Share

Tubuh Lemah

Author: Zen_
last update Last Updated: 2025-09-12 19:58:11

Angkara merasakan denyut perih dari luka di pinggang setiap kali bergerak. Ia bisa membaca setiap celah serangan lawan, tapi tubuh ini tak mampu mengeksekusi perlawanan sempurna.

“Ck…” Mandala mendecik, tak puas dengan serangannya. Matanya membelalak penuh kebencian. Pukulan berikutnya ia kerahkan dengan tenaga lebih besar, amarahnya semakin menguasai nalar.

Dari arah samping, Saka dan Sabda melesat bersamaan. Mereka mencoba menangkap kedua lengan Angkara, berusaha menahan geraknya agar Mandala bisa melancarkan serangan telak. 

Angkara mendengus pendek dan memilih mundur beberapa langkah. Itu keputusan bijak, jika ia maju, serangan Mandala di depan pasti akan mendarat tepat di wajahnya.

Kaki Angkara lalu berputar, berputar penuh hampir seratus delapan puluh derajat. Tidak seperti teknik Arus Hening yang sunyi, setiap gesekan kakinya di tanah menimbulkan suara berdenyit kasar.

“Ciiiittt…”

Suara itu menusuk telinga, memecah keheningan di bukit selatan. Mandala, Saka, dan Sabda yang begitu terbiasa dengan gerakan sunyi mendadak kehilangan fokus. Otot mereka kaku sepersekian detik, dan di dunia pertarungan, sepersekian detik adalah jurang antara hidup dan mati.

Kesempatan itu tak disia-siakan Angkara. Ia merapatkan jari-jarinya, lalu melancarkan totokan cepat ke beberapa titik vital di tubuh lawan. Gerakannya tak secepat kilat, tapi cukup efisien.

“Urghh!” Saka langsung terhuyung. Tubuhnya seakan kehilangan kendali, kedua kakinya kaku, dan ia terjatuh dengan wajah meringis kesakitan.

“Tuan… Mandala… tolong aku…” suaranya lirih, penuh panik.

Mandala menoleh sekejap, namun justru itu membuka celah.

Sabda, yang sejak awal sudah dicekam ketakutan karena mengira Angkara adalah hantu, justru bergerak lebih cepat dari biasanya. Adrenalin membuat gerakannya tidak terduga, lebih liar, lebih nekad. 

Angkara berusaha menotoknya juga, tapi Sabda berhasil mundur, napasnya memburu seperti kelinci yang terjepit di sarang serigala.

Belum sempat Angkara menuntaskan serangannya, Mandala kembali meluncur. Kali ini ia melompat tinggi, tubuhnya melayang di udara, lalu kaki kanannya meluncur deras seperti tombak, mengincar pelipis Angkara yang masih terbuka luka.

Dumm!

Tubuh Angkara terhempas keras, terjungkal di antara dedaunan basah di bawah pohon besar. Daun-daun berjatuhan, ranting patah, tanah berhamburan menempel pada tubuhnya yang penuh luka.

Napasnya tersengal, dada naik turun, rasa perih menjalar dari sisi kepala hingga ke leher. Namun, senyum tipis tetap tersungging di wajahnya. Mata Angkara menatap Mandala yang mendarat gagah di hadapannya.

“Lumayan,” gumamnya lirih. “Seranganmu kali ini lebih baik… tapi tetap saja, kalian bertiga belum cukup untuk membunuhku.”

Saka yang terkapar hanya bisa mengerang, Sabda mundur ketakutan, sementara Mandala kembali memasang kuda-kuda dengan wajah muram. Pertarungan itu dimulai kembali, namun ketegangan sudah menyesakkan udara.

Huft… Aku harus melawan mereka bagaimana? Tubuh ini benar-benar lemah. Hanya dengan gerakan singkat saja, rasanya aku sudah mau sekarat.’ Dalam hati, Jiwangga menggerutu, meski bibirnya tetap menyunggingkan senyum meremehkan.

Berlainan dengan kata-kata sombongnya, kenyataannya ia benar-benar terdesak. Luka-luka di tubuh Angkara terus memeras tenaganya, dan setiap langkah seperti menusukkan duri ke seluruh persendian. Namun, di balik keputusasaan itu, sebuah ingatan lama muncul.

“Gerakan itu…” Ia teringat salah satu musuh besar yang pernah ia taklukkan, Raja Iblis, penguasa bengis yang terkenal karena tekniknya yang efisien dan mematikan. Gerakan itu tidak membutuhkan banyak tenaga, tidak pula menuntut tubuh yang kuat. Hanya sedikit kelicikan, tipu daya, dan timing yang tepat, maka lawan bisa dilumpuhkan.

‘Heh… gerakan Raja Iblis, mungkin akan kucoba sedikit.’ Ia tersenyum tipis. ‘Cocok untuk tubuh lemah ini. Trik kotor lebih berguna ketimbang gaya pertarunganku.’

Dengan susah payah, Angkara bangkit perlahan. Darah kering masih menempel di sudut bibir, dan ia menyeka sisa yang mengalir dengan punggung tangannya. Sorot matanya berubah tajam.

 “Mari… kita mulai lagi.” Ia melambaikan tangannya, sengaja memprovokasi.

Mandala, yang sejak awal sudah menyadari perbedaan mencolok pada sikap Angkara, kini jauh lebih berhati-hati. Aura yang memancar dari tubuh pelayan rendahan itu terasa asing, mengancam, dan sama sekali berbeda dari Angkara yang dulu selalu tunduk. 

Dengan rahang mengeras, Mandala melesat, melayangkan pukulan dari tangan kanan. Serangannya senyap, nyaris tanpa suara, hanya menyisakan hembusan angin tipis yang mengikuti lintasan.

Namun, Angkara menghindar dengan ringan, seolah tubuhnya tak lagi terbebani luka. Langkah kakinya bergeser ke kanan, lalu ke kiri, gerakannya lembut, bagaikan seorang penari yang berlenggok mengikuti irama musik. Mandala terus menyerang, pukulan demi pukulan, tetapi semuanya meleset tipis, hanya mengenai bayangan tubuh Angkara.

“SIAPA KAU SEBENARNYA?!” teriak Mandala penuh frustrasi.

Ia tahu betul, Angkara yang sebenarnya tidak mungkin mampu menghindari serangan itu. Pemuda lemah itu biasanya hanya pasrah menerima pukulan, tidak melawan, tidak menangkis, bahkan tak pernah berani melirik balik. Tetapi sosok yang berdiri di depannya sekarang… jelas bukan Angkara yang ia kenal.

Mandala tidak tahu bahwa tubuh yang ia hadapi sekarang ditempati jiwa mantan Dewa Perang. Lawan yang ia hadapi bukanlah pelayan hina, melainkan sosok yang pernah mengguncang 3 Alam.

Angkara tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada tenang, “Mandala… sebaiknya kau urus rekanmu.” Ia menunjuk ke belakang sambil mengelak ringan.

Refleks, Mandala menoleh. Di belakangnya hanya ada Saka yang masih terbaring kaku tak bisa bergerak, dan Sabda yang berdiri dengan wajah pucat pasi, gemetar ketakutan. Tak ada yang aneh, tak ada ancaman.

Namun, itu hanya tipuan licik. Begitu Mandala menoleh, Angkara langsung menyusup ke dalam celah pertahanannya. Dengan kecepatan yang terbatas, jari-jarinya menotok beberapa titik vital di leher Mandala.

“Khuk!” Mandala mendengus kaget. Tubuhnya langsung kehilangan kendali, jatuh terkapar di tanah tanpa luka, tanpa darah, tetapi lumpuh total.

