Beranda / Urban / Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku / Bab 8. Desahan di malam hari

Share

Bab 8. Desahan di malam hari

Penulis: Galaxybimasakti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-08 23:53:12

Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau.

"Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.

Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.

Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.

Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat.

Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 11. Sentuhan Mbak Dini

    Jam pulang tiba, tapi aku tidak langsung ke apartemen. Aku duduk sejenak di halte, memikirkan cara dapat uang tambahan. Kerja di gym akhir pekan memang membantu, tapi masih kurang. Akhirnya, aku naik bus menuju apartemen, pikiranku masih kacau.Saat tiba di lobi apartemen, aku bertemu Mbak Dini yang baru turun dari taksi, membawa tas kertas dan tas jinjing. Blazer merahnya sedikit terbuka, memperlihatkan kaus ketat yang membingkai lekuk tubuhnya. Rambut pendeknya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya tetap menawan dengan riasan tebal yang khas.“Hei, Bim, baru pulang?” sapanya, tersenyum lebar.“Iya, Mbak,” jawabku, mencoba santai meski badanku lelah.“Kok kelihatan gak semangat? Ada apa?” tanyanya, matanya penuh perhatian saat kami masuk lift bersama.“Gak apa-apa, Mbak. Cuma capek kerjaan di kantor,” bohongku, tak ingin cerita soal keuangan.Lift bergerak, dan tiba-tiba Mbak Dini menyentuh tanganku. “Mau Mbak pijitin? Mbak bisa mijit, lho,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada genit

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 10. Baju ketat Mbak Renata

    Aku menghindar, tapi preman kedua menyerang dari sisi, dan yang ketiga entah dari mana muncul mencoba menendangku. Aku membawa mereka ke gang sepi di belakang warung, tak ingin keributan ini mengundang masalah lebih besar.Ketiganya mengeroyok, tinju dan tendangan menghujaniku. Aku sempat terhuyung saat pukulan mendarat di rahangku, tapi ilmu beladiri yang dipelajari membuatku bertahan. Aku memutar tubuh, menendang lutut preman besar hingga dia jatuh. Preman bertato mencoba menyerang, tapi kutangkap lengannya, memelintir hingga dia meringis.Preman ketiga menghantam punggungku, membuatku tersungkur, tapi aku bangkit cepat, menghantam wajahnya dengan pukulan keras. Kancing kemejaku lepas satu, wajahku memar, tapi akhirnya ketiganya kabur, berlari walaupun sambil memaki."Awas lu, tunggu pembalasan kita," kata pria bertato mengancam.Aku kembali ke tempat kakek tadi, napasku tersengal. Aku membantu membereskan alat solnya yang berserakan, hatiku miris melihatnya sendirian. Negara ini me

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 9. Preman meresahkan

    “Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 8. Desahan di malam hari

    Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 7. Hasrat tak terbendung

    Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 6. Banyak bersyukur

    “Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status