Home / Zaman Kuno / Reinkarnasi Dewa Perang / Mengejutkan Para Penjudi

Share

Mengejutkan Para Penjudi

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-09-19 19:03:37

Angkara kembali memulai percakapan di samping pria berkekar itu. “Siapa namamu, Tuan?” tanyanya santai.

Pria itu menatap datar lalu menjawab singkat, “Urusan apa kau?” nada suaranya tajam. “Tidak usah bertele-tele.”

Angkara terkekeh halus. “Jangan marah begitu, Tuan. Sebagai sesama praktisi yang menempuh jalan iblis, seharusnya kita saling menghormati, bukan bermusuhan.”

Mata pria berkekar menyipit. “Kau? Siapa sebenarnya kau?”

Kali ini Angkara menatap balik dengan lebih serius. “Ini peringatan, jangan sekali-kali mencoba membunuh wanita itu. Hal ini akan menarik banyak perhatian, dan sebelumnya kau kalah karena kelalaian, bukan karena keunggulan.”

“Apa maksudmu?” sanggah pria itu, nada muak.

Angkara melemparkan apel yang masih tergenggam ke arahnya. “Anggap ini nasihat dari sesama praktisi,” ujarnya santai. Apel itu mendarat di paha pria berkekar, lalu ia mengangkatnya kembali tanpa banyak kata.

Tak lama setelah percakapan singkat itu, wasit memanggil Angkara ke arena. Giliran bertandingnya tiba. Berbeda dari ronde sebelumnya, kini lawannya muncul, sosok berjubah bertopikan jerami. Penonton saling bertanya, menebak identitas sang musuh.

“Siapa dia?” bisik seorang penonton.

“Apa kau bertaruh pada orang itu?” tanya yang lain.

“Kesan pertama... kelihatannya kuat,” gumam beberapa orang serempak.

Di tengah bisik-bisik itu, Angkara melakukan pemanasan ringan. Ia meregangkan otot, melompat pelan, memelintir sendi-sendi jari untuk mengendurkan ketegangan. Nafasnya teratur, mata tenang. “Aku siap,” katanya sebelum wasit sempat menanyakan kesiapan.

Wasit memandang keduanya, kemudian bertanya kembali. “Antusias sekali kau, anak muda. Benarkah kau siap?” Ia lantas mengalihkan pandangan pada pria berjubah. Seketika, dengan gerak cepat yang mengagetkan, pria berjubah itu menarik pedang dari pinggangnya.

“Mulai!” seru wasit.

Tatapan mereka terkunci. Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum ramah. Angkara segera menyadari intensitas lawan, aura kuat pria berjubah menunjukkan tingkat pernapasan yang jauh di atasnya, lapisan tingkat sembilan, selisih delapan tingkat dari dirinya. Meski demikian, kekuatan batinnya tidak bisa diremehkan. 

Keberanian dan pengalaman membuatnya menuntut lawan menunjukkan kemampuan terbaik.

Pria berjubah melesat dengan tebasan tajam mengarah ke leher Angkara. Ia cepat menghindar, sementara balasan tendang dilemparkannya untuk menguji keseimbangan sang musuh. Sang lawan menepis tendangan itu dengan cepat, memperkirakan target yang seharusnya adalah wajahnya. Namun tendangan Angkara meluncur ke arah topi jerami, yang tak terduga membelokkan aliran pertarungan.

Topi terlepas. Wajah pria berjubah kini terlihat jelas, bekas luka memenuhi pipinya, garis sabetan menoreh mata kanannya, rambut panjang kusut menutupi sebagian wajah. 

Mata satunya menatap dingin. Penonton mulai berbisik kagum dan takut, taruhan bergeser ke arahnya.

Angkara terkekeh. “Heh, tidak perlu malu-malu saat bertarung denganku,” ejeknya tenang. Ejekan itu dibalas dengan tusukan pedang yang cepat. Angkara memanfaatkan celah serangan untuk meraih lengan si pria. 

Ia mencengkeram kuat, lalu menyikut pada otot bisep lawan. Serangan sensitif itu menghentak sampai pedang yang dipegang pria berjubah terlepas dan berguntur jatuh ke lantai.

Tidak rela, musuhnya balik menendang keras ke arah leher Angkara. Serangan itu mendarat, membuat Angkara terguncang dan terangkat sedikit. Pertarungan pun berubah menjadi adu fisik sengit. 

Serangan demi serangan dilancarkan, selisih tingkat terasa, tetapi pengalaman Jiwangga, yang kini bersemayam dalam tubuh ini, mampu menutup celah kekuatan.

Di satu momen kritis, Angkara mencengkeram kerah jubah dari belakang dan melemparkan tubuh pria itu ke tanah. Seketika ia menaikkan kedua kakinya, menahan lengan musuh lalu memelintirnya dengan teknik yang mengingatkan pada adu gaya smackdown. 

Sang pria menggeliat kesakitan, berusaha meloloskan diri, namun Angkara menahan dengan kekuatan dan posisi yang presisi.

“Menyerah saja. Jika dalam empat hitungan kau belum mengaku kalah, aku akan merengkuh lenganmu sampai patah,” ancam Angkara datar.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan tegang. Pria berjubah tetap berjuang, menolak mengalah. Hingga akhirnya terdengar bunyi krek yang tajam, diikuti jeritan pendek, suara yang menandai persendian lengan pria itu runtuh di bawah tekanan.

Musuh Angkara kali ini berteriak kesakitan sambil memegang lengannya.

“ARGH!!!” suaranya menggema di arena, tubuhnya meringis menahan perih. Segera setelah itu, Angkara melepaskan teknik kuncian yang ia gunakan.

“Aku sudah memperingatkanmu, menyerah saja sejak empat detik lalu,” ujarnya tenang, berbeda dengan rintihan pria berjubah yang masih terbaring.

Wasit menghampiri, memeriksa kondisi lawan Angkara yang kini tak mampu berdiri tegak. Keputusan pun diambil. “Pemenangnya, Angkara!” seru wasit lantang.

Angkara mengepalkan tangan kanannya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, berpose layaknya seorang juara. Namun suasana aneh menyelimutinya. Rasanya seperti dejavu, tak ada sorakan yang menyambut.

Para penonton terdiam. Mereka menyadari bahwa yang bertarung hanyalah seorang pelayan melawan pria misterius. Mustahil ada yang cukup tolol untuk menaruh taruhan pada seorang pelayan. 

Hanya Angkara sendiri yang yakin pada dirinya, bahkan ia rela memasang taruhan atas namanya sendiri.

Saat menuruni panggung, tiba-tiba buah busuk dilemparkan ke arahnya.

“DASAR PELAYAN! GARA-GARA KAU, UANGKU LENYAP!” teriak seseorang, memecah keheningan.

Seolah percikan api yang menyambar sekam kering, beberapa orang lain ikut melakukan hal sama. Tubuh Angkara segera terhujani buah-buahan busuk. Baju pelayannya berubah kotor penuh noda menjijikkan.

Sekilas tatapan Angkara menyapu kerumunan. Perlahan ia mengeluarkan aura intimidasi, aura khas dewa perang yang dulu menggetarkan lawan-lawannya. Bak anjing yang tiba-tiba menyadari kehadiran serigala, para penonton yang tadinya mencemooh sontak terdiam, tubuh mereka meringkuk ketakutan.

Angkara melangkah mendekati pria pertama yang melemparnya. Orang itu gemetar hebat, mundur terhuyung-huyung. Semua mata menatap peristiwa ini, tak ada satu pun yang berani mengalihkan pandangan.

“Hey!” suara Angkara menggema sambil menarik kerah pria tersebut.

Pria itu pucat pasi. Bahkan noda basah terlihat jelas dari celananya. Lututnya bergetar, dan ia terkencing ketakutan di hadapan intimidasi Angkara. 

Namun tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Angkara tersenyum ramah. “Pertandingan berikutnya, jangan lupa bertaruh padaku,” ujarnya santai.

Semua orang terperangah. Keheningan kian menekan, sulit dipercaya apa yang baru saja mereka saksikan. Langkah Angkara yang ringan kemudian meninggalkan arena, tetapi bagi penonton, jelas sudah, meski hanya seorang pelayan, pria ini bukan sosok yang bisa diremehkan.

Ia berjalan ke arah outlet pertaruhan. “Bagaimana dengan uangnya?” tanyanya pada penjaga.

Tanpa banyak bicara, penjaga memberikan sekantung penuh koin perak. Mata Angkara langsung berbinar, air liurnya hampir menetes, seperti seekor anjing kelaparan yang tiba-tiba mendapat tulang besar. “Terima kasih!” ucapnya bersemangat. Ia segera menyelipkan kantong itu ke balik pakaiannya.

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya. Angkara refleks menoleh ke belakang.

