Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk.
“Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masuk. "Tempat kayak gini cuma cocok buat orang mokondo kayak kamu, Bim. Pengap, sempit." Ucapan itu masih terngiang. Perempuan itu hanya datang saat butuh perhatian atau uang, tapi di balik itu, dia selalu merendahkanku. Sejak itu, aku tidak mau lagi membawa siapa pun. Mungkin kemarin malah aku tidur di unitnya Nadira, aku masih tidak percaya itu akan terjadi. Tiba-tiba, Nadira menggeliat di sofa, matanya setengah terbuka. “Ugh…” erangnya pelan, lalu tiba-tiba tubuhnya membungkuk ke depan. Aku yang baru saja kembali dari kamarku untuk mengambil selimut, terkejut melihat Nadira yang bangun. Namun, belum sempat aku bereaksi, Nadira telah memuntahkan sedikit cairan ke bajunya sendiri, mengotori kemeja kerja yang sudah kusut. Lalu kembali terkulai di sofa. “Astaga, Mbak!” seruku panik. Aku buru-buru mengambil tisu dari meja, tapi melihat noda di kemeja Nadira yang mulai melebar, aku tahu baju itu harus dilepas sebelum semakin parah. Aku menelan ludah, jantungku berdetak lebih kencang. Aku memang bukan pria polos, aku sudah melihat bagian tubuhnya dan menikmatinya. Anehnya aku malah memperhatikan tubuhnya dari kepala sampai kakinya yang mulus. Aku kembali membayangkan, ketika tubuh kami menyatu. Merasakan kehangatan tubuhnya, menikmati bibirnya yang tipis, buah dadanya yang kenyal dan lembut dan yang paling nikmat, bagian intinya yang membuatku keluar banyak, tapi masih sempat aku keluarkan di atas perutnya. Aku harus sadar, jika Nadira adalah istri orang lain. Status itu membuat tanganku ragu, meskipun aku sudah pernah menikmatinya tapi aku tahu, tidak bisa membiarkan Nadira dalam kondisi seperti ini. “Mbak, maaf, saya buka bajunya ya,” gumamku. Dengan tangan gemetar, aku mulai membuka kancing kemeja Nadira satu per satu, berusaha tidak menatap langsung ke tubuh wanita cantik ini. Kulit putih Nadira terlihat di bawah cahaya lampu apartemen, dan aroma alkohol bercampur sabun dari tubuhnya membuatku semakin gugup. Setiap kancing yang terlepas seperti menambah beban di dadaku. Ketika kemeja akhirnya terlepas, menyisakan bra hitam yang kontras dengan kulit Nadira, aku buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut. Namun tiba-tiba, tangan lembut Nadira menarik lenganku dengan kuat. “Aku… kedinginan…” suara Nadira lirih, masih meracau. Matanya setengah terbuka, wajahnya memerah. “Aku butuh kehangatanmu ...” Aku tersentak, tubuhku membeku. Nadira menarikku hingga kini aku terduduk di sisi sofa, tangannya melingkar di leherku, menarikku ke dalam pelukannya. Aku kembali bisa merasakan kehangatan tubuh Nadira melalui selimut tipis, napasnya yang bercampur alkohol menghembus pelan di leherku. Jantungku berdetak tak karuan, bercampur antara panik dan dorongan yang sulit aku tolak sebagai pria normal. Aku berusaha melepaskan pelukannya, tapi gagal karena aku tidak ingin mendorongnya terlalu keras, takut menyakitinya. "Mbak, sadar Mbak. Aku Bima, Mbak sedang mabuk." Namun, Nadira tidak mendengar. Dia justru mengeratkan pelukannya. Situasinya semakin menegangkan, aku tidak bisa seperti ini terlebih karena status Nadira yang sudah bersuami, aku tidak ingin melakukan kesalahan yang kedua kalinya. Sementara itu, Nadira semakin berani. Tangan kanannya menyelinap ke bawah kaosku, jari-jarinya menyentuh kulit dadaku. Hingga tiba-tiba menuju bagian intiku dari luar celanaku, yang memang sedang tegang dan keras. Sentuhan itu seperti listrik, membuatku menahan napas. “Shh … Mbak, jangan!” kataku, suaraku mulai gemetar. Tapi tangan Nadira terus meremas bagian intiku. "Dia bangun, aku bantu tidurin lagi ya.