“Siapa lagi sih?” Aileen baru akan kembali ke pantri saat terdengar bel berbunyi untuk kedua kalinya.
“Leen.”
Aileen ingin membanting pintu di depan hidung laki-laki itu, tetapi Gama lebih dulu menyelipkan kaki panjangnya di sela pintu. “Gama! Aku lagi marah, mending kamu jauh-jauh!”
“Sejak kapan aku takut sama kamu?” Gama lantas mendorong pintu yang sedang ditahan Aileen dengan sekuat tenaga.
Beberapa detik dihabiskan mereka berdua di ambang pintu. Aileen yang berusaha menahan pintu dan Gama yang tanpa kenal lelah berusaha mendorong pintu.
Pada akhirnya, Aileen kalah. Dan masih selalu kalah bila berhadapan dengan Gama. Inilah alasan Aileen membenci Gama, sejak kecil. Walau di awal pertemuan—kala itu mereka masih kelas 1 SD—keduanya sempat dekat dan sering bermain bersama. Akan tetapi semua berubah sejak Gama ternyata lebih unggul dari Aileen dalam segala hal. Aileen, si anak sulung yang terbiasa menjadi nomor satu, tidak pernah kenal arti kekalahan, maka kalah dari Gama adalah sebuah penghinaan bagi harga dirinya.
“Tunggu, Leen. Bukannya kamu masih tinggal sama orang tua kamu? Sejak kapan kamu punya apartemen? Dibolehin?” Gama mengabaikan keadaan ruang tamu unit itu yang seperti kapal pecah. Langkahnya lurus menuju pantri … yang ternyata keadaannya tidak jauh berbeda. “Disaster!” Gama terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku mau tinggal di mana bukan urusan kamu, Gam. Mind your own business!”
Gama mendekati Aileen, berhenti tepat di depannya lalu memegang kedua lengan bagian atas wanita yang terlihat garang namun tetap menggemaskan baginya. “Kalo aku nggak kenal kamu, aku nggak akan mencet bel untuk kedua kalinya, Leen.”
“Ya trus kamu mau ngapain?”
“Ngopi di unitku yuk, Leen. Tadinya aku pengen ngopi di sini, tapi … kayaknya kurang kondusif ya suasananya.”
Aileen melirik ke sekitarnya dan menyadari kekacauan yang ia perbuat karena lepas kendali. “Ih males. Siapa juga yang mau ngopi sama kamu?”
“Mau kutelepon Ervin biar jemput kamu di sini?”
Seketika Aileen mendongak, menatap Gama dengan tatapan kesal karena membawa nama adiknya yang overprotective. Setara dengan overprotective-nya sang papa. Bukan hanya itu, Aileen juga kesal karena tinggi Gama yang jauh di atas dirinya hingga membuatnya harus mendongak.
Gama menelan salivanya dengan susah payah kala mendapatkan tatapan tajam dari Aileen. Dalam hitungan detik, Gama mundur. Ia tidak ingin debaran jantungnya terdengar oleh Aileen. “Ayo, Leen. Pilihan di kamu. Mau ngopi sebentar di sebelah atau … aku telepon Ervin.”
Dengusan kesal dari Aileen membuat Gama terkekeh, lantas merangkul pundak Aileen seperti seorang teman.
Aileen mencoba mengedikkan bahu agar tangan Gama lepas dari pundaknya, tapi Gama tetaplah Gama, yang (hampir) tidak pernah menurut padanya.
Hanya beberapa detik, keduanya tiba di depan unit apartemen Gama. Gama menempelkan sidik jarinya ke handle pintu, membukanya, dan mempersilakan Aileen masuk. “Welcome. Nggak terlalu berantakan kan? Duduk aja, Leen. Kamu mau ngopi atau ngeteh?”
Aileen tidak menjawab, tetapi langkahnya mengekor Gama. Posisi ruangan di unit apartemen Gama sama persis dengan unitnya, yang berbeda hanya interior masing-masing unit. Jadi Aileen tahu kalau langkah Gama menuju ke pantri.
“Leen, mau minum apa?”
“Ada cola?”
“Serius kamu mau minum cola jam segini? Cewek biasanya nggak minum—”
“Aku bukan artis yang biasa ada di sekeliling kamu ya.”
“Aku boleh tersanjung nggak sih? Aku nggak nyangka kamu ternyata tau kerjaanku apa.”
“Nggak usah sok tersanjung. Karena sekarang kamu lagi kayak membual, tau nggak? Siapa juga yang nggak tau Gama Mahardika, produser film yang filmnya nggak pernah gagal.”
Gama hanya tersenyum. Alih-alih menyeduh kopi, Gama menuruti keinginan Aileen dan mengambil dua kaleng cola dari dalam kulkas. “Mau pake es batu?” tanya Adam saat mengangsurkan kaleng cola ke hadapan Aileen.
“Nggak nawarin burger sekalian, Gam?”
“Wah, kalo itu kita mesti turun ke café di bawah. Aku masih pengen berdua sama kamu, tapi kalo kamu mau burger ya … ayo kita turun.”
Aileen mengabaikan ucapan Gama, ia lebih pusing dengan nail art-nya yang mungkin rusak kalau ia mencoba membuka kaleng cola.
Tanpa kata, tangan Gama terulur untuk meraih kaleng cola di tangan Aileen dan membukakannya untuk wanita itu.
“Happy?” tanya Aileen.
“Hah?”
“Happy menang lagi dari aku? Keadaanku cukup jadi bahan ketawa kamu kan?”
“Leen!” Gama meletakkan cola yang bahkan belum sempat diminumnya. “Cuma kamu, Leen, yang dari dulu nganggep aku saingan kamu. Aku nggak pernah berniat selalu jadi yang di atas kamu. Lagian juga aku nggak tau apa yang terjadi sama kamu, makanya aku ngajak kamu ke sini buat nenangin diri.”
Aileen mengetuk-ngetuk kuku imitasinya ke kaleng cola, menimbulkan suara yang membuat Gama bergidik.
“Kenapa? Apa yang bikin kamu hancurin isi apartemen?” tanya Gama lagi.
“Mau kuganti semua isinya.”
“Ya nggak dihancurin juga dong, Leen.” Gama menggelengkan kepalanya. Kalau ucapan itu bukan berasal dari penerus Candra Group, mungkin ia akan menyiram air ke kepala Aileen untuk menyadarkannya. Namun karena yang mengucapkan hal itu adalah seorang Aileen Callia Candra, ia bisa apa, karena jelas Aileen punya kemampuan untuk melakukannya. “Aku belum pernah lihat kamu begini, Leen.”
“Kalo orang denger, kesannya kita kayak sahabat deket gitu.”
“Yaaa … paling nggak aku cowok satu-satunya yang berani bawa kamu kabur sampe hampir dilaporin ke polisi sama orang tua kamu.”
Aileen tergelak. Ya, ia benci laki-laki di sampingnya itu, tapi memang ada masa di mana mereka berteman baik sampai melakukan hal-hal absurd. Salah satunya, kisah yang baru disebutkan Gama.
Waktu SD, Gama—yang baru pindah ke sekolah Aileen—mengajak Aileen pulang berjalan kaki karena jemputan Aileen yang sedikit terlambat. Orang tua Aileen panik mencari keberadaan Aileen yang ternyata diajak jalan oleh tetangga mereka sendiri.
“Thanks loh, Gam. Gara-gara kamu, semua anggota keluargaku jadi diikutin orang suruhannya Papa.”
“So, coba sekarang cerita ke aku kayak kamu dulu waktu masih mau berteman sama aku, waktu kamu belum tau kalo aku lebih pinter dari kamu, waktu aku belum ngerebut semua gelarmu di sekolah.”
Wah! Emosi Aileen kembali terpantik. Baru saja ia ingin berterima kasih kepada Gama atas perhatian kecil darinya, tapi … mulut Gama membuat Aileen ingin mencekik laki-laki itu sekarang juga.
“Kenapa? Pacarmu selingkuh?”
Aileen terdiam, bingung kenapa Gama bisa menebak masalahnya dengan tepat.
“Beneran? Kamu begini cuma gara-gara pacarmu selingkuh?”
“Dia nggak cuma selingkuh, Gam. Aku ngelihat mereka make out. Dan asal kamu tau, selingkuhannya itu sekretarisnya sendiri.”
“What? Di sebelah?”
Aileen mengangguk. ‘Damn it!’ Perasaan Aileen benar-benar campur aduk antara marah, kesal, dan sedih.
“Ya berarti dia memang nggak pantes buat kamu.”
“Masalahnya adalah … aku udah bilang ke Papa sama Mama bakal bawa laki-laki yang mau kunikahi ke rumah, weekend ini. Aku mesti bilang apa ke orang tuaku?”
“Ya bilang aja apa adanya. Apa susahnya?”
“Gama!”
“Ya terus mau gimana, Leen? Mau tetap sama laki-laki itu? Selingkuh itu bukan pilihan, Leen. Selingkuh itu tabiat. Berharap sembuh? Kemungkinannya kecil banget.”
“Aku tau! Aku nggak bilang bakal balik sama dia juga kan? Tapi kamu mestinya juga tau, kalau aku nggak pernah ngajak pacarku ke rumah. Aku cuma mau ngajak cowok ke rumah kalau aku udah yakin bakal nikahin dia.”
