Share

Reinkarnasi Dewa Perang
Reinkarnasi Dewa Perang
Author: Zen_

Reinkarnasi

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-09-12 19:47:58

Di sebuah bukit yang terletak di selatan sebuah kota kecil, berdiri sunyi dengan rimbunan pohon yang menjulang tinggi. Ada seorang mayat yang tergeletak dengan penuh bersimbah darah di wajahnya.

Tiba tiba.sebuah cahaya dari langit melesat turun dengan kecepatan yang mustahil dijangkau mata. 

Cahaya itu menembus tubuh yang sudah tak bernyawa. Dalam sekejap, roh asing memasuki jasad yang terkapar.

Kilatan cahaya tipis menyelimuti tubuhnya. Jemari yang tadinya kaku perlahan bergerak. Otot-otot mulai mengencang, hingga tubuh itu tiba-tiba bangkit dengan posisi duduk bersila. Nafas berat terdengar, seakan ia baru saja kembali dari perjalanan panjang.

“Urgh…” suara serak keluar dari mulutnya. Kepala terasa berputar, pandangan bergetar seperti dilanda gempa, dan kunang-kunang berkelip di depan matanya. 

Ia mengusap pelipis, merasakan darah kering menempel di tangannya. “Darah…? Apa yang terjadi denganku?”

Ketika ia menatap tubuhnya, keterkejutan tak bisa disembunyikan. Tubuh kurus, tulang menonjol, kulit pucat tak terawat. “Aku… telah bereinkarnasi?” katanya terperanjat.

Ingatan lamanya segera menyeruak.  "Penduduk Alam Surgawi, bajingan! Mereka berani mengkhianatiku padahal aku sudah menaklukkan raja iblis!”

Dahulu ia adalah Jiwangga, dewa perang yang meniti jalan penuh darah hingga mencapai puncak kejayaan. Ia menumbangkan musuh-musuh besar dan akhirnya membunuh raja iblis. 

Namun, tepat ketika berada di puncak, para dewa yang seharusnya menjadi sekutu justru menusuk dari belakang. Dewa Angin, Dewa Api, dan Dewa Petir menyerang istananya, dibarengi pengkhianatan terberat: murid yang ia besarkan sendiri, Sakti, berbalik menusuknya.

“Sakti… murid durhaka. Beraninya kau menusukku dari belakang, setelah semua yang kuajarkan padamu.” Suaranya penuh kemarahan sekaligus kekecewaan. Ia mendongak menatap langit, matahari perlahan tertutup kaki gunung, membuat suasana kian muram.

Ingatan masa lalu bercampur dengan kenangan tubuh baru yang kini ia tempati. Rasa sakit menghantam kepalanya, membuatnya berteriak keras. “ARGH!”

Potongan ingatan tentang pemilik tubuh asli membanjiri pikirannya. Ia melihat sosok pelayan bernama Angkara, seorang yang sepanjang hidupnya hanya dihina, direndahkan, dan dijadikan bahan ejekan. 

Berdasarkan ingatan terakhir pemilik tubuh, Angkara diseret ke Bukit Selatan oleh Mandala—putra saudagar kaya sekaligus murid luar Perguruan Arus Hening—bersama dua pengikutnya, Saka dan Sabda. Hanya karena tak mampu memenuhi perintah mereka, Angkara disiksa habis-habisan hingga tak berdaya, lalu ditinggalkan begitu saja seolah nyawanya tak berarti.

Ketika seluruh ingatan pemilik tubuh telah tergambar jelas. Dewa Perang yang kini menempati tubuh itu terkekeh pelan. Ia menengadah menatap langit.“Benar-benar, langit telah memberiku kesempatan, begitu pula pemilik tubuh ini,” gumamnya.

“Aku tidak peduli siapa dirimu, Angkara. Tubuhmu akan kumanfaatkan sebagaimana dahulu aku memakai tubuhku.”

Dengan tubuh yang masih dipenuhi luka, ia memaksa diri untuk bergerak. Setiap langkah terasa berat, seolah tulang-tulangnya hendak patah, tetapi keinginan untuk berdiri dan berjalan membuatnya tidak menyerah. 

Walau tenaganya nyaris terkuras habis, ia tetap berusaha melangkah, menyusuri jalan menurun bukit selatan. Udara lembab bercampur aroma tanah basah menusuk hidungnya, namun hal itu sama sekali tidak menggoyahkan tekadnya.

Belum genap satu jam Jiwangga, sang Dewa Perang, menempati tubuh rapuh itu, takdir mempertemukannya kembali dengan tiga orang yang menjadi biang kerok kematian pemilik tubuh ini. Perjumpaan itu terasa begitu cepat, seperti ironi yang dipersiapkan langit untuknya.

Mata Angkara, yang kini ditempati jiwa seorang dewa, sedikit menyipit. Ia menatap sosok-sosok yang berdiri beberapa langkah di depannya. 

“Ang… Kara?” suara Sabda pecah, terbata-bata, penuh rasa takut. Mulutnya terbuka, matanya membelalak, seakan-akan sedang melihat arwah gentayangan.

Saka berdiri kaku di sampingnya, wajahnya pucat pasi. Ia tampak mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, namun pikirannya tidak mampu menerima kenyataan bahwa tubuh yang semestinya sudah terkapar mati kini berdiri dengan napas yang jelas-jelas masih berhembus.

Mandala, berbeda dari keduanya, justru menunjukkan ekspresi jauh lebih serius. Kedua matanya menyipit, penuh kewaspadaan. “Bagaimana bisa kau hidup kembali?” tanyanya dengan nada rendah namun tajam, menandakan ia tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja.

Di sisi lain, Jiwangga, yang menempati tubuh Angkara, sedikit menunduk, lalu mendongak menatap ke langit. ’Heh jadi mereka yang telah membunuh Angkara?. Benaknya menilai. Hatinya pun tersulut oleh keinginan untuk membalaskan dendam.

Senyum miring menghiasi wajah yang penuh luka. Kemudian, tawanya meledak keras, bergema di bukit selatan yang sunyi. “HAHAHAHAHA! Kalian pasti tidak menyangka, bukan? Aku, yang kalian kira sudah mati, kini berdiri tegak di depan kalian!”

Ketiga perundung itu menelan ludah. Kata-kata tersebut terasa seperti pukulan yang menyayat hati mereka. Sabda, dengan tubuh bergetar, mencoba mencari kepastian. “Kau… kau bukan hantu, kan?” tanyanya ragu, hampir tak terdengar. 

Dari ketiganya, memang Sabda yang paling penakut, terlebih saat dihadapkan dengan sesuatu yang menyerupai roh gentayangan.

Mandala tidak menunggu jawaban. Ia segera merendahkan tubuhnya, memasang kuda-kuda penuh kesiapan. Sorot matanya menunjukkan niat membunuh yang tak main-main. “Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi kali ini kita harus serius. Kita tidak boleh lengah lagi,” katanya mantap.

Saka dan Sabda pun tak punya pilihan lain. Meski keraguan jelas terpampang di wajah mereka, keduanya mengikuti langkah Mandala, memasang kuda-kuda, bersiap untuk kembali menghabisi sosok yang kini berdiri sebagai misteri hidup di hadapan mereka.

Mereka bertiga langsung mencoba menerjang Angkara yang sedang penuh dengan luka. Dilain sisi Angkara tersenyum tipis melihat kejadian ini.

Angkara terpaku melihat gerakan mereka.

Dengan cepat, ketiga pemuda itu mengeluarkan teknik khas Perguruan Arus Hening. Langkah lesatan mereka begitu ringan, begitu sunyi, seolah kaki mereka tak pernah menyentuh tanah. 

Tak ada suara derap langkah, tak ada desir angin yang biasanya menyertai gerakan cepat. Bagi orang awam, mereka akan tampak seperti tiga bayangan yang melayang.

Namun, Angkara hanya terkekeh pelan. Senyum tipis terlukis di bibirnya, matanya berkilat tajam. “Heh… jurus yang tak kukenali. Menarik.” Ucapannya lirih, namun penuh rasa penasaran. Ia lalu menurunkan tubuh, memasang kuda-kuda sederhana, kaku tapi stabil.

Mandala, dengan amarah menggelegak, menyerang lebih dulu. Kakinya melayang deras, menendang lurus ke arah dada Angkara.  Tubuh Angkara yang sudah dipenuhi luka membuatnya sulit bergerak lincah, sehingga ia hanya bisa mengangkat kedua lengannya sebagai tameng. Namun, kondisi fisiknya yang rapuh tak mampu sepenuhnya menahan serangan lawan.

Walau memiliki segudang pengalaman sebagai mantan Dewa Perang, tubuh lemahnya tetap terhempas mundur beberapa langkah, menunjukkan betapa besar perbedaan antara pengalaman dan kekuatan fisik yang sebenarnya ia butuhkan.

'Urgh, hanya sekali menerima tendangan, efeknya seperti ini,' pikir Angkara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Langkah Pertama

    Sebagai seorang pelayan di perguruan, Angkara menjalankan tugasnya dengan tekun. Ia merapikan kamar-kamar asrama murid luar, mencuci pakaian yang menumpuk, dan membersihkan halaman tempat para murid beraktivitas.Semua pekerjaan itu dikerjakan satu per satu sampai rapi.“Seorang mantan dewa perang melakukan pekerjaan seperti ini. Huft.” Ia menghela napas pendek, setengah bosan, setengah merendah. Rasa gengsi masih membara dalam dada.Dahulu, banyak orang tunduk padanya, namun kini keadaan berbalik 180 derajat. Membereskan sampah, menyapu dedaunan, dan membenahi jerami di gubuk menjadi rutinitas yang sulit ia jalani dengan sepenuh hati.Perguruan Arus Hening bukanlah kompleks luas. Murid luar di sini jumlahnya kurang dari seratus orang. Mereka berlatih di lapangan terbuka, di bawah pengawasan beberapa instruktur.Angkara mengamati mereka dari kejauhan ketika ia menyapu. Mata tajamnya menangkap kesalahan pada kuda-kuda mereka. “Kuda-kuda mereka salah,” bisiknya mengkritik sendiri.Meski

