“Aku ada urusan sebentar, tolong jangan melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri!” ucapku.
Namun, sepertinya Nada benar-benar tak peduli. Jangankan menjawab, ia bahkan kembali memejamkan matanya.
Aku merasa lebih baik ia tak tahu masalah ini. biarlah dia berpikir kalau aku mendatangi ibu, karena hal lain. Dari pada anak nakal itu kembali membuatnya sakit hati, hingga memancingnya melakukan hal-hal yang mengerikan.
Aku buru-buru ke kantor polisi. Rupanya di sana bukan hanya Arnav yang ditangkap ada banyak remaja yang ikut diamankan. Aku menghampiri ibu yang terduduk lesu, bersama wali murid lain yang anaknya ikut diamankan di kantor polisi.
“Di mana anaknya, Bu?” tanyaku.
“Lagi di intogerasi, di dalam, hiks. Bagaimana ini Zayn, Arnav masih kecil. Masa depannya masih panjang. Kasihan dia kalau harus masuk penjara?”
“Memangnya Arnav habis melakukan apa sampai ditahan?”
Ibu hanya terdiam begitu juga dengan wanita yang sejak tadi berada di sampingnya. Sampai seorang polisi mendatangi kami.
“Anda walinya Arnav, mari ikut saya!”
Aku mengikuti langkah polisi itu.
“Arnav di dalam, putra Anda terlibat tawuran dan menyalahgunakan senjata tajam, sehingga melukai pelajar lain.”
Kau tahu saat itu rasanya hatiku hancur sekali. Semua ketakutan Nada benar-benar terjadi.
“Bagaimana mungkin anak saya terlibat tawuran? Mungkin, Bapak ini salah tangkap.”
“Kami sudah menyelidiki kasus ini, bahkan korbannya sendiri yang memberikan keterangan. Kalau Arnav dan Bian terlibat. Ada dua korban yang menderita luka tusvkan di bagian perut.”
Tuhan, tak cukupkah Engkau mengujiku dengan Nada yang nekat mengakhiri hidupnya? Kenapa sekarang Engkau bahkan membuat Arnav mengalami hukuman seperti ini?
“Putra Anda akan kami berikan pembinaan.”
“Bisa saya melihatnya, Pak? Saya perlu bicara.”
“Silahkan, 10 menit!”
Dari kejauhan aku bisa melihat Arnav dan sekitar 20 remaja lainnya sedang melakukan latihan fisik yang diarahkan langsung oleh polisi di sana. Tepat ketika anak itu melihat ke arahku. Ia bahkan tak kuasa lagi mendongakkan wajahnya. Sepanjang jalan ia menundukkan pandangan ke lantai. Bahkan saat kami telah saling berhadapan.
“Kenapa, Nav?”
“Maaf, Yah.”
“Mau jadi jagoan?”
Aku sedikit meninggikan nada bicaraku. Namun anak itu justru semakin menunduk.
“Nav salah, Yah.”
Kudongakkan wajah anak kecil itu dengan paksa. Sehingga kini, kami bisa saling menatap.
“Kamu lihat Bundamu! Dia begitu karena siapa? Apa yang akan kamu jelaskan padanya, hah?”
Arnav hanya terdiam, tetapi bisa kulihat mendung di wajahnya. Padahal, sejak tadi di antara anak-anak lain, hanya ia seorang yang tidak menangis.
“Bagaimana kabar, Bunda?”
“Untuk apa kamu peduli? jika dia tahu kelakuanmu, mungkin dia akan lebih nekat lagi.”
Arnav tertunduk lagi, tetapi aku bisa mendengar isaknya.
“Jangan biarkan Bunda tahu!” katanya.
“Kamu tahu enggak apa yang kamu lakukan ini kriminal, Arnav? Kami sekolahkan kamu itu supaya kamu ini jadi orang baik, punya masa depan. Bukan jadi preman kayak gini, kecewa Ayah sama kamu.”
