"Malam, Nia." Krisna tersenyum lebar.Mata Rania melebar tegang. Bagaimana bisa Krisna tahu rumahnya? Jantungnya berdegup kencang, nafasnya tercekat. Gegas Rania menyadarkan diri kalau masih mode pura-pura tidak kenal."Kenapa Anda datang ke sini malam-malam begini, Pak Krisna?" "Aku harus bicara denganmu, Nia. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ada yang perlu dijelaskan." Krisna menatap sangat lekat, tak mau berpaling dari wajah Rania."Tidak ada yang perlu dijelaskan dan kita tidak punya urusan apa-apa. Saya tidak kenal Anda, jadi lebih baik Anda pergi sekarang. Tidak baik menerima tamu orang asing di malam hari."Krisna terkesiap kecewa. "Orang asing? Kamu serius? Setelah semua yang terjadi, kamu masih menganggapku orang asing?"Rania menyembunyikan kegugupannya dibalik wajah tenang. "Itu kenyataannya, Pak. Jadi sekarang tolong pergi. Maaf, saya mau istirahat."Rania hendak menutup pintunya, tapi Krisna menahan sangat kuat."Tunggu! Apa aku boleh masuk?" Krisna terus menahan
"Dia?" Sebelum Krisna sempat membuka pintu mobil, sorot matanya tertumbuk pada sosok lain yang mendekat ke arah rumah Rania. Seorang pria-Indra.Krisna langsung mengurungkan niatnya untuk pergi, nafasnya tercekat memburu. Dia tahu siapa Indra, pria yang pernah mengantar istrinya. Wajahnya memerah karena cemburu dan emosi yang hampir tak terbendung. Dia memutar tubuhnya, menghampiri Indra dengan langkah panjang."Berhenti!" Suara Krisna meledak, tangannya terangkat mencegat langkah Indra.Indra yang tadinya santai kini menatap Krisna dingin. Dia meremas kepalan tangannya di bawah."Apa urusanmu melarangku? Aku bebas ke rumah Nia kapan pun aku mau." Nada tak acuh. Membuat Krisna semakin geram.Krisna menggertakkan giginya. "Jangan panggil dia Nia di depanku! Dan aku melarangmu datang ke sini malam-malam!"Indra mengangkat bahu, seolah-olah amarah Krisna adalah sesuatu yang tak perlu dipedulikan. "Itu bukan urusanmu. Kalau Nia membolehkan aku datang, siapa kamu yang berhak melarang?"Kri
"Karin? Bagaimana aku bisa membuatnya mundur?""Huuufff ...." Krisna merutuki dirinya."Rania ... kamu benar, aku yang sudah menghancurkan segalanya." Suaranya serak penuh sesal.Krisna menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Hingga bergetar. "Aku bodoh! Terlalu bodoh untuk menyadari betapa berharganya kamu. Calon bayi kita ... Tuhan, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri."Krisna memejamkan mata, mengingat hari itu. Hari di mana kecelakaan itu terjadi. Semua terasa kabur, kecuali satu hal yang terus menghantui benaknya—dia yang menyebabkan semua itu. Dia yang membuat Rania kehilangan segalanya. Dia sendiri yang membuat Rania pergi darinya."Kalau saja ... kalau saja aku tak mengabaikanmu ... kalau saja aku lebih mendengarkanmu, kalau saja aku lebih peduli padamu. Kalau saja aku tidak goyah pada Karin." Krisna meremas kertas itu.Penyesalan merobek setiap lapisan hati yang tersisa. "Kenapa aku begitu lemah? Kenapa aku begitu buta pada rasa sakitmu? S
"Kami mau resto-mu mengurus hidangan untuk pertunangan Krisna dan Karin."Detak jantung Rania tiba-tiba melambat, seperti waktu berhenti sesaat. Dia hampir terhuyung, tapi cepat-cepat menguatkan diri, menenangkan batinnya. Kata-kata itu bagai tamparan keras. Permintaan yang begitu keji. Menyuruhnya menyediakan hidangan di pertunangan suami dengan wanita lain.Winda dan Puspa jelas-jelas ingin melihatnya jatuh dan hancur. Rania menelan ludah, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. "Baik, saya akan mengurusnya." Dia tersenyum tipis, meski dalam hati penuh perih.Winda tersenyum puas. "Bagus. Jangan sampai ada masalah. Pertunangan ini harus sempurna.""Kalau tidak ..." Puspa menatap tajam. "Jangan harap restoranmu akan bertahan lama. Kami bisa pastikan bisnis ini hancur dalam sekejap.""Saya mengerti.""Aku mau hidangan mewah. Pokoknya menu kampungan di resto ini jangan kamu keluarkan. Berikan padaku proposalnya secepatnya. Aku mau lihat menu rekomendasi
