Share

Part 7 : Kota Akademi Sihir

"Bangsawan Slosom meminta perjodohan dengan cucu saya," nenek Lona terlihat panik sekali.

"Cucumu Lia? Hahaha apa hubungannya dengan kami?" Erin menyilangkan tangannya di dada.

"Cari mati dia! Bangsawan bangsawan apaan? Beraninya mengaku bangsawan di negara ini!" Violet berdiri dan mengangkat tangannya sambil mengeluarkan energi sihir di tangannya.

"Tenanglah Violet!" Noe.

____

"Waduh aku kebablasan." Saat aku bangun, kami berdua masih telanjang dan Lia masih tidur sambil memelukku dengan erat.

"Woh iya, koin kemarin." Aku lupa menaruhnya di mana, aku lihat di sekelilingku tapi tidak terlihat. Saat aku ingin berdiri, kakiku mengenai sesuatu.

Crikk.. Ternyata kantong koin itu ada di pojokan kasur.

"Al ada apa?" Lia terbangun karena suara berisik dari sekantong koin.

"Ini, ternyata kemarin ayahmu negosiasi dengan paman Robert dan aku dibayar koin." Sambil aku ambil kantong koinnya dan saat aku buka, ternyata isinya ada 40 koin perak dan 1 koin emas.

"Banyak sekali!" ucap Lia saat ikut melihat isinya.

"Benarkah? Berikan kepada ayahmu kalau dia sudah pulang." Aku kaitkan kembali kantong koinnya lalu aku berikan pada Lia.

"Bukannya ini milikmu?" Lia tidak mengambilnya.

"Berkat ayahmu yang negosiasi dan juga aku berniat membantu mereka bukan karena imbalan, aku juga tidak membutuhkan nya. Anggap saja sebagai bayaran karena sudah membantuku selama ini,"

"Lagian kau sudah kami anggap seperti keluarga sendiri, jadi tidak usah sungkan,"

"Baguslah kalau begitu, karena sudah dianggap keluarga, berikan koin ini kepada nenek atau ayahmu." Aku ulurkan lagi padanya, Lia diam beberapa saat sambil mencerna perkataanku.

"Hmm baiklah." Lia ambil koinnya lalu ditaruhnya di atas meja.

"Ayo mandi!" ajakku.

"Gendong aku." Dengan manja, Lia merangkulkan tangannya di leherku.

"Manja sekali!"

"Karena kau, aku jadi capek sekali. Masih terasa perih juga, padahal aku baru pertama kali dan kau mainnya berlebihan!" Memasang muka cemberut sambil meraba selangkangannya.

"Salah sendiri menggodaku, lagi pula tadi malam tidak aku lanjutkan lagi karena kamu sudah kecapekan!" aku naikkan nada bicaraku karena tidak mau disalahkan.

"Sepertinya satu atau dua wanita saja tidak akan cukup untukmu." Dengan pandangan sinis ke arahku.

____

Saat sarapan aku baru ingat tentang kota sihir dan akademi sihirnya.

"Lia, apa kamu tahu tentang kota sihir Mala?"

"Ibukota negara ini, ada apa memangnya?" Lia menghentikan sarapannya.

"Sepertinya aku tertarik ingin ke sana," ucapku, membuat Lia bereaksi kaget.

"Kau ingin pergi meninggalkan aku?" Matanya terlihat sayu saat memandangku.

Waduh benar juga, setelah apa yang aku lakukan tidak mungkin pergi begitu saja.

"Hahaha bercanda, jangan terlalu dipikirkan. Kalau ingin ke sana ya pergilah, aku yakin kamu tidak semudah itu melupakanku." Ekspresinya berubah, Lia ketawa lepas sambil menggodaku.

"Kamu bilang 'pergilah' itu bukan sindiran kan?" Aku melihat Lia dengan serius.

"Beneran Al, lagi pula kamu punya sihir teleport kan? Tidak perlu setiap hari, tapi setidaknya bisa kemari dengan mudah kan?" terang Lia untuk meyakinkanku.

"Kalau aku mendapat wanita lain bagaimana?" Aku berniat menggodanya tapi jawabannya malah tidak terduga.

