LOGINAngkara kembali memulai percakapan di samping pria berkekar itu. “Siapa namamu, Tuan?” tanyanya santai.
Pria itu menatap datar lalu menjawab singkat, “Urusan apa kau?” nada suaranya tajam. “Tidak usah bertele-tele.”Angkara terkekeh halus. “Jangan marah begitu, Tuan. Sebagai sesama praktisi yang menempuh jalan iblis, seharusnya kita saling menghormati, bukan bermusuhan.”
Mata pria berkekar menyipit. “Kau? Siapa sebenarnya kau?”
Kali ini Angkara menatap balik dengan lebih serius. “Ini peringatan, jangan sekali-kali mencoba membunuh wanita itu. Hal ini akan menarik banyak perhatian, dan sebelumnya kau kalah karena kelalaian, bukan karena keunggulan.”
“Apa maksudmu?” sanggah pria itu, nada muak.
Angkara melemparkan apel yang masih tergenggam ke arahnya. “Anggap ini nasihat dari sesama praktisi,” ujarnya santai. Apel itu mendarat di paha pria berkekar, lalu ia mengangkatnya kembali tanpa banyak kata.
Tak lama setelah percakapan singkat itu, wasit memanggil Angkara ke arena. Giliran bertandingnya tiba. Berbeda dari ronde sebelumnya, kini lawannya muncul, sosok berjubah bertopikan jerami. Penonton saling bertanya, menebak identitas sang musuh.
“Siapa dia?” bisik seorang penonton.
“Apa kau bertaruh pada orang itu?” tanya yang lain. “Kesan pertama... kelihatannya kuat,” gumam beberapa orang serempak.Di tengah bisik-bisik itu, Angkara melakukan pemanasan ringan. Ia meregangkan otot, melompat pelan, memelintir sendi-sendi jari untuk mengendurkan ketegangan. Nafasnya teratur, mata tenang. “Aku siap,” katanya sebelum wasit sempat menanyakan kesiapan.
Wasit memandang keduanya, kemudian bertanya kembali. “Antusias sekali kau, anak muda. Benarkah kau siap?” Ia lantas mengalihkan pandangan pada pria berjubah. Seketika, dengan gerak cepat yang mengagetkan, pria berjubah itu menarik pedang dari pinggangnya.
“Mulai!” seru wasit.
Tatapan mereka terkunci. Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum ramah. Angkara segera menyadari intensitas lawan, aura kuat pria berjubah menunjukkan tingkat pernapasan yang jauh di atasnya, lapisan tingkat sembilan, selisih delapan tingkat dari dirinya. Meski demikian, kekuatan batinnya tidak bisa diremehkan.
Keberanian dan pengalaman membuatnya menuntut lawan menunjukkan kemampuan terbaik.
Pria berjubah melesat dengan tebasan tajam mengarah ke leher Angkara. Ia cepat menghindar, sementara balasan tendang dilemparkannya untuk menguji keseimbangan sang musuh. Sang lawan menepis tendangan itu dengan cepat, memperkirakan target yang seharusnya adalah wajahnya. Namun tendangan Angkara meluncur ke arah topi jerami, yang tak terduga membelokkan aliran pertarungan.
Topi terlepas. Wajah pria berjubah kini terlihat jelas, bekas luka memenuhi pipinya, garis sabetan menoreh mata kanannya, rambut panjang kusut menutupi sebagian wajah.
Mata satunya menatap dingin. Penonton mulai berbisik kagum dan takut, taruhan bergeser ke arahnya.
Angkara terkekeh. “Heh, tidak perlu malu-malu saat bertarung denganku,” ejeknya tenang. Ejekan itu dibalas dengan tusukan pedang yang cepat. Angkara memanfaatkan celah serangan untuk meraih lengan si pria.
Ia mencengkeram kuat, lalu menyikut pada otot bisep lawan. Serangan sensitif itu menghentak sampai pedang yang dipegang pria berjubah terlepas dan berguntur jatuh ke lantai.
Tidak rela, musuhnya balik menendang keras ke arah leher Angkara. Serangan itu mendarat, membuat Angkara terguncang dan terangkat sedikit. Pertarungan pun berubah menjadi adu fisik sengit.
Serangan demi serangan dilancarkan, selisih tingkat terasa, tetapi pengalaman Jiwangga, yang kini bersemayam dalam tubuh ini, mampu menutup celah kekuatan.
Di satu momen kritis, Angkara mencengkeram kerah jubah dari belakang dan melemparkan tubuh pria itu ke tanah. Seketika ia menaikkan kedua kakinya, menahan lengan musuh lalu memelintirnya dengan teknik yang mengingatkan pada adu gaya smackdown.
Sang pria menggeliat kesakitan, berusaha meloloskan diri, namun Angkara menahan dengan kekuatan dan posisi yang presisi.
“Menyerah saja. Jika dalam empat hitungan kau belum mengaku kalah, aku akan merengkuh lenganmu sampai patah,” ancam Angkara datar.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan tegang. Pria berjubah tetap berjuang, menolak mengalah. Hingga akhirnya terdengar bunyi krek yang tajam, diikuti jeritan pendek, suara yang menandai persendian lengan pria itu runtuh di bawah tekanan.
Musuh Angkara kali ini berteriak kesakitan sambil memegang lengannya.