"Mau apa? Rania lagi semedi! Nggak bisa diganggu!" Ajeng berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin."Aku cuma mau ketemu Rania. Tolong, Jeng. Biar aku bicara sama dia.""Rania nggak mau ketemu kamu. Dia sudah selesai sama kamu. Kalau masih punya sedikit rasa malu, mending pergi sekarang."Krisna mengerutkan kening, nyeri dadanya semakin menjadi. "Ajeng, tolong. Aku cuma mau bicara. Aku tahu aku salah, aku tahu aku sudah menyakitinya. Tapi aku nggak bisa diam saja, harus memperbaiki semuanya."Ajeng mendengkus sinis. "Kamu pikir dengan bicara, semuanya bakal baik-baik aja? Terus masa lalu bakal berubah? Kamu sudah menyakiti Rania bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Sekarang kamu mau apa? Minta maaf dan berharap semuanya kembali seperti dulu? Bullshit!"Indra muncul dari dalam rumah, mendekat dengan tatapan tajam. "Dengar, Kris. Kami sudah cukup bersabar denganmu. Kalau masih menghargai Rania, kamu kasih dia waktu sendiri."Krisna menunduk, rahangnya mengeras. "Aku cuma mau bica
“Kamu harus bercerai dengan Krisna secepatnya! Dan sebelum resmi cerai, jangan menggoda Krisna lagi!” Puspa menatap nyalang Rania dengan senyum kecut. Di sebelahnya, Winda menyeringai puas.“Dan jangan berani merusak hubungan Krisna dengan Karin. Aku akan mengawasimu, Rania!” Tatapan Winda tajam penuh ancaman.Akan tetapi, Rania tetap duduk tenang, gertakan mereka tak mampu mengidemitasinya. Meskipun hatinya gelisah dan nyeri, dia tidak mau menunjukkan kelemahan di depan mereka. Tangannya meremas pelan baju di atas pangkuannya. Senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya. Harus tetap tenang, meski hatinya berkecamuk."Kalian memang benar-benar! Rania itu-" “Tahan, Jeng,” bisik Rania, senyum masih terlukis di wajahnya.Ajeng mendesah frustrasi, terpaksa menahan diri. "Hish! Kamu terlalu sabar, Nia!""Kenapa? Masih mau diam-diam menggoda Krisna? Mau pake cara sok kalem, sok jadi wanita lemah, tapi licik? Jangan kira kamu nggak tahu trik wanita miskin sepertimu. Mendadak kaya punya res
'Sebentar lagi, aku akan jadi masa lalumu, Mas.' Puspa menyengol Winda. Winda langsung tersenyum puas."Dia harus paham posisinya, Bu. Wanita murahan. Cepat atau lambat dunia akan tahu kalau dia itu cemilan Om Om.""Yang ibu bilang kemarin sudah kamu siapkan, kan? Mereka benar-benar datang, kan?"Winda tersenyum miring dengan dua alis terangkat. "Tentu saja, Bu. Itu akan jadi pertunjukan menarik. Nggak sabar deh lihat orang-orang tahu siapa Rania. Dan sudah aku sebarkan gosip, kalau Rania itu sebenarnya pura-pura kecelakaan dan pura-pura mati, tapi ternyata dia lari sama Om Om. Lalu, mendadak kaya dan mendadak punya Resto.""Ibu juga nggak sabar. Wanita munafik tak tahu malu itu harus kita permalukan di depan orang."Rania melangkah elegan dengan senyum menawan. Kebaya modern gold memantulkan auranya ke segala sudut ruangan, menjadikannya pusat perhatian seluruh tamu undangan. Di tangannya ada kotak tipis persegi panjang cukup besar, menciptakan tanda tanya mereka yang melihat.Henta