"Silahkan saja, asal tidak melupakanku, dia harus mau menjadi yang ke-dua." Sambil mengacungkan dua jari.

"Jadi maksudmu aku boleh memiliki wanita lain?"

"Begitulah, kau tau? Orang-orang hebat di negara ini memiliki banyak sekali istri dan aku yakin kau akan menjadi salah satunya." Lia malah dengan santainya memberikan contoh sambil meneruskan sarapannya.

"Kalau ingin pergi sebaiknya tunggu nenek pulang, nenek lebih tau lokasinya karena pernah ke sana." Sambil mengarahkan sendoknya menuju mulutku untuk menyuapiku.

"Letaknya jauh kah?" ya memang aku berniat pamit lah, masa seenaknya pergi.

"Kurang tahu, makanya tunggu nenek dulu,"

____

Beberapa hari kemudian, nenek pulang ke rumah dan segera aku tanyakan.

"Apa nenek tau sesuatu tentang kota sihir Mala?" padahal nenek baru saja masuk rumah, aku langsung saja menanyakannya.

"Oh iya, kebetulan sekali ada yang ingin saya katakan kepada tuan Al." Nenek menarikku untuk duduk di ruang tamu.

"Ada apa nek?"

"Akademi penyihir sedang membuka peserta didik baru dan pendaftaran terakhir hari ini pukul 10," berbicara tergesa-gesa.

"Tiga jam lagi ini jadinya?"

"Dengan teleport, Tuan Al tidak kesulitan ke sana kan?"

"Teleport bisa digunakan kalau aku pernah ke sana maupun tempatnya terlihat. Selain itu tidak bisa,"

"Tenang saja tuan, akan saya jelaskan rutenya." Lalu aku dijelaskan arahnya oleh Nenek Lona.

"Baiklah nek, kalau begitu aku harus segera berangkat." Aku segera berdiri setelah paham apa yang nenek instruksikan.

"Eh sekarang!?" Lia kaget.

"Ya mau kapan lagi?" Aku mendekati Lia.

"Tidak persiapan?"

"Bawa apa? Kamu? Kan aku tidak punya apa-apa di sini,"

"Ehehehe ya sudah, hati-hati ya." Lia terlihat berat mengatakannya, kedua tangannya dia taruh di belakang tubuhnya.

Aduh, aku harus bagaimana ini?

"Hati-hati tuan Al," ucap nenek.

"Lia aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik." Sambil aku kecup dia, ya setidaknya ini bukan perpisahan.

"Kamu juga." Lia berusaha tersenyum.

Sesuai instruksi dari nenek Lona, aku teleport ke bukit yang berada di samping desa ini. Pegunungan Smabor ternyata tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Langit saat ini sangat berawan, jadi aku gunakan mata tembus pandang tapi masih belum terlihat juga. Penglihatan jarak jauh hingga ratusan kali lipat baru mampu terlihat pegunungan itu.

"Waduh terlihat sih terlihat, tapi saking jauhnya jadi kecil sekali, untung mataku spesial." Aku mencari tempat paling tinggi dari pegunungan Smabor. Saat aku teleport, ternyata pegunungan bebatuan yang tinggi dan lumayan curam. Pegunungan ini benar-benar sangat tinggi, aku dapat melihat hamparan awan di bawah. Suhu di sini sangat dingin, bahkan puncak gunung telihat ditutupi oleh gletser es.

Duarrr..

Ledakan terjadi, entah dari mana ada bola api yang mengarah kepadaku. Dengan cepat aku aktifkan penghalang, namun walau bisa menghalau apinya, tapi aku tetap terhempas dari lereng bukit.

"Dasar manusia rendahan! Berani-beraninya memasuki wilayah kami." Dwarf itu mengangkat kampak besar yang ukurannya menyamai tubuhnya.

Ternyata ada 4 dwarf (kurcaci) yang menaiki wyvern (seperti naga namun hanya memiliki 2 kaki dan ukurannya lebih kecil). Aku yang posisi terjatuh untung saja sebelum sampai ke tanah, aku segera teleport di atas punggung wyvern. Sebelum menyadari keberadaanku, langsung aku tendang dwarf itu. Setelah berhasil menendang satu dwarf, segera aku teleport ke wyvern lainnya dan aku lakukan hal yang sama. Pada dwarf yang ketiga, dia berhasil menangkis seranganku dan dengan cepat aku berpindah ke dwarf yang ke 4 dan berhasil aku jatuhkan. Untung saja mereka semua tepat di atas gunung, jadi tidak jatuh sepertiku.

"Sialan!" umpat dwarf yang gagal aku jatuhkan, dia melompat ke arahku sambil mengangkat kampak besar. Serangan dwarf itu mengenai wyvern yang jadi pijakanku. Serangannya sangat kuat, hingga memotong tubuh wyvern itu. Padahal ukuran wyvern sebesar kuda, tapi benar-benar terpotong menjadi dua.

"Wuihh bisa mampus aku kalau terkena serangan itu." Bersyukur sekali aku bisa menghindar.

Nama dia Elraw, dengan kekuatan fisiknya jauh lebih tinggi dari Paman Bob tapi kecepatannya lebih lambat. Wyvern yang masih terbang, aku gunakan untuk pijakan agar kota Lamris terlihat lebih jelas dan juga untuk menutupi arahku berteleport.

"Uhh selamat! Semoga saja mereka tidak tahu kalau aku pergi ke sini, lagi pula jaraknya sangat jauh. Ehh tunggu dulu, untuk datang kemari berarti aku ngalang jauh banget. Lebih dari 2x jarak kota Lamris dan desa nelayan dalam garis lurus!?" (Ngalang tidak bisa ditranslatekan, artinya mirip menjauh, harus melewati tempat yang lebih jauh).

Saat aku balik badan, terlihat pemandangan kota yang sangat indah, rasanya seperti di dalam game mmorpg. Rumah-rumahnya masih terbuat dari kayu namun memiliki 3 sampai 5 lantai. Pada lantai pertama, digunakan untuk toko dan lantai di atasnya untuk ditempati. Aku berada di menara istana kerajaan, tepat di depan istana ada jalan yang terbuat dari paving semen. Jalan itu lurus sampai ujung tembok tinggi yang mengelilingi kota. Kerennya lagi, jalan itu langsung menghadap pegunungan yang di tengah-tengahnya ada pohon besar. Pohon itu tingginya hingga menyentuh awan, sebagian daunnya ada di awan dan batang pohonnya besar sekali. 

"Oh jadi itu pohon suci yang dikelilingi pegunungan Goromo?"

Di halaman kerajaan, ada puluhan prajurit yang berlalu lalang. Tidak hanya prajurit manusia saja, namun ada beberapa ras Elf yang melintas dan terlihat lebih disegani. Jumlah sihir dari para elf itu sangat banyak dan untuk para prajurit, kekuatan fisiknya masih lebih sedikit dibandingkan paman Bob. Karena masih ada cukup waktu, aku yang penasaran memutuskan untuk melihat-lihat kota ini sebentar. Aku teleport di luar gerbang kerajaan, memastikan agar tidak diketahui orang lain. Tidak ada penjagaan di gerbang kerajaan, mungkin saja karena sudah berada di bawah kekuasaan negara yang notabenenya lebih kuat, jadi tidak perlu khawatir terjadi peperangan antar kerajaan yang masih satu negara.

Sepanjang jalan utama ini, tepat di samping kanan dan kiri ada toko-toko yang menjual berbagai macam barang. Walau belum terbuka semuanya, tapi ada toko baju, makanan, perhiasan, dan juga senjata. Sebagian besar warganya berjalan kaki, namun ada juga yang memakai kereta kuda, tapi kebanyakan kereta hanya untuk mengangkut barang. Dari yang aku lihat, mayoritas penduduknya adalah manusia, tapi ada juga demihuman. (setengah manusia)

Tidak ada yang menarik perhatianku selain para Elf tadi. Langsung saja aku teleport lagi menuju atas pegunungan Goromo, udara di pegunungan ini sangat sejuk dan bukan dingin seperti gunung Smabor. Saat aku berbalik melihat ke sisi hutan di pinggiran gunung, sensorku mendeteksi adanya penjagaan yang ketat. Hampir di berbagai titik ada para elf dan serigala yang besarnya hampir menyamai Segawon. Berbeda dari para werewolf yang memiliki kekuatan fisik yang tinggi, para serigala ini malah memiliki energi sihir. Dari penampilan, werewolf memiliki bulu coklat dan badan kekar sedangkan serigala ini memiliki bulu abu-abu dan tebal.

"Tuan, Selamat datang di kota sihir Mala." Demon yang di desa Pontang itu tiba-tiba muncul dan langsung menundukkan kepala di hadapanku. Kali ini dia sama sekali tidak mengeluarkan auranya, bahkan terlihat seperti manusia biasa. Karena kaget, aku langsung dalam posisi menyerang dan mengaktifkan penghalang.

"Tenang saja tuan, saya tidak akan menyerang," 

"Kenapa kau tau aku di sini?" Sambil aku lepaskan penghalangku.

"Saya juga tau saat tuan diserang oleh para dwarf kerdil itu, lalu berada di menara istana Lamris," entah kenapa dia terlihat kesal saat menyebut para dwarf.

"Jadi, kau memata-mataiku?"

"Maaf tuan, saya hanya memastikan keselamatan tuanku,"

"Baiklah kalau begitu, antar aku menuju akademi sihir!" Aku berbalik badan mengarah ke pohon besar itu. Dari pandanganku tidak terlihat adanya kota, hanya akar besar yang menyebar ke mana-mana.

"Maaf tuanku, saya ada urusan, saya permisi." Lalu dia menghilang begitu saja.

"Menakutkan sekali orang itu, kenapa dia memanggilku tuan sih? Dah lah yang penting tidak membahayakan diriku,"

Akar pohon besar itu memenuhi seisi kota dari ujung pegunungan ke ujung yang lainnya dan hanya tersisa sedikit saja yang terbuka. Segera aku teleport ke lahan kosong tepat di samping pohon besar itu, ternyata di sini adalah taman kota.

"Wah untung saja di taman ini sedang sep..." Aku tercengang setelah membalikkan badan dan melihat bangunan di sekitar.

"Heeehhh serius ini? Anjir kota metropolitan di dunia sihir? Elf? Demihuman? Wohh!"

Menakjubkan melihat mereka semua dengan latar belakang kota metropolitan. Walau tidak ada kendaraan, namun pembangunan ini luar biasa.

Gedung-gedung walau tidak lebih dari 5 lantai namun dengan bangunan permanen berdinding kaca, lalu kafe dan restoran di pinggir jalan. Luas kota ini sekitar 50km² dan jumlah penduduk yang aku rasakan ada puluhan ribu jiwa. Kota yang lebih kecil dan lebih sedikit penduduknya daripada kota Lamris, namun modernisasi di sini amat terasa.

___

Ruang pengamatan kota Mala

Ruangan untuk mengawasi seisi kota, ada layar besar di ruangan itu yang menampilkan gambar sudut-sudut kota. Di ruangan ini ada beberapa peri dan elf yang berjaga dan diawasi langsung oleh sang Ratu Peri.

"Yang mulia, ada reaksi dari penghalang kota, namun penghalangnya malah menjadi jauh lebih kuat," Amanda seorang peri dengan tubuh kecil sekali.

"Tidak perlu khawatir!" Nia.

[Ada reaksi dari barier kota,] Nia mengabari Ratu lainnya menggunakan telepati.

[Iya, Al sekarang berada di tengah kota,] Nay yang berada di ruang penghalang. Di dalam ruangan ini ada sebuah pedang yang terbuat dari berlian asli. Pedang Sukmo, pedang yang digunakan untuk wadah energi sihir. Seluruh energi sihir yang mengalir di kota Mala berasal dari pedang ini. Dari penghalang, fasilitas teleportasi dan lampu yang berasal dari sihir.

[Demon itu juga sudah mengabari kalau Al di sini,] Erin berada di ruang tahta.

[Kalian pantau saja dulu,] Noe sedang mengamati latihan pasukan Elfit (Elf elite) yang berada di bawah hutan pinus.

[Aku juga merasakan energi tuan Al!] Violet berada di atas ranting paling tinggi bersama dengan Noa.

