Turnamen bela diri akhirnya dimulai, dan suasana kota kecil itu berubah riuh oleh teriakan penonton yang memadati panggung utama. Dua kontestan pertama perlahan menaiki arena. Dari sisi kanan, muncul seorang pria berbadan kekar dengan pakaian kulit kasar yang mempertegas otot-otot di tubuhnya.
Dari sisi kiri, seorang wanita berbalut sutra putih melangkah anggun, wajahnya tenang seolah tidak terbebani oleh sorakan ribuan pasang mata.
Keduanya saling mendekat ke tengah panggung, sementara seorang wasit berdiri di antara mereka dengan tatapan penuh wibawa. “Apa kalian siap?” tanyanya sambil melirik bergantian.
Kedua petarung mengangguk singkat. Senjata tak ada di tangan mereka, hanya tubuh dan keterampilan yang menjadi andalan. “Bersedia… bersiap… mulai!” seru sang wasit, mengangkat tangan untuk memberi tanda.
Sorak-sorai penonton meledak. Nama pria kekar dan wanita bersutera diteriakkan silih berganti, disertai taruhan yang dilemparkan di sana-sini.
Dari sisi panggung, Angkara memperhatikan dengan tatapan tajam. “Wanita itu yang akan menang,” gumamnya datar. Ucapannya dianggap aneh, sebab hampir semua orang menjagokan pria kekar yang jelas unggul secara fisik.
Namun, Angkara bukan orang sembarangan, pengalamannya sebagai mantan dewa perang membuatnya bisa membaca alur pertarungan hanya dengan sekali pandang.
Pria kekar membuka serangan lebih dulu. Dengan ancang-ancang panjang, ia mengayunkan tinju berat ke arah wajah lawannya.
Wanita itu menangkis dengan kedua sikut, tubuhnya bergetar hebat menahan pukulan yang terasa seperti palu baja. Tak memberi kesempatan, pria itu melanjutkan dengan tendangan keras ke ulu hati.
Namun, wanita itu bergerak cepat. Dengan tangan yang masih bergetar, ia menangkap kaki lawan, lalu memutar tubuhnya. Serangan berat berubah arah, hampir membuat kaki pria itu terkilir. Untung saja ia segera menyesuaikan gerakan, ikut berputar agar terhindar dari cedera.
Di tengah momentum itu, pria kekar melayangkan tendangan lain dengan kaki kirinya. Tepat mengenai kepala wanita tersebut, membuatnya terhempas beberapa meter. Penonton bersorak puas, mengira kemenangan sudah di depan mata. Tapi wanita itu segera bangkit, mengusap bibir yang berdarah tipis. “Lumayan,” ujarnya dengan senyum samar.
Ia menekuk kakinya, menghentakkan lantai arena dengan tenaga dalam, dan tubuhnya melesat cepat hingga permukaan panggung retak. Pria kekar yang terkejut mencoba meraih tubuhnya untuk mengunci gerakan, tetapi yang dipeluknya hanyalah udara kosong.
Dalam sekejap, wanita itu sudah berada di belakangnya. Dengan gerakan kilat, ia menotok leher pria tersebut. Tubuh besar itu langsung terkulai tak berdaya.
Arena mendadak hening. Para penonton tercengang melihat pertarungan berakhir hanya dengan satu serangan. Seorang pria yang sebelumnya bertaruh pada wanita itu melonjak kegirangan sambil menggenggam kertas taruhannya. “LUAR BIASA!” teriaknya lantang.
Sang wasit segera memeriksa kondisi pria yang tak sadarkan diri, lalu mengangkat tangannya. “Pemenangnya, kontestan wanita!” Namun sorakan tak kunjung pecah. Kebanyakan penonton tampak kecewa, sementara wanita itu menuruni panggung tanpa peduli pada tatapan kesal yang diarahkan kepadanya.
Angkara hanya tersenyum tipis. “Sudah kuduga,” bisiknya.
Pertarungan berlanjut. Satu demi satu kontestan naik ke panggung. Ada yang bertarung mati-matian, ada pula yang menyerah cepat begitu tahu lawannya terlalu kuat. Beberapa bahkan harus ditandu turun karena luka parah.
