Share

2. Joanka Alfiano Batara

      Suasana kantin masih sepi mengingat bel istirahat belum berbunyi, tetapi, Joanka Alfiano sudah merapikan rambutnya dengan gaya side-swept pompadour. Sebagai ketua komplotan perang yang paling digandrungi cewek-cewek di SMA Nusantara, ia memakai pomade untuk menambahkan kesan sleek dan maskulin

sebelum menjemput Metta ke kelasnya.

"Luar biasa," kata seorang cowok berkulit putih pucat yang duduk di depan Joanka−Mikhael. Matanya yang kecil meneliti. "Lo selalu berusaha terlihat rapi tiap kali pengin ketemu Metta, ya." Dia sengaja menekankan kata berusaha terlihat rapi. Soalnya, Joanka yang dikenal sebagai ketua komplotan paling berbahaya itu memang selalu berpenampilan amburadul layaknya preman setiap hari, tapi selalu merapikan diri kalau sudah berurusan dengan Metta Ivasyana−sahabatnya dari kecil.

"Gue nggak mungkin membiarkan tangan Metta lengket akibat keringat yang menempel waktu kita gandengan."

"Bukannya gandengan lo selalu ditolak, ya?" celetukan itu terbilang berbahaya. Pasalnya, Joanka langsung menoleh dengan tampang keruh. Tidak salah lagi, pelakunya adalah Gevariel−salah satu anggota komplotan dengan posisi paling aman−Penasihat Perang.

"Cewek itu selalu haus akan kasih sayang." Geva meneruskan aksinya tanpa dosa, "apa jadinya kalau selama jalan bareng sama sekali nggak ada kontak fisik sama pasangan? Mungkin, ketertarikannya sama lo perlu dipertanyakan lagi."

Kalau kata orang tatapan bisa membakar, mungkin inilah maksudnya. Joanka seakan ingin membumihanguskan Geva yang bisa-bisanya memasang tampang cuek setelah menyakiti hatinya. Ya, selama ini Metta memang selalu menolak skinship dalam bentuk apa pun. Tidak terkecuali untuk gandengan, dengan alasan yang belum jelas. Namun, please, Geva nggak harus membuatnya sejelas itu, kan? Memalukan.

"Mending jemput Metta sekarang, Jo. Lo nggak mau, kan, jadwal ngambeknya diperpanjang?" Mikha mengambil jalan tengah. Ia tahu, Joanka sensitif jika membahas soal skinship, bisa-bisa mood cowok itu rusak seharian karena mikirin cara untuk menggandeng Metta. Padahal, dia tahu Metta punya alasan saat memutuskan tidak ada skinship di hubungan mereka. Mendengar perkataan Mikha, Joanka bergegas meninggalkan kantin yang masih sepi untuk menjemput Sang Pujaan Hati di kelasnya.

                                                                ***

"Lama?" tanya Metta−sekadar basa-basi, saat melihat cowok yang bersidekap sambil bersandar di dinding depan kelasnya. Tidak bermaksud judes ke pacar sendiri, nada bicaranya memang pukul rata.

Cowok itu mendongak, menghela napas. "Iya," sahutnya.

Lagi-lagi Metta membuat Joanka menunggu lama. Padahal bel istirahat berbunyi lima belas menit yang lalu, dan Metta tahu cowok itu sudah ada di depan kelas. Namun ia masih saja berkutat dengan buku pelajaran. Hal itu juga yang kadang membuat Joanka meragukan perasaan Metta. Benarkah cewek jutek super cantik di depannya sekarang ini memiliki perasaan yang sama?

"Yuk," ajak Joanka, tak ingin memperpanjang perdebatan.

Sesampainya di kantin, Joanka dan Metta duduk di salah satu meja kantin yang memiliki empat kursi. Letaknya benar-benar di tengah, karena kursi lain sudah disesaki siswa lain.

Metta duduk sambil memandangi Joanka dan mendesah pelan. Lagi-lagi cowok itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Lagi-lagi, Joanka tak berkutik dari ponsel. Cowok itu tidak melirik Metta barang sedikit pun sesampainya di kantin, mungkin masih kesal akibat dibuat menunggu lama. Menyebalkan.