"Ternyata rumor itu benar. Kalau gitu aku males ke Resto itu lagi. Takut kecipratan kualat. Modalnya aja dari hasil jual diri. Hish ....""Dia emang jadi simpanan pengusaha. Lihat saja sekarang, dia emang gila. Seakrab itu sama Om Om di pesta suaminya. Cih, penampilannya cuma buat kedok.""Aku yakin, nggak lama lagi dia bakal kena batunya. Istri para pengusaha kalau bertindak nggak main-main. Rania bakal hancur dan kualat sama kelakuannya sendiri.""Salah sendiri. Udah punya suami tampan dan mapan, masih jelalatan cari Om Om. Rakus banget jadi wanita.""Eh, cuma kok Pak Krisna nggak langsung ceraikan Bu Rania? Aneh.""Kena pelet pastinya. Lihat saja itu, bukan cuma suaminya yang jadi penurut, tapi suami orang juga lengket."Suara itu bukan cuma berbisik, tapi sengaja dikeraskan dan mendengar Rania serta tamu lainnya.Bisik-bisik tamu semakin gaduh mencibir Rania.Rania tetap tampak tenang dan malah tersenyum pada dua pria paruh baya itu.Satu demi satu, tatapan sinis mulai terarah pad
Dalam hitungan menit, Krisna sudah membawa Rania dalam mobil dan siap ke rumah sakit terdekat.Sepanjang perjalanan, Krisna menggenggam tangan istrinya erat. Wajahnya tegang.Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung ditangani cepat. Krisna memayao dokter. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Ada apa? Apa ada yang serius?"Dokter tersenyum tenang. "Tenang, Pak. Istri Bapak sehat. Dan ... selamat. Istri Anda hamil. Untuk lebih lanjutnya silakan ke dokter obgyn."Krisna terdiam. Mulutnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Seolah otaknya butuh waktu untuk mencernanya. Lalu perlahan, wajahnya berubah. Mata melebar. Rania tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia diam memegang perutnya. Tanpa suara air matanya menetes begitu saja. Akhirnya dia bisa hamil lagi."Hamil?" Jantungnya berdetak sangat kencang. Akhirnya, yang dia tunggu tiba juga.Dokter mengangguk. "Tidak perlu terlalu khawatir soal mual pagi. Itu wajar. Tapi harus banyak istirahat."Setelah kepergian dokter."Aku hamil, Ma
"Nggak ada toleransi lagi. Ayah sudah lelah melihat tingkahmu tiap hari. Emangnya ayah nggak tahu apa yang kamu lakukan selama ini di luar. Pamitnya cari kerjaan tapi kamu cuma nongkrong sama teman yang biasanya. Mau jadi apa kamu kalau terus kayak gini.""Aku tahu Ayah membenci anakmu ini. Tapi setidaknya jangan menyiksa anak dengan menikahkan sama pria kampungan. Mau ditaruh di mana mukaku ini, Yah!" teriak Winda."Ayah nggak peduli. Kamu nikah sama pria pilihan ayah atau kamu urus hidupmu sendiri sana.""Mas, jangan keterlaluan!"Agung tidak mendengarkan lagi protes istri dan anaknya.Rania dan Krisna yang kebetulan berkunjung, saling berpandangan. Saat mereka masuk rumah langsung disuguhi perdebatan itu."Mbak Winda, tenanglah. Ayah punya alasan sendiri melakukan hal itu. Lagi pula apa salahnya menikah dengan pria dari kampung, tapi bertanggung jawab. Dan tidak semua pria dari kampung itu miskin dan kumal." Rania menyembunyikan senyum tipisnya."Aku nggak butuh nasihatmu, Rania! I
Belum sampai Krisna menjawab, dua polisi datang. Satu dari mereka mengeluarkan berkas sambil menatap langsung ke arah Ane."Saudari Ane. Kami dari kepolisian. Berdasarkan laporan dan bukti yang sudah kami terima, Anda kami tetapkan sebagai tersangka dalam beberapa tindak pidana."Ane melangkah mundur, panik. "Apa-apaan ini?"Veni langsung gelisah takut."Anda diduga terlibat dalam upaya penganiayaan berencana terhadap saudari Rania, termasuk insiden keguguran yang terjadi akibat racikan obat yang Anda kirim melalui perantara. Anda juga terlibat dalam upaya penculikan secara tidak langsung dengan menjebak korban ke hotel. Malam ini, Anda juga mencoba menjebak suami korban, pak Krisna dalam upaya pencemaran nama baik."Polisi lainnya mengambil borgol dari pinggang."Saudari Ane, Anda berhak didampingi pengacara. Tapi malam ini, Anda kami tangkap dan akan dibawa ke kantor kepolisian untuk pemeriksaan lanjutan. Kami mohon kerja sama Anda."Ane berontak. "Kalian semua gila! Ini jebakan!