Sampai akhirnya giliran Angkara tiba. Alih-alih menaiki tangga seperti kontestan lain, ia melompat tinggi dan mendarat di tengah panggung, membuat semua mata tertuju padanya. Gerakan itu begitu ringan, seolah tubuhnya tak terikat oleh gravitasi. “Wasit,” serunya dengan suara tenang namun tegas, “siapa lawanku?”
Wasit mengangkat suaranya agar terdengar jelas. “Nomor 99! Silakan naik!”
Penonton langsung berbisik-bisik penasaran. Siapakah orang yang akan menghadapi pria misterius yang baru saja memamerkan kemampuan luar biasa hanya dengan lompatan itu?
Setelah tiga kali dipanggil, kontestan nomor sembilan puluh sembilan tak juga menampakkan diri. Penonton mulai berisik, beberapa bersiul kesal karena menunggu terlalu lama.
Angkara hanya menghela napas singkat, lalu menoleh pada wasit. “Apa artinya aku otomatis menang?” tanyanya santai.
Wasit mengangguk tegas. “Benar, kau dinyatakan sebagai pemenang.”
Keputusan itu membuat penonton kecewa. Pertarungan terakhir dari sesi ini yang seharusnya seru, justru berakhir antiklimaks. Angkara sendiri tampak tak puas. Ia datang untuk menguji kemampuan bela dirinya, bukan sekadar menang tanpa perlawanan. “Mau bagaimana lagi…” gumamnya sambil turun dari arena.
Setelah istirahat singkat, babak berikutnya dimulai. Setengah dari para kontestan berhasil melaju, sekitar empat puluh lebih orang masih bertahan. Pertandingan pertama mempertemukan kembali wanita bersutera putih, Citra. Dengan seorang pria berbaju biru dengan lambang perak di dada.
Angkara yang sedang duduk di kursi penonton langsung menyipitkan mata. “Itu… seragam murid dalam perguruan Arus Hening,” ucapnya lirih, mengenali lambang khas tersebut.
Di atas panggung, wasit kembali menengahi kedua petarung. “Apa kalian siap?” tanyanya.
Citra hanya mengangguk singkat, sedangkan pria berbaju biru mengangkat tangan, meminta jeda. “Tunggu sebentar, Nona. Dari mana asalmu?” tanyanya dengan senyum ramah.
Citra menatapnya dingin tanpa menjawab. Pria itu justru tertawa kecil. “Oho, wanita yang dingin rupanya. Namaku Jagad, murid dalam perguruan… hmm, kau pasti sudah mendengar namanya. Bagaimana denganmu, apakah kau ingin memperkenalkan diri?”
“Citra,” jawabnya singkat.
Jagad mengangguk puas. “Nama yang cantik, sama seperti parasmu.” Ia berusaha menurunkan ketegangan dengan rayuan, namun Citra hanya diam menatapnya tanpa ekspresi. Akhirnya, Jagad melirik wasit. “Aku sudah siap. Silakan mulai.”
Begitu aba-aba dimulai, keduanya langsung melesat. Tak ada basa-basi, tak ada langkah mundur. Mereka saling menerjang dengan kecepatan luar biasa, sampai daun-daun kering yang jatuh pun seakan terangkat kembali oleh hembusan tenaga mereka.
Sorak-sorai pecah. Penonton terpaku melihat duel cepat yang penuh pukulan, tangkisan, dan tendangan beruntun. Dari luar, mereka tampak seimbang. Namun Angkara hanya menggigit apel, tak terlalu memperhatikan. Perhatiannya tertuju pada seorang pria kekar di sudut arena. Tatapan pria itu penuh niat membunuh, mengarah tepat kepada Citra.
“Dia… mempelajari teknik iblis,” desis Angkara pelan. Ia berdiri, menghampiri pria tersebut, lalu menyapanya ramah. “Halo, Tuan.”
Pria itu hanya melirik sekilas. “Hm.”
Sapaan Angkara nyaris tak digubris. Ia mendekat lebih jauh, lalu berbisik di telinganya. “Kau praktisi teknik iblis, bukan?”
Mata pria kekar itu langsung membelalak, wajahnya mengeras. Tatapannya tajam menekan, berusaha mengintimidasi.
Angkara hanya tersenyum santai. “Eh, jangan tegang begitu. Aku cuma asal bicara. Tapi, orang yang peka pasti merasakan niat membunuh yang menyembur dari arahmu.” Ia mengangkat tangan, seolah menenangkan suasana, lalu kembali duduk tenang menikmati pertandingan.
