Share

Bab 3

“Aku ada urusan sebentar, tolong jangan melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri!” ucapku.

Namun, sepertinya Nada benar-benar tak peduli. Jangankan menjawab, ia bahkan kembali memejamkan matanya.

Aku merasa lebih baik ia tak tahu masalah ini. biarlah dia berpikir kalau aku mendatangi ibu, karena hal lain. Dari pada anak nakal itu kembali membuatnya sakit hati, hingga memancingnya melakukan hal-hal yang mengerikan.

Aku buru-buru ke kantor polisi. Rupanya di sana bukan hanya Arnav yang ditangkap ada banyak remaja yang ikut diamankan. Aku menghampiri ibu yang terduduk lesu, bersama wali murid lain yang anaknya ikut diamankan di kantor polisi.

“Di mana anaknya, Bu?” tanyaku.

“Lagi di intogerasi, di dalam, hiks. Bagaimana ini Zayn, Arnav masih kecil. Masa depannya masih panjang. Kasihan dia kalau harus masuk penjara?”

“Memangnya Arnav habis melakukan apa sampai ditahan?”

Ibu hanya terdiam begitu juga dengan wanita yang sejak tadi berada di sampingnya. Sampai seorang polisi mendatangi kami.

“Anda walinya Arnav, mari ikut saya!”

Aku mengikuti langkah polisi itu.

“Arnav di dalam, putra Anda terlibat tawuran dan menyalahgunakan senjata tajam, sehingga melukai pelajar lain.”

Kau tahu saat itu rasanya hatiku hancur sekali. Semua ketakutan Nada benar-benar terjadi.

“Bagaimana mungkin anak saya terlibat tawuran? Mungkin, Bapak ini salah tangkap.”

“Kami sudah menyelidiki kasus ini, bahkan korbannya sendiri yang memberikan keterangan. Kalau Arnav dan Bian terlibat. Ada dua korban yang menderita luka tusvkan di bagian perut.”

Tuhan, tak cukupkah Engkau mengujiku dengan Nada yang nekat mengakhiri hidupnya? Kenapa sekarang Engkau bahkan membuat Arnav mengalami hukuman seperti ini?

“Putra Anda akan kami berikan pembinaan.”

“Bisa saya melihatnya, Pak? Saya perlu bicara.”

“Silahkan, 10 menit!”

Dari kejauhan aku bisa melihat Arnav dan sekitar 20 remaja lainnya sedang melakukan latihan fisik yang diarahkan langsung oleh polisi di sana. Tepat ketika anak itu melihat ke arahku. Ia bahkan tak kuasa lagi mendongakkan wajahnya. Sepanjang jalan ia menundukkan pandangan ke lantai. Bahkan saat kami telah saling berhadapan.

“Kenapa, Nav?”

“Maaf, Yah.”

“Mau jadi jagoan?” 

Aku sedikit meninggikan nada bicaraku. Namun  anak itu justru semakin menunduk.

“Nav salah, Yah.”

Kudongakkan wajah anak kecil itu dengan paksa. Sehingga kini, kami bisa saling menatap.

“Kamu lihat Bundamu! Dia begitu karena siapa? Apa yang akan kamu jelaskan padanya, hah?”

Arnav hanya terdiam, tetapi bisa kulihat mendung di wajahnya. Padahal, sejak tadi di antara anak-anak lain, hanya ia seorang yang tidak menangis.

“Bagaimana kabar, Bunda?”

“Untuk apa kamu peduli? jika dia tahu kelakuanmu, mungkin dia akan lebih nekat lagi.”

Arnav tertunduk lagi, tetapi aku bisa mendengar isaknya.

“Jangan biarkan Bunda tahu!” katanya.

“Kamu tahu enggak apa yang kamu lakukan ini kriminal, Arnav? Kami sekolahkan kamu itu supaya kamu ini jadi orang baik, punya masa depan. Bukan jadi preman kayak gini, kecewa Ayah sama kamu.”

Aku sedikit mendorong anak itu. Namun, dia tak merespons apa pun.

Harusnya dulu aku mendengarkanmu Nad, sekarang anak itu benar-benar berubah menjadi monster. Setelah dia hampir saja membuatku kehilanganmu, sekarang dia bahkan telah berani melukai orang lain.

Melihatku keluar dari ruangan, ibu buru-buru menyusul. Ia mulai bicara banyak hal, di saat aku tak ingin mendengar apa pun.

“Ini semua gara-gara Nada, harusnya dia bisa lebih tegas. Sekarang Arnav jadi salah pergaulan begini, coba dari awal dia enggak membiarkan anak itu berkeliaran. Enggak bakal cucuku masuk penjara, hiks.”

Aku terdiam sejenak. Menghentikan langkah lantas, menatap ibu yang sungguh tidak masuk akal.

“Bukankah Ibu yang selalu melarang Nada, untuk menasihati anak itu?”

“Kok kamu jadi nyalahin Ibu? Pasti, gara-gara Nada. Jelas-jelas Nada itu kalau mendidik anak selalu pakai cara kekerasan, sekarang apa jadinya. Sifat Arnav juga ikut keras. Anak-anak itu cuma bisa meniru. Jelas semua ini kelalaian istrimu.”