Krisna bersandar sambil memegang keningnya, memejamkan mata, seperti halnya orang ngantuk dan lemas. Kepalanya pelan tertunduk di sofa empuk.Tak butuh waktu lama, suara langkah pelan masuk ke ruangan. Dia Veni dan Ane."Kena sekarang. Lakukan tugasmu selanjutnya, Veni.""Siap. Aku senang melakukannya."Ane tersenyum sinis berdiri menatap Krisna yang tergeletak.Lalu, ada seseorang lagi yang masuk dan memindahkan Krisna ke atas ranjang. Ane keluar dan menyerahkan sisanya pada Veni. Dia akan mengawasi dari luar.Kini, Veni itu mendekat, makin mendekat. Langkah heels nya nyaris tak terdengar.Tubuh Krisna yang tampak tertidur membuat Veni makin percaya diri. Dia duduk di sisi ranjang, tangannya mulai meraih kerah jas Krisna, lalu bersiap berbaring ke ranjang di sisi Krisna.Baru satu sentuhan, lengan Krisna langsung menangkap pergelangan tangannya."Aku tidak suka disentuh oleh wanita murahan.""Kamu-" Veni terperangah, langsung bangkit dan mundur dua langkah. Matanya membelalak meliha
"Aku nggak akan macam-macam. Aku cuma pengen pastikan kamu aman sampai rumah. Krisna nggak bisa dihubungi kan?"Rania menggigit bibir. Jawaban itu tepat sasaran. Krisna memang belum membalas pesan, belum juga mengangkat telepon. Hatinya makin tidak tenang.Dan kenapa Adrian bisa tahu? Semua makin janggal di hatinya."Tolong jangan buat situasi makin rumit, Drian.""Percaya sama aku sekali ini aja. Aku cuma pengen kamu selamat. Nggak lebih."Rania terdiam. Lalu membuka ponsel. Mengetik pesan singkat ke suaminya. [Aku bareng Adrian. Ban mobilku kempes, Mas. Dan ke mana orang-orangmu saat ini? Kenapa semuanya hilang?]Terkirim. Tapi belum dibaca."Jadi ikut denganku, kan?"Rania menatap Adrian sesaat lalu mengangguk pelan.Adrian mendekat dan memayungi tubuh Rania. Mereka berjalan pelan menuju mobil. Langkah kaki berirama dengan gemuruh hujan.Rania hanya diam, kaku. Jarak tubuh mereka dekat, tapi rasa asing membentang seperti jurang tak kasatmata.Saat hampir sampai mobil, sepatu Rania
"Restoran sepi bingung, giliran ramai juga bingung. Kamu maunya apa, Jeng," ucap Indra sambil mendecih."Maunya kamu mingkem, Dra. Biar aku bisa fokus pakai indra ke sebelas. Ada yang nggak wajar sama semua ini soalnya."Rania menatap sekeliling. "Itu juga yang bikin aku bingung. Review restoran ini sebelumnya jelek banget. Dan usaha perbaikan baru saja dimulai. Tapi sekarang? Tiba-tiba banyak orang makan sambil selfie."Indra menyikut lengan Ajeng pelan. "Fix. Ini settingan Adrian, temanku yang terlalu tulus dan baik hati dan nggak nuntut balesan. Pasti pelanggan bayaran. Nih orang terlalu niat."Ajeng mengangguk cepat. "Yakin, Adrian. Bisa jadi Kang Mas Krisna. Kan dia udah jadi sweet banget sekarang."Indra mendesis. "Kamu tim Krisna sekarang? Aku tim Adrian."Lalu, Ajeng menoleh pada Rania. "Gila sih kalau semua ini emang hasil karya suamimu. Dia keren, Ran. Maksud aku, suami kamu tuh bukan tipe asal janji. Dia kerjain semua dengan detail. Meski nyebelin, tapi tobatnya beneran."I