“ARGH!!!” suaranya menggema di arena, tubuhnya meringis menahan perih. Segera setelah itu, Angkara melepaskan teknik kuncian yang ia gunakan.“Aku sudah memperingatkanmu, menyerah saja sejak empat detik lalu,” ujarnya tenang, berbeda dengan rintihan pria berjubah yang masih terbaring.
Wasit menghampiri, memeriksa kondisi lawan Angkara yang kini tak mampu berdiri tegak. Keputusan pun diambil. “Pemenangnya, Angkara!” seru wasit lantang.
Angkara mengepalkan tangan kanannya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, berpose layaknya seorang juara. Namun suasana aneh menyelimutinya. Rasanya seperti dejavu, tak ada sorakan yang menyambut.Para penonton terdiam. Mereka menyadari bahwa yang bertarung hanyalah seorang pelayan melawan pria misterius. Mustahil ada yang cukup tolol untuk menaruh taruhan pada seorang pelayan.
Hanya Angkara sendiri yang yakin pada dirinya, bahkan ia rela memasang taruhan atas namanya sendiri.
Saat menuruni panggung, tiba-tiba buah busuk dilemparkan ke arahnya.
“DASAR PELAYAN! GARA-GARA KAU, UANGKU LENYAP!” teriak seseorang, memecah keheningan.Seolah percikan api yang menyambar sekam kering, beberapa orang lain ikut melakukan hal sama. Tubuh Angkara segera terhujani buah-buahan busuk. Baju pelayannya berubah kotor penuh noda menjijikkan.
Sekilas tatapan Angkara menyapu kerumunan. Perlahan ia mengeluarkan aura intimidasi, aura khas dewa perang yang dulu menggetarkan lawan-lawannya. Bak anjing yang tiba-tiba menyadari kehadiran serigala, para penonton yang tadinya mencemooh sontak terdiam, tubuh mereka meringkuk ketakutan.
Angkara melangkah mendekati pria pertama yang melemparnya. Orang itu gemetar hebat, mundur terhuyung-huyung. Semua mata menatap peristiwa ini, tak ada satu pun yang berani mengalihkan pandangan.
“Hey!” suara Angkara menggema sambil menarik kerah pria tersebut.
Pria itu pucat pasi. Bahkan noda basah terlihat jelas dari celananya. Lututnya bergetar, dan ia terkencing ketakutan di hadapan intimidasi Angkara.
Namun tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Angkara tersenyum ramah. “Pertandingan berikutnya, jangan lupa bertaruh padaku,” ujarnya santai.
Semua orang terperangah. Keheningan kian menekan, sulit dipercaya apa yang baru saja mereka saksikan. Langkah Angkara yang ringan kemudian meninggalkan arena, tetapi bagi penonton, jelas sudah, meski hanya seorang pelayan, pria ini bukan sosok yang bisa diremehkan.
Ia berjalan ke arah outlet pertaruhan. “Bagaimana dengan uangnya?” tanyanya pada penjaga.
Tanpa banyak bicara, penjaga memberikan sekantung penuh koin perak. Mata Angkara langsung berbinar, air liurnya hampir menetes, seperti seekor anjing kelaparan yang tiba-tiba mendapat tulang besar. “Terima kasih!” ucapnya bersemangat. Ia segera menyelipkan kantong itu ke balik pakaiannya.
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya. Angkara refleks menoleh ke belakang.
“Lumayan juga kau, pelayan.” Seorang pria berotot berdiri sambil tersenyum puas. Dialah praktisi bela diri iblis yang sebelumnya menegurnya. “Namaku Satria,” ucapnya memperkenalkan diri.Angkara menyeringai. “Aku Angkara.”
Keduanya bersalaman, seakan menandai awal dari ikatan yang akan berlanjut panjang. Kelak, dari pertemuan singkat inilah lahir dua sosok mengerikan yang kelak mengguncang langit dan bumi.
…
Waktu berlalu. Pertandingan telah memasuki babak semifinal. Hanya tersisa empat kontestan. Salah satunya adalah Jagad, murid inti dari sekte yang sama dengan Angkara.
Dan tentu saja, Angkara sendiri berhasil melaju, meskipun awalnya hanya dianggap pelayan biasa.Kali ini lawannya bukan Jagad, melainkan seorang pria yang bersenjatakan dua belati. Tidak ada lagi sorakan meremehkan. Semua orang kini memandang Angkara dengan serius.
“Kalian siap?” tanya wasit, menatap bergantian ke arah keduanya.
Mereka mengangguk bersamaan.‘Lapisan tulang tingkat tiga…,’ batin Angkara. Wajahnya serius. ‘Baiklah, kali ini aku akan mengeluarkan seluruh kemampuanku. Walaupun tubuh ini lemah, perbedaannya sangat jauh. Sangat jauh…’
Ia sadar, saat ini statusnya hanya berada di pelapisan pernapasan tingkat satu. Sedangkan lawannya telah melangkah jauh, menembus tahap lapisan tulang, lanjutan dari pernapasan tingkat sembilan. Jurangnya amat lebar. Namun, Angkara tahu, pengalaman dewa perang tidak bisa disepelekan begitu saja.
Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal
Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah
Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras
Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari
Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern
Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma







