Home / Zaman Kuno / Reinkarnasi Dewa Perang / Perlombaan Bela Diri

Share

Perlombaan Bela Diri

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-09-19 18:51:11

Jari telunjuk Angkara menempel di depan bibirnya. “Sttt,,,” 

Ia memberi tanda agar Mandala, sang perundung untuk tidak membuat keributan yang tidak diperlukan.

“Jangan berteriak, kalau kau berteriak aku akan membuatmu tak bergerak seperti tadi pagi,” ucapnya dengan tatapan setajam sebilah pisau.

“Apa kau mengerti?”

Mandala mengangguk perlahan, dan tangan Angkara kembali diturunkan.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Mandala heran.

Angkara mengambil lilin yang dipegang Mandala, seraya berucap. “Tidak banyak, aku hanya ingin eliksir.”

“Hah? Apa maksudmu?”

Angkara tersenyum tipis. “Bukankah ayahmu adalah seorang pedagang ternama di kota kecil ini?” Ia melanjut. “Ambillah beberapa eliksir dan berikan kepadaku.”

Mandala mengernyitkan dahinya, tak terima dengan perilaku Angkara. “HEH! Seorang pelayan mencoba memalaki Tuannya sendiri?!”

Ia berdehem. “Sadari posisimu Angkara!”

Angkara merapatkan kedua jarinya dan menotok beberapa bagian titik tubuh Mandala, sehingga Mandala hanya terdiam seperti paku. “Brengsek!!!”

“Mandala, kau bukanlah tuanku, jika kau masih tidak tahu situasimu saat ini, aku akan menjamin bahwa hidupmu di perguruan ini takkan tenang sama sekali.”

Ancaman Angkara menusuk telinga Mandala hingga ia menelan ludahnya sendiri. Diam sejenak di antara mereka berdua.

“Baiklah,” bisik Mandala. “Aku akan memberimu beberapa eliksir besok.”

Mau tak mau Mandala menyetujui ancaman dari Angkara, baginya hal terpenting dari dirinya saat ini adalah belajar bela diri dengan tenang di perguruan ini.

“Oke, besok malam datanglah ke tempatku sendirian, tak perlu mengajak Saka dan Sabda.” Angkara kembali menotok titik yang tadi ia tusuk. 

Mandala, bisa bergerak lagi, ia merenggangkan beberapa tubuhnya. Dan melihat Angkara pergi melalui jendela. 

“Pelayan rendahan!” cibirnya dengan perasaan penuh dendam.

Kemarahannya sangat wajar bagi seorang perundung, perubahan sikap drastis dari mainannya, membuat dirinya tak bisa merundung mainannya.

...

Pagi harinya Angkara melakukan tugas kembali seperti seorang pelayan, membersihkan beberapa bagian, dan merapikan asrama para murid luar. Setelah ia menyelesaikannya. Ia berniat untuk pergi ke tengah kota.

Penduduk kota kecil ramai ramai berlalu lalang, para pedagang dengan sibuknya meneriaki para pelanggan yang melewatinya.

Bau rempah mengalir keseluruh jalanan, beberapa kereta kuda terlihat di antara para penduduk yang berjalan kaki.

“Sudah lama aku tidak merasakan nuansa seperti ini,” bisiknya diantara keramaian. Ia memandang kesana kemari. Melihat para pedagang yang menjual beberapa barang.

Matanya terpaku pada penjual buah. “Berapa ini paman?”

“Yang ini?” Penjual itu memegang apel dari sebuah rak. “Ini 3 koin tembaga 1 kilo.”

Angkara mengusap dagunya seolah berfikir dalam. ‘Harga disini masih sama dengan terakhir kali, sepertinya tak ada kemajuan signifikan di dunia fana ini.’ pikirnya menilai.

“Paman, aku beli 2 kilo saja.”

Penjual itu mengangguk mantap. “Baik…” Dengan cepat ia menimbang beberapa buah dan memasukkannya pada kantong. “Silahkan.”

Angkara memberikan 3 koin tembaga, dan pergi melanjut.

Sebuah keributan di tanah kosong terjadi di tempat itu, orang orang sibuk mengelilingi dan saling berbisik antara satu sama lain.

“Ada apa ramai begini,” bisiknya.

Seseorang di sebelahnya mendengar bisikan Angkara, dan perlahan melirik ke arahnya. “Oh nak… Apa kau baru di kota ini?”

Angkara menggeleng. “Tidak, hanya saja saya jarang ke kota.”

Orang disebelahnya menghela nafas singkat. “Pantas saja kau tak tahu, hari ini kebetulan sedang ada perlombaan kecil kecilan.”

“Perlombaan?” tanya Angkara.

“Benar, lihatlah orang di sebelah sana.” Ia menunjuk kepada seorang praktisi bela diri yang mengenakan sarung pedang di pinggangnya. “Sebuah perlombaan bela diri kecil, dan hadiahnya lumayan menarik, walaupun tidak besar.”

“Heh…” Angkara tersenyum tipis. Ia melanjut. “Bagaimana cara mendaftarnya?”

“Kau ingin mengikuti lomba ini?” Orang tersebut menyidik dari atas kepala hingga ujung sepatu. Ia berpikir bahwa pemuda di depannya adalah orang biasa dan lemah.

Melihat dari tubuh kurusnya dan tak punya otot, mustahil bagi pemuda di depannya untuk memenangkan hadiah.

Angkara menangguk. “Benar.”

“Hentikan saja nak.” Orang itu melambaikan tangannya, memberi saran. “Para kontestan yang mengikuti lomba, mereka adalah orang kuat di kota ini.”

“Contohnya, orang yang tadi ku tunjuk, ia adalah penjaga kamar pedagang di kota ini, konon dia bisa membunuh 100 orang biasa sendirian. Dan juga beberapa orang ternama dikenal dengan bengis mendaftar juga.”

Angkara terdiam sejenak. “Tak apa, aku hanya penasaran, lagian aku juga bisa mundur jika kalah bukan?”

Apel yang di kantongnya ia gigit. “Jadi Pak. Dimana saya bisa mendaftar.”

“Huft, aku sudah memberikan saran padamu nak. Konsekuensi yang nanti kau terima kau tanggung sendiri. Kau hanya perlu mendaftar di sana.” Kepalanya bergerak menunjuk ke arah pria yang memakai gaun sutra, duduk di depan meja.

“Baik, terima kasih.” Angkara memberikan 1 apel pada pria itu, dan menghampiri meja pendaftaran.

“Halo. Saya ingin mendaftar,” ujar Angkara.

Seseorang yang mengenakan pakaian sutra memandangnya dengan sinis, sama seperti pria sebelumnya, ia juga menyidik penampilan Angkara. “Kau… Seorang pelayan?”

Terlihat jelas identitasnya dari pakaian putih yang ia kenakan. “Benar.” Angkara mengangguk yakin.

“Apa kau serius?” Pria didepannya menyipitkan matanya.

Lagi lagi Angkara menganggukkan kepalanya.

“Namamu siapa?” tanya pria itu sambil membuka buku pendaftaran.

“Angkara,” balasnya.

Pria itu langsung menulis diatas kertas buku dan menjelaskan beberapa hal. “Hadiah dari turnamen ini ada 2, juara pertama akan mendapatkan emas 1 peti, dan juara ke 2 akan mendapatkan buku bela diri.”

“Kebanyakan mereka para pendaftar berada pada lapisan pernapasan tingkat 3 sampai 7. Tingkatan berapa kau Nak?”

“Lapisan pernapasan tingkat 1,” ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Alis pria di depannya terangkat. “Tingkat 1?!”

“Benar.”

“Apa kau serius Nak? Kau bisa mati jika mengikuti ini.” Ia menanyai kepastian kembali.

Seorang seniman bela diri, dibagi oleh beberapa tingkatan, dan lapisan pernapasan adalah tingkatan awal dalam menempuh jalan mempelajari bela diri. Setiap tingkatannya terdiri dari 1 sampai 9. 

“Sungguh pemuda penuh tekad. Jangan menyesal oke?” tanya pria itu.

“Tenang saja, aku akan mengambil resiko penuh.: Angkara membusungkan dadanya.

Dengan langsung pria itu memberikan sebuah nomor kertas pada Angkara. “Ini adalah nomormu, untuk pertandingannya, kau bisa melihat papan di depan panggung.”

Angkara menerimanya, dan langsung pergi ke papan yang ditunjukan, di papan itu, nomor Angkara terlukis pada pertarungan terakhir.

Ia menghela nafas singkat. “Heh… Kapan terakhir aku mengikuti lomba seperti ini.”

Angkara merasa nostalgia, karena di Alam surgawi tak ada acara seperti ini, satu satunya tempat yang ada acara seperti ini hanyalah alam fana. Sebelum ia menaiki alam surgawi, ia sering sekali mengikuti lomba dan turnamen bela diri.

Beberapa saat kemudian pertandingan pertama dimulai, para penonton bersorak sorai, dan memegang tiket judi untuk mendapatkan uang sebanyak banyaknya. Mereka bertaruh kepada kandidat terkuat.

Namun, tak ada satupun yang bertaruh kepada seorang pelayan perguruan yang mengikuti lomba ini. 

“Apa aku harus bertaruh juga untuk diriku sendiri?” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Fase Selanjutnya

    Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Utara

    Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Evakuasi

    Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Wali Kota

    Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Pasukan Tengkorak

    Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Menara Tengkorak

    Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status