kak Disti, dia selalu meremehkanku."Iya Kak, aku pinjam sama teman. Kalau mau simpan saja nomornya Kak, siapa tahu suatu hari nanti membutuhkannya," ucapku berusaha tidak terpengaruh dengan ucapannya."Untuk apa menyimpan nomor orang yang enggak penting!" ucapan Kak Disti semakin pedas.Aku mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha tidak terpancing emosi, karena tujuan utamaku adalah meminta bantuannya."Kak, Aku mau minta tolong boleh?" tanyaku ragu-ragu."Tuh kan, sudah aku duga. Kamu menghubungiku karena ada maunya!" rupanya Kak Disti sudah menduga tujuanku menghubunginya."Kak, Aku mau pinjam uang untuk menebus motor Mas Dito yang turun mesin di bengkel. Kalau tidak di tebus, darimana Mas Dito mendapatkan uang untuk kebutuhan kami?!" ucapku dengan nada memelas.Untuk pertama kalinya mengingkari prinsip yang selama ini aku pegang teguh. Bahwa jangan pernah mengharapkan belas kasihan ora
"Mas, itu motornya .... ?" ucapanku terputus."Iya, motornya sudah Mas tebus. Alhamdulillah, tadi Mas ketemu teman lama sewaktu bekerja. Kamu ingat sama si Dilan kan?" tanya Mas Dito."Dilan? iya, ingat Mas. Dilan yang dapat julukan si cupu itu ya?" tebakku."Iya benar. Tadi engak sengaja ketemu di masjid waktu mau sholat dzuhur. Kita saling bertukar cerita dan qodarullah, ternyata dulu dia pernah mempunyai hutang sama Mas. Dia mau membayar tetapi kehilangan kontak Mas. Kebetulan kita bertemu, lalu dia membayar hutangnya. Padahal Mas sama sekali tidak ingat kalau dia punya hutang!" beber Mas Dito panjang lebar.Aku hanya bengong mendengarkan cerita Mas Dito. Seharusnya aku bersyukur karena Mas Dito sudah menebus motor dengan uangnya sendiri. Tetapi masalahnya, aku sudah terlanjur meminjam uang ke pinjol dan siapa nanti yang akan membayarnya?"Din ... kok bengong sih? ini Mas juga beli sate ayam plus lontongnya buat makan malam kita" ucap Mas Dito seraya tersenyum manis ke arahku. "Ee
Hari jatuh tempo pinjolku sudah terlewat dua hari. Itu sebabnya beberapa hari ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku selalu memikirkan bagaimana caranya membayar hutang pinjol. Aku sudah mencoba mengajukan pinjol ke beberapa aplikasi lain, tetapi selalu mengalami penolakan. Mungkin karena disebabkan pinjol yang digunakan oleh Ismi telat dalam pembayaran, sehingga penilaian kreditku kurang baik.Aku hanya bisa pasrah, ketika beberapa notifikasi penagihan pembayaran yang jatuh tempo masuk ke ponsel. Bahkan ada yang menagih melalui pesan pribadiku dengan menggunakan bahasa yang sangat kasar. Aku panik dan ketakutan. Bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini? Hari ini aku berkunjung ke rumah Ismi dengan membawa Dita dalam gendongan. Biasanya Ismi yang selalu berkunjung ke rumahku. Baru saja tiba di depan pintu kontrakannya yang tertutup, geng Trio Barokah datang menghampiriku."Hai parasit, apa kabar?" Mbak Wiwit menyapaku dengan panggilan baru untukku.Aku tidak menghira
Aku mengangkat telepon dari Kak Disti dengan ragu."Hallo Kak, ada apa?" sapaku berbasa-basi."Dinar, kamu ngutang pinjaman online?" pertanyaan kak Disti berhasil membuatku terkejut. Darimana dia tahu?"Pinjaman online apa sih, Kak?" jawabku berbohong."Jangan pura-pura enggak tahu kamu. Kalau enggak pinjam, enggak mungkin Kakak ikutan kena teror sama debt colector pinjol kamu!" teriak kak Disti, membuat telingaku berdengung.Rupanya Kak Disti juga menerima pemberitahuan mengenai pinjolku, sama seperti Ismi. Oleh sebab itu mereka tahu kalau aku memiliki pinjol yang sudah jatuh tempo dan belum dibayar."Iya Kak, aku punya pinjol yang belum dibayar. Maaf kalau karena ulahku, kakak merasa terganggu!" ucapku memelas."Buat apa kamu berurusan sama yang begituan? Memang uangnya di pakai buat apa?" tanya kak Disti masih dengan suara meninggi."Uangnya buat menebus motor Mas Dito, Kak. Tempo hari kan aku sudah meminta bantuan kakak, tetapi tidak diberi. Akhirnya terpaksa aku mengajukan pinjol
Din, Kamu bermimpi?" terdengar suara lembut Mas Dito yang kini telah duduk di ujung tempat tidur."Iya, Mas sku bermimpi," jawabku."Emang mimpi apa, kok sampai teriak segala?" tanya Mas Dito heran."Mimpi buruk Mas," sahutku seraya mengerjapkan mata yang masih terasa lengket."Makanya, kalau mau tidur itu baca do'a dulu!" ucap Mas Dito mengingatkanku."Sudah Mas, setiap mau tidur aku selalu berdoa terlebih dahulu!" timpalku membela diri."Kamu sudah sholat ashar?" tanya Mas Dito seraya menatap wajahku dengan sorot mata yang meneduhkan."Belum. Aku kan baru bangun tidur, Mas!" jawabku dingin.Mas Dito terdiam. Sepertinya dia ingin menegur, tetapi urung dilakukan karena melihat sikapku yang dingin.Aku segera melangkah menuju dapur, untuk menyiapkan makan dan minuman kesukaannya, yaitu teh tawar hangat. Hanya menyiapkan dan tidak membawanya ke ruang tengah seperti biasa. Sementara Dita masih tidur dengan nyenyaknya.Aku masih memikirkan mimpi barusan. Apa maksud dari mimpiku itu?Setel
Seperti biasa, aku membentangkan karpet di lantai. Aku duduk di atasnya, sedangkan Dita tiduran dengan berbantalkan paha kananku. Sementara Ismi duduk berhadapan denganku."Kamu mau minta bantuan apa, Is?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Aku mau minta tolong sama kamu, Din. Ibuku masuk ruang ICU karena kondisinya semakin drop. Beliau memiliki penyakit kelainan jantung," ucap Ismi sambil menangis tersedu.Aku ikut sedih melihat Ismi menangisi Ibunya yang sedang sakit. Sepertinya aku pun akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi Ismi. Meskipun Ibu tidak pernah peduli, tetapi aku sangat menyayanginya. Aku tidak ingin hal buruk menimpanya."Apa yang bisa aku bantu buat kamu, Is?" tanyaku menawarkan bantuan."Aku ingin minta bantuanmu mengajukan pinjol lagi. Aku membutuhkan uang yang banyak untuk biaya berobat Ibuku," ucap Ismi dengan wajah memelas.Aku sudah menduganya. Ismi pasti meminta bantuan mengajukan pinjol menggunakan data diriku lagi. Kemarin saat butuh bantuan, hanya Ismi