Share

bab 3

Semalam Liam menelpon Raya jika ia akan menginap beberapa hari lagi di bandung menemani oma dan opa nya.

Akhirnya pagi ini ia bisa sedikit bersantai di meja makan tanpa harus memasak sarapan terlebih dahulu. Putranya itu lebih suka makan makanan berat saat sarapan persis seperti ayahnya, berbeda dengannya yang lebih menyukai sereal atau roti panggang saja.

Hari ini ia berencana untuk berangkat lebih pagi, agar dapat menjauhi Raga. 

Saat membuka gerbang ia di kejutkan Raga yang sudah siap di pintu gerbang rumahnya sambil menenteng bungkusan plastik berlogo skincare terkenal yang biasa Raya pakai.

Raga buru-buru datang menyerahkan bungkusan tadi pada Raya.

"Dek... kakak udah pesenin kemarin pas pulang kantor. Kakak nggak tahu yang mana yang kamu butuhkan jadi kakak beli aja semuanya!"

Raya masih berdiri tanpa membalas ucapan Raga. Ia hanya memandang sekilas lalu berlalu masuk pada mobilnya.

"dek ...please jangan diam terus kakak pusing hadepin kamu yang kaya gini!" Raga mencekal lengan Raya membuatnya berhenti.

"Nggak ada yang nyuruh kamu buat hadapi aku, udah deh...memang lebih baik kita kayak gini, nggak usah terlalu dekat. Kita nggak mungkin terus berdiri di tempat buat melanjutkan hidup kan kak ?"

"Kamu ngomong apa sih, berdiri di tempat seperti apa? kamu lupa kalo kita punya Liam?"

"Aku nggak mungkin lupa sama anak aku sendiri, bahkan waktu di luar negeri aku masih bisa sempatin telepon dan tanya kabar buat Liam, harusnya kamu tanya sama diri kamu sendiri?"

Raga terdiam mendengar ucapan Raya. Raga menyadari kesalahannya pada semua orang sulit di maafkan, apalagi pada mantan istri dan putranya.

Dulu saat awal perpisahan ia dengan tanpa beban bebas pergi kemanapun dan kapanpun yang ia suka, tak pernah memikirkan putranya yang saat itu masih awal-awal sekolah.

"Udah ya kak....kamu bisa berhenti mulai sekarang. Cukup masalah pekerjaan dan Liam aja alasan kita berdebat, untuk masalah pribadi aku kakak nggak bisa terlalu jauh ikut campur. Lagipula selama ini aku nggak pernah larang-larang kakak mau pergi kemana jalan sama siapa. Kita cuma mantan suami istri yang nggak mungkin balik lagi sekalipun ada Liam!!"

Raya meraih bungkusan yang di bawa Raga dan langsung masuk ke mobilnya. Ia meninggalkan Raga yang masih terpaku mendengar semua ucapan Raya.

***

Di kantor Raya seharian nampak tak fokus dengan pekerjaannya. Ia meminta pekerjaan yang tak berinteraksi dengan Raga secara langsung.

Raya masih malas bertemu dengan Raga, mantan suaminya itu seperti pria tak tahu diri. Sudahlah dicerai dengan alasan yang tak masuk akal, setelah Raya bangkit ia datang lagi mengacaukan hidupnya yang baru di mulai bersama putra mereka.

Mengenai bungkusan skincare dari Raga tadi, kenapa Raya tetap menerimanya, ya dikarenakan Raya ingin membuat Raga miskin. Laki-laki tak tahu diri itu harus mendapatkan pembalasan yang hebat dari Raya, namun sayangnya ide balas dendam dari Raya malah membuatnya semakin dekat dengan Raga.

Baru saja Raya masuk ruangan setelah hampir siang ini ia mengikuti meeting antar sesama sekretaris di pusat, saat ia masuk ia menemukan Raga bersama Bu Gendis entah membahas apa. Mereka menatap sekilas lalu kembali lagi pada pembicaraan awal.

Raya masuk lalu membuka laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaan yang tadi belum sempat selesai. Hampir 30 menit matanya terfokus pada laporan yang ada di depannya sebelum terdengar bunyi telepon yang terletak tepat di belakang mejanya. Ia mengangkat telepon dengan mata yang masih fokus pada laporan tadi.

"Oh baik pak, akan saya sampaikan pada pak Raga sekarang, mohon di tunggu!" jawabnya pada si penelepon tadi.

"Pak Raga maaf, Pak Beni dari tim penyelenggara meminta e-mail dari perusahaan klien untuk menyiapakan keperluan besok pak?" Raya berbicara formal pada Raga.

"Ya emang di kamu nggak ada? Bukannya pekerjaan seperti itu urusan sekretaris ya? Masa Pak Raga harus kirim e-mail sendiri, terus tugas kamu apa?" bukan Raga yang menjawab melainkan Bu Gendis dengan nada yang sangat amat merusak mood Raya.

 Raya yang mendengar celoteh Bu Gendis hanya melengos dan kembali lagi ke pekerjaannya.

"Saya heran deh sama Pak Raga, bukannya sekretaris yang lama sangat kompeten kenapa harus diganti dengan yang bukan bidangnya? Kalo Pak Raga mau, saya bisa rekomendasikan calon sekretaris yang lebih cekatan pak!"

Raga hanya tersenyum mendengar kalimat Bu Gendis, sedangkan Raya tetap fokus pada pekerjaannya seolah kalimat itu tak tertuju padanya.

"Lagian nih ya Pak, kalo bukan Pak Raga mantan Suaminya Raya, Raya pasti masih jadi staf biasa saja. Saya kadang salut sama pak Raga, udah pisah tapi masih peduli sama mantan istri!"

Mendengarnya Raya, menjadi sedikit panas. Sedikit ya...belum terlalu panas, tunggu saja nanti kalo Bu Gendis belum berhenti menyindinya.

"Tapi nanti kalo dah dapat istri baru, jangan kayak gitu ya Pak. Kasian kan nanti istri barunya, harus saingan sama mantan istri manja!!"

"Bu Gendis tau nggak ada beberapa orang meninggal karna keselek ludah sendiri, soalnya sirik ngomongin hidup orang!" Raya mulai panas

"Apa maksud kamu?" Bu Gendis menatap Raya tak terima.

Raya tersenyum menatap kuku indahnya, lalu bangkit dari kursinya,

"Ya iya ibu nggak takut habis ngomongin saya terus pas keluar dari sini tiba-tiba mati. Ibu tahu nggak minuman yang ibu minum itu punya saya, ibu ambil dari lemari pendingin, kan?" Raya menunjuk minuman dingin yang ada di hadapan Bu gendis.

"Ini minuman Pak Raga yang ambilin, mana saya tahu kalo itu punya kamu. Ternyata kamu pelit juga, untung Pak Raga yang Royal!"

"Ya emang yang beli Pak Raga, tapi kan yang ngatur saya. Asal ibu tahu ya minuman itu udah saya masukin serbuk racun tikus. Lihat saja nanti apa yang Ibu rasakan setelah keluar dari sini, kalo nggak mati sambil melet-melet, ya mungkin sambil kejang-kejang!" Raya berkata menakuti Bu Gendis dengan wajah tenangnya.

"Kalo nggak percaya tanya aja sama Pak Raga, beliau bahkan pernah membatalkan meeting nya karna harus bola-balik ke kamar mandi setelah menegur saya!"

Raga dan Bu Gendis melongo mendengar penuturan Raya.

Memang Raga pernah hampir kalah tender karna drama sakit perutnya. Ia bahkan memeriksakan pada dokter apa penyebab ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Alasannya adalah ia terlalu sering makan mangga muda di pagi hari tanpa sarapan terlebih dulu.

Tapi tadi Raya mengatakan semua itu karna dirinya.

"Emang dasar janda aneh! Saya nggak nyangka kenapa dulu Pak Raga bisa milih kamu jadi istrinya!" sindir Bu Gendis.

