Jari telunjuk Angkara menempel di depan bibirnya. “Sttt,,,”
Ia memberi tanda agar Mandala, sang perundung untuk tidak membuat keributan yang tidak diperlukan.
“Jangan berteriak, kalau kau berteriak aku akan membuatmu tak bergerak seperti tadi pagi,” ucapnya dengan tatapan setajam sebilah pisau.
“Apa kau mengerti?”
Mandala mengangguk perlahan, dan tangan Angkara kembali diturunkan.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Mandala heran.
Angkara mengambil lilin yang dipegang Mandala, seraya berucap. “Tidak banyak, aku hanya ingin eliksir.”
“Hah? Apa maksudmu?”
Angkara tersenyum tipis. “Bukankah ayahmu adalah seorang pedagang ternama di kota kecil ini?” Ia melanjut. “Ambillah beberapa eliksir dan berikan kepadaku.”
Mandala mengernyitkan dahinya, tak terima dengan perilaku Angkara. “HEH! Seorang pelayan mencoba memalaki Tuannya sendiri?!”
Ia berdehem. “Sadari posisimu Angkara!”
Angkara merapatkan kedua jarinya dan menotok beberapa bagian titik tubuh Mandala, sehingga Mandala hanya terdiam seperti paku. “Brengsek!!!”
“Mandala, kau bukanlah tuanku, jika kau masih tidak tahu situasimu saat ini, aku akan menjamin bahwa hidupmu di perguruan ini takkan tenang sama sekali.”
Ancaman Angkara menusuk telinga Mandala hingga ia menelan ludahnya sendiri. Diam sejenak di antara mereka berdua.
“Baiklah,” bisik Mandala. “Aku akan memberimu beberapa eliksir besok.”
Mau tak mau Mandala menyetujui ancaman dari Angkara, baginya hal terpenting dari dirinya saat ini adalah belajar bela diri dengan tenang di perguruan ini.
“Oke, besok malam datanglah ke tempatku sendirian, tak perlu mengajak Saka dan Sabda.” Angkara kembali menotok titik yang tadi ia tusuk.
Mandala, bisa bergerak lagi, ia merenggangkan beberapa tubuhnya. Dan melihat Angkara pergi melalui jendela.
“Pelayan rendahan!” cibirnya dengan perasaan penuh dendam.
Kemarahannya sangat wajar bagi seorang perundung, perubahan sikap drastis dari mainannya, membuat dirinya tak bisa merundung mainannya.
...
Pagi harinya Angkara melakukan tugas kembali seperti seorang pelayan, membersihkan beberapa bagian, dan merapikan asrama para murid luar. Setelah ia menyelesaikannya. Ia berniat untuk pergi ke tengah kota.
Penduduk kota kecil ramai ramai berlalu lalang, para pedagang dengan sibuknya meneriaki para pelanggan yang melewatinya.
Bau rempah mengalir keseluruh jalanan, beberapa kereta kuda terlihat di antara para penduduk yang berjalan kaki.
“Sudah lama aku tidak merasakan nuansa seperti ini,” bisiknya diantara keramaian. Ia memandang kesana kemari. Melihat para pedagang yang menjual beberapa barang.
Matanya terpaku pada penjual buah. “Berapa ini paman?”
“Yang ini?” Penjual itu memegang apel dari sebuah rak. “Ini 3 koin tembaga 1 kilo.”
Angkara mengusap dagunya seolah berfikir dalam. ‘Harga disini masih sama dengan terakhir kali, sepertinya tak ada kemajuan signifikan di dunia fana ini.’ pikirnya menilai.
“Paman, aku beli 2 kilo saja.”
Penjual itu mengangguk mantap. “Baik…” Dengan cepat ia menimbang beberapa buah dan memasukkannya pada kantong. “Silahkan.”
Angkara memberikan 3 koin tembaga, dan pergi melanjut.
Sebuah keributan di tanah kosong terjadi di tempat itu, orang orang sibuk mengelilingi dan saling berbisik antara satu sama lain.
“Ada apa ramai begini,” bisiknya.