Aku sedikit mendorong anak itu. Namun, dia tak merespons apa pun.
Harusnya dulu aku mendengarkanmu Nad, sekarang anak itu benar-benar berubah menjadi monster. Setelah dia hampir saja membuatku kehilanganmu, sekarang dia bahkan telah berani melukai orang lain.
Melihatku keluar dari ruangan, ibu buru-buru menyusul. Ia mulai bicara banyak hal, di saat aku tak ingin mendengar apa pun.
“Ini semua gara-gara Nada, harusnya dia bisa lebih tegas. Sekarang Arnav jadi salah pergaulan begini, coba dari awal dia enggak membiarkan anak itu berkeliaran. Enggak bakal cucuku masuk penjara, hiks.”
Aku terdiam sejenak. Menghentikan langkah lantas, menatap ibu yang sungguh tidak masuk akal.
“Bukankah Ibu yang selalu melarang Nada, untuk menasihati anak itu?”
“Kok kamu jadi nyalahin Ibu? Pasti, gara-gara Nada. Jelas-jelas Nada itu kalau mendidik anak selalu pakai cara kekerasan, sekarang apa jadinya. Sifat Arnav juga ikut keras. Anak-anak itu cuma bisa meniru. Jelas semua ini kelalaian istrimu.”
“Bisa kita pulang aja sekarang, aku antar Ibu ke rumah.”
“Memangnya kamu enggak pulang?”
“Aku ke rumah sakit?”
“Anak kamu lagi di kantor polisi, kamu malah sibuk sama wanita yang enggak punya iman itu, hah?”
“Terus Ibu mau aku bagaimana? Dia istriku, akulah yang bertanggung jawab kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi padanya.”
“Jadi kamu enggak mau bertanggung jawab sama anakku?"
“Biarkan saja dia mempertanggung jawabkan dulu perbuatannya, anak itu memang harus tahu bagaimana rasanya dihukum.”
“Apa maksud kamu, Zayn? Dendanya enggak seberapa. Apa Nada yang melarang kamu membayar dendanya, hah? Sampai kamu tega sama anak sendiri. Dia masih sangat kecil buat merasakan hidup di penjara.”
Sungguh rasanya kepalaku ingin pecah. Kenapa semua hal harus terjadi bersamaan? Aku hanya satu orang, tetapi dituntut adil pada semuanya.
“Bu, tolong kali ini saja. Biarkan aku menyelesaikan masalah keluargaku sendiri!”
“Jadi, menurut kamu Ibu ini orang lain? bukan keluargamu? Oh, tega kamu bilang begitu.”
“Astaghfirrullah, bukan begitu maksudku. Tolong mengerti aku sedikit! Istriku di rumah sakit, dia lebih butuh aku sekarang. Ayo pulang saja, jangan berdebat di sini!”
Aku sedikit menarik lengan ibu atau perdebatan ini mungkin akan berlangsung sampai siang. Mengabaikan keluhan ibu yang tak terima, karena memaksanya meninggalkan kantor polisi. Aku memilih fokus berkendara. Namun, nyatanya masalahku masih belum selesai.
Tiba di rumah, ibu bahkan tak mau turun dari mobil.
“Ibu mau ikut ke rumah sakit?” tanyaku.
“Kenapa memangnya, ibu mau bicara sama istrimu. Biar dia tahu diri.”
“Ibu mau bicara atau menegur Nada?”
“Memang istrimu butuh ditegur, Zayn!”
“Tolong, jangan begini! Ibu di rumah saja, lagi pula kondisi Nada belum stabil. Lebih baik bicaranya saat dia pulang saja, oke!”
“Enggak, kalau ditunda-tunda istrimu akan semaunya sendiri.”
“Ibu masih menyalahkan, Nada?”
“Lah, ya pasti salah dia. Dia ibunya.”
