Share

1. Metta Ivasyana

     Metta Ivasyana tersenyum─tipis-tipis agar tidak yang menyadari itu saat ia menemukan sebuah surat di laci meja pagi ini. Dua bulan terakhir, ia selalu menerima surat yang isinya kurang lebih sama saja setiap pagi. Puitis dan menggelitik.

Aku salah menatap matamu dalam,

Aku salah menemukan sorot hangat itu,

Aku salah menyukai iris matamu yang indah..

Aku salah jatuh terlalu dalam ketika menatapmu.

Kalau boleh aku akui, Aku menyukai kedua matamu itu ,

Yang selalu memancarkan ketenangan, kehangatan, dan kebahagiaan.

Sekali lagi, aku suka mata mu

Seperti aku menyukai kamu.

Ralat, aku mencintai kamu.

Palangka Raya, November 2018.

"Dasar aneh," katanya sambil melipat dua bagian kertas bermotif hati merah, lalu menjejalnya di saku.

Tidak diragukan lagi, pengirimnya pasti Joanka Alfiano. Satu-satunya cowok di SMA Nusantara yang cukup tangguh untuk seorang Metta Ivasyana dari kasta teratas. Cewek paling cantik serba sempurna. Bagaimana tidak, sifat Metta yang dingin dan jarang berbicara, serta kata-kata sadis yang kerap kali meluncur dari mulut manisnya itu membuat banyak orang sungkan menyapa. Matanya hitam dan sayu, tapi tajam secara bersamaan. Singkatnya, she's a monster with a beautiful face.

Namun, walaupun banyak yang tidak menyukainya, masih ada segelintir orang yang betah berlama-lama berada di sekitar area berbisa Metta. Lalu, mereka akan dengan bangga menawarkan diri menjadi pelindungnya. Contohnya, seperti Joanka yang selalu meletakkan surat cinta di laci Metta setiap pagi. Cowok jangkung berotot, yang sudah menjatuhkan hatinya untuk Metta sejak hari pertama sekolah.

Metta meletakkan ranselnya di atas meja, mengeluarkan buku-buku mata pelajaran pertama. Melirik jam di atas papan tulis, yang diapit gambar Presiden dan Wakilnya. Masih tersisa lima menit sebelum jam pertama dimulai. Dalam hatinya, Metta menghitung diam-diam sambil mengawasi jarum jam.

10 ...

15 ...

35 ...

"Metta!"

Mendengar namanya dipanggil, Metta menyeringai puas saat seorang cowok menggapai mejanya dengan susah payah. Wajah cowok itu memerah. Bulir keringat sebesar biji jagung ada di pelipisnya. Rambutnya terlihat licin akibat pomade yang luntur karena keringat berlebihan.

"Sudah dibaca, ya?" tanya cowok itu di tengah sengal napasnya.

"Hm."

"Hah?" Cowok itu terperangah mendengar sahutan Metta. Metta sadar, mungkin, sahutannya begitu ambigu untuk diterjemahkan oleh cowok yang sedang kepayahan mengatur napasnya sendiri.

"Udah," ralatnya.

Cowok itu mendesah lega, seiring luruhnya lutut menyentuh lantai. Sekarang, posisi mereka berhadap-hadapan walaupun terhalang meja. Jari-jari panjang cowok itu menyisir rambut hitam kecokelatannya yang basah ke belakang. Senyumnya merekah, ada perasaan senang yang membuncah setiap kali ia mendengar suara Metta.

"Jadi, kamu udah nggak marah lagi kan sama aku?" suaranya melembut karena sudah bisa mengontrol napas.

Setiap hari, sebelum jam pertama dimulai, team basket SMA Nusantara harus berlatih di lapangan belakang sekolah yang jaraknya cukup jauh dengan kelas Metta, XI IPA 5. Hal itu pula yang membuatnya harus berlari dengan kecepatan cahaya setiap kali bel pelajaran pertama hampir berbunyi.

"Masih."

"Kok begitu?" Joanka merenggut. "Aku kan nggak datang telat hari ini." 

Alih-alih menyahut, Metta malah mengeluarkan surat cinta yang ditulis Joanka tadi pagi dari saku seragamnya lalu berujar, "Joanka, bisa nggak sih, lo stop nulis-nulis yang beginian? Geli, tahu nggak." Metta mendelik sebal ke arah Joanka yang mulai berdiri.

"Harus begitu, ya?" tanyanya cengengesan.

"Iya."

"Oke, kalau itu menggelikan buat kamu, aku nggak akan nulis-nulis begituan lagi. Tapi, ada syaratnya, ya." Joanka tersenyum semakin hangat. Tak ada sedikitpun rasa tersinggung yang terdeteksi oleh semua orang yang sedang memperhatikan drama percintaan Raja dan Ratu Nusantara itu.

"Nanti kita makan bareng di kantin. Aku yang traktir."

"Hm." Metta terlalu malas berlama-lama mengobrol dengan Joanka. Lebih tepatnya, Joanka dianggapnya menghalangi pandangan.

"Istirahat aku ke sini. Aku balik kelas, ya. Belajar yang rajin." Joanka menepuk kepala Metta dengan sayang sebelum berlalu meninggalkan kelas XI IPA 5.

Metta memegang puncak kepalanya, terasa sedikit lengket akibat keringat di tangan Joanka. "Gue benci ini," desahnya pasrah saat guru matematika berkumis tipis memasuki ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status