LOGINAngkara merasakan denyut perih dari luka di pinggang setiap kali bergerak. Ia bisa membaca setiap celah serangan lawan, tapi tubuh ini tak mampu mengeksekusi perlawanan sempurna.
“Ck…” Mandala mendecik, tak puas dengan serangannya. Matanya membelalak penuh kebencian. Pukulan berikutnya ia kerahkan dengan tenaga lebih besar, amarahnya semakin menguasai nalar.
Dari arah samping, Saka dan Sabda melesat bersamaan. Mereka mencoba menangkap kedua lengan Angkara, berusaha menahan geraknya agar Mandala bisa melancarkan serangan telak.
Angkara mendengus pendek dan memilih mundur beberapa langkah. Itu keputusan bijak, jika ia maju, serangan Mandala di depan pasti akan mendarat tepat di wajahnya.
Kaki Angkara lalu berputar, berputar penuh hampir seratus delapan puluh derajat. Tidak seperti teknik Arus Hening yang sunyi, setiap gesekan kakinya di tanah menimbulkan suara berdenyit kasar.
“Ciiiittt…”
Suara itu menusuk telinga, memecah keheningan di bukit selatan. Mandala, Saka, dan Sabda yang begitu terbiasa dengan gerakan sunyi mendadak kehilangan fokus. Otot mereka kaku sepersekian detik, dan di dunia pertarungan, sepersekian detik adalah jurang antara hidup dan mati.
Kesempatan itu tak disia-siakan Angkara. Ia merapatkan jari-jarinya, lalu melancarkan totokan cepat ke beberapa titik vital di tubuh lawan. Gerakannya tak secepat kilat, tapi cukup efisien.
“Urghh!” Saka langsung terhuyung. Tubuhnya seakan kehilangan kendali, kedua kakinya kaku, dan ia terjatuh dengan wajah meringis kesakitan.
“Tuan… Mandala… tolong aku…” suaranya lirih, penuh panik.Mandala menoleh sekejap, namun justru itu membuka celah.
Sabda, yang sejak awal sudah dicekam ketakutan karena mengira Angkara adalah hantu, justru bergerak lebih cepat dari biasanya. Adrenalin membuat gerakannya tidak terduga, lebih liar, lebih nekad.
Angkara berusaha menotoknya juga, tapi Sabda berhasil mundur, napasnya memburu seperti kelinci yang terjepit di sarang serigala.
Belum sempat Angkara menuntaskan serangannya, Mandala kembali meluncur. Kali ini ia melompat tinggi, tubuhnya melayang di udara, lalu kaki kanannya meluncur deras seperti tombak, mengincar pelipis Angkara yang masih terbuka luka.
Dumm!
Tubuh Angkara terhempas keras, terjungkal di antara dedaunan basah di bawah pohon besar. Daun-daun berjatuhan, ranting patah, tanah berhamburan menempel pada tubuhnya yang penuh luka.
Napasnya tersengal, dada naik turun, rasa perih menjalar dari sisi kepala hingga ke leher. Namun, senyum tipis tetap tersungging di wajahnya. Mata Angkara menatap Mandala yang mendarat gagah di hadapannya.
“Lumayan,” gumamnya lirih. “Seranganmu kali ini lebih baik… tapi tetap saja, kalian bertiga belum cukup untuk membunuhku.”
Saka yang terkapar hanya bisa mengerang, Sabda mundur ketakutan, sementara Mandala kembali memasang kuda-kuda dengan wajah muram. Pertarungan itu dimulai kembali, namun ketegangan sudah menyesakkan udara.
‘Huft… Aku harus melawan mereka bagaimana? Tubuh ini benar-benar lemah. Hanya dengan gerakan singkat saja, rasanya aku sudah mau sekarat.’ Dalam hati, Jiwangga menggerutu, meski bibirnya tetap menyunggingkan senyum meremehkan.
Berlainan dengan kata-kata sombongnya, kenyataannya ia benar-benar terdesak. Luka-luka di tubuh Angkara terus memeras tenaganya, dan setiap langkah seperti menusukkan duri ke seluruh persendian. Namun, di balik keputusasaan itu, sebuah ingatan lama muncul.
“Gerakan itu…” Ia teringat salah satu musuh besar yang pernah ia taklukkan, Raja Iblis, penguasa bengis yang terkenal karena tekniknya yang efisien dan mematikan. Gerakan itu tidak membutuhkan banyak tenaga, tidak pula menuntut tubuh yang kuat. Hanya sedikit kelicikan, tipu daya, dan timing yang tepat, maka lawan bisa dilumpuhkan.
