“Ayah! Jangan pukul Bunda lagi!” jerit Ratu sambil berlari mendekati kedua orang tuanya.
Dengan berani, anak perempuan berusia sembilan tahun itu berdiri di depan Risma, ibunya. Tangannya terentang lebar, menjadi tembok penghalang bagi Ronny, ayahnya, agar berhenti memukuli ibunya. Ratu tidak tahan lagi melihat ibunya dipukuli. Melihat kenekadan Ratu melindungi dirinya, Risma segera memeluk putri semata wayangnya itu. Ia khawatir, Ronny yang sedang gelap mata, mengalihkan kebuasannya pada Ratu yang berat tubuhnya tak sampai setengah bobot Ronny tersebut. Ratu tidak akan baik-baik saja jika ia sampai kena pukul. Akan tetapi, perlahan Ronny menurunkan tangannya saat melihat keberanian Ratu. Ia menjadi lebih tenang dan tampaknya tidak bermaksud memukul anaknya. Padahal, sebelumnya, ia sudah memukul wajah dan tubuh Risma tanpa kenal ampun. “Minggir, Nak. Ini urusan Ayah dan Bunda-mu,” perintah Ronny pada Ratu, dingin. “Tidak. Ayah tidak boleh memukul Bunda lagi!” tukas Ratu. Matanya menatap tajam ayahnya, berkilat menyiratkan kemarahannya. “Nak, jangan membantah ayahmu. Sekarang masuk ke kamar, ya. Biar Bunda bicara dengan Ayah,” bujuk Risma sambil tersenyum pada Ratu. Senyuman yang dipaksakan karena air mata Risma sendiri belum berhenti berderai. Bibirnya pecah hingga mengeluarkan setitik darah. Sedangkan pipinya mulai bengkak usai ditampar. Beberapa bagian wajah dan tubuh lainnya mungkin akan memar sebentar lagi. Ratu sendiri bukan anak yang bodoh. Ia bisa menerka apa yang akan terjadi jika ia sampai meninggalkan ibunya sendirian dengan ayahnya. Oleh sebab itu, ia bertahan dan balas memeluk Risma demi mencegah ibunya terus menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga lagi. Sebagai anak yang masih kecil, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk melindungi ibunya. “Masuk kamar, Ratu!” perintah Ronny setengah membentak. Kemarahannya mulai timbul lagi karena anaknya membangkang, bahkan menantangnya. Dia jelas tidak bisa menerima tingkah laku anak yang seperti itu. Padahal, dirinya sendiri yang sudah melakukan kekerasan dan kekejaman. “Kalau Ratu ke kamar, Ayah pasti akan memukul Bunda lagi. Kasihan Bunda, Ayah,” tolak Ratu lagi. Sepasang mata Ronny melebar saat mendengar penolakan putrinya. Tangannya terangkat. Sepertinya hendak memberi pelajaran pada gadis kecil yang sempat menjadi sumber kebahagiaannya itu. Melihat Ronny yang makin gelap mata, Risma segera menarik putrinya untuk menghindar. Tujuannya adalah berlindung di kamar yang mereka tempati. Namun, saat Risma dan Ratu hendak membuka pintu kamar, seseorang menyela keributan itu dengan keributan lainnya. “Ada apa sih ribut-ribut??!! Razka jadi terbangun dari tidurnya, nih!!” Terdengar sahutan dari kamar lain di rumah. Suara seorang wanita muda yang marah karena keributan yang ditimbulkan oleh Ronny, Risma dan Ratu. Padahal, dirinya sendiri juga tidak sadar bahwa dia juga berteriak-teriak hingga menambah keributan. Dari arah yang sama dengan asal suara wanita tersebut memang terdengar pula isak tangis bayi. Pintu kamar tempat suara itu berasal akhirnya dibuka dari dalam, memunculkan seorang wanita yang menggendong seorang bayi yang menangis karena tidurnya terganggu. Wanita tersebut adalah Rika, istri kedua Ronny. Sedangkan bayi yang sedang menangis dalam gendongannya itu adalah Razka. Bayi laki-laki yang baru berusia enam bulan, putra Ronny dan Rika. “Astaga, Sayang…. Maaf, sudah mengganggu kalian. Abang lupa, ini jam tidur Razka,” sahut Ronny. Ia buru-buru menghampiri wanita itu dan mengambil alih bayi laki-laki yang masih menangis tersebut. Mencoba menenangkan Razka dalam gendongannya. “Ada apa sih, ribut-ribut? Kak Risma bikin ulah apa lagi sekarang?!” sergah wanita itu ketus. Ia melotot pada Risma, menyalahkan istri pertama Ronny tersebut. Padahal, ia juga pasti sudah mendengar bahwa sebelumnya Ronny-lah yang memukuli Risma. “Maaf ya, Dik. Tidur Razka jadi terganggu. Abang hanya sedang menasihati Kak Risma-mu supaya tidak melawan Abang lagi. Dia malah melawan terus hingga Abang harus memukulnya supaya patuh pada Abang,” sahut Ronny sambil terus menenangkan Razka, bayi laki-laki yang sudah dinantinya sejak lama. “Tidak! Ayah yang memukul Bunda, padahal Bunda tidak salah apa-apa!” sergah Ratu, tak terima ibunya difitnah oleh Ronny, ayahnya sendiri. Ronny terbelalak mendengar seruan Ratu. Ia nyaris menghampiri Ratu untuk meluapkan amarahnya. Namun, Rika sudah mendahului dan membentak anak pemberani itu. “Berani benar kau melawan dan memfitnah ayahmu! Apa ini akibat dari ajaran Kak Risma pada Ratu? Anak macam apa yang berani bersuara keras pada ayahnya sendiri?!” Risma terkejut mendengar tuduhan madunya itu. Ia menggeleng cepat. “Anakku adalah anak yang baik. Dia hanya sedang marah pada ayahnya karena memukul aku,” sergah Risma, membela putrinya. Ia memang tak berani melawan Ronny. Namun menghadapi Rika, itu beda cerita. Risma lalu beralih pada Ratu, mengajaknya masuk ke kamar untuk menyudahi keributan tersebut. Ratu menurut karena ibunya sendiri yang meminta, bukan ayahnya yang kejam. Namun Rika ternyata tidak membiarkan Risma mengalah dan menenangkan diri. Sebelum Risma dan Ratu masuk ke kamar mereka, Rika sudah beraksi untuk mengacaukan lagi keadaan yang sudah mulai tenang itu. Ia mendekati Ronny, lalu memegang lengan suaminya dengan wajah sedih. “Bang? Abang lihat sendiri, ‘kan? Berani anak sekecil itu melawan orang yang lebih tua. Abang yang ayahnya saja dilawan, apalagi aku yang hanya ibu tirinya. Bisa-bisa Razka terpengaruh dia nanti. Aku tidak mau Razka jadi anak yang suka melawan seperti Ratu,” rengek Rika dengan tangisan yang dibuat-buat. “Apalagi, Kak Risma tidak bisa mendidik Ratu jadi anak yang manis dan penurut. Aku tidak bisa tinggal serumah dengan orang-orang yang akan membawa pengaruh buruk bagi Razka. Jadi, aku mau kembali ke rumah Mama dan Papa saja!” lanjut Rika dengan suara melengking. Ronny yang masih menenangkan Razka, tersentak mendengar keputusan Rika. Ia tampak kebingungan, apakah harus menyusul istrinya yang hendak kembali masuk ke kamar atau tetap menenangkan Razka di tempatnya. “Se-sebentar, Dik. Abang masih….” Ronny berusaha mencegah Rika, namun istri keduanya itu tak memedulikannya. Ia malah membanting pintu di depan Ronny. Akibatnya, Razka yang terkejut, kembali menangis kencang. Malah lebih kencang daripada saat tidurnya terganggu sebelumnya. “Aish, Rika. Kau membuat anak kita menangis lagi,” umpat Ronny kesal. Risma dan Ratu hanya menatap Ronny yang kebingungan. Risma sebenarnya bisa membantu Ronny menenangkan Razka. Akan tetapi, siapa yang sudi membantu seseorang yang sudah menyiksanya, bahkan nyaris memukul anak sendiri? Tak lama kemudian, Rika muncul kembali dengan tas berisi pakaian dan langsung mengambil Razka dari tangan ayahnya. Ia tidak peduli lagi bahwa Razka masih menangis kencang Rika lalu melangkah cepat menuju pintu depan. Bersiap hendak kembali ke rumah orang tuanya untuk menghukum Ronny yang tidak memihaknya sepenuhnya. “Aku pamit!” cetus Rika ketus. Rika membuka pintu depan dengan kasar lalu berjalan keluar. Setelah itu, ia membanting lagi pintu yang tak bersalah tersebut. Persis drama di TV."Kenapa sih, Mas Raka? Takut pandangan miring orang-orang?" goda Risma."Iya. Kok kesannya aku ini menikahimu karena harta. Aku tidak enak hati. Termasuk pada 'mereka'," sungut Raka."'Mereka'? Duh, suamiku ini baik banget orangnya. Perasaan orang jahat juga dipikirkan segala. Jadi makin cinta, deh," kata Risma lalu mencium pipi Raka.Wajah Raka bersemu. Ia berdiri usai menyelesaikan sarapannya."Aku pamit, mau ke warung," kata Raka sambil menyambar kunci motornya."Aku temani saja. Bantu-bantu. Bosan di rumah," sahut Risma, ikut berdiri.