“Lumayan juga kau, pelayan.” Seorang pria berotot berdiri sambil tersenyum puas. Dialah praktisi bela diri iblis yang sebelumnya menegurnya. “Namaku Satria,” ucapnya memperkenalkan diri.

Angkara menyeringai. “Aku Angkara.”

Keduanya bersalaman, seakan menandai awal dari ikatan yang akan berlanjut panjang. Kelak, dari pertemuan singkat inilah lahir dua sosok mengerikan yang kelak mengguncang langit dan bumi.

Waktu berlalu. Pertandingan telah memasuki babak semifinal. Hanya tersisa empat kontestan. Salah satunya adalah Jagad, murid inti dari sekte yang sama dengan Angkara.

Dan tentu saja, Angkara sendiri berhasil melaju, meskipun awalnya hanya dianggap pelayan biasa.

Kali ini lawannya bukan Jagad, melainkan seorang pria yang bersenjatakan dua belati. Tidak ada lagi sorakan meremehkan. Semua orang kini memandang Angkara dengan serius.

“Kalian siap?” tanya wasit, menatap bergantian ke arah keduanya.

Mereka mengangguk bersamaan.

Lapisan tulang tingkat tiga…,’ batin Angkara. Wajahnya serius. ‘Baiklah, kali ini aku akan mengeluarkan seluruh kemampuanku. Walaupun tubuh ini lemah, perbedaannya sangat jauh. Sangat jauh…

Ia sadar, saat ini statusnya hanya berada di pelapisan pernapasan tingkat satu. Sedangkan lawannya telah melangkah jauh, menembus tahap lapisan tulang,   lanjutan dari pernapasan tingkat sembilan. Jurangnya amat lebar. Namun, Angkara tahu, pengalaman dewa perang tidak bisa disepelekan begitu saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Pasca Pertarungan

    “Hey, kau baik-baik saja, Angkara?” tanya Satria dengan suara lemah. Tubuhnya masih kaku, bahkan untuk sekadar menggerakkan jari pun terasa berat.Angkara mengangkat satu tangannya dengan santai. “Aku hanya belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan teknikku sendiri, sele—” Ucapannya terhenti mendadak. Dari mulutnya tiba-tiba memuncrat darah pekat, membuat tubuhnya sedikit terhuyung.“Uakh... uhuk... uhuk...” Ia tersedak, menahan rasa perih yang menyerang dari dalam tubuhnya. Gumpalan darah terus keluar dari bibirnya, tak jauh berbeda dengan kondisi ketua perguruan yang baru saja ia kalahkan.Satria menatapnya dengan wajah cemas sekaligus kesal. “Kau bilang baik-baik saja? Kau terlihat seperti orang sekarat! Tadi kau tampak begitu keren, berdiri gagah di atas naga hitam, tapi sekarang malah memuntahkan darah seperti ikan mati! Sungguh pemandangan yang menyedihkan...” ujarnya sambil berbaring lemas di permukaan kepala naga.Angkara tak menanggapi cemoohan itu. Tatapannya beralih tajam k

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Akhir

    Kedua naga itu saling beradu di tengah langit malam yang kelam. Dua makhluk hasil teknik bela diri yang berasal dari jalur berbeda kini bertarung untuk membuktikan supremasi kekuatan masing-masing. Tubuh mereka bergelora, memancarkan cahaya menyilaukan di antara awan yang terbelah, sementara suara benturan mereka menggema hingga ke pelosok negeri.Dalam satu momen, keduanya mengeluarkan raungan yang begitu menggelegar, menembus gendang telinga semua orang yang menyaksikan. Suara itu begitu nyaring hingga sebagian penduduk kekaisaran menjerit kesakitan, darah mengalir dari telinga mereka. Langit yang seharusnya damai kini menjadi medan konfrontasi dua kekuatan luar biasa.“Itu... itu naga sungguhan? Yang benar saja?!” teriak salah seorang penduduk dengan wajah pucat pasi. Ia jatuh tersungkur ke tanah, tubuhnya gemetar hebat. Orang-orang lain menatap ke langit dengan campuran rasa kagum dan ketakutan. Beberapa wanita menjerit histeris, berlari mencari perlindungan, sementara sebagian l