___

Suasana jalanan ini tidak asing sekali, nah iya seperti suasana alun-alun kota jogja ditambah dengan jalan Malioboro. Hiasan di sekitar jalannya, lalu lampu taman yang khas itu persis sekali. Aku juga mencium aroma yang tidak asing bagiku, aroma jajanan pasar yang umum di Jogja. Aku lihat ada toko yang dikerumuni orang yang memakai seragam rapi, mungkin saja para murid dari akademi sihir. Benar saja, saat aku datangi ternyata penjual lupis, getuk dan klepon. Aku ikut mengantri untuk membeli jajanan itu, satu keping koin emas yang diberi Lia, dapat kembalian 9 lembar uang bernilai 10 tiap lembarnya dan 7 koin perunggu.

"Wohh, berarti 1 koin emas bernilai 100 mata uang Danirmala dan perunggu bernilai satu. Hmm tunggu dulu, aku beli 3 macam jajanan dan kembalian masih sebanyak itu? Satu keping emas bisa buat biaya hidup berapa hari di sini?" 

Aku semakin yakin kalau ada reinkarnator selain aku di sini dan masih tidak habis pikir, kenapa murah sekali biaya hidupnya atau karena nilai emas yang tinggi. Mirip seperti kerajaan Lamris, di kota ini juga ada jalan lurus dari pohon besar yang berada di tengah kota menuju ke arah bukit yang berada di samping gunung berapi. Ada tangga menuju ke arah bukit itu dan di atasnya ada satu rumah berukuran sedang. Walau hanya 2 lantai, namun dengan gaya minimalis modern. Bagian luar rumah itu ada pemandian air panas yang langsung dari kamar.

"Wow terbuka sekali, ini memanjakan mata para pengintip." Karena penasaran, aku langsung teleport ke sana. Saat aku berbalik badan dan melihat ke arah kota, ternyata pemandangan sangat indah sekali.

"Idaman sekali rumah ini, ohh itu akademi sihir tepat di bawah tangga ya?"

"Siapa kamu!?" teriakan dari seorang cewek yang sangat cantik, entah kenapa hatiku berdetak kencang dan suhu badanku terasa panas walau udara di sekitar sangatlah sejuk.

Tiba-tiba aku berada di samping gunung berapi itu, ternyata dia lah yang memindahkan aku ke sini. Tempatnya luas dengan bebatuan dan ada sungai yang mengalir di samping hutan.

"Maafkan saya karena masuk rumah orang seenaknya," aku berusaha memberi penjelasan.

Tanpa menjawab, dia langsung menyerangku dengan panahnya. Untung saja dapat ditangkis dengan penghalang milikku, namun dia terus menyerangku. Aku terus mengaktifkan barier itu sambil berteleport untuk menghindari serangannya. Sempat aku rasakan aura dari demon tadi di pinggir hutan.

"Aku baru ingat, iblis itu memanggilku tuan tapi saat aku terdesak begini dia tidak menolongku. Ehh dia tadi katanya melihatku saat diserang oleh dwarf, aku jatuh pun cuma dia tonton," batinku.

"Bisa-bisanya ngelamun saat bertarung!" cewek tadi terlihat marah.

"Dengarkan dulu penjelasan dariku, aku tidak berniat jahat." Sambil melambaikan tanganku.

Karena kesal tidak ditanggapi, aku langsung teleport tepat di depannya dan langsung aku pegang tangan dan panahnya.

"Dengarkan dulu perkataanku!" 

Dia meronta dan membuat mukanya tepat berada di depan mukaku, aku mencium bau yang sangat wangi dari tubuhnya. Parasnya sangat cantik, terlihat masih seperti umur 19-an tahun, kulit putih mulus, payudara yang cukup besar dengan telinga Elf dan rambut putih pony tail menambah kecantikan. Beberapa detik kami berdua terdiam mematung dan saling kontak mata. Karena terpesona dengannya, tanpa sadar aku melepaskan tangannya. Saat menyadari tangannya terlepas, dia langsung menendang perutku. Dengan reflek aku terbungkuk dan langsung saja dia pukul tengkukku hingga membuatku tak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status