“Bisa kita pulang aja sekarang, aku antar Ibu ke rumah.”

“Memangnya kamu enggak pulang?”

“Aku ke rumah sakit?”

“Anak kamu lagi di kantor polisi, kamu malah sibuk sama wanita yang enggak punya iman itu, hah?”

“Terus Ibu mau aku bagaimana? Dia istriku, akulah yang bertanggung jawab kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi padanya.”

“Jadi kamu enggak mau bertanggung jawab sama anakku?"

“Biarkan saja dia mempertanggung jawabkan dulu perbuatannya, anak itu memang harus tahu bagaimana rasanya dihukum.”

“Apa maksud kamu, Zayn? Dendanya enggak seberapa. Apa Nada yang melarang kamu membayar dendanya, hah? Sampai kamu tega sama anak sendiri. Dia masih sangat kecil buat merasakan hidup di penjara.”

Sungguh rasanya kepalaku ingin pecah. Kenapa semua hal harus terjadi bersamaan? Aku hanya satu orang, tetapi dituntut adil pada semuanya.

“Bu, tolong kali ini saja. Biarkan aku menyelesaikan masalah keluargaku sendiri!”

“Jadi, menurut kamu Ibu ini orang lain? bukan keluargamu? Oh, tega kamu bilang begitu.”

Astaghfirrullah, bukan begitu maksudku. Tolong mengerti aku sedikit! Istriku di rumah sakit, dia lebih butuh aku sekarang. Ayo pulang saja, jangan berdebat di sini!”

Aku sedikit menarik lengan ibu atau perdebatan ini mungkin akan berlangsung sampai siang. Mengabaikan keluhan ibu yang tak terima, karena memaksanya meninggalkan kantor polisi. Aku memilih fokus berkendara. Namun, nyatanya masalahku masih belum selesai.

Tiba di rumah, ibu bahkan tak mau turun dari mobil.

“Ibu mau ikut ke rumah sakit?” tanyaku.

“Kenapa memangnya, ibu mau bicara sama istrimu. Biar dia tahu diri.”

“Ibu mau bicara atau menegur Nada?”

“Memang istrimu butuh ditegur, Zayn!”

“Tolong, jangan begini! Ibu di rumah saja, lagi pula kondisi Nada belum stabil. Lebih baik bicaranya saat dia pulang saja, oke!”

“Enggak, kalau ditunda-tunda istrimu akan semaunya sendiri.”

“Ibu masih menyalahkan, Nada?”

“Lah, ya pasti salah dia. Dia ibunya.”

Aku meraup wajah kasar. Sungguh kenapa aku baru menyadari jika ibu begitu banyak bicara, berbeda sekali dengan Nada yang bahkan sangat sedikit bicara.

“Aku minta maaf, tapi aku enggak bisa bawa ibu. Tolonglah, tinggal sebentar di rumah! Aku akan kembali saat semua masalah sudah membaik.”

“Kamu pasti akan tinggal di rumah sakit, ‘kan? Terus ibu sendirian di rumah ini.”

“Hanya sampai Nada membaik, di sini aman kok. Ada satpam yang berjaga di depan gerbang perumahan. Ibu enggak perlu khawatir, selama kami tinggal di sini. Sekali pun enggak pernah ada tindak kriminal seperti pencurian atau yang lainnya. Tenanglah!”

“Ibu tetap enggak mau. Ibu mau ikut ke rumah sakit.”

“Bu, tolonglah aku hampir saja kehilangan Nada dan calon bayiku. Jadi bisakah kasih kami waktu berdua! Hanya sebentar saja.”

“Apa, jadi dia hamil? Keterlaluan. Bisa-bisanya seorang ibu malah membvnvh bayinya sendiri, perempuan macam apa yang kamu nikahi Zayn? Ibu enggak bisa biarin ini pokoknya Ibu ikut!”

“Enggak bisa. Gini aja, kalau begitu biar Zayn naik kendaraan lain. Maaf kali ini, aku enggak bisa mengikuti keinginan Ibu, permisi.”

Saat itu aku buru-buru keluar mobil dan melangkah cepat untuk mengambil kunci motor milik Nada dan mengendarainya menuju rumah sakit. 

Entah kenapa sejak tadi perasaanku mendadak tak enak, Nada tak bisa dihubungi. Aku hanya takut ia mengetahui kabar Arnav, lalu kembali berbuat nekat.

Setengah berlari aku menuju ruangan Nada. Namun begitu terbuka. Nada justru tak ada di sana. Ruangannya kosong.

“Ya Allah Nad, kamu ke mana Sayang? Kenapa pergi, di saat aku sangat membutuhkanmu?”

"Dia pasti kabur, karena takut ketahuan, karena anak yang dikandungannya bukan anakmu!"

Rupanya itu suara Ibu, nyatanya wanita ini nekat menyusulku.

Apakah benar, anak itu bukan milikku, Nad?

Jangan lupa klik subscribe ya, kalau udah 100 subs aku update bab baru. Tinggalkan komen dan love nya ya. Biar aku semangat lanjut bab berikutnya.

Happy Reading

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar mertua sinting
goodnovel comment avatar
ani sainu
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Gemes ,kesel dan Benci ...ko ada ya Mertua Jahat bngt ky gini .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status