Share

3. Mikhael Pradipta Hernan

     Sial! Mikha bangun tepat lima belas menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Ini adalah sebuah kegilaan yang sudah ia perkirakan sejak sebelum berangkat tidur tadi malam. Semua ini akibat ia mengikuti kegiatan rutin adiknya−Mila−setiap malam, menonton drama korea hingga larut malam tanpa memperhatikan jam. Salahkan saja Mila, dan drama koreanya yang membuat kelewat penasaran.

Mikha menuruni anak tangga dengan seragam yang dipasang acak-acakan, dan rambut berantakan tak karuan akibat tidak sempat mandi. "Kenapa nggak ada yang bangunin, sih?" keluhnya saat melihat kedua orangtua dan adiknya sudah hampir selesai sarapan.

"Ngebo, sih," sambar Mila. "Udah dibangunin dari tadi juga."

"Bodo ah." Mikha menyambar gelas susu milik Mila dan menandas habis isinya. "Mikha pergi dulu, Ma, udah telat," katanya sambil lari-lari menyambar kunci motor seperti orang kesetanan dan menarik tanpa ampun gas motor, bersamanya si putih melesat cepat menyisakan asap tipis.

Mikha sebenarnya termasuk siswa yang patuh akan lalu lintas, tapi hari ini tidak.

Dari kejauhan Mikha melihat lampu lalu lintas di perempatan jalan berubah merah. Ia meringis. Kalau menunggu lampu hijau, sia-sia dia ngebut tadi. Tak ada pilihan lain. Ia menerobos lampu merah secepat cahaya, sukses membuat orang-orang di perempatan nyaris menabraknya dan menyumpah serapah. Satu belokan lagi dan Mikha akan sampai di sekolah. Sisa dua menit, sebelum pagar sekolah ditutup. Saat sampai di depan gerbang, ternyata belum ditutup−tapi akan segera menutup. Mikha mengklakson bertubi-tubi bersamaan dengan menancap gas motornya dengan kecepatan tinggi. Suara motor yang meraung heboh membuat pak satpam yang bertugas kaget.

"Yess!" Mikha menyeringai. Tepat setelah memasuki gerbang sekolah, bel berbunyi.

Namun, baru saja ia hendak parkir di tempat biasa, tiba-tiba ada sebuah motor matic putih yang menyerobot tempatnya.

"Lah lah ... siapa yang berani ngambil tempat parkir gue?" sungutnya kesal. Dia menekan klakson dengan gemas berkali-kali, tapi tak ada respon dari pengendara motor di depannya. Dengan kesal ia berteriak, "woy, di sini tempat parkir gue. Kenapa lo serobot?"

Seorang cewek turun dari motor di depannya dan melepas helm, berjalan mendekati Mikha.

"Ini parkiran punya nenek lo?" tanya cewek itu sengak.

"Bukan. Tapi tiap hari gue parkirnya di situ."

"Siapa cepat, dia dapat." Cewek itu menyahut cuek dengan nada menyebalkan lalu pergi.

Baru satu langkah cewek itu menjauh, Mikha mencengkram tangannya.

"Pindahin motor lo. Sekarang!" tandas Mikha.

"Kalo gue nggak mau gimana?" tanya cewek itu dengan alis dinaikan.

Mikha membasahi bibir, emosinya tersulut sudah. "Nggak usah sok gayaan lo. Gue bilang pindah, ya pindahin!" perintahnya dengan nada tinggi.

Cewek itu mengernyit. "Emang lo siapa, berani nyuruh-nyuruh gue?" sepertinya cewek itu juga mulai kesal sama seperti Mikha.

"Gue yang punya tempat parkiran ini!"

"Nggak usah mimpi sok Raja, deh! Gue sekolah di sini bayar, dan parkiran ini salah satu hak gue. Mending lo cari parkiran di luar gih buat motor butut lo itu." Cewek itu menunjuk-nunjuk motor besar Mikha yang memakan banyak tempat dengan kesal.

"Motor butut?" Mikha berkacak pinggang menatap tak percaya. Entah cewek itu buta atau memang tidak tahu, kalau motor yang Mikha pakai sekarang termasuk motor kelas atas yang harganya wah. Tangannya sudah mengepal gatal ingin menjitak kepala cewek itu sebelum sebuah suara menginterupsi keinginannya.

"Hei, sedang apa kalian di situ? Mau bolos pacaran?!"

"Shit!" Mikha mengumpat saat mengenali suara yang membatalkan niatnya. Hari ini begitu sial. Suara itu milik Pak Bagyo, guru matematika dengan kumis lebat yang menyeramkan. Tamat sudah. Kalau soal menaati peraturan sekolah, guru itu tidak ada tandingannya. Pak Bagyo tidak segan-segan memberi hukuman berat untuk siswa yang terlambat hanya tiga menit, lalu bagaimana kabar kesalahpahaman ini?

"Nggak, Pak!" Mikha buru-buru menyahut, tidak ingin dikira berpacaran dengan cewek tukang rampok parkiran. "Saya baru datang, Pak. Lagian, saya juga nggak kenal sama ini cewek," dia melirik ke cewek di sampingnya yang balik memelotot.

"Alasan saja. Bapak sudah sering dengar alasan yang kayak gitu, sudah nggak mempan untuk saya. Pokoknya kali ini, kalian nggak bisa menghindari hukuman lagi."

"Dih, si Bapak. Udah dibilangin saya bukan pac aaawww...." Mikha meringis kesakitan saat Pak Bagyo menarik telinga kanannya.

"Masih aja niat bohong. Kalian berdua, ikut bapak."

                                                                    ***

     Mikha mengentak-entakkan kakinya bosan di lapangan, dengan satu tangan terlipat hormat ke tiang bendera.

"Lo bisa diem nggak, sih?" Cewek menyebalkan itu sudah jengah dengan sifat Mikha.

"Kalo tadi lo nggak nyerobot parkiran gue, kita nggak akan berakhir di sini!"

"Dih, kok nyolot? Orang gue duluan, kok."

"Eh, nih, dengerin baik-baik pake kuping lo yang sempit itu." Mikha menurunkan hormat untuk menunjuk telinga kanannya sendiri. "Di sini−SMA Nusantara, gue, Mikhael, seorang kapten futsal sekolah ini udah mempatenkan tempat parkir gue sejak hari pertama sekolah, dua tahun yang lalu. Nggak ada seorang pun yang berhak parkir di situ selain gue dan Metta."

Mikha menimbang-nimbang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kalau Metta ngasih izin, Joanka boleh juga, deh. Selain itu, nggak ada yang boleh parkir di situ." Mikha semakin kekeuh mempertahankan tempat parkir favoritnya. Pasalnya, tempat itu yang paling rindang dan dekat dengan koridor kelas sebelas. Mikha tidak harus lama-lama berjalan kepanasan dan membuat kulitnya yang putih pucat memerah.

Cewek itu mendelik malas mendengar ocehan Mika tentang kekuasaan tempat parkir dan sebagainya. Namun, sedikit menaruh perhatian saat cowok itu menyeret nama Joanka dan Metta. "Emangnya kalian

itu siapa, sampai-sampai semua siswa di sekolah ini harus patuh sama kalian?" tanyanya memancing.

Mikha menurunkan tangannya lagi setelah tadi baru kembali ke posisi hormat.

Emosinya lagi-lagi tersulut. "Kami anak-anak golongan atas. Sedangkan lo dan semua murid golongan menengah ke bawah emang udah seharusnya nurutin kita dari golongan atas."

"Emangnya harus, gitu? Kalo gue nggak mau gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Entar juga lo sadar, gimana jauhnya perbedaan golongan kita."

"Gimana kalau ... gue bisa pacaran sama anak golongan atas yang lo sebutkan tadi? Joanka itu."

Mikha tidak memedulikan pertanyaan cewek di sampingnya yang ia anggap halu saat melihat Metta melintasi koridor sambil memainkan handphone-nya. Ia seketika semringah, melirik ke cewek di sampingnya. "Dasar halu," lalu Mikha menyeringai penuh arti. "Metta!"

Merasa ada yang memanggil namanya, Metta menoleh cepat ke sumber suara. Dahinya mengerut, heran melihat Mikha sedang berdiri di tengah lapangan bersama Prissy, cewek yang kemarin mencium Joanka di kantin. Metta memutuskan untuk menghampiri sahabatnya itu.

"Ngapain lo disini, Mik?" suaranya sedingin es. Egonya terlalu keras untuk beramah-tamah, bahkan pada Mikha sekali pun, temannya sejak kecil.

Oh, jadi ini yang namanya Metta Ivasyana? Batin Prissy, cewek di samping Mikha. Kemarin saat di kantin ia tidak begitu memerhatikan cewek itu karena terlalu fokus pada Joanka.

"Gue dijemur, Mett. Gara-gara cewek di sebelah gue tuh." Mikha melirik tidak suka, Metta mengikuti pandangannya lalu menatap cewek itu tanpa ekspresi lalu berbalik cepat ke arah Pak Bagyo yang duduk di pinggir lapangan untuk mengawasi.

"Pak, Mikha nggak boleh di sini. Dia kapten futsal, dan pertandingan tinggal menghitung hari. Dia harus latihan."

Pak Bagyo menurunkan kacamatanya sampai ke batang hidung, mengamati Mikha sambil menimbang-nimbang. "Baiklah Mikha, hukuman kamu sudah selesai."

"YESSS!" Mikha melayangkan toss ke udara lantas merangkul bahu Metta. "Makasih, Beib."

"Nggak usah pegang-pegang." Metta menepis kasar tangan Mikha, lalu berjalan pergi mendahului Mikha yang sedang mengambil tas di kakinya sambil tersenyum sinis ke arah Prissy yang tampak tidak terima.

"Selamat berjemur."

"Heh!" Prissy mendadak murka. "Lo nggak boleh pergi!"

"Kenapa?" Mikha berbalik dengan tampang bingung yang dibuat-buat. "Apa jangan-jangan...." Mikha mengernyit dengan tatapan menyelidik, dia mendekatkan wajahnya. "Lo mau berduaan sama gue, ya?" tanya Mikha, sukses membuat Prissy menahan napas karena senyumnya yang lumayan manis.

Prissy sudah tahu siapa Mikha walaupun belum lama pindah ke sekolah ini. Dia salah satu anggota komplotan perang sekolah paling ganteng setelah Joanka, ketua komplotan.

Walaupun fisik Mikha lebih pendek dan kecil dari cowok-cowok seangkatan, tapi jangan pertanyakan popularitasnya. Di sekolah, Mikhael Pradipta Hernan adalah bintang futsal. Top scorer di setiap sparing atau pertandingan. Kartu andalan SMA Nusantara. Sedangkan di luar jam sekolah pun, popularitasnya tidak meredup. Nama bekennya Mikhael Hernan, model remaja dengan bayaran paling mahal di Palangka Raya.

Boom!

Prissy megap-megap kehabisan napas karena kata-kata Mikha yang sumpah, bisa bikin murka sekaligus ngefly. Melihat ekspresi Prissy yang sesuai dugaannya, Mikha memundurkan kepala sambil mendengus geli. Meninggalkan cewek itu yang masih mematung. Sepertinya, setelah hari ini mereka berdua akan lebih sering bertemu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status