“Tidak mungkin…” Mandala mengerang sekuat tenaga. Matanya melebar tak percaya, ototnya menegang, tetapi tubuhnya tak mau bergerak sedikit pun.

Di sisi lain, Sabda yang melihat kejadian itu sontak gemetar hebat. Lututnya bergetar-getar, tubuhnya nyaris ambruk, dan rasa takut menelan seluruh akalnya. 

Bau anyir kencing menyebar pelan, bercak kuning merembes dari celananya. Ia benar-benar kehilangan kendali, yakin bahwa Angkara yang ada di depan mereka hanyalah roh gentayangan yang kembali dari kematian untuk menuntut balas.

“Hiii… huuuuh… hantu…” Sabda tak lagi bisa berkata-kata, suaranya hanya gemetar tak jelas.

Sementara itu, Angkara sendiri terengah-engah. Nafasnya berat, dada naik turun cepat. “Huft… huft…” Gerakan Raja Iblis memang efisien, tapi tubuh ini terlalu rapuh untuk menahannya. Ia tahu, jika ia memaksa satu gerakan lagi, tubuh ini bisa ambruk dan mati kehabisan tenaga.

Ia menatap Mandala yang terkapar, Saka yang tak berdaya, dan Sabda yang mengompol karena ketakutan. Tiga orang yang dulu dengan kejam membunuh Angkara, kini semua lumpuh dan dipermalukan.

Dengan perlahan ia meninggalkan mereka.

Tanpa berkata apapun lagi, Angkara membalikkan badan. Dengan langkah tertatih tapi penuh wibawa, ia meninggalkan mereka bertiga yang kini hanya bisa menatap punggungnya dengan ketakutan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Langkah Pertama

    Sebagai seorang pelayan di perguruan, Angkara menjalankan tugasnya dengan tekun. Ia merapikan kamar-kamar asrama murid luar, mencuci pakaian yang menumpuk, dan membersihkan halaman tempat para murid beraktivitas.Semua pekerjaan itu dikerjakan satu per satu sampai rapi.“Seorang mantan dewa perang melakukan pekerjaan seperti ini. Huft.” Ia menghela napas pendek, setengah bosan, setengah merendah. Rasa gengsi masih membara dalam dada.Dahulu, banyak orang tunduk padanya, namun kini keadaan berbalik 180 derajat. Membereskan sampah, menyapu dedaunan, dan membenahi jerami di gubuk menjadi rutinitas yang sulit ia jalani dengan sepenuh hati.Perguruan Arus Hening bukanlah kompleks luas. Murid luar di sini jumlahnya kurang dari seratus orang. Mereka berlatih di lapangan terbuka, di bawah pengawasan beberapa instruktur.Angkara mengamati mereka dari kejauhan ketika ia menyapu. Mata tajamnya menangkap kesalahan pada kuda-kuda mereka. “Kuda-kuda mereka salah,” bisiknya mengkritik sendiri.Meski

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Para Pecundang

    Setelah melewati malam panjang yang dipenuhi meditasi, Angkara akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Udara dingin pagi hari masih menyelimuti gubuk reyot tempat ia beristirahat. Wajahnya yang penuh konsentrasi tampak sedikit lega, seolah ada pencapaian besar yang baru diraihnya.“Bagus… tahap pertama berhasil juga,” ucapnya pelan sambil menghela napas dalam. “Meskipun harus menghabiskan semalaman penuh, setidaknya teknik pernapasan ini kini sudah stabil.”Dalam dunia para praktisi bela diri, penguasaan teknik pernapasan merupakan dasar dari segala latihan bela diri. Ada yang bisa menguasainya hanya dalam satu jam, bahkan ada yang mampu menembus batas hanya dalam hitungan dua jam.Namun, tidak pernah ada seorang murid atau pelajar seni bela diri yang sampai membutuhkan waktu sepanjang malam untuk sekadar menyeimbangkan aliran napas. Angkara tersenyum tipis, menyadari kelemahan tubuh barunya.Ia bangkit, merenggangkan tubuhnya yang kurus, lalu mulai melakukan peregangan ringan. “Tub