Metta menelungkupkan wajah dengan sebal, menatap orang yang saat ini baru saja berbaikan dengannya sedang sibuk mengetikkan sesuatu diponselnya.

"Joan," panggilnya pelan. Jujur saja, dari tadi Metta sudah lelah memanggil cowok itu dengan nada menjijikan seperti ini. Agak memelas perhatian. Namun, jari-jari Joanka masih saja menari di atas keyword ponsel. Sama sekali tidak menggubris.

Matanya senantiasa menatap ponsel dan tidak menyadari wajah Metta yang sudah kesal sekali. "Ih, nyebelin banget sih," gerutu Metta.

"Joankaaa," tegurnya sekali lagi, dengan sedikit keras. Biar cowok itu sadar, kalau Metta sudah kesal dengan sikapnya dari tadi.

Joanka mendongak dan menatap Metta sambil memamerkan senyum yang bisa membuat dedek-dedek gemesh saling bunuh cuma buat mendapatkan senyum seperti itu dari seorang Joanka.

Aih, asdfghjkl.

"Kenapa, Sayang? Maaf, tadi grup basket rame. Rencananya besok mau sparing sama Smada."

Sebenarnya, Joanka sengaja menguji ketahanan Metta kalau dirinya lah yang dicuekin. Alhasil Metta hanya menghela napas, terlanjur kesal. Sebab tidak disahut, Joanka bertanya lagi, "kamu mau apa? Nanti aku pesenin."

Metta mendongak dan menatap tulisan-tulisan menu pada spanduk besar yang tergantung.

"Lo lebih suka bakso atau mi ayam, Jo?" tanya Metta.

"Kamu," jawab Joanka serius.

"Gue nggak ada dalam pilihan."

"Kamu bukan pilihan. Hanya ada satu."

"Nggak usah melantur, deh. Gue bakso aja."

Joanka meringis, lagi-lagi gombalannya mantul.

"Tur, pesenin dua bakso sama teh es dong!" kata Joanka pada cowok jangkung berkacamata yang berjalan melewatinya. Memerintah orang itu seenak jidat, tidak merasa sungkan apalagi segan.

Cowok itu−Catur berhenti lalu menoleh. "Sebentar," katanya, lalu berjalan ke etalase penjaga kantin. Tampak sama sekali tidak keberatan jadi babu dadakan seorang Joanka.

Sudah biasa, kalau anak-anak dari kasta atas sering menyuruh-nyuruh golongan bawah. Lagipula, Catur tidak punya kekuatan membantah. Masih sayang nyawa. Ayolah! Memangnya orang bodoh mana yang mau mencari masalah dengan seorang Joanka? Cowok paling populer dan disegani di sekolahnya. Joanka mempunyai postur tubuh yang sempurna seperti model, dia juga seorang pemimpin sebuah komplotan perang SMA Nusantara sejak dua tahun terakhir, dan yang terpenting adalah otaknya sangat cerdas. Membuat Joanka meskipun agak berandal tetapi tetap semakin disayang oleh para guru dan punya fansclub yang jumlahnya lumayan banyak.

Joanka disegani oleh banyak orang di sekolahnya, bukan hanya karena ayahnya menjadi penyumbang dana terbesar di sekolah swasta bertaraf International itu, tapi juga karena prestasinya di berbagai bidang mata pelajaran, terutama olahraga basket.

Wajah ganteng bak malaikat dan sikapnya yang ramah pada semua orang juga membuatnya sangat disukai. Sekalipun orang-orang menyayangkan karena seorang Joanka harus berpacaran dengan Metta. Padahal jika dilihat sekilas mata, mereka adalah pasangan yang serasi.

Metta cewek yang sangat cantik, berlimpah materi dan juga menjadi perempuan nomor satu di SMA Nusantara dalam bidang akademik. Selama hampir dua tahun menjadi siswi di SMA Nusantara, dia selalu menjadi juara umum. Hanya saja, banyak orang yang tidak menyukainya.