‘Heh… gerakan Raja Iblis, mungkin akan kucoba sedikit.’ Ia tersenyum tipis. ‘Cocok untuk tubuh lemah ini. Trik kotor lebih berguna ketimbang gaya pertarunganku.’
Dengan susah payah, Angkara bangkit perlahan. Darah kering masih menempel di sudut bibir, dan ia menyeka sisa yang mengalir dengan punggung tangannya. Sorot matanya berubah tajam.
“Mari… kita mulai lagi.” Ia melambaikan tangannya, sengaja memprovokasi.
Mandala, yang sejak awal sudah menyadari perbedaan mencolok pada sikap Angkara, kini jauh lebih berhati-hati. Aura yang memancar dari tubuh pelayan rendahan itu terasa asing, mengancam, dan sama sekali berbeda dari Angkara yang dulu selalu tunduk.
Dengan rahang mengeras, Mandala melesat, melayangkan pukulan dari tangan kanan. Serangannya senyap, nyaris tanpa suara, hanya menyisakan hembusan angin tipis yang mengikuti lintasan.
Namun, Angkara menghindar dengan ringan, seolah tubuhnya tak lagi terbebani luka. Langkah kakinya bergeser ke kanan, lalu ke kiri, gerakannya lembut, bagaikan seorang penari yang berlenggok mengikuti irama musik. Mandala terus menyerang, pukulan demi pukulan, tetapi semuanya meleset tipis, hanya mengenai bayangan tubuh Angkara.
“SIAPA KAU SEBENARNYA?!” teriak Mandala penuh frustrasi.
Ia tahu betul, Angkara yang sebenarnya tidak mungkin mampu menghindari serangan itu. Pemuda lemah itu biasanya hanya pasrah menerima pukulan, tidak melawan, tidak menangkis, bahkan tak pernah berani melirik balik. Tetapi sosok yang berdiri di depannya sekarang… jelas bukan Angkara yang ia kenal.
Mandala tidak tahu bahwa tubuh yang ia hadapi sekarang ditempati jiwa mantan Dewa Perang. Lawan yang ia hadapi bukanlah pelayan hina, melainkan sosok yang pernah mengguncang 3 Alam.
Angkara tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada tenang, “Mandala… sebaiknya kau urus rekanmu.” Ia menunjuk ke belakang sambil mengelak ringan.
Refleks, Mandala menoleh. Di belakangnya hanya ada Saka yang masih terbaring kaku tak bisa bergerak, dan Sabda yang berdiri dengan wajah pucat pasi, gemetar ketakutan. Tak ada yang aneh, tak ada ancaman.
Namun, itu hanya tipuan licik. Begitu Mandala menoleh, Angkara langsung menyusup ke dalam celah pertahanannya. Dengan kecepatan yang terbatas, jari-jarinya menotok beberapa titik vital di leher Mandala.
“Khuk!” Mandala mendengus kaget. Tubuhnya langsung kehilangan kendali, jatuh terkapar di tanah tanpa luka, tanpa darah, tetapi lumpuh total.
“Tidak mungkin…” Mandala mengerang sekuat tenaga. Matanya melebar tak percaya, ototnya menegang, tetapi tubuhnya tak mau bergerak sedikit pun.
Di sisi lain, Sabda yang melihat kejadian itu sontak gemetar hebat. Lututnya bergetar-getar, tubuhnya nyaris ambruk, dan rasa takut menelan seluruh akalnya.
Bau anyir kencing menyebar pelan, bercak kuning merembes dari celananya. Ia benar-benar kehilangan kendali, yakin bahwa Angkara yang ada di depan mereka hanyalah roh gentayangan yang kembali dari kematian untuk menuntut balas.
“Hiii… huuuuh… hantu…” Sabda tak lagi bisa berkata-kata, suaranya hanya gemetar tak jelas.
Sementara itu, Angkara sendiri terengah-engah. Nafasnya berat, dada naik turun cepat. “Huft… huft…” Gerakan Raja Iblis memang efisien, tapi tubuh ini terlalu rapuh untuk menahannya. Ia tahu, jika ia memaksa satu gerakan lagi, tubuh ini bisa ambruk dan mati kehabisan tenaga.
Ia menatap Mandala yang terkapar, Saka yang tak berdaya, dan Sabda yang mengompol karena ketakutan. Tiga orang yang dulu dengan kejam membunuh Angkara, kini semua lumpuh dan dipermalukan.
Dengan perlahan ia meninggalkan mereka.
Tanpa berkata apapun lagi, Angkara membalikkan badan. Dengan langkah tertatih tapi penuh wibawa, ia meninggalkan mereka bertiga yang kini hanya bisa menatap punggungnya dengan ketakutan.
Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal
Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah
Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras
Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari
Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern
Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma







