Mereka berdua melewati pematang sawah, Dazzle mengantar Merah kembali ke villa. Mereka berpisah karena sudah saling menemukan. Selanjutnya hanya bagaimana melanjutkan hari.
Dazzle melajukan motornya dengan hati yang mungkin sedikit ringan. Menjanjikan sebuah perasaan kepada seorang perempuan yang bahkan belum sepenuhnya dikenal. Entah kenapa, rasanya saat bersama Merah, perasaannya mengendap. Lukanya menguap. Ada pertautan yang bahkan dia sendiri tak paham. Dia bahkan belum bisa memastikan, ini sekedar pelampiasan atau memang sebuah takdir yang menyatukan mereka?
“Non, sudah makan siang?” sapa seseorang membuat Merah kaget. Saat Domi mengantarnya, tak ada orang di rumah.
“Maaf Non, saya Mbok Ijah, tadi Mas Domi telepon, bilang kalau adiknya akan menghuni rumah untuk sementara, Mbok disuruh nemenin Non,” kata Mbok Ijah sambil mengulurkan tangannya.
“Oh iya Mbok, maaf merepotkan. Aku tadi sudah makan di luar,” jawab Merah
Dazzle kembali melajukan motornya ke arah Kuta. Dia sudah mengirim pesan untuk Lara. Kini pikirannya bercabang. Bagaimana mengatakan ijin kerja mobile kepada Lara dan bagaimana menolong Merah.Memang, menjadi pemikir sepertinya selalu membuatnya berada dalam situasi yang rumit.Lara menunggu di starbucks reserve Kuta. Menyesap machiatonya.“Kok lama? Dari mana lo? Cuti klayapan,” salak Lara membuat Dazzle melemparinya dengan struk pembelian.“Sabar napa,” sergah Dazzle menyandarkan punggungnya.“Kamu bisa lobi Pak Irwan agar aku bisa kerja mobile?” tanya Dazzle membuat Lara melotot.“Kenapa lo mendadak pengen kerja mobile?” selidik Lara.“Ya, aku ada urusan yang mendadak dan, rumit,” elak Dazzle.“Lo harus jelasin, baru gue mau bantu,” ancam Lara.Dazzle menyesap cafe lattenya.“Aku, sedang dalam misi, entah ini kutukan atau apa,”
Dazzle menyetir mobil Lara, pagi ini Lara memaksa untuk memakai mobilnya. Dazzle sedang tak ingin membantah.“Kamu yakin nih, Daz?” tanya Lara memecah konsentrasi Dazzle.“Yakin tentang apa?” Dazzle balik bertanya.“Tentang wanita ini,” kata Lara seraya melirik Dazzle.“Yakin tentang dia atau tentang tindakanku?” Dazzle memperjelas.“Tentang tindakanmu sih. Kamu menjadi sangat impulsive,” kata Lara.“Aku juga tak yakin. Tapi aku juga ingin mencoba menjadi caregiver dan lebih memahami orang lain,” kata Dazzle tak yakin dengan tujuannya yang sebenarnya.Apakah ini karena dia ingin membantu Merah, atau ini caranya untuk melarikan diri dari kehidupan.Lara menggelengkan kepalanya. Dazzle sepertinya tak waras.Merah sesekali melihat ke arah halaman. Memastikan matanya melihat kedatangan Dazzle. Dia sungguh merasa gila sudah mengharapkan Dazzle seperti ini
Domi menemui Bara di kafe di kawasan Legian.“Ada apa? Bukankah sudah kukatakan kesepakatan tetap berlangsung meski kalian tak jadi menikah?” tanya Domi membuat Bara mengusap wajahya gusar.Ini tentang hatinya yang ingin memiliki Merah. Terlepas dari perjanjian bisnis itu. Ini tentang hatinya yang mencintai Merah dengan menggebu.“Pertemukan aku dengannya. Aku ingin mengatakan semuanya, penyesalanku dan cintaku padanya,” desis Bara membuat Domi menghela napasnya.“Aku tak tahu di mana Merah berada. Aku tak tahu nomor teleponnya, sepertinya dia mengganti nomornya,” dusta Domi.Dia tak ingin Merah semakin sakit, walaupun mungkin Bara tulus untuk perasaanya, tapi awal dari hubungan mereka sudah tak baik.“Jangan bohong, Dom,” desis Bara sambil menatap Domi penuh selidik.“Aku tak membohongimu,” sergah Domi.“Merah terluka Bar, terluka dalam. Melihatmu mungkin membua
Merah sudah siap. Menunggu dengan antusias kedatangan Dazzle. Hari ini mungkin akan menjadi hari baru baginya. Merah membuka matanya dengan percaya diri. Senyum tak lupa dia sematkan, untuk menguatkan dirinya sendiri, bahwa hidupnya, masih bisa berarti.Domi tak melepasnya pergi. Karena satu hal dan lain hal. Bagi Merah, rasa percaya Domi sudah cukup. Mbok Ijah menunggui Merah. Merasa iba dengan nona mudanya itu. Sungguh hidupnya tragis.Dazzle turun dari mobil, melihat Merah sudah siap di teras rumah membuatnya geli. Merah seperti anak owcil yang tak sabar menunggu saat diajak piknik.“Maaf ya lama, harus mengurus form kerja buat Lara, agar pekerjaanku tak keteteran,” kata Dazzle mulai mengangkut barang-barang Merah ke mobil.“Tak apa,” sahut Merah seraya membawa apa yang sekiranya dia bisa.Mbok Ijah membantu sekedarnya. Kemudian memeluk Merah, mendoakannya agar selalu bahagia dan sehat.Mobil mereka menyusuri jalan
Mobil kembali melaju, jalanan mulai menanjak, dan sempit. Mereka mengambil jalan yang nantinya akan turun di Seririt, Singaraja.Hawa sejuk, bau kopi mentah yang menguar, membuat mereka seolah melupakan tujuan mereka melakukan perjalanan ini.Bersenandung mengikuti lagu yang mereka putar. Tertawa bersama bila salah satunya lupa lirik, mengganti lirik sesuka hati mereka untuk bersenang-senang.Dazzle melupakan perihnya, Merah melupakan sakitnya. Penawar dari rasa yang menyakitkan, mungkin adalah kebersamaan yang tak menuntut apa pun.Hari menjelang sore saat mereka sampai di rumah Dazzle. Pak Made sudah menunggu di teras depan sambil menyesap kopinya.“Akhirnya datang juga,” kata Pak Made dengan logat Balinya yang kental.“Maaf ya, Pak, jadi menunggu,” kata Dazzle lalu menyalami orang yang sudah menjaga dan membersihkan rumahnya selama tak pernah dia tempati.“Mas Dazzle, kaya sama siapa saja. Bli kan eman
Merah menatap langit-langit kamar. Chandelier yang mengantung anggun membuatnya merasa itu seperti dirinya yang dulu sebelum jatuh dan pecah. Sempurna, kemudian cacat dan dianggap tak berharga. Merah memejamkan matanya. Menelusuri setiap jengkal sakit di hatinya. Merana setiap goresan luka itu. Luka yang tak terlihat, tapi menghunjam dalam. Selama bertahun dia menghadapinya sendirian. Semuanya tak mengerti tentang perasaannya. Yang mereka inginkan hanya, dia menerima setiap keputusan dari mereka, tanpa boleh memilih dan menolak. Perasaan sedih Merah, hanyalah hal cengeng yang harus diabaikan. Jangan dituruti. Dazzle, masih duduk di kursi malas. Menatap langit malam. Merenungi hidupnya yang berjungkir balik. Dari merengkuh bahagia saat mencintai Danta, kemudian terluka, lalu melewati hari abu-abu bersama Merah. Inikah yang sedang Tuhan sodorkan padanya? Skenario yang memang harus dijalaninya. Agar dia merasakan bahwa hidup tak selalu berjalan b
Bara sedang merenungi nasibnya, saat ponselnya berbunyi. Kusuma Wardhana. Papa Merah.“Iya, Om. Ada apa?” tanya Bara pelan.“Om, sudah saya katakan, saya akan menikahi Merah, bila memang Merah bersedia. Bukan karena paksaan,” kata Bara sambil memejamkan matanya.Hatinya masih perih bila mengingat kesalahannya terhadap Merah. Lebih perih saat mengingat penolakan Merah.“Om. Maaf, saya tidak bisa melakukan itu tanpa kesadaran penuh dari Merah. Sudah cukup dosa yang saya lakukan terhadap Merah.” Bara mengusap wajahnya dengan pasrah.Sambungan terputus sepihak. Kusuma Wardhana melempar sumpah serapahnya sebelum menutup telepon. Bara paham akan kemarahan orang tua itu. Tapi Bara juga tak bisa membuat Merah menjadi pengantinnya bila memang Merah tak mau.Bara tak ingin menambah luka Merah. Sudah cukup tindakan bejatnya kala itu. Bila mengingat reaksi Merah yang langsung histeris saat melihatnya, malah membuat Ba
Merah menatap Dazzle yang sedang berkutat dengan laptopnya. Hatinya berdesir saat menatap laki-laki itu.Apakah dia mulai terlibat perasaan dengannya? Merah menggelengkan kepalanya. Menyadarkan dirinya sendiri. Dia tak layak untuk mengharapkan Dazzle lebih dari ini.Kesediaan Dazzle menemaninya untuk pulih saja, sudah lebih dari cukup.“Kenapa, Me?” tanya Dazzle melihat Merah bertingkah aneh.“Nggak,” jawab Merah singkat. Jengah karena merasa ketahuan.Dazzle kemudian menutup laptopnya. Duduk di samping Merah. Kini mereka berdekatan di sofa besar di ruang tengah itu.“Pekerjaanku sudah selesai. Lara sudah kubungkam dengan dokumen-dokumen yang harus dia periksa,” kata Dazzle membuat Merah tertawa.Membayangkan Lara mengomel di kantornya.Dazzle memejamkan matanya. Rasa kantuk yang menyerangnya, membuat dia terlelap dalam sekejap. Merah menatap wajah Dazzle yang mulai mendengkur halus.T