Mata Aileen mulai berkaca-kaca. Nyatanya dia tetaplah seorang perempuan, sekuat apa pun dia berusaha untuk tidak terlihat terpuruk. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjalin hubungan, jadi wajar kan kalau ia terluka?
“Jangan nangis! Buat apa nangis? Kamu ngerasa kalah, karena dia selingkuh sama seorang sekretaris atau karena kamu nggak bisa nepatin janjimu ke orang tuamu?”
“Gama!” Dua-duanya. Sejujurnya, dua hal itu yang membuat Aileen meneteskan air matanya. Ia kalah dari seorang Erika yang memang selalu ada di samping Bara. Ia juga tidak bisa membawakan calon suami ke hadapan orang tuanya.
Gama bangkit dari duduknya, sambil berdiri di samping Aileen, ia memeluk tubuh wanita yang biasanya selalu menolak keberadaannya. “Udah kubilang, aku nggak mau ngelihat kamu nangis gara-gara cowok begitu.”
Aileen tidak bisa mendorong Gama, atau lebih tepatnya tidak ingin. Ia butuh seseorang untuk menjadi tumpuan, minimal untuk malam itu saja. Jadi, alih-alih mendorong tubuh Gama, Aileen malah melingkarkan tangannya ke pinggang Gama.
Ya, Aileen harus mengakui kalau ia kalah lagi. Malam itu, ia juga kalah dengan keberadaan Gama yang ternyata bisa menjadi sandarannya.
“Bawa aku ke orang tuamu, Leen.”
Masih dengan sisa air matanya, Aileen mendongak dan menatap Gama dengan bingung. “Hah? Maksudnya?”
Gama menunduk, menautkan bibirnya pada bibir Aileen yang masih sedikit terbuka karena baru saja bicara.
Aileen terkesiap, entah berapa detik, Aileen tidak bisa menghitungnya. Saat kesadarannya terkumpul, bibir yang tadi menguasainya tiba-tiba saja sudah menjauh.
“Kenalkan aku sebagai calon suamimu. Aku … nggak terlalu buruk untuk itu kan?”
"Kamu serius?" Gama mengernyitkan kening setelah mendengar permintaan Aileen sore itu. Aileen mengangguk dengan wajah penuh harapnya. "Kenapa tiba-tiba?" Gama masih belum bisa menghilangkan rasa herannya. Meski memang sejak ada seorang putri menggemaskan di tengah-tengah mereka, Aileen jadi lebih lembut dan … hopeless romantic—kalau bisa Gama simpulkan dengan sebuah frasa. Dan Gama tidak pernah keberatan menghujani Aileen dengan keromantisan seperti yang diinginkan Aileen. "Pengen aja, Gam. Nggak mau ya?" Aileen tidak sadar kalau ia memperlihatkan rasa kecewanya karena Gama seakan menolak ajakannya. "Bukan nggak mau. Tapi semuanya pasti udah beda. Nggak bakal sama kayak dulu. Udah puluhan tahun kan." "Ya nggak apa-apa. Sekalian olahraga. Ya?" rengek Aileen. "Jarak segitu mana bisa disebut olahraga, Cinta. Kalau dulu aja kita kuat apalagi sekarang." "Tapi kan—” Aileen langsung terdiam saat Gama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Ia akhirnya bisa terseny
“Kakek juga punya villa di Bandung, ngapain kita nginep di hotel?” Aileen mengerucutkan bibir kala mobil yang dikendarai sopir berhenti di depan sebuah hotel. Ya meskipun ia juga salah satu bisnis di bawah jaringan Candra Group, tetap saja ia lebih nyaman jika menginap di villa kakeknya. “Villanya Kakek lagi direnov kata Mama.” “Hah? Renov? Apanya?” “Cuma dirapi-rapiin aja dikit. Nanti kita ke sana kok, Mama minta tolong aku buat sekalian ngelihat hasilnya. Tapi sekarang kamu mesti istirahat dulu. Villa Kakek masih ke atas lagi kan, sekitar satu jam dari sini. Kita udah empat jam di perjalanan. Aku nggak mau kamu kecapekan, jadi kita mesti istirahat dulu.” “Iya kita lama di perjalanan itu karena kamu berkali-kali nyuruh sopir buat pelan-pelan.” “Kan biar Kakak nggak keguncang-guncang.” Aileen mengernyitkan kening. Kadang ia masih bingung dengan panggilan ‘Kakak’ yang disebut Gama. Pasalnya dari kecil pun ia dipanggil ‘Kakak’ oleh semua anggota keluarganya, termasuk mama dan papan
“Aku mau nikahin Aileen lagi.”Tiga orang di hadapan Gama—Ervin, Yara, dan Kemala—menatap Gama dengan bingung.“Maksudku, aku mau … semacam ngulang acara pernikahanku sama Aileen. Akad nikahnya sih nggak. Cuma perayaannya aja,” terang Aileen saat melihat ketiga orang di hadapannya benar-benar terlihat kebingungan. “Bisa bantu aku? Karena aku maunya ini jadi kejutan buat Aileen, aku nggak bisa nanya langsung dia maunya gimana. Kalian sebagai orang terdekat Aileen, pasti pernah dong denger gimana pernikahan impian Aileen.”“Emangnya itu bakal ngobatin sakit hatinya Kak Aileen?” sindir Ervin terang-terangan.“Mungkin nggak. Tapi aku mau mewujudkan pernikahan impian Aileen.”Gama sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Mungkin ia tidak bisa mengobati sakit hati Aileen karena kelakuannya dulu yang menjadikan acara pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam kepada mantan kekasihnya. Tapi setidaknya, ia ingin Aileen memiliki kenangan tentang acara pernikahan yang pernah Aileen impikan.“Jadi,
“Kak Beta, ini adeknya bisa dibawa pergi nggak? Apaan sih? Ngomong aneh-aneh,” gerutu Aileen. “Kamu pikir aku sejahat apa sampe bisa gugurin anakku …, kalau bener aku hamil. Aku bukan dia.”Gama menutup mulutnya, begitu juga dengan Beta yang entah mengapa merasa tersindir, padahal Aileen tidak berniat menyindir siapa pun. Ia hanya mengungkap fakta.“Kayaknya kalian perlu ngobrol. Aku tinggal ya, Gam. Kopermu nanti biar dianter orang ke rumahmu.” Beta lantas beralih ke Aileen. “Selamat ya, Leen. Jangan lupa cek lagi ke dokter.”Aileen hanya bisa mengangguk sambil menatap kepergian kakak iparnya itu. Ia masih malas melihat Gama yang ada di hadapannya, padahal berminggu-minggu sebelumnya ia benar-benar ingin bertemu dengan Gama.“Mau ke dokter sekarang? Kak Beta ada jadwal praktek jam dua. Tapi kalo kamu mau ke dokter lain, coba … biar aku tanya ke stafku di kantor, ada yang udah punya anak kok. Siapa tau dokter kandungannya bagus. Atau … tanya Mama—”“Gam.” Aileen menggeleng. “Jangan bi
"Gama!""Hm?"Kemala semakin menggeram kesal mendengar gumaman Gama. Jelas kalau Gama baru saja bangun tidur atau bahkan sekarang pun masih memejamkan mata setengah tidur."Lo tau kan kalo Aileen nggak enak badan? Lo tau kan kalo Aileen muntah-muntah?" sentak Kemala."Hm?""Bangun, Gam! Gue perlu ngomong serius sama lo."Aileen menatap kosong kepada Kemala. Ia sedang mengabaikan kenyataan bahwa Kemala sedang menghubungi suaminya karena ada kemyataan lain yang harus ia hadapi.Gama terkesiap. Ia kini benar-benar dalam mode siaga. "Aileen kenapa, Mal? Lo masih sama dia kan?""Udah gila ya lo? Denger istri lagi begitu bukannya pulang? Nggak mampu beli tiket lo? Apa urusan di sana lebih penting daripada istri lo?""Mal, Aileen kenapa?"Kemala masih berusaha menenangkan diri sambil mengatur napasnya. Di otaknya hanya ada sumpah serapah untuk Gama. Karena itu, ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan Gama. Fokusnya adalah mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya."Pulang lo pagi
“Kamu mau balik, Kak? Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang kan.”“Kangen rumah, Pa,” jawab Aileen sembari ikut duduk di samping papanya dan bergelayut manja di lengan sang Papa.“Kangen rumah apa kangen suami? Belum pulang juga tuh si Gama? Emangnya nggak bisa nyempetin waktunya? Weekend gitu, pulang ke Jakarta sebentar. Cuma Kalimantan loh, bukannya Amerika.”“Masalah di tambang belum selesai, Pa. Kalo dia pulang, malah makin lama di sananya nanti,” jawab Aileen menenangkan sang Papa yang sepertinya mulai kesal.Apa itu artinya Aileen tidak kesal dengan suaminya?Jangan salah! Aileen juga kesal setengah mati karena Gama tidak kunjung pulang setelah satu bulan pergi ke Kalimantan. Kadang ia bahkan curiga kalau Gama memiliki perempuan lain di sana. Namun, sleep call yang mereka lakukan setiap malam tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan."Ajak Bibi, atau Mbak, atau siapa pun dari sini, Kak. Mama sama Papa nggak tenang kalo kamu sendirian di rumah." Rhea menepuk punggung tangan A