Share

4. Princessia Agatha

"Kebanyakan nggak enak sama orang, malah bikin orang lain jadi seenaknya sama kita." 

                                                                     ***

     Joanka menyeka bulir-bulir keringat dengan lengan kaos olahraganya yang basah. Di depannya, Prissy tampak terengah-engah sambil berjongkok memeluk sebuah bola basket. Cuaca siang ini sedang mendung, makanya sepulang sekolah Prissy meminta Joanka untuk mengajarinya bermain basket. Alasannya, karena tidak terlalu terik.

Joanka terpaksa menerima ajakan Prissy kali ini, karena terlajur berjanji tempo hari. Padahal, dia menyesal sekali sudah menanggapi cewek itu di hari pertama mereka bertemu. Biasanya sekesal apa pun Joanka saat tidak mendapatkan perhatian Metta, dia sama sekali tidak berniat untuk terlibat dalam permainan modus asmara cewek-cewek yang pengin mendekatinya.

Tidak ada yang berbeda dari Prissy, tapi anehnya Joanka seakan tidak bisa menolak. Cewek itu terlalu ramah dan polos. Jahat sekali Joanka kalau tidak bersedia membantunya, padahal mereka teman satu kelas. Namun sekarang malah Joanka sendiri yang kena getahnya. Sudah lelah seharian di sekolah, waktu bersama Metta berkurang juga. Ini sih namanya ... sudah jatuh, tertimpa tangga.

"Udahan aja dulu kalo capek," saran Joanka. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat pulang, tapi merasa gengsi juga kalau seolah di antara mereka berdua justru Joanka yang terlihat lemah.

"Nggak. Gue belum capek, kok." Prissy berdiri lalu tersenyum manis. Tidak peduli pakaian olahraganya sudah banjir keringat, ia sangat menikmati permainan ini. Jarang-jarang dapat kesempatan berduaan dengan Joanka seperti sekarang tanpa Metta di tengah-tengah mereka.

"Lo payah, nggak bisa masukin bola karena kependekan," ejek Joanka sambil merebut bola dari tangan Prissy, men-dribble-nya lalu melempar ke ring. Masuk.

"Makanya ajarin gue dong...." Prissymerengek manja. Berusaha bersikap semanis mungkin, tapi sayangnya Joanka sudah berlatih untuk kebal terhadap pesona cewek selain Metta.

"Maksudnya, ajarin buat tinggi?" Joanka mulai tidak sabar. Dalam skala prioritasnya, Metta nomor satu. Dia tidak punya waktu lebih untuk dihabiskan dengan cewek lain semacam Prissy ini.

"Gue udah capek, mendingan lo coba belajar shoot sendiri. Kalau udah bisa, baru panggil gue." Joanka melipir ke tepi lapangan. Matanya menangkap sosok cewek yang sudah beberapa hari ini jelas-jelas mengibarkan bendera perang kepadanya.

Metta dan kedua sahabatnya−Kara dan Sacha yang juga memakai kaos olahraga tampaknya baru keluar dari lapangan futsal indoor. Metta sedang mengikat tinggi rambutnya yang basah oleh keringat. Cewek itu memakai kaos olahraga berwarna ungu yang ngepas di badan, dan celana training senada yang sama ketatnya seakan menegaskan kalau Metta sengaja memamerkan kaki langsingnya. Hal itu pun sukses membuat Metta terlihat seperti model internasional di mata Joanka. Ah, memangnya bagian mana dari Metta yang dianggap sebuah kekurangan oleh Joanka? Metta selalu saja menjadi hal paling sempurna baginya.

Joanka segera menghampiri Metta dan merangkul dari belakang, tidak sadar tempat. "Sayangku...." panggil Joanka manja, membuat Sacha dan Kara hampir muntah mendengar suaranya yang dibuat sok imut. Untung saja tidak ada yang benar-benar berani muntah di depan Joanka karena masih sayang nyawa.

"Apaan sih, Jo. Lepas!" Metta menepis kasar. "Keringat lo lengket banget," hardiknya. Rasanya Metta malu sekali jadi pusat perhatian anak-anak yang masih di lapangan karena menjadi pelampiasan sikap gila Joanka. Namun, cowok itu seakan tidak rela melepas rangkulan. "Joanka, kalau kelihatan guru piket kita bisa dihukum."

"Biarin." Joanka merengut seperti bayi. "Beberapa hari ini kamu menghindar, aku jadi kangen."

"Ya tapi nggak usah pegang-pegang juga, ih." Metta tidak menyerah, dia meronta-ronta tapi pelukan Joanka kian menguat. Matanya menyapu pandang ke sekeliling, sekali pun jam pelajaran sekolah sudah berakhir dari tadi, masih banyak siswa-siswi yang mengikuti ekskul saat ini. Jumlah guru yang masih belum pulang dari sekolah pun tentunya tidak sedikit. Joanka sungguh tidak berhati-hati. Ya ampun, ada apa dengan Joankanya yang selalu cool dan jaim?

Dengan kesadaran penuh, Metta tahu saat ini banyak siswa yang sedang memperhatikan dan menggunjingkan mereka. Namun, Joanka malah tertawa renyah dan justru mempererat pelukannya di bahu Metta. Menarik Metta lebih dekat.