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Perguruan Arus Hening

    Berdasarkan ingatan asli pemilik tubuh ini, Angkara tahu bahwa tempat tinggalnya hanyalah sebuah gubuk tua sederhana. Dengan langkah tertatih, tubuhnya yang penuh luka dipaksa menuruni bukit. Nafasnya pendek-pendek, setiap tarikan terasa seperti pisau yang menusuk paru-paru. Namun, tekadnya yang kuat membuat ia tetap melangkah.Di kaki bukit, terbentang gerbang kota kecil bernama Jiran. Dua orang penjaga berdiri tegak, tombak mereka berkilat terkena sinar senja, memperlihatkan kewibawaan meski sekadar penjaga kota kecil. Pandangan mereka tajam, memindai setiap orang yang hendak masuk, seolah mata mereka bisa menembus kebohongan siapa pun yang mencoba berbuat curang. Karavan kuda silih berganti melewati gerbang, setiap pengendara diperiksa dengan teliti.“Yak, silakan masuk,” ucap salah satu penjaga setelah memeriksa sebuah rombongan pedagang. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat sosok seorang pemuda berpakaian lusuh serba putih di belakang karavan. Pakaian itu sederhana, ci

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Tubuh Lemah

    Angkara merasakan denyut perih dari luka di pinggang setiap kali bergerak. Ia bisa membaca setiap celah serangan lawan, tapi tubuh ini tak mampu mengeksekusi perlawanan sempurna.“Ck…” Mandala mendecik, tak puas dengan serangannya. Matanya membelalak penuh kebencian. Pukulan berikutnya ia kerahkan dengan tenaga lebih besar, amarahnya semakin menguasai nalar.Dari arah samping, Saka dan Sabda melesat bersamaan. Mereka mencoba menangkap kedua lengan Angkara, berusaha menahan geraknya agar Mandala bisa melancarkan serangan telak. Angkara mendengus pendek dan memilih mundur beberapa langkah. Itu keputusan bijak, jika ia maju, serangan Mandala di depan pasti akan mendarat tepat di wajahnya.Kaki Angkara lalu berputar, berputar penuh hampir seratus delapan puluh derajat. Tidak seperti teknik Arus Hening yang sunyi, setiap gesekan kakinya di tanah menimbulkan suara berdenyit kasar.“Ciiiittt…”Suara itu menusuk telinga, memecah keheningan di bukit selatan. Mandala, Saka, dan Sabda yang begi

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Reinkarnasi

    Di sebuah bukit yang terletak di selatan sebuah kota kecil, berdiri sunyi dengan rimbunan pohon yang menjulang tinggi. Ada seorang mayat yang tergeletak dengan penuh bersimbah darah di wajahnya.Tiba tiba.sebuah cahaya dari langit melesat turun dengan kecepatan yang mustahil dijangkau mata. Cahaya itu menembus tubuh yang sudah tak bernyawa. Dalam sekejap, roh asing memasuki jasad yang terkapar.Kilatan cahaya tipis menyelimuti tubuhnya. Jemari yang tadinya kaku perlahan bergerak. Otot-otot mulai mengencang, hingga tubuh itu tiba-tiba bangkit dengan posisi duduk bersila. Nafas berat terdengar, seakan ia baru saja kembali dari perjalanan panjang.“Urgh…” suara serak keluar dari mulutnya. Kepala terasa berputar, pandangan bergetar seperti dilanda gempa, dan kunang-kunang berkelip di depan matanya. Ia mengusap pelipis, merasakan darah kering menempel di tangannya. “Darah…? Apa yang terjadi denganku?”Ketika ia menatap tubuhnya, keterkejutan tak bisa disembunyikan. Tubuh kurus, tulang me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status