"Gue pelet, mau apa loe?"

"Tapi peletnya nggak mempan kan, buktinya sekarang kamu dibuang?" jawab Bu Gendis lagi

"Dasar nenek-nenek bawel! Pergi sana, jangan kepo sama urusan orang lain. Urus tuh bau badan kamu yang kaya bulu kambing. Udah bawel, nggak pernah mandi, pasti tadi Kakak nahan napaskan bicara sama Bu Gendis, kan?"

Raya berteriak dan langsung meraih lengan Raga.

Otomatis Raga mengangguk tak sadar dengan ucapan Raya, sedangkan Bu Gendis nampak syok melihat anggukan Raga.

Bu Gendis langsung pergi dan menutup pintu dengan kasar.

Setelah Bu Gendis keluar barulah ia menyadari apa yang ia lakukan. Tersadar dengan kelakuan mantan istrinya, ia mendekati Raya yang nampak cemberut dan mata memerah.

"Dek...kenapa kamu bicara seperti itu sama Bu Gendis. Nggak sopan!"

"Trus, aku musti diem aja denger itu nenek nyindir-nyindir aku?"

"Bukan gitu maksudnya...."

"Udah deh! Kalo nggak suka sana kejar sana, ngapain masih di sini. Lagian kalo bukan aku yang bela diri aku sendiri, siapa yang bakal bela?Kamu? Aku nggak pernah berharap dapat pembelaan dari kamu!"

"Dek ...udah jangan marah-marah terus. Aku minta maaf udah bentak kamu kemarin, larang-larang kamu, tapi kakak cuma khawatir sama kamu!"

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Rasa khawatir kamu itu udah terlambat! Lama-lama bisa mati kalo di sini terus. Pokoknya aku nggak mau tahu, bulan depan aku mau resign, cari kerjaan di tempat lain!"

Raga membulatkan matanya mendengar ucapan Raya.

"Jangan gitu dong! Kalo kamu resign siapa yang jadi sekretaris aku?" Raga panik.

"Kenapa musti bingung, kamu nggak denger si nenek bilang apa tadi? Nenek bakal rekomendasikan yang kompeten buat kamu!!"

"Dek....kamu jangan dengerin omongan Bu Gendis, kamu tahu sendiri kan kalo dia iri sama kamu. Lagian kalo kamu resign kamu mau bayar penalty, kontrak kamu 2 tahun Raya!!"

"Ya kamu dong yang bayar, kan kamu udah janji semua kebutuhan mendesak aku kamu yang penuhin!"

"Itu bukan kebutuhan mendesak sayang.... Itu memang kamu sengaja. Lagian sayang banget uangnya daripada buat bayar penalty, mending buat tambahan tabungan kamu iyakan?"

Raga mencoba membujuk Raya. Jika Raya resign maka usaha pendekatannya pada mantan istrinya akan sia-sia.

Raya masih diam tak menggubris ocehan Raga. Ia bersiap keluar untuk makan siang, namun Raga mencekal tangannya membuat ia berhenti sebentar.

"Minggir ah! Aku mau makan siang lihat tuh udah jam berapa?" Raya berkata dengan ketus, pada posisi lapar seperti ini kekesalannya semakin meningkat saja

"Iya....adek boleh makan siang istirahat sekarang. Nih pake dompet kakak. Adek boleh beli apapun yang adek mau. Beli juga buat anak kita. Udah jangan marah-marah lagi!"

Raga mengambil 2 lembar uang merah di dompetnya lalu menyerahkan dompetnya pada Raya.

Raya menerimanya dengan ragu-ragu. Tapi seakan tersadar akan isi kulkas dan produk incarannya yang kemarin ia inginkan, dengan cepat ia meraih dompet Raga, lalu memasukkan ke dalam saku blazernya.

"Kenapa nggak dari dulu aja begini kamu bujuknya, kan kakak udah tahu dari dulu kalo aku suka uang. Giliran udah cerai aja royal nya ampun-ampunan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status