Aku meraup wajah kasar. Sungguh kenapa aku baru menyadari jika ibu begitu banyak bicara, berbeda sekali dengan Nada yang bahkan sangat sedikit bicara.
“Aku minta maaf, tapi aku enggak bisa bawa ibu. Tolonglah, tinggal sebentar di rumah! Aku akan kembali saat semua masalah sudah membaik.”
“Kamu pasti akan tinggal di rumah sakit, ‘kan? Terus ibu sendirian di rumah ini.”
“Hanya sampai Nada membaik, di sini aman kok. Ada satpam yang berjaga di depan gerbang perumahan. Ibu enggak perlu khawatir, selama kami tinggal di sini. Sekali pun enggak pernah ada tindak kriminal seperti pencurian atau yang lainnya. Tenanglah!”
“Ibu tetap enggak mau. Ibu mau ikut ke rumah sakit.”
“Bu, tolonglah aku hampir saja kehilangan Nada dan calon bayiku. Jadi bisakah kasih kami waktu berdua! Hanya sebentar saja.”
“Apa, jadi dia hamil? Keterlaluan. Bisa-bisanya seorang ibu malah membvnvh bayinya sendiri, perempuan macam apa yang kamu nikahi Zayn? Ibu enggak bisa biarin ini pokoknya Ibu ikut!”
“Enggak bisa. Gini aja, kalau begitu biar Zayn naik kendaraan lain. Maaf kali ini, aku enggak bisa mengikuti keinginan Ibu, permisi.”
Saat itu aku buru-buru keluar mobil dan melangkah cepat untuk mengambil kunci motor milik Nada dan mengendarainya menuju rumah sakit.
Entah kenapa sejak tadi perasaanku mendadak tak enak, Nada tak bisa dihubungi. Aku hanya takut ia mengetahui kabar Arnav, lalu kembali berbuat nekat.
Setengah berlari aku menuju ruangan Nada. Namun begitu terbuka. Nada justru tak ada di sana. Ruangannya kosong.
“Ya Allah Nad, kamu ke mana Sayang? Kenapa pergi, di saat aku sangat membutuhkanmu?”
"Dia pasti kabur, karena takut ketahuan, karena anak yang dikandungannya bukan anakmu!"
Rupanya itu suara Ibu, nyatanya wanita ini nekat menyusulku.
Apakah benar, anak itu bukan milikku, Nad?
Jangan lupa klik subscribe ya, kalau udah 100 subs aku update bab baru. Tinggalkan komen dan love nya ya. Biar aku semangat lanjut bab berikutnya.
Happy Reading
“Sudah enggak bisa didik anak, enggak punya iman. Sekarang malah punya anak dari laki-laki lain.”Ibu masih saja bersemangat membicarakan Nada. Tanpa peduli, apa yang dia katakan seolah sebuah kebenaran atau bukan.“Ibu yang seharian di rumah, memangnya Nada sering keluar rumah tanpa seizinku?”Saat itu pandangan ibu mendadak membulat, tampak seperti orang yang terkejut. Sesekali ia juga menggaruk tengkuk.“Ya, jelas ibu tahu. Orang kemarin aja abis ke mana coba? Dari siang sampai sore keluyuran enggak jelas. Bilangnya mau beli sayur, tapi masa lama banget. Coba kalau enggak ketemuan sama selingkuhannya. Ngapain lagi?”Benar juga, kemarin hampir seharian dia berada di luar. Meskipun ia mengatakan baru saja mengatakan habis menabrak mobil orang, bukankah sedikit tidak masuk akal. Siapa juga di zaman yang serba uang ini, orang dengan mudahnya mengikhlaskan mobilnya rusak begitu saja.Sebaiknya aku menemukan Nada, untuk memperjelas semuanya.“Baru sadar ‘kan kamu kalau istrimu itu main b