  • Reinkarnasi Dewa Perang   2 Naga

    Dari tubuh Angkara, energi dalam mengalir dengan teratur, berputar dari pusat dadanya lalu menjalar hingga ke ujung jemarinya. Aura pekat mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, berpadu antara hitam kelam dan emas berkilau yang saling melingkar membentuk pusaran halus di sekelilingnya. Dua warna itu tampak bertolak belakang, namun justru menyatu dengan indah, seakan menciptakan harmoni yang tak seharusnya ada.'Luar biasa…' batin Angkara bergetar oleh kekaguman terhadap dirinya sendiri. 'Aku benar-benar telah melampaui batas praktisi biasa. Kini aku berada di tahap penciptaan alam… kekuatanku meningkat pesat setelah menyerap seluruh jiwa di perguruan ini.'Tatapan matanya tajam menembus jarak, menandakan kebanggaan yang nyaris berubah menjadi kesombongan. Saat ini, kekuatannya setara dengan sang pangeran terbuang, instruktur misterius dari Arus Hening, Anantaka, yang juga dikenal sebagai salah satu yang berada pada penciptaan alam.Dengan gerakan ringan, Angkara mengepalkan jemarinya da

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Kekalahan Satria

    Kabut hitam pekat yang membungkus langit malam perlahan menipis, terpecah seperti kabus pagi yang tersapu angin. Sosok tengkorak raksasa yang semula gagah dan menakutkan kini tampak melemah, sementara di tengah sisa-sisa kabut itu berdiri Ketua Perguruan Naga Emas, tanpa luka sedikit pun. Bahkan lipatan jubah emasnya masih tampak bersih, tak tersentuh debu atau bara pertempuran yang baru saja terjadi.Satria memandangi pemandangan itu dengan wajah tak percaya. “Oi… oi… tidak mungkin,” gumamnya, matanya membesar. “Dia tidak hanya kuat… tapi benar-benar berada di tingkat yang tak bisa dijangkau. Jangan-jangan… dia sudah menembus alam dewa?” ucapnya setengah berbisik, lalu menggeleng cepat, menolak pikirannya sendiri. “Tidak… mustahil. Jika dia benar sudah mencapai alam dewa, seharusnya dia telah meninggalkan dunia fana ini dan naik ke alam yang lebih tinggi.”Di langit yang masih diselimuti sisa awan hitam, sang ketua perguruan berdiri di antara pusaran cahaya keemasan. Tatapannya din

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Teknik Pamungkas Satria

    Angkara masih tenggelam jauh di dalam dimensi tenaga dalamnya, benar-benar tak menyadari pergolakan hebat yang terjadi di luar tubuhnya. Di ruang spiritual itu, rasa sakit yang ia rasakan semakin menggila, lengannya seperti disayat ribuan bilah pedang yang mencincang tanpa henti, menembus ke inti energi yang ia coba kendalikan. Tubuhnya gemetar hebat, namun tekadnya tidak goyah. 'Sedikit lagi… aku hanya perlu bertahan sedikit lagi…!!!' teriaknya di dalam hati, menahan rasa nyeri yang mengguncang seluruh raganya.Sementara itu, di dunia nyata, Satria yang baru saja melepaskan teknik pamungkasnya terlihat hampir kehabisan tenaga. Napasnya tersengal keras, seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Setiap helaan napas terasa berat dan menusuk. “Huft… huft… Kau tahu?” katanya seraya tersenyum pahit. “Kau adalah orang pertama yang beruntung bisa menyaksikan teknik terbaikku.”Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah pada gravitasi. Kakinya tak sanggup lagi menopang beratnya sendiri, membuat ia

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Ketua Perguruan Naga Emas

    Sebuah cahaya keemasan melesat di langit, disertai gelegar petir yang mengguncang bumi. Sosok itu muncul begitu cepat, seolah waktu sendiri bertekuk di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berdiri tegak di hadapan Satria, pemuda yang tubuhnya penuh darah dan luka.Udara seketika terasa berat. Sosok berkilau emas itu menatap sekeliling dengan tajam, meneliti puing-puing kehancuran yang berserakan. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di tanah, sebagian bahkan tak berbentuk, hanya gumpalan daging dan darah yang menghitam. Di antara kengerian itu, tampak seseorang tengah bermeditasi dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh tragedi yang baru saja terjadi.“Apakah kau pelakunya?” suara pria itu terdengar rendah, dalam, namun memiliki kekuatan yang menusuk jantung. Setiap katanya mengandung tekanan yang membuat udara bergetar.Satria terdiam. Dalam hidupnya yang keras dan penuh pertempuran, belum pernah ia merasa ditekan sedemikian rupa. Sosok di depannya bukan sekadar manusia; ada wibawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status