Seseorang di sebelahnya mendengar bisikan Angkara, dan perlahan melirik ke arahnya. “Oh nak… Apa kau baru di kota ini?”
Angkara menggeleng. “Tidak, hanya saja saya jarang ke kota.”
Orang disebelahnya menghela nafas singkat. “Pantas saja kau tak tahu, hari ini kebetulan sedang ada perlombaan kecil kecilan.”
“Perlombaan?” tanya Angkara.
“Benar, lihatlah orang di sebelah sana.” Ia menunjuk kepada seorang praktisi bela diri yang mengenakan sarung pedang di pinggangnya. “Sebuah perlombaan bela diri kecil, dan hadiahnya lumayan menarik, walaupun tidak besar.”
“Heh…” Angkara tersenyum tipis. Ia melanjut. “Bagaimana cara mendaftarnya?”
“Kau ingin mengikuti lomba ini?” Orang tersebut menyidik dari atas kepala hingga ujung sepatu. Ia berpikir bahwa pemuda di depannya adalah orang biasa dan lemah.
Melihat dari tubuh kurusnya dan tak punya otot, mustahil bagi pemuda di depannya untuk memenangkan hadiah.
Angkara menangguk. “Benar.”
“Hentikan saja nak.” Orang itu melambaikan tangannya, memberi saran. “Para kontestan yang mengikuti lomba, mereka adalah orang kuat di kota ini.”
“Contohnya, orang yang tadi ku tunjuk, ia adalah penjaga kamar pedagang di kota ini, konon dia bisa membunuh 100 orang biasa sendirian. Dan juga beberapa orang ternama dikenal dengan bengis mendaftar juga.”
Angkara terdiam sejenak. “Tak apa, aku hanya penasaran, lagian aku juga bisa mundur jika kalah bukan?”
Apel yang di kantongnya ia gigit. “Jadi Pak. Dimana saya bisa mendaftar.”
“Huft, aku sudah memberikan saran padamu nak. Konsekuensi yang nanti kau terima kau tanggung sendiri. Kau hanya perlu mendaftar di sana.” Kepalanya bergerak menunjuk ke arah pria yang memakai gaun sutra, duduk di depan meja.
“Baik, terima kasih.” Angkara memberikan 1 apel pada pria itu, dan menghampiri meja pendaftaran.
“Halo. Saya ingin mendaftar,” ujar Angkara.
Seseorang yang mengenakan pakaian sutra memandangnya dengan sinis, sama seperti pria sebelumnya, ia juga menyidik penampilan Angkara. “Kau… Seorang pelayan?”
Terlihat jelas identitasnya dari pakaian putih yang ia kenakan. “Benar.” Angkara mengangguk yakin.
“Apa kau serius?” Pria didepannya menyipitkan matanya.
Lagi lagi Angkara menganggukkan kepalanya.
“Namamu siapa?” tanya pria itu sambil membuka buku pendaftaran.
“Angkara,” balasnya.
Pria itu langsung menulis diatas kertas buku dan menjelaskan beberapa hal. “Hadiah dari turnamen ini ada 2, juara pertama akan mendapatkan emas 1 peti, dan juara ke 2 akan mendapatkan buku bela diri.”
“Kebanyakan mereka para pendaftar berada pada lapisan pernapasan tingkat 3 sampai 7. Tingkatan berapa kau Nak?”
“Lapisan pernapasan tingkat 1,” ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Alis pria di depannya terangkat. “Tingkat 1?!”
“Benar.”
“Apa kau serius Nak? Kau bisa mati jika mengikuti ini.” Ia menanyai kepastian kembali.
Seorang seniman bela diri, dibagi oleh beberapa tingkatan, dan lapisan pernapasan adalah tingkatan awal dalam menempuh jalan mempelajari bela diri. Setiap tingkatannya terdiri dari 1 sampai 9.
“Sungguh pemuda penuh tekad. Jangan menyesal oke?” tanya pria itu.
“Tenang saja, aku akan mengambil resiko penuh.: Angkara membusungkan dadanya.
Dengan langsung pria itu memberikan sebuah nomor kertas pada Angkara. “Ini adalah nomormu, untuk pertandingannya, kau bisa melihat papan di depan panggung.”
Angkara menerimanya, dan langsung pergi ke papan yang ditunjukan, di papan itu, nomor Angkara terlukis pada pertarungan terakhir.
Ia menghela nafas singkat. “Heh… Kapan terakhir aku mengikuti lomba seperti ini.”
Angkara merasa nostalgia, karena di Alam surgawi tak ada acara seperti ini, satu satunya tempat yang ada acara seperti ini hanyalah alam fana. Sebelum ia menaiki alam surgawi, ia sering sekali mengikuti lomba dan turnamen bela diri.
Beberapa saat kemudian pertandingan pertama dimulai, para penonton bersorak sorai, dan memegang tiket judi untuk mendapatkan uang sebanyak banyaknya. Mereka bertaruh kepada kandidat terkuat.
Namun, tak ada satupun yang bertaruh kepada seorang pelayan perguruan yang mengikuti lomba ini.
“Apa aku harus bertaruh juga untuk diriku sendiri?”
“Hey, kau baik-baik saja, Angkara?” tanya Satria dengan suara lemah. Tubuhnya masih kaku, bahkan untuk sekadar menggerakkan jari pun terasa berat.Angkara mengangkat satu tangannya dengan santai. “Aku hanya belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan teknikku sendiri, sele—” Ucapannya terhenti mendadak. Dari mulutnya tiba-tiba memuncrat darah pekat, membuat tubuhnya sedikit terhuyung.“Uakh... uhuk... uhuk...” Ia tersedak, menahan rasa perih yang menyerang dari dalam tubuhnya. Gumpalan darah terus keluar dari bibirnya, tak jauh berbeda dengan kondisi ketua perguruan yang baru saja ia kalahkan.Satria menatapnya dengan wajah cemas sekaligus kesal. “Kau bilang baik-baik saja? Kau terlihat seperti orang sekarat! Tadi kau tampak begitu keren, berdiri gagah di atas naga hitam, tapi sekarang malah memuntahkan darah seperti ikan mati! Sungguh pemandangan yang menyedihkan...” ujarnya sambil berbaring lemas di permukaan kepala naga.Angkara tak menanggapi cemoohan itu. Tatapannya beralih tajam k
Kedua naga itu saling beradu di tengah langit malam yang kelam. Dua makhluk hasil teknik bela diri yang berasal dari jalur berbeda kini bertarung untuk membuktikan supremasi kekuatan masing-masing. Tubuh mereka bergelora, memancarkan cahaya menyilaukan di antara awan yang terbelah, sementara suara benturan mereka menggema hingga ke pelosok negeri.Dalam satu momen, keduanya mengeluarkan raungan yang begitu menggelegar, menembus gendang telinga semua orang yang menyaksikan. Suara itu begitu nyaring hingga sebagian penduduk kekaisaran menjerit kesakitan, darah mengalir dari telinga mereka. Langit yang seharusnya damai kini menjadi medan konfrontasi dua kekuatan luar biasa.“Itu... itu naga sungguhan? Yang benar saja?!” teriak salah seorang penduduk dengan wajah pucat pasi. Ia jatuh tersungkur ke tanah, tubuhnya gemetar hebat. Orang-orang lain menatap ke langit dengan campuran rasa kagum dan ketakutan. Beberapa wanita menjerit histeris, berlari mencari perlindungan, sementara sebagian l
Dari tubuh Angkara, energi dalam mengalir dengan teratur, berputar dari pusat dadanya lalu menjalar hingga ke ujung jemarinya. Aura pekat mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, berpadu antara hitam kelam dan emas berkilau yang saling melingkar membentuk pusaran halus di sekelilingnya. Dua warna itu tampak bertolak belakang, namun justru menyatu dengan indah, seakan menciptakan harmoni yang tak seharusnya ada.'Luar biasa…' batin Angkara bergetar oleh kekaguman terhadap dirinya sendiri. 'Aku benar-benar telah melampaui batas praktisi biasa. Kini aku berada di tahap penciptaan alam… kekuatanku meningkat pesat setelah menyerap seluruh jiwa di perguruan ini.'Tatapan matanya tajam menembus jarak, menandakan kebanggaan yang nyaris berubah menjadi kesombongan. Saat ini, kekuatannya setara dengan sang pangeran terbuang, instruktur misterius dari Arus Hening, Anantaka, yang juga dikenal sebagai salah satu yang berada pada penciptaan alam.Dengan gerakan ringan, Angkara mengepalkan jemarinya da