Metta dinilai terlalu sombong. Bersikap seolah dia manusia paling jenius di sekolah, paling sempurna tiada tara. Saat kerja kelompok pun Metta tidak pernah mau mendengar pendapat teman satu kelompoknya. Metta tidak pernah salah! Hal itu sudah menjadi prinsip mendarah daging dalam dirinya. Oleh karena itu, hanya segelintir orang saja yang bisa betah bertahan di sisinya. Joanka hanya salah satunya. Cowok itu bangga memiliki pacar secantik Metta. Sekali pun memang karakter Metta terlalu beku dan bertolak belakang darinya yang lumayan ramah. Singkatnya, sih, berbeda dengan Joanka, Metta sangat payah dalam urusan bergaul.

Sembari menunggu pesanan datang, Metta mengedarkan pandangan mengeliling kantin yang penuh sesak. Suatu keputusan yang salah, karena saat itu ia melihat segerombolan cewek yang sedang cekikikan sembari menatapnya, lalu tertawa lagi.

Eh.

EH!!!!!!

Jangan-jangan mereka itu fansnya Joanka?

Ah, sialan. Pasti mereka sadar kalau Metta dari tadi tidak dipedulikan oleh Joanka. Pasti mereka tertawa di atas penderitaannya. Alhasil, bukannya amarah Metta mereda, malah semakin membara. Layaknya lampu yang menyala di atas kepala, Metta mendapatkan ide.

Ide yang akan membuat segerombolan cewek tukang nyinyir itu cemburu berat dan meraung-raung karena sakit hati. Haha, Metta dilawan.

Dia kemudian menatap Joanka dengan sorot penuh cinta. Menatap Joanka yang kembali asyik dengan ponselnya. "Joan," ujar Metta dengan nada manja. Sungguh, ini bukanlah Metta yang sebenarnya. Hanya saja, saat ini egonya sangat tinggi. Dia tidak ingin merasa kalah dengan biji-biji cabe kering yang sedang memandangi pancarnya dengan sorot ingin memiliki.

"Hm?" lagi-lagi Joanka hanya menyahut dengan gumaman, padahal dia senang banget dipanggil Metta dengan nada seperti itu. Berarti jurus cuekku berhasil, pikirnya.

"Lo makan dulu, Jo," ujar Metta merajuk dan mengelus tangan Joanka yang masih sibuk mengetik balasan chat. Metta kembali melirik ke cewek-cewek tukang gosip itu dan tersenyum mengejek. Dia bisa melihat wajah cewek-cewek itu langsung berubah seratus delapan puluh derajat, kecut dengan tingkat kecemburuan maksimal.

Joanka tersenyum sekilas tanpa memandang Metta. "Iyaaa Sayang, sebentar, ya." Sebenarnya, dalam hati Joanka senang Metta ternyata bisa perhatian seperti ini. Tidak sia-sia melakukan persis seperti yang sering disarankan Geva selama ini.

Sudahlah, cukup sandiwaranya. Metta tidak akan melanjutkannya lagi. Itu hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan. Dia sangat tahu kalau Joanka masih kesal. Cowok itu seperti anak kecil, susah sekali membujuknya untuk berhenti merajuk. Metta menghela napas berat sebelum berkata, "Jo, nanti lo pulang duluan aja. Gue mau ke perpustakaan." Metta membuka percakapan, berharap kali ini Joanka tidak berniat mengikutinya lagi dan berakhir dengan mereka yang mogok bicara.

Joanka mengangguk, soalnya itu sama sekali bukan kalimat meminta izin. Kemudian dia memundurkan kursi juga wajahnya. Dia menatap Metta dengan sorot yang sama sekali tidak dapat diterjemahkan. Kadang Joanka menebak-nebak apa yang dipikirkan cewek itu.

Ingin tahu apa sebenarnya isi dari kepala jenius yang sangat disayanginya. Joanka menyukai Metta sejak lama. Dia sering sekali menghadapi sikap Metta yang dingin, namun masih saja tidak bisa terbiasa.

"Joanka, ya?" Teguran seseorang memecah lamunan Joanka, membuatnya menoleh lalu mendongak. Tatapannya menumbuk cewek manis yang berdiri di belakangnya. Cewek itu berambut panjang bergelombang−hampir sama seperti rambut Metta−tetapi lebih tipis. Kulitnya putih pucat seperti Mikha, dan matanya yang bulat tampak berbinar menatap Joanka. Tampang cewek polos, itulah kesan pertama yang ditangkapnya. Joanka yang memang sudah biasa mendapat tatapan seperti itu mengangkat sebelah alisnya, merasa tidak pernah melihat ataupun mengenal cewek itu. Cewek itu juga tampak sangat berani mendekatinya sekalipun ada Metta. Hal yang jarang terjadi. Langka sekali!

"Murid baru, ya?" batin Joanka sebelum mengutarakan pertanyaannya, "Iya?" tanya Joanka sopan.

"Kenalin ..." cewek itu mengulurkan tangan, "gue Princessia Agatha, baru dua hari sekolah di sini. Panggil aja Prissy." Ada semburat kemerahan di pipi putih Prissy yang sedikit menggetarkan hati Joanka. "By the way, kita satu kelas, lho...."

"Eh?" Joanka terkejut, otomatis melirik Metta yang sudang memasang tampang masam. Pantas saja ia tidak mengenal anak baru ini, soalnya sejak dua hari yang lalu Joanka bolos semua kelas tanpa sepengetahuan Metta.

"Jadi gini, gue bener-bener butuh bantuan lo saat ini," kata Prissy to the point sambil mengode Joanka untuk menyambut tangannya, sok akrab.

Joanka menjabat uluran tangan Princess. Tidak yakin apakah setelah ini Metta masih mau memaafkannya. "Bantuan apa?" tanya Joanka akhirnya. Jujur saja, ia sedikit kagum pada tingkah cewek itu. Berani sekali dia mendekati, bahkan meminta bantuan seorang Joanka. Di depan Metta, lagi.

"Gini, gue kan agak kurang di mata pelajaran olahraga, terutama basket. Pak Aton menyarankan gue untuk minta diajarin teknik dasar sama lo. Soalnya, kan, lo kapten basket di sekolah ini."

Prissy menceritakan penderitaan yang dialaminya tanpa rasa canggung.

Membuat Metta dalam hati mencibir dan melontarkan segala sumpah serapahnya sampai tujuh turunan. Semakin mengumpat lagi ketika melihat Joanka yang membalas senyum cewek itu. Sementara Joanka tersenyum tipis, cewek di depan matanya itu benar-benar membuatnya merasakan hal yang tidak pernah dirasakannya. Antara kagum dan prasangka buruk. Namun, Joanka tidak terlalu ambil pusing. Dia senang membantu teman-temannya. Well ... harus digaris bawahi, apalagi yang minta tolong itu cewek-cewek super cantik seperti ini.

Walaupun hatinya selalu mengatakan, "nggak ada perempuan yang lebih cantik daripada Metta."

"Frans, kasih dia nomor w******p gue," perintah Joanka pada teman sekelasnya yang duduk di bangku seberang, tepat di belakang Metta.

Frans yang sedang melahap baksonya langsung menoleh dan mengacungkan jempol. Joanka mengangguk, ia kembali menatap Prissy.

"Minta nomor gue sama Frans, kalo lo mau latihan hubungin aja nanti."

"Beneran?" Prissy memastikan lagi. Manik abunya menatap Joanka sungguh-sungguh.

Joanka mengangguk pelan lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya tidak nyaman saat ditatap dengan mata seberkilau milik Prissy. Sementara cewek itu tersenyum senang, tanpa memedulikan keberadaan Metta di situ, dia membungkuk dan langsung mencium pipi kanan Joanka.

"Makasih, ya. Lo baik banget...."

Diserang mendadak seperti itu, cukup untuk membuat Joanka melotot kaget dengan mulut megap-megap saking terkejutnya. Metta yang tidak kalah terkejut hanya bisa menatap Joanka nanar lalu memalingkan wajahnya sebal. Bahkan, drama itu langsung menarik perhatian seluruh penghuni kantin.

"Sial banget gue!" desis Metta. Dia bersumpah akan menjambak Princess jadi-jadian itu lain kali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status