"Aku kangen kamu Sayangku, Cintaku, Belahan Jiwaku...." Joanka membabi buta, berusaha melancarkan seribu satu jenis gombalan receh yang sama sekali tidak membuat Metta tersipu. Metta justru memelotot ngeri mendengar gombalan alaynya.

"Ih! Joanka jangan lebay, deh! Lepasin nggak!" Metta memukuli tangan Joanka tapi cowok itu tetap tidak bergeming, dia malah menyandarkan dagunya di kepala Metta lalu cengengesan.

"Kasih yang waktu itu dulu, baru aku lepasin," pinta Joanka mengada-ada. Sebenarnya, Joanka geli sendiri melakukan ini, tetapi ini satu-satunya cara agar Prissy menjauh darinya. Menegaskan siapa sebenarnya si pemilik hati.

"Hayo lhooo, Mett.... Lo ngasih Joanka apa sampe ketagihan gitu?" tanya Sacha sambil tersenyum nakal. Kara ikut-ikutan menatap Metta curiga.

"Ng-nggak ngasih apa-apa, kok," bantah Metta. Semburat merah menghiasi pipi putihnya yang mulus tanpa jerawat. Dia terus berontak berusaha melepaskan diri dari pelukan Joanka.

"Cie ... Metta ...." Kara semakin menggoda.

"Pasti lama tuh mainnya." Dukungan Sacha semakin melantur.

"Jo, lepasin gue malu ..." pinta Metta memelas. Dia mendongak, menatap Joanka yang sedang tersenyum menggoda.

"Hug back dulu, dong." Joanka bersikeras, benar-benar tidak tahu diri.

Metta menggeleng, sulit sekali melepaskan diri dari pelukan Joanka. Badan Joanka yang lebih tinggi dan tenaganya yang kuat membuat Metta yang berbadan jauh lebih kecil tidak bisa berkutik dalam pelukannya.

"Ya udah, kalau nggak mau. Biar aku aja yang peluk kamu terus."

"Ya udah!" Metta kesal abis.

Joanka tersenyum lalu mengangkat kepalanya dari puncak kepala Metta. Metta menatap Kara dan Sacha memelas, yang ditatap justru malah senyum-senyum penuh arti.

"Joanka!" teriak Prissy.

Joanka menoleh, kesal karena momen romantisnya diganggu oleh suara cempreng yang beberapa hari lalu sempat dianggapnya merdu itu. Prissy tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. "Gue udah bisa masukin bola nya ke ring!"

"Coba gue liat," teriak Joanka. Kini Metta juga memperhatikan Princess. Tidak berontak lagi karena terfokus pada si benalu yang sering sekali mencari-cari perhatian di depan pacarnya.

Prissy mengambil bola basket yang lain, lalu melemparkannya ke ring. Melihat caranya menembak ke ring, Joanka sekarang tahu kalau cewek itu hanya berpura-pura tidak bisa basket. Prissy hanya mencoba mencari kesempatan agar bisa menghabiskan waktu bersama. Merasa kesal sudah dibohongi, Joanka hanya tersenyum sinis lalu mengangguk.

"Ayo kita lanjutin latihannya," ajak Prissy bersemangat, sedikit mendelik kepada Metta yang tampak memasang wajah kesal dan cemburu.

"Lo udah bisa kan, terus ngapain mau lanjut latihan lagi? Gue mau pulang bareng Metta." Joanka menggiring pacarnya itu pergi. Metta yang merasa menang kali ini menyempatkan diri untuk menyeringai pada Prissy. Puas karena melihat wajah kusut cewek itu yang tidak berhasil merebut perhatian Joanka darinya.

"Kita minum es kelapa di depan, ya." Joanka melepas rangkulannya lalu mencengkeram lengan Metta dan menuntunnya, padahal Metta tidak berencana melarikan diri lagi.

"Cewek itu bohongin aku. Ngakunya nggak bisa main basket, padahal jago. Aku cuma nggak enak aja, soalnya udah terlanjur janji." Joanka menjelaskan tanpa diminta. Takut kalau Metta semakin memperpanjang perang dingin mereka.

"Kebanyakan nggak enak sama orang, malah bikin orang lain jadi seenaknya sama kita." Nada Metta terdengar menggurui. Dia kesal sekali karena di tengah-tengah komunikasi buruk mereka, Joanka masih menyempatkan diri untuk menemui cewek yang menjadi sumber pertengkaran mereka itu.

"Iya, maafin aku."

                                                                 ***

"Sial!" maki Prissy geram sambil membanting bola basket di tangannya. Ia merasa sangat kesal karena lagi-lagi tidak dipedulikan Joanka. Rencananya selalu gagal setiap kali Metta muncul. Cewek sombong itu memang benar-benar menjadi batu sandungan untuk Prissy. Entah bagaimana lagi cara yang harus dilakukannya agar Joanka bisa berpaling. Supaya cowok itu menutup mata dari Metta dan hanya menatapnya yang jauh lebih sempurna. Di tengah kekesalannya, ia melihat Mikha keluar dari lapangan futsal indoor yang tadi didatangi Metta bersama Geva dan beberapa komplotannya .

"Gue pengin ada di posisi Metta, yang dikelilingin cowok-cowok ganteng itu." Prissy berandai-andai. Entah apa yang merasukinya hingga berpikiran menggeser Metta untuk bisa berada di tengah-tengah lingkaran pertemanan Komplotan Tempur SMA Nusantara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status