…” racaunya, matanya masih sayu, tapi ada binar aneh di dalamnya. Tangannya bergerak lebih berani, kali ini remasannya semakin kencang membuatku semakin terangsang. Aku mulai menikmati gerakan tangan halusnya di bagian intiku yang membuat sentuhan nikmat. Aku menutup mata sejenak, mencoba mengumpulkan akal sehatku. Tapi dorongan dalam diriku semakin kuat, dan ketika bibirnya mendekat, hampir menyentuh bibirku, aku merasa seperti berdiri di tepi jurang. “Kamu suka ini kan …. Mhhh, aku ingin melakukannya lagi Bim, aku ketagihan, kamu begitu sangat kuat dan perkasa.” racau Nadira tepat di depan bibirku, bahkan sesekali bibirnya sengaja menyentuh bibirku, sementara tangannya masih terus mengusap dan meremas pelan area bawahku yang semakin keras. Aku kembali menutup mata, menahan erangan yang akan keluar dari bibirku. Tanganku tanpa sadar menggenggam lengannya, tubuhku semakin menegang. Aku tahu, satu langkah lagi, dan aku mungkin tidak bisa menahan diri. “Jangan ditahan …” bisik Nadira lagi, kali ini dia membuka matanya, menatapku dengan sayu, membuatku tampak semakin menggoda. Aku menatapnya sejenak, lalu kembali memejamkan mata lebih kuat. Aku sudah tidak tahan lagi. Akhirnya, aku berbisik tepat di telinganya, “Kamu yang mulai, jangan salahkan aku ya, Mbak.” Setelah itu, aku langsung mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Tanganku mengelus wajahnya yang cantik, turun ke bawah tepat berada di atas buah dadanya yang masih terlapisi bra hitam nya. Aku meremasnya, aku tidak percaya malam ini kembali menikmatinya. Aku menelan ludah, memperhatikan bentuk tubuhnya yang begitu menggoda. Aku mulai membuka bra hitamnya hingga bagian atas tubuhnya terlihat jelas, sepasang buah dadanya yang begitu menggoda dan montok membuatku langsung membenamkan wajahku. Aku menghirupnya dalam-dalam, aku kenyot dan aku gigit kecil bagian ujung buah dadanya. "Ssshhh aaahhh," Nadira mulai mendesah keras.Jam pulang tiba, tapi aku tidak langsung ke apartemen. Aku duduk sejenak di halte, memikirkan cara dapat uang tambahan. Kerja di gym akhir pekan memang membantu, tapi masih kurang. Akhirnya, aku naik bus menuju apartemen, pikiranku masih kacau.Saat tiba di lobi apartemen, aku bertemu Mbak Dini yang baru turun dari taksi, membawa tas kertas dan tas jinjing. Blazer merahnya sedikit terbuka, memperlihatkan kaus ketat yang membingkai lekuk tubuhnya. Rambut pendeknya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya tetap menawan dengan riasan tebal yang khas.“Hei, Bim, baru pulang?” sapanya, tersenyum lebar.“Iya, Mbak,” jawabku, mencoba santai meski badanku lelah.“Kok kelihatan gak semangat? Ada apa?” tanyanya, matanya penuh perhatian saat kami masuk lift bersama.“Gak apa-apa, Mbak. Cuma capek kerjaan di kantor,” bohongku, tak ingin cerita soal keuangan.Lift bergerak, dan tiba-tiba Mbak Dini menyentuh tanganku. “Mau Mbak pijitin? Mbak bisa mijit, lho,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada genit
Aku menghindar, tapi preman kedua menyerang dari sisi, dan yang ketiga entah dari mana muncul mencoba menendangku. Aku membawa mereka ke gang sepi di belakang warung, tak ingin keributan ini mengundang masalah lebih besar.Ketiganya mengeroyok, tinju dan tendangan menghujaniku. Aku sempat terhuyung saat pukulan mendarat di rahangku, tapi ilmu beladiri yang dipelajari membuatku bertahan. Aku memutar tubuh, menendang lutut preman besar hingga dia jatuh. Preman bertato mencoba menyerang, tapi kutangkap lengannya, memelintir hingga dia meringis.Preman ketiga menghantam punggungku, membuatku tersungkur, tapi aku bangkit cepat, menghantam wajahnya dengan pukulan keras. Kancing kemejaku lepas satu, wajahku memar, tapi akhirnya ketiganya kabur, berlari walaupun sambil memaki."Awas lu, tunggu pembalasan kita," kata pria bertato mengancam.Aku kembali ke tempat kakek tadi, napasku tersengal. Aku membantu membereskan alat solnya yang berserakan, hatiku miris melihatnya sendirian. Negara ini me