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Para Pecundang

    Setelah melewati malam panjang yang dipenuhi meditasi, Angkara akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Udara dingin pagi hari masih menyelimuti gubuk reyot tempat ia beristirahat. Wajahnya yang penuh konsentrasi tampak sedikit lega, seolah ada pencapaian besar yang baru diraihnya.“Bagus… tahap pertama berhasil juga,” ucapnya pelan sambil menghela napas dalam. “Meskipun harus menghabiskan semalaman penuh, setidaknya teknik pernapasan ini kini sudah stabil.”Dalam dunia para praktisi bela diri, penguasaan teknik pernapasan merupakan dasar dari segala latihan bela diri. Ada yang bisa menguasainya hanya dalam satu jam, bahkan ada yang mampu menembus batas hanya dalam hitungan dua jam.Namun, tidak pernah ada seorang murid atau pelajar seni bela diri yang sampai membutuhkan waktu sepanjang malam untuk sekadar menyeimbangkan aliran napas. Angkara tersenyum tipis, menyadari kelemahan tubuh barunya.Ia bangkit, merenggangkan tubuhnya yang kurus, lalu mulai melakukan peregangan ringan. “Tub

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Perguruan Arus Hening

    Berdasarkan ingatan asli pemilik tubuh ini, Angkara tahu bahwa tempat tinggalnya hanyalah sebuah gubuk tua sederhana. Dengan langkah tertatih, tubuhnya yang penuh luka dipaksa menuruni bukit. Nafasnya pendek-pendek, setiap tarikan terasa seperti pisau yang menusuk paru-paru. Namun, tekadnya yang kuat membuat ia tetap melangkah.Di kaki bukit, terbentang gerbang kota kecil bernama Jiran. Dua orang penjaga berdiri tegak, tombak mereka berkilat terkena sinar senja, memperlihatkan kewibawaan meski sekadar penjaga kota kecil. Pandangan mereka tajam, memindai setiap orang yang hendak masuk, seolah mata mereka bisa menembus kebohongan siapa pun yang mencoba berbuat curang. Karavan kuda silih berganti melewati gerbang, setiap pengendara diperiksa dengan teliti.“Yak, silakan masuk,” ucap salah satu penjaga setelah memeriksa sebuah rombongan pedagang. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat sosok seorang pemuda berpakaian lusuh serba putih di belakang karavan. Pakaian itu sederhana, ci

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Tubuh Lemah

    Angkara merasakan denyut perih dari luka di pinggang setiap kali bergerak. Ia bisa membaca setiap celah serangan lawan, tapi tubuh ini tak mampu mengeksekusi perlawanan sempurna.“Ck…” Mandala mendecik, tak puas dengan serangannya. Matanya membelalak penuh kebencian. Pukulan berikutnya ia kerahkan dengan tenaga lebih besar, amarahnya semakin menguasai nalar.Dari arah samping, Saka dan Sabda melesat bersamaan. Mereka mencoba menangkap kedua lengan Angkara, berusaha menahan geraknya agar Mandala bisa melancarkan serangan telak. Angkara mendengus pendek dan memilih mundur beberapa langkah. Itu keputusan bijak, jika ia maju, serangan Mandala di depan pasti akan mendarat tepat di wajahnya.Kaki Angkara lalu berputar, berputar penuh hampir seratus delapan puluh derajat. Tidak seperti teknik Arus Hening yang sunyi, setiap gesekan kakinya di tanah menimbulkan suara berdenyit kasar.“Ciiiittt…”Suara itu menusuk telinga, memecah keheningan di bukit selatan. Mandala, Saka, dan Sabda yang begi

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Reinkarnasi

    Di sebuah bukit yang terletak di selatan sebuah kota kecil, berdiri sunyi dengan rimbunan pohon yang menjulang tinggi. Ada seorang mayat yang tergeletak dengan penuh bersimbah darah di wajahnya.Tiba tiba.sebuah cahaya dari langit melesat turun dengan kecepatan yang mustahil dijangkau mata. Cahaya itu menembus tubuh yang sudah tak bernyawa. Dalam sekejap, roh asing memasuki jasad yang terkapar.Kilatan cahaya tipis menyelimuti tubuhnya. Jemari yang tadinya kaku perlahan bergerak. Otot-otot mulai mengencang, hingga tubuh itu tiba-tiba bangkit dengan posisi duduk bersila. Nafas berat terdengar, seakan ia baru saja kembali dari perjalanan panjang.“Urgh…” suara serak keluar dari mulutnya. Kepala terasa berputar, pandangan bergetar seperti dilanda gempa, dan kunang-kunang berkelip di depan matanya. Ia mengusap pelipis, merasakan darah kering menempel di tangannya. “Darah…? Apa yang terjadi denganku?”Ketika ia menatap tubuhnya, keterkejutan tak bisa disembunyikan. Tubuh kurus, tulang me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status