“Apa maksud kamu bicara seperti itu, Nada?”Kau tahu, saat itu ia bukan sedang berteriak melainkan bicara dengan begitu halus dan lembut. Namun, kenapa terasa menusuk.“Istri yang seperti itu mau kamu bela Zayn, dia bahkan enggak menghormatimu lagi.”“Satu hal yang enggak pernah bisa aku mengerti dari keluarga ini? Jika ibu sendiri enggak bisa berjauhan dengan Mas Zayn kenapa sejak dulu Ibu selalu melarangku mendidik Arnav? Dia anakku juga. Bukankah ini enggak adil?”“Oh, jadi sekarang kalian kompak menyalahkan ibu.”“Aku bukan sedang menyalahkan. Hanya bertanya, kalau memang pertanyaanku ini menyinggung perasaan Ibu, aku minta maaf.”“Sekarang kamu berani ya, bentak Ibu seperti ini. Lihat istrimu, Zayn! Wanita yang selalu kamu banggakan ini bahkan enggak menghormati ibumu sama sekali.”“Aku enggak membentak, apa nada bicaraku kasar? Aku hanya bertanya atas sesuatu yang tidak aku mengerti. Apa itu salah?”“Nad, sudahlah! Salahkan saja aku, aku yang memang dari awal enggak tegas sama a
“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah enggak diajak jalan-jalan?” tanya salah se
“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh mau juga pada ikut suaminya.”“Ya memang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.”“Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.”“Memangnya salah kalau suami mengantar istrinya pulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku.“Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?”“Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutkanku.”“Lah, di mana-mana nikah ya harus punya anak. Emangnya kalian kalau udah t
Dan ajaibnya benar saja. Saat kami telah sampai di masjid untuk menunaikan salat magrib. Ponsel Kang Dadan berdering. Begitu dilihat ternyata panggilan dari ibu.“Angkat aja!” ucapku yang kala itu tak sengajamelihat ke layer ponsel miliknya.“Waktu salatnya bentar lagi mau habis. Nanti ajalah abis maghriban. Biar tenang.”Saat itu memnag waktu sudah menunjukkan pukul 7 kurang 10 menit lagi. Bayangkan saja, ketika orang lain sedang menunaikan salat maghrib kami malah sedang ribut-ribut di luar rumah.Sebenarnya malu, tetapi mau bagaimana lagi? Kurasa tetangga pun sudah hafal dengan kebiasaan ibu yang suka mencari masalah, bahkan kudengar dari Lisa. Sebelum Kang Dadan menikah, mertuaku ini kerap kali mencari masalah dengan tetangga sekitar. Ada saja yang diributkan, padahal hanya masalah sepele.Sekarang setelah ada aku, ia sudah jarang membuat onar di luar. Dan, ya sekarnag akulah yang jadi sasarannya.Entah kena
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
“Ibu tuh cuma lagi panas, karena kamu beliin istrimu mobil. Sudahlah tebelin aja kupingmu!” “Enggak bisalah, kasihan Yasmin. Kalau, aku diem terus masa iya aku biarin anak orang jadi bulan-bulanan ibu setiap hari.” “Susah, udah watak mau bagaimana lagi?” “Nanti aku minta Ismail anterin ibu ke rumah Teteh.” “Emangnya ibu mau dianter Mail?” “Ya, harus mau. Kalau, enggak mau sama siapa di rumah, tahu sendiri ibu penakut.” “Terserah saja, tapi tolong kabari Teteh, kalau udah ibu udah jalan mau ke sini.” “Oke, makasih banyak ya.” “Hm.” Panggilan pun dimatikan. Kau tahu meski nada bicaranya paling ketus. Bahkan raut wajahnya yang jutek, kurasa di antara yang lainnya hanya ia iparku yang tak banyak omong. “Kang….” “Kenapa kok wajahmu sedih begitu?” “Kalau demi membelaku, Akang harus memusuhi semua keluarga. Apa lebih baik aku yang ngalah aja?” “Apa maksud kamu ngomong begit