Sudah dua hari berlalu setelah Risma dan Ratu berhasil ditemukan. Kepulangan mereka ke rumah Rahmat dan Rukmini, membawa kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang sudah tua tersebut, sekaligus menguak berbagai hal yang mengejutkan.Pada awalnya Rahmat dan Rukmini berusaha membujuk agar Risma tidak bercerai dengan Ronny. Sebaliknya, mereka menginginkan agar Rika-lah yang keluar dari rumah itu."Tapi Pak, Bu, saya tidak bisa lagi menerima Bang Ronny sebagai suami saya. Cinta dan harapan padanya sudah tidak ada lagi," jelas Risma saat mereka berkumpul di ruang tengah.Ronny dan Rika sendiri masih ditahan di kantor polisi atas laporan percobaan penculikan atas Ratu. Rahmat dan Rukmini sengaja membiarkan mereka di sana agar da
Rusdi menatap istrinya. Ratih mengangguk sebagai balasannya. Rusdi kembali menatap majikannya.Maka, meluncurlah pengakuan Rusdi mengenai apa yang terjadi. Rahmat duduk mendengarkan sambil sesekali menghela napas.Usai mendengar penjelasan Rusdi, Rahmat memberi perintah."Beri tahu Ibu tentang ini. Bilang juga, kalau mau ikut, kita berangkat mencari Ratu dan Mbak Risma sekarang," perintahnya pada Ratih."Baik, Pak Rahmat," balas Ratih. Ia lalu mencari Rukmini yang sedang memasak di dapur.
Ratu tidak tahu, sudah berapa lama ia menunggu di dalam kamar kos-kosan. Bunda menyuruhnya menunggu hingga Bunda bisa menjemputnya. Tapi, ini sudah terlalu lama.Ratu mondar-mandir di dalam kamar, menunggu dengan gelisah. Ia tidak tahu, berapa lama sudah berlalu sejak ia berhasil lari dari kejaran Tante Rika dan meminta tolong pada para penghuni kos lainnya. Ratu tak punya jam, arloji atau ponsel agar dapat mengetahui waktu.Sudah terlalu lama. Juga terlalu sepi. Ke mana orang-orang? Apakah mereka berhasil menolong Bunda?Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Ratu terkesiap, tidak berani bersuara. Apakah itu Bunda? Atau justru Ayah dan Tante Rika?
Plak! Plak!Risma terhuyung karena tamparan itu. Ronny merangkul pinggangnya, lalu menarik istri tuanya itu untuk dibawa ke mobil."Kejar Ratu. Abang tunggu di mobil," perintahnya pada Rika yang penampilannya kini acak-acakan."I-iya, Bang," balas Rika sambil meringis menahan sakit, lalu mengejar Ratu yang sudah menghilang di balik sebuah belokan jalan.Sambil berlari, Ronny menggendong Risma yang masih pusing. Saat istri pertamanya itu mulai pulih, ia kembali melawan hingga ia dan Ronny jatuh bersama-sama menimpa jalanan.Risma segera bangkit dan berlari menuju ke ko
Ronny dan Rika terus membuntuti dua orang yang mereka yakini sebagai Risma dan Ratu tersebut. Saat kedua orang itu berbelok menuju ke jalanan yang lebih kecil, tidak ramai dan agak gelap, Ronny memarkir mobilnya."Kita jalan kaki saja. Sorot lampu mobil akan bikin kita ketahuan," kata Ronny.Pasangan suami istri itu pun turun untuk melanjutkan perburuannya. Sayup-sayup, mereka bisa mendengar suara-suara yang sudah sebulan ini tidak mereka dengar."Bunda jangan marah ke Om Raka lagi. Kasihan Om Raka.""Bunda tidak marah, Nak.""Terus, siapa dong yang marah?"