Di atas panggung, duel semakin memanas. Jagad mulai memimpin jalannya pertarungan. Perbedaan fisik antara pria dan wanita perlahan terlihat. Meski sama-sama cepat, Citra tampak ngos-ngosan.
“Sebaiknya kau menyerah, Citra,” ujar Jagad memberi peringatan.
Namun Citra bukannya berhenti, malah kembali menyerang. Dengan gerakan indah, ia melayangkan tendangan bulan sabit ke arah leher Jagad. Sayangnya, Jagad mundur ringan, menghindar, lalu menjentikkan jarinya ke dahi Citra. Tubuh wanita itu terpental dan terguling di lantai panggung.
Dengan susah payah, ia mencoba berdiri lagi. Langkahnya goyah, tubuhnya limbung, namun sorot matanya tetap tajam. Jagad mendesah panjang. “Astaga, wanita keras kepala. Sungguh aku benci melukai wanita seperti ini.” Meski berkata demikian, tubuhnya justru melesat cepat ke depan. Tinju kerasnya menghantam dagu Citra, membuatnya terjungkal tak sadarkan diri.
Wasit segera memeriksa kondisinya, lalu mengumumkan hasil. “Pemenangnya, Jagad!”
Sorak-sorai kembali menggema. Kali ini penonton puas, terutama mereka yang memasang taruhan besar untuk Jagad. Di antara kerumunan, hanya Angkara yang menatap tajam ke arah pria kekar tadi, pikirannya jelas tak tertuju pada pertarungan biasa, melainkan pada seseorang yang memiliki teknik iblis.
“Hey, kau baik-baik saja, Angkara?” tanya Satria dengan suara lemah. Tubuhnya masih kaku, bahkan untuk sekadar menggerakkan jari pun terasa berat.Angkara mengangkat satu tangannya dengan santai. “Aku hanya belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan teknikku sendiri, sele—” Ucapannya terhenti mendadak. Dari mulutnya tiba-tiba memuncrat darah pekat, membuat tubuhnya sedikit terhuyung.“Uakh... uhuk... uhuk...” Ia tersedak, menahan rasa perih yang menyerang dari dalam tubuhnya. Gumpalan darah terus keluar dari bibirnya, tak jauh berbeda dengan kondisi ketua perguruan yang baru saja ia kalahkan.Satria menatapnya dengan wajah cemas sekaligus kesal. “Kau bilang baik-baik saja? Kau terlihat seperti orang sekarat! Tadi kau tampak begitu keren, berdiri gagah di atas naga hitam, tapi sekarang malah memuntahkan darah seperti ikan mati! Sungguh pemandangan yang menyedihkan...” ujarnya sambil berbaring lemas di permukaan kepala naga.Angkara tak menanggapi cemoohan itu. Tatapannya beralih tajam k
Kedua naga itu saling beradu di tengah langit malam yang kelam. Dua makhluk hasil teknik bela diri yang berasal dari jalur berbeda kini bertarung untuk membuktikan supremasi kekuatan masing-masing. Tubuh mereka bergelora, memancarkan cahaya menyilaukan di antara awan yang terbelah, sementara suara benturan mereka menggema hingga ke pelosok negeri.Dalam satu momen, keduanya mengeluarkan raungan yang begitu menggelegar, menembus gendang telinga semua orang yang menyaksikan. Suara itu begitu nyaring hingga sebagian penduduk kekaisaran menjerit kesakitan, darah mengalir dari telinga mereka. Langit yang seharusnya damai kini menjadi medan konfrontasi dua kekuatan luar biasa.“Itu... itu naga sungguhan? Yang benar saja?!” teriak salah seorang penduduk dengan wajah pucat pasi. Ia jatuh tersungkur ke tanah, tubuhnya gemetar hebat. Orang-orang lain menatap ke langit dengan campuran rasa kagum dan ketakutan. Beberapa wanita menjerit histeris, berlari mencari perlindungan, sementara sebagian l