“Sama-sama, Mbak,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan malam.Aku masih mengatur nafasku yang tersengal-sengal, aku sadar yang aku lakukan ini salah tapi semuanya terjadi begitu saja.Nadira bersandar di dadaku, tubuhnya hangat di bawah selimut tipis. Aku ingin menarik diri, tapi matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang rapuh membuatku ragu. Kita berdua tidur tanpa memakai sehelai benangpun, di bawah selimut tipis Akhirnya, kelelahan menyerangku aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Kami tertidur pulas di sofa, dalam posisi canggung yang entah bagaimana terasa… nyaman.Satu jam kemudian, suara benda jatuh membuyarkan mimpiku. Aku membuka mata, masih setengah sadar, dan melihat Nadira duduk di kursi dekat meja makan, wajahnya pucat. Sebuah kaleng susu tergeletak di lantai, sepertinya dia tak sengaja menjatuhkannya. Dia menoleh padaku, matanya penuh rasa bersalah.“Maaf, aku membangunkanmu. Maaf sudah merepotkanmu… dan lagi-lagi aku…” suaranya lirih, hampir putu
Aku mainkan lidahku menari-nari di pentil buah dadanya, ia menggeliat dan terus meracau."Ahh, terus Bima enak sekali. Kamu memang sangat pintar dalam urusan kenyot mengenyot, puaskan aku, berikan aku kenikmatan." racaunya, matanya tetap terpejam, tubuhmu lemas.Aku tidak berhenti mengenyot buah dadanya, sesekali aku gigit kecil hingga meninggalkan bekas merah. Akan aku lukis buah dadanya dengan maha karyaku. Sampai leher dan buah dadanya banyak noda merah.Lalu aku membuka rok nya, hingga dalam sekejap sudah tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu seksi, wajahnya yang cantik, kulitnya putih mulus, buah dadanya besar, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bahenol.Laki-laki mana yang tidak akan tergoda dengan wanita cantik seperti Nadira. Tepat di depan matanya, terbaring seorang perempuan tanpa busana yang membuat aliran darahku mengalir lebih cepat. Aku merasa kurang nyaman jika kita bergulat di atas sofa, kurang leluasa jika kita berdua
Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku melirik ke arah pintu unit Nadira, tapi aku baru sadar jika aku tidak tahu kata sandinya untuk masuk. “Sial, sekarang gimana?” gumamku panik. Setelah berpikir sejenak, aku menghela napas dan memutuskan untuk membawa Nadira ke unitku sendiri. Tidak mungkin jika aku membiarkannya tergeletak di koridor. Dengan hati-hati, aku menggendong Nadira. Badannya terasa berat, sebenarnya aku tidak ingin menyentuhnya lagi setelah kejadian malam itu, tapi sekarang situasinya darurat. Aku melangkah cepat ke unit apartemenku, membuka pintu dengan susah payah, lalu membaringkan Nadira di sofa. Napas Nadira tak beraturan meski pelan, wajahnya pucat. Aku menatapnya sejenak, masih belum percaya wanita ini kini terbaring di ruang tamuku. Karena sebelumnya, aku bahkan tidak pernah membawa wanita masuk ke apartemenku. Apartemenku kecil, satu kamar tidur, sofa lama, dan meja makan yang nyaris tak pernah kupakai. Mantan pacarku dulu bahkan menolak masu
“Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas. Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang. “Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu. Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya. Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku. Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Ren