Krisna tersenyum tipis. "Aku nitip Rania sementara padamu. Cuma ini rencana yang bisa menyelesaikan singkat. Kita ringkus dia pakai rencana jebakannya."Adrian tersenyum tipis. "Pokoknya aku nggak janji bisa tahan diri, tahan hati di depan istrimu. Lagian kenapa juga kamu minta bantuan musuh cintamu. Nggak takut resiko istrimu aku culik?""Ane sedang mengincarmu. Dan aku lebih percaya sama kamu saat ini. Lakukan semua sesuai rencana kita.""Hish! Terserah kamu. Aku hampir gila sejak kemarin kamu datang. Ditambah kamu menyuruhku mendampingi Rania soal restoran. Argh! Gimana kalau aku kerasukan iblis terus jadi perebut istri orang?" Adrian meneguk cepat minuman di depannya.Lalu, Krisna berdiri dan berjalan ke dekat kursi Adrian. "Kamu memang nggak ada jaminan bisa tahan diri, tapi aku sangat percaya sama istriku. Dia nggak mungkin mau menerimamu." Diiringi tawa renyah.Adrian sontak berdiri dan menendang kaki Krisna. "Hish! Licik! Nggak menghormati sad boy. Aku ini sad boy terhormat. S
Langkah Krisna pelan. Tangan hangatnya menutup mata Rania dari belakang.“Sebentar lagi, sayang. Jangan curi-curi intip,” bisiknya lembut.Rania tertawa kecil. “Kenapa harus ditutup segala? Aku jadi penasaran, Mas.”“Pokoknya lihat saja nanti. Jangan penasaran.”Dia membawa Rania melewati kamar. Pelan-pelan menuju balkon yang pintunya sudah terbuka. Udara malam menyambut, angin tipis membawa aroma bunga segar dan suara gemericik air dari kolam kecil di halaman bawah.Ketika sampai di ujung balkon, Krisna berhenti.Tangannya perlahan turun dari wajah Rania. “Sekarang boleh lihat.”Rania mengedarkan pandang. Napasnya tertahan. Bibirnya langsung melengkungkan senyum.Balkon itu sudah berubah. Lampu-lampu kecil bergantung dari atap kayu, berkelip cantik. Di tengah, ada meja kecil bulat dengan dua piring yang sudah tertata rapi. Lilin aromaterapi menyala di tengah. Di sisi lain balkon, kursi didekor dengan selimut tipis dan bantal lembut. Langit malam memayungi segalanya—bintang tersebar s
"Bagaimana soal pria ponakanmu yang katanya sabar, tapi tegas itu, Bayu?" tanya Krisna."Dia setuju saja kalau dijodohkan, tapi yang pasti harus tinggal di kampung dan hidup seadanya. Dia nggak mau tinggal di kota. Dan pekerjaannya kasi tukang bengkel."Krisna tersenyum lebar. "Kita lihat nanti dulu."------Plakkk! "Dasar anak nggak tahu diri!"Tangan Agung sudah melayang lebih dulu sebelum pikirannya sempat mencerna. Pipi Winda memerah seketika.Winda memegang pipinya. Mata membelalak antara syok dan amarah.“Kamu menamparku, Yah?! Hanya karena PEREMPUAN ITU?” Teriakan Winda melengking, membuat Puspa reflek berdiri dari sofa.Puspa mendekat cepat, memeluk bahu putrinya. “Apa-apaan, Mas? Kamu gila?! Dia anak kita sendiri! Kamu nggak bisa seenaknya tampar Winda!”Agung melotot. “Karena anakmu ini nggak pernah tahu diri! Sudah kubilang jangan ganggu Rania lagi! Kamu pikir aku nggak tahu semua yang kamu lakukan, Win?! Kamu pikir aku buta?!”“Sudah cukup, Mas!” Puspa menepuk bahu Winda