Dari tubuh Angkara, energi dalam mengalir dengan teratur, berputar dari pusat dadanya lalu menjalar hingga ke ujung jemarinya. Aura pekat mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, berpadu antara hitam kelam dan emas berkilau yang saling melingkar membentuk pusaran halus di sekelilingnya. Dua warna itu tampak bertolak belakang, namun justru menyatu dengan indah, seakan menciptakan harmoni yang tak seharusnya ada.'Luar biasa…' batin Angkara bergetar oleh kekaguman terhadap dirinya sendiri. 'Aku benar-benar telah melampaui batas praktisi biasa. Kini aku berada di tahap penciptaan alam… kekuatanku meningkat pesat setelah menyerap seluruh jiwa di perguruan ini.'Tatapan matanya tajam menembus jarak, menandakan kebanggaan yang nyaris berubah menjadi kesombongan. Saat ini, kekuatannya setara dengan sang pangeran terbuang, instruktur misterius dari Arus Hening, Anantaka, yang juga dikenal sebagai salah satu yang berada pada penciptaan alam.Dengan gerakan ringan, Angkara mengepalkan jemarinya da
Kabut hitam pekat yang membungkus langit malam perlahan menipis, terpecah seperti kabus pagi yang tersapu angin. Sosok tengkorak raksasa yang semula gagah dan menakutkan kini tampak melemah, sementara di tengah sisa-sisa kabut itu berdiri Ketua Perguruan Naga Emas, tanpa luka sedikit pun. Bahkan lipatan jubah emasnya masih tampak bersih, tak tersentuh debu atau bara pertempuran yang baru saja terjadi.Satria memandangi pemandangan itu dengan wajah tak percaya. “Oi… oi… tidak mungkin,” gumamnya, matanya membesar. “Dia tidak hanya kuat… tapi benar-benar berada di tingkat yang tak bisa dijangkau. Jangan-jangan… dia sudah menembus alam dewa?” ucapnya setengah berbisik, lalu menggeleng cepat, menolak pikirannya sendiri. “Tidak… mustahil. Jika dia benar sudah mencapai alam dewa, seharusnya dia telah meninggalkan dunia fana ini dan naik ke alam yang lebih tinggi.”Di langit yang masih diselimuti sisa awan hitam, sang ketua perguruan berdiri di antara pusaran cahaya keemasan. Tatapannya din
Angkara masih tenggelam jauh di dalam dimensi tenaga dalamnya, benar-benar tak menyadari pergolakan hebat yang terjadi di luar tubuhnya. Di ruang spiritual itu, rasa sakit yang ia rasakan semakin menggila, lengannya seperti disayat ribuan bilah pedang yang mencincang tanpa henti, menembus ke inti energi yang ia coba kendalikan. Tubuhnya gemetar hebat, namun tekadnya tidak goyah. 'Sedikit lagi… aku hanya perlu bertahan sedikit lagi…!!!' teriaknya di dalam hati, menahan rasa nyeri yang mengguncang seluruh raganya.Sementara itu, di dunia nyata, Satria yang baru saja melepaskan teknik pamungkasnya terlihat hampir kehabisan tenaga. Napasnya tersengal keras, seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Setiap helaan napas terasa berat dan menusuk. “Huft… huft… Kau tahu?” katanya seraya tersenyum pahit. “Kau adalah orang pertama yang beruntung bisa menyaksikan teknik terbaikku.”Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah pada gravitasi. Kakinya tak sanggup lagi menopang beratnya sendiri, membuat ia
Sebuah cahaya keemasan melesat di langit, disertai gelegar petir yang mengguncang bumi. Sosok itu muncul begitu cepat, seolah waktu sendiri bertekuk di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berdiri tegak di hadapan Satria, pemuda yang tubuhnya penuh darah dan luka.Udara seketika terasa berat. Sosok berkilau emas itu menatap sekeliling dengan tajam, meneliti puing-puing kehancuran yang berserakan. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di tanah, sebagian bahkan tak berbentuk, hanya gumpalan daging dan darah yang menghitam. Di antara kengerian itu, tampak seseorang tengah bermeditasi dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh tragedi yang baru saja terjadi.“Apakah kau pelakunya?” suara pria itu terdengar rendah, dalam, namun memiliki kekuatan yang menusuk jantung. Setiap katanya mengandung tekanan yang membuat udara bergetar.Satria terdiam. Dalam hidupnya yang keras dan penuh pertempuran, belum pernah ia merasa ditekan sedemikian rupa. Sosok di depannya bukan sekadar manusia; ada wibawa