Kabut hitam pekat yang membungkus langit malam perlahan menipis, terpecah seperti kabus pagi yang tersapu angin. Sosok tengkorak raksasa yang semula gagah dan menakutkan kini tampak melemah, sementara di tengah sisa-sisa kabut itu berdiri Ketua Perguruan Naga Emas, tanpa luka sedikit pun. Bahkan lipatan jubah emasnya masih tampak bersih, tak tersentuh debu atau bara pertempuran yang baru saja terjadi.Satria memandangi pemandangan itu dengan wajah tak percaya. “Oi… oi… tidak mungkin,” gumamnya, matanya membesar. “Dia tidak hanya kuat… tapi benar-benar berada di tingkat yang tak bisa dijangkau. Jangan-jangan… dia sudah menembus alam dewa?” ucapnya setengah berbisik, lalu menggeleng cepat, menolak pikirannya sendiri. “Tidak… mustahil. Jika dia benar sudah mencapai alam dewa, seharusnya dia telah meninggalkan dunia fana ini dan naik ke alam yang lebih tinggi.”Di langit yang masih diselimuti sisa awan hitam, sang ketua perguruan berdiri di antara pusaran cahaya keemasan. Tatapannya din
Angkara masih tenggelam jauh di dalam dimensi tenaga dalamnya, benar-benar tak menyadari pergolakan hebat yang terjadi di luar tubuhnya. Di ruang spiritual itu, rasa sakit yang ia rasakan semakin menggila, lengannya seperti disayat ribuan bilah pedang yang mencincang tanpa henti, menembus ke inti energi yang ia coba kendalikan. Tubuhnya gemetar hebat, namun tekadnya tidak goyah. 'Sedikit lagi… aku hanya perlu bertahan sedikit lagi…!!!' teriaknya di dalam hati, menahan rasa nyeri yang mengguncang seluruh raganya.Sementara itu, di dunia nyata, Satria yang baru saja melepaskan teknik pamungkasnya terlihat hampir kehabisan tenaga. Napasnya tersengal keras, seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Setiap helaan napas terasa berat dan menusuk. “Huft… huft… Kau tahu?” katanya seraya tersenyum pahit. “Kau adalah orang pertama yang beruntung bisa menyaksikan teknik terbaikku.”Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah pada gravitasi. Kakinya tak sanggup lagi menopang beratnya sendiri, membuat ia
Sebuah cahaya keemasan melesat di langit, disertai gelegar petir yang mengguncang bumi. Sosok itu muncul begitu cepat, seolah waktu sendiri bertekuk di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berdiri tegak di hadapan Satria, pemuda yang tubuhnya penuh darah dan luka.Udara seketika terasa berat. Sosok berkilau emas itu menatap sekeliling dengan tajam, meneliti puing-puing kehancuran yang berserakan. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di tanah, sebagian bahkan tak berbentuk, hanya gumpalan daging dan darah yang menghitam. Di antara kengerian itu, tampak seseorang tengah bermeditasi dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh tragedi yang baru saja terjadi.“Apakah kau pelakunya?” suara pria itu terdengar rendah, dalam, namun memiliki kekuatan yang menusuk jantung. Setiap katanya mengandung tekanan yang membuat udara bergetar.Satria terdiam. Dalam hidupnya yang keras dan penuh pertempuran, belum pernah ia merasa ditekan sedemikian rupa. Sosok di depannya bukan